Sunday, April 30, 2006

HIATUS


Hiatus. My son is terribly sick.
However, if you have any info about the following things, we'd really appreciate it if you'd like to share it:
1) Stomach flu
2) Handling high fever (above 39) at home
3) Preventing and/or handling seizure (before & when it happens)

Thank you very much for your help.

Thursday, April 27, 2006

(Sleeping) Time Management

If you have to give a penny for everyone who says 'Time Management' for every time crisis that you face, how much money would you spend?
In my case, probably, billion.

Sebagai pengangguran yang kerjanya hanya masak, cuci ini itu, bersih-bersih rumah, ngurus anak, ngurus suami, dan semacamnya, gue gak layak berteriak minta tolong tentang Time Management. Teriakan minta tolong itu harusnya menjadi privilege para working moms, bukan gue. Masalahnya... (tanpa ada masalah gak akan ada teriakan minta tolong kan?) ...24 jam ternyata tidak cukup buat gue untuk mengurusi rumah dan isinya, mengurusi pekerjaan sampingan, mengurusi proyek-proyek pribadi, dan mengurusi diri sendiri!
No, no, let me rephrase that: 24 jam ternyata tidak cukup bila harus memasukkan kegiatan tidur. Ya, tidur!

How many hours a day does your body need to sleep? I need 8, minimum! Padahal gue gak sedang tumbuh kembang (yeah, right!). Dulu-dulu, gue sering merasa kasihan dengan nyokap yang gak bisa tidur lama. Paling lama beliau tidur hanya 5-6 jam. Lewat dari 5-6 jam tadi, nyokap akan 'nguprek' seisi rumah karena beliau gak bisa tidur. Di dalam proses ngupreknya itu nyokap akan mampu menonton seluruh saluran tivi, membereskan seluruh pekerjaan rumah, seluruh pekerjaan kantornya, seluruh lemari baju di rumah, lemari di dapur, dan pada akhirnya membangunkan seisi rumah. Banyak orang yang seperti nyokap. Gue juga pernah baca bahwa seorang penguasa Indonesia beberapa tahun yang lalu juga hanya perlu tidur 4 jam. Dan saat itu gue benar-benar merasa kasihan pada mereka karena menurut gue TIDUR ITU NIKMAT, apalagi kalau bisa tidur siang atau malah sekalian tidur sampai siang.
Mungkin karena terbiasa dengan tidur yang minimal 8 jam itu atau karena badan gue memang reyot banget maka sampai sekarang kalau gue tidur kurang dari segitu jam, gue bakal sakit (seperti sekarang). Padahal, padahal, oh padahal, gue butuh mengurangi jam tidur ini...

Di sisi lain, Papap juga pecinta tidur. Tapi dia lebih beruntung karena kalaupun tidak tidur banyak, badan dan otaknya masih bisa berfungsi. Kecuali kalau perutnya keroncongan, barulah Papap akan jadi malfunction. Beda dengan otak gue yang gak akan jalan tanpa kecukupan tidur, tak perduli lapar atau kenyang. Sekarang, gue gak merasa kasihan dengan nyokap. Sekarang gue merasa iri, karena dengan kemampuan tidur minimalnya dia akan bisa membereskan lebih banyak hal. And right now I can hear my mom shouting I Told You So....

ps: buat temen-temen lama yg pada jamannya dulu pernah menelpon dibawah jam 10 pagi lalu menerima omelan, gerutuan, dan protes keras dari gue, percaya deh, saat melakukan semua itu gue masih tidur ;b

-me-yang-membenci-morningsun-dan-pecinta-tidur-tidursiang-serta-tidursampaisiang-

Thursday, April 20, 2006

Kartini itu Perempuan

Waktu itu saya kelas 4 SD. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, sekolah saya selalu memperingati Hari Kartini dengan cara menyuruh murid-muridnya memakai baju daerah. Entah kenapa, semua murid perempuan selalu memakai kebaya Jawa sementara semua murid laki-laki memakai pakaian tentara...
Biasanya, saya hanya memakai kebaya katun sederhana dan kain batik yang lebih menyerupai sarung daripada kain. Tapi, tahun itu, Mama membeli kain beludru hitam dan meminta Eyang Putri untuk menjahitkan baju Kartini buat saya.

Pagi-pagi, Papa mengantar saya ke sekolah. Saya memakai kebaya baru berwarna hitam dari kain beludru, berenda kuning keemasan dan kain batik baru. Saya juga bersanggul (yang membuat saya harus bangun subuh-subuh untuk berdandan), dan berselop beludru hitam. Harusnya saya terlihat sedikit lebih cantik...

Seperti biasa, sebelum kelas dimulai, ada upacara peringatan terlebih dahulu. Ada upacara bendera, ada pidato, ada baris-berbaris. Seperti biasa pula saya baris di paling belakang karena barisan belakang adalah zona aman saya untuk ngobrol dan main-main. Selagi saya asyik ngobrol, main tendang-tendangan dengan teman-teman cowok, menggoyangkan badan ke kanan dan kiri, saya mendadak melihat guru saya yang paling galak, Ibu Atiek. Beliau berdiri di depan sambil memegang kertas dan pulpen. Matanya menjurus ke arah saya. Kemudian beliau membisikkan sesuatu ke guru yang lain yang juga segera memperhatikan saya.
Sekejap saya berdiri mematung. Diam seperti tersiram es. Saya yakin guru-guru saya itu sedang menuliskan nama saya di daftar anak nakal. Dan sampai upacara hampir berakhir, saya tak bergerak seinci pun. Saya juga tak yakin kalau saat itu saya berani bernapas.

Sebelum upacara berakhir, Pak Kepala Sekolah membuat pengumuman. Kata beliau, kira-kira, sekolah akan memberikan hadiah kepada pemenang lomba Kartini hari itu. Saya belum pulih dari rasa takut, jadi saya tidak bereaksi. Lagipula, memang ada lomba apa gitu loh?
Kemudian, Ibu Atiek, maju ke depan corong mikropon dan berkata, "Juara ketiga hari Kartini adalah... beliau menyebutkan nama kakak kelas 6. Juara kedua adalah... beliau menyebutkan nama... SAYA!

Hah?! Saya syok. Saya maju karena didorong-dorong teman-teman. Singkatnya, hari itu saya juara dua lomba Kartini, walaupun entah, lombanya apa?! Juara pertamanya juga kakak kelas 5. Hari itu saya mendapat hadiah saputangan indah 3 helai. Hari itu sepanjang jalan pulang teman-teman saya yang sama-sama berdandan lenong ribut berteriak-teriak kepada setiap orang di jalan, "Om, temen saya menang Kartinian, Om!"
Duh!

Sore itu dirumah, sepulang orang tua saya dari kantor, saya bercerita tentang kemenangan saya. Seingat saya, Mama tersenyum-senyum saja. Sementara Papa saya yang selalu jaim hanya berdehem. Tapi ada satu hal yang menggelitik hati dan saya menanyakannya pada Mama. Menurut pikiran saya yang masih SD kelas 4, harusnya saya yang menang juara satu! Alasannya remeh: kalau lomba itu lomba mirip Kartini, maka sayalah yang paling mirip. Si juara 1 berkulit putih bertampang Maudy Koesnaedy tapi agak bule. Si juara 3 malah setengah bule. Sementara saya, berkulit hitam, berhidung pesek, berjidat jenong, mirip sekali dengan RA Kartini. Bukankah harusnya saya pemenang pertamanya? Kecuali kalau itu lomba Ratu Ayu, si Juara 1 dan 3 sudah pasti layak menang!

Saya lupa jawaban pastinya Mama. Hanya kira-kira Mama menjawab sesuatu tentang hari perempuan. Terus terang, saya masih tidak puas, bahkan hingga sekarang. Kalau hari Kartini adalah hari yang didedikasikan untuk perempuan, mengapa tak disebut saja sebagai Hari Perempuan Indonesia? (catatan: Indonesia sampai sekarang tak punya hari perempuan) Bukankah Cut Nyak Dien, Dewi Sartika dan Dewi-Cut lainnya sama-sama perempuan berjasa? Namun, saya pernah membaca (dan saya lupa dimana) alasan Kartini lebih terkenal dibanding pahlawan perempuan lainnya adalah karena Kartini menulis! Hmmm... ya memang susah sih bagi Cut Nyak Dien untuk menulis diantara kegiatannya berperang di hutan...

Saya tak mau berpanjang-panjang berkomentar tentang emansipasi dan semacamnya. Pasti ada blog dan blogger yang lebih kompeten membahas soal itu. Disini saya hanya ingin menyuarakan kericuhan jiwa perempuan saya yang telah saya alami sejak kelas 4 SD itu. Walau saya tahu seorang Kartini juga perempuan, tapi Hari Perempuan terlalu sempit artinya bila dimasukkan pada sosok Kartini (itu kalau memang Hari Kartini adalah hari perempuan. Beri pencerahan, plis?). Lagipula, perempuan Indonesia tidak semua bersosok Kartini. Bagaimana nasib saya yang bukan orang Jawa tulen? Bagaimana nasib anak saya (bila dia perempuan) yang hanya sedikit berdarah Jawa? Bagaimana nasib keponakan saya yang sama sekali bukan orang Jawa? Apakah tak ada tempat untuk mereka di tanggal 21 April ini?

catatan: tulisan ini didedikasikan untuk Mama yang sudah mengajari saya tentang menjadi perempuan. Karena Mama, saya tak perlu sosok seorang Kartini untuk menjadi perempuan yang bangga karena dirinya perempuan.

Wednesday, April 19, 2006

Atenshon Puriizu

Judul diatas itu bahasa Jepangnya untuk kalimat "Attention Please" (wakakaks). Semalam, gue gak sengaja nonton J-drama Atenshon Puriizu (AP) di salah satu stasiun tivi. Gak sengaja aja si remote control manteng di situ karena liat pemainnya: Aya Ueto. (Si Papap penggemar Aya-chan, karena). Ternyata sinetron itu kocak juga. Tentang seorang cewek tomboy ampun-ampunan vocalist band rock yang punya pekerjaan sampingan ngepakin barang yang berniat jadi pramugari JAL. Udahan gak bisa dandan, gak bisa bahasa Inggris, gak punya manner pula. Parah banget dah. Nonton sinetron itu bikin gue inget hidup gue pada suatu waktu di jaman dulu: gue hampir jadi pramugari. *Oh, no!*

Di keluarga emak, ada dua tante gue yang jadi pramugari maskapai nasional di 'abad' yang berbeda. Tante gue yang pertama ini sempet tinggal di rumah gue dari gue belom lahir sampai gue batita. Karena dia, waktu kecil dulu gue pernah bercita-cita jadi pramugari. Seneng aja liat dia selalu cantik dan wangi, dan terutama selalu bawa oleh-oleh. Tapi begitu SD cita-cita itu menguap. Mungkin karena maen gundu, ngejar layangan, dan kemping Pramuka lebih menggairahkan. Dan tiba-tiba saja, gue udah lulus SMA. Kebetulan rumah gue bersebelahan dengan lapangan terbang (lama) dan disitu ada kantor maskapai G. Kebetulan lagi, pas gue lulus SMA ada perekrutan calon pramugari. Antara iseng atau memang gak punya tujuan hidup yang jelas, gue dan beberapa teman sekomplek ikut melamar.

Ujian hari pertama adalah tes penampilan. Gue inget banget tampang gue hari itu. Badang kurus kerempeng, rambut cepak, bermake-up, pake sepatu pantofel berhak 5 cm, rok span, kemeja putih. Sepatu, rok, dan kemeja itu baru dibeli beberapa hari sebelumnya. Hasil pilihan emak gue (*NO... plisss*). Make-up nya juga hasil riasan emak gue (*NO.. NO*). Baru hari itu sepanjang hidup gue, gue pake make-up, sepatu model begitu, rok, dan kemeja. Rasanya? Gak gue banget! Hasilnya? Setelah disuruh nimbang berat, ngukur tinggi, berjalan mondar-mandir bak pragawati, dan berbicara sepatah dua kata dalam bahasa Inggris dan Indonesia, salah satu panitia bilang begini: 'Kamu bisa menaikkan berat badan 10 kilo dalam waktu seminggu?'

Emangnya gue gajah?!

Okelah, gue anggap itu sebagai ketidak lulusan, dan memang akhirnya nomer gue tidak tersebut lulus. Sepertinya emak, dan terutama bokap gue, lega banget waktu tau gue gak lulus. Yang sedih cuma supir gue. Soale dia udah ngebayangin bakal tiap hari nungguin gue training sambil ngecengin cewek-cewek calon pramugari :(

Setelah itu gue kuliah, tiga tahun kemudian lulus, trus kerja di perusahaan Jepang. Hampir setahun kerja, gue dapat panggilan kerja dari... maskapai penerbangan Sem. Surat itu bilang, mereka dapat data diri gue dari maskapai G. Percaya gak sih? Data 4 tahun yll gitu loh?
Tapiii... walopun gue sudah insyap n gak berminat jadi pramugari lagi, gue tergelitik juga ingin ikut tesnya. Pengen nyoba aja: bisa lulus sampai mana sih?! Lagipula, tesnya itu persis di kantor mereka yang di lapangan terbang sebelah rumah! Bokap nyokap sempet mendelik. Mo ngapain sih? Kata mereka. Namanya juga iseng, mak.

Pas gue sampai di tempat ujian, gue hampir balik lagi pulang. Ternyata saingan gue kebanyakan anak-anak yang pada baru lulus SMA. Gubrak! Rasanya gue salah pesta. Kostum gue sama seperti kostum kantor: sepatu hak 5 senti, rok A selutut, kemeja dan blazer, plus stocking. Di kantor, kalo mo pake rok pendek, kudu pake stocking, karena. Biar sopan n gak kedinginan aja. Setelah rada tua-an, gue sudah lebih bisa menyelaraskan antara penampilan dan kelakuan.
Sementara, anak-anak itu pake make-up tebal, rok span pendek-mini-minim, kemeja ketat lengan pendek, sepatu hak tinggi, dan no stocking. Saat itulah gue baru percaya pada frase 'Generation Gap'. Mungkin, 4 tahun yll, gue juga mirip mereka? Rupanya mereka juga ngeliat gue dengan aneh. *Eh, ada tante-tante pengen jadi pramugari* Terutama, mereka memandang jijik pada stocking gue. Salah satunya bahkan berbaik hati bilang ke gue: Mbak, bukannya kalau ujian gak boleh pake stocking?

Ketika melihat si Aya-chan yang begitu clumsy dan berasa salah tempat, gue teringat sosok gue di dua kali ikut ujian Pramugari itu. Terutama sosok gue waktu baru lulus SMA. What the hell was I doing at that time?! Di ujian yang kedua, gue lebih percaya diri dan udah bisa menampilkan image seperti yang gue butuhkan. Tapi tetap aja, selama tes berlangsung, walaupun gue bisa menjalaninya dengan sangat baik, gue tetap merasa salah tempat. Diantara puluhan cewek-cewek yang begitu percaya diri bahwa mereka sudah menampilkan image pramugari sebenarnya, gue merasa I don't belong. Still, gue jalanin tes demi tes, hanya untuk memuaskan rasa penasaran: What did I do wrong 4 years ago? How could I fail?

Seperti niat semula, begitu gue udah ngejalanin semua tes dan udah dinyatakan lulus, gue cabut. Bokap gue cuma komentar, 'udah puas?' Yep, sudah. Gue sudah yakin bahwa dunia gue bukan disitu.

Membayangkan rasa frustasi Aya-chan yang rocker abis diantara cewek-cewek anggun calon pramugari, gue merasa bersyukur. Gue punya kesempatan untuk memilih dan gue punya kesempatan untuk mencoba pilihan gue. Gue bisa memuaskan rasa penasaran gue tanpa harus kehilangan hal lain seperti kesempatan yang hilang, uang atau pekerjaan tetap. Gak semua orang seberuntung gue. Gak semua orang punya pilihan. Ketika Aya-chan ditanya instrukturnya: You don't belong here. Why don't you quit? Ia hanya termangu. Quitting is not easy for her. Kalau kalian? When you feel you don't belong to something, will you just quit? Or fight to stay?

Thursday, April 13, 2006

Kenikmatan (yang selfish?)

Ada dua kenikmatan yang saat ini sedang gue idam-idamkan, tapi kalo gue wujudkan sepertinya gue terlalu egois. Kenikmatan itu adalah Menulis dan Tidur. Bukan sekedar menulis dan bukan sekedar tidur.
Kenikmatan menulis disini adalah kenikmatan ketika gue bisa menulis sepanjang waktu yang gue mau, sebisa ide gue mengalir, tanpa dibatasi oleh waktu dan kewajiban-kewajiban seperti 'Waks! Gue belom masak!' atau 'Hah, rumah belom diberesin.' atau 'Duh, udah hampir subuh, gue blom tidur. Besok kudu bangun pagi n nyiapin anak sekolah.' atau 'Wah, sebentar lagi anak gue pulang sekolah.' atau 'Huu.. pengen nulis tapi anak gue ngajak maen.' Hal-hal duniawi semacam: piring belum dicuci, makanan belum dimasak, rumah belum dibersihkan, dan anak belum dimandiin, dll dsb.
Tidur pun begitu. Sepertinya sudah lama sekali sejak terakhir gue bisa tidur sepanjang yang gue mau dan kapan gue maunya... it's been a long time.
Dan ketika gue benar-benar kepengen merasakan kenikmatan itu, hati kecil gue berteriak: selfish! Ketika gue memilih profil seperti yang sekarang gue miliki, gue sadar dengan konsekuensinya. Dan bila itu berarti kenikmatan gue harus ditunda (yeah, ditunda), so be it. Karena ketika kenikmatan itu dihadapkan pada kewajiban-kewajiban lainnya, kenikmatan gue itu seperti tak penting. Sungguh tak penting. Tapi, yang namanya kenikmatan, rasanya tetap nikmat toh?

Ada saran?

Tuesday, April 11, 2006

Cuaca

Waktu kuliah dulu, ada dosen gue yang bercerita bahwa orang Jepang akan menjadikan topik 'Cuaca' sebagai bahan basa-basi pembuka percakapan. Setelah sampai disini, gue baru menyelami kebenaran kata-kata si dosen. Gila juga, it took me more than 10 years to believe him?!
Setiap kali, gue ketemu orang, Jepang dan asing, dan memulai percakapan, maka kata-kata kita akan dimulai dengan: "Wah, hari ini dingin/panas/indah/cerah/berangin ya?" Tapi ada satu hal yang gue gak setuju dari petuah si dosen: opening tadi ternyata bukan basi-basi. We (karena gue dan orang-orang asing lain termasuk) really mean what we say about the weather. Misal:
A: Wah, hari ini berangin ya?
B: Iya, dingin banget.
A: Sampe kapan sih dingin begini?!
B: Sebulan lagi, mungkin. Saya juga sudah gak tahan.
Dan kami memang benar-benar sedang men-curhat-kan rasa kedinginan kami!

Gak kebayang kalo orang Jakarta memakai cuaca sebagai opening percakapan.
A: Wah, hari ini panas ya?
B: Dari dulu juga panas! Kemana aja lu?!

Berkenaan dengan cuaca, di Jepang, spring is official. Udah dari kemarin, malah, tapi dingin sih teteup :(
Cuaca disini tidak bersahabat dan tidak menyenangkan. Bukan apa-apa, spring di Jepang itu waktunya Hanami-an. Memburu Sakura sampai ke ujung pelosok negeri. Motretin Sakura. Ngeliatin Sakura. Pokoknya, waktunya Sakura! Tapi, hari gini, April gitu loh, masih aja dingin, hujan, angin kencang (percaya deh, ini angin jadi-jadian!), dan berkabut. Alhasil, nonton Sakura jadi gak asoy. Sakura pun cepet rontok. Udahan dia cuma nongol duamingguan, eh, pake diganggu angin dan hujan... Rese euy! Liat aja foto guguran kelopak Sakura di genangan air di sebelah dorm. What a waste! Ribuan kelopak Sakura gugur ditiup angin, dibasahi hujan, dan tersia-sia di atas aspal... *sigh*
Sebenernya sih, momen ketika Sakura gugur, sungguh-sungguh indah. Pernah nonton The Last Samurai kan? Nah, pas adegan para Samurai itu mati, ada gambar bunga sakura yang gugur dibawa angin. Putih-putih kecil seperti kapas melayang bareng-bareng. Indah banget. Cuma, gue gak rela aja. Udah susah-susah dan lama-lama nunggu Sakura muncul, eh begitu angin lewat, ribuan kelopak bunga itu tersapu jatuh begitu saja. So beautiful, so fragile...

Kiri: Lihat warna putih di tanah. Itu kelopak sakura yang gugur.
Kanan: pohon sakura masih berbunga, di dekat apato kita.
Image hosting by Photobucket Image hosting by Photobucket

Untuk musim semi dan musim sakura tahun ini, gw dan Papap sibuk motret sana sini. Kayaknya kita lagi kena virus demen motret serius, walopun hasilnya masih senyum manis saja. Kita berburu Sakura dari sekitaran dormitory sampai ke Shinjukugyoen Tokyo (yang tahun lalu sudah didatangi dan dilaporkan di blog ini).

Depan dormitory:
Image hosting by Photobucket

Depan dormitory dari atap. Mendung. Dingin:
Image hosting by Photobucket

Hikari di depan dormitory setelah ikut jalan-jalan motret:
Image hosting by Photobucket

Jalanan menurun dari dormitory ke Shinkansen Eki, Danau Honjo, kampus Waseda, dan peradaban dunia. Sepanjang jalan penuh Sakura:
Image hosting by Photobucket

Dibalik pohon-pohon pinky itu ada danau:
Image hosting by Photobucket

Danau dan Sakuranya. Ternyata tak berubah setelah setahun lewat:
Image hosting by Photobucket

Lalu, pada suatu hari dimana laporan cuaca mengatakan hari itu akan cerah, kita dan teman-teman sekampung yang tinggal di Honjo, pergi ke Shinjukugyoen. Untung si bunga masih bertengger, walopun sepanjang kita disana angin terus-terusan membawa kelopak Sakura gugur melayang.

Meet the freaks:
Image hosting by Photobucket Image hosting by Photobucket

Image hosting by Photobucket Image hosting by Photobucket

Hikari nongkrong di pohon Sakura sambil sesekali bercanda India dengan Raffa, cewek imut tetangga kita:
Image hosting by Photobucket Image hosting by Photobucket

Yah, itulah perjuangan kita meng-capture pemandangan Sakura. Sayang, waktu kita ke daerah Kansai kemarin, Sakura belum full-bloom.
Btw, silahkan disimak cerita-cerita perjalanan ke Kansai di sini. Masih ada beberapa episode lagi yang bagian Kyoto, tapi Kobe, Himeji, Nara, sudah bisa dibaca :)