Sesuatu

Minggu pagi, Hikari selalu bangun duluan. Dia juga yang lebih dulu melesat keluar, mandi, makan pagi, dan bermain keluar.
Jam 9 pagi, masih bermimpi, saya merasakan pipi saya basah. Hgghh... ini pasti Hikari sedang menciumi wajah saya supaya saya bangun.
Begitu saya membuka mata, Hikari tersenyum lebar.
"Mama!"
"Hm?"
"Aku punya sesuatu buat Mama."
Mata saya pun terbuka lebar.
"Oh ya? Apa?"
Dari balik punggung yang tadinya menyembunyikan kedua tangannya, Hikari menyerahkan bunga putih di kiri ini.
"Aku sayang Mama."
".........................." (terharu, walau masih belekan)
"Ma."
"Apa sayang? Terima kasih ya bunganya. Mama juga sayang Hikari."
"Iya, Ma. Tapi... sesuatu buat Hikari mana?"
Papap pun tertawa ngakak sampai jatuh dari kasur.
for more fun photos see here

Perempuan Bergolok

Sudah tiga bulan Hikari belajar di sekolah yang baru. Setiap hari, saya mengantar dan menjemputnya. 15 menit sekali jalan, 7 kilometer yang berkelok dan berundak. Maklum, jalan kampung selebar dua mobil tanpa trotoar kecuali jalan setapak berumput ilalang.
Sudah tiga bulan juga saya melihat dia. Perempuan berkerudung dengan wajah datar, berpakaian rapi, dengan tangan kanan menggandeng anak laki-laki berusia 3 tahun berpakaian rapi yang sepertinya habis mandi (karena wajahnya selalu berlumuran bedak) dan tangan kirinya memegang sebuah golok besar berkilat. Mengacung-acungkan golok besar berkilat, lebih tepatnya. Setiap pagi pukul 8:13an, saya (di dalam mobil) berpapasan dengannya di jalan yang sama, hampir di titik yang sama, dengan gaya yang sama: dia mengacungkan goloknya, dan saya memutar kemudi jauh ke kanan menghindari ayunan goloknya. Ternyata bukan saya saja yang berpikiran melencengkan mobil jauh ke kanan; pengemudi mobil lain juga melakukan hal yang sama.


Pertama saya berpapasan dan melihat dia, saya hanya menyumpah, 'duh, itu pegang golok hati-hati kenapa!'

Lama-lama saya jadi penasaran. 'Nih orang siapa sih? Mau kemana? Mau ngapain?'

Kemudian saya mengira-ira. 'Gak mungkin mau bercocok tanam, wong bajunya rapi jali begitu!'

Kadang berpikir, 'gak mungkin juga dia seorang tukang jagal kebo. Dandanannya gak matching, bo!'

Sekali dua kali saya berpikir terlalu jauh. 'Jangan-jangan dia agak sinting. Jangan-jangan dia...'

Tak hanya saya. Ketika Eyang Kung-nya Hikari sesekali ikut mengantar, bliow juga berkomentar, 'mau ngegolok siapa dia?'

Dan kami pun bertukar imajinasi.

Kalau anda, seperti apa imajinasinya?


Sabtu kemarin, teman baik saya bercerita bagaimana satu aksi-nya disalah mengerti orang satu gereja. Teman itu punya kebiasaan mencatat khutbah pendeta dengan PDA-nya. Bukannya diberi piagam penghargaan sebagai pendengar khutbah terbaik, dia malah dipelototi jemaat yang lain karena disangka main sms...

Setelah tertawa ngakak mendengar ceritanya, saya tersentak. Saya ingat bagaimana saya berimajinasi tentang si Perempuan Bergolok. Sama saja, antara saya dan jemaat-jemaat itu.

Sama salah kaprahnya.

Kesadaran saya itu tentu saja membuat saya syok berat. Bukannya apa-apa. Resolusi saya tahun jebot dulu adalah 'Menghilangkan Suudzon alias berprasangka buruk terhadap orang lain'.
Ealaaahh... baru ketemu Perempuan Bergolok aja, resolusi saya udah jebol. Gimana kalau saya bertemu bapak tua setengah botak menggandeng cewek cantik seumur adik saya? Gimana kalau bertemu Pak A yang suaminya Bu B, di hotel C, bersama Bu D yang istrinya Pak E? Gimana kalau saya bertAmu ke rumah mewah si X yang satu nasib gajinya sama saya? Gimana kalau saya berpapasan dengan seorang manusia yang bermuka rugi lagi? Gimana kalau saya bertemu dengan cowok ganteng yang tersenyum legit pada saya? Gimana kalau ada sms di hp Papap yang terbaca 'Mas, kapan ke rumah lagi?'

Apa saya sanggup menahan diri supaya tak suudzon?

ps: 'Gimana' yang terakhir gak ada urusannya dengan suudzon ato gak, pasti langsung dibawa ke mahkamah internasional.

Muka Rugi

Anak perempuan berbaju putih abu-abu itu duduk tak perduli di tengah-tengah barisan depan dari dua baris kursi di kelas itu. Sebenarnya, dia cukup manis. Tapi sejak pertemuan pertama -dan saat itu sudah pertemuan keempat- dia selalu memasang wajah bosan dan tentu saja tak perduli. Cemberut tidak, senyum juga tidak pernah. Sebagai seorang guru yang notabene merupakan bintang panggung di kelas, saya mulai bertanya-tanya.
"What is it that I do that doesn't suit her? Doesn't she like me? But why?"
Kelas itu kelas baru di semester baru dengan saya sebagai guru mereka yang baru.

Sudah hampir sebulan saya mengajar kelas itu, saya hampir melupakan tingkah si anak perempuan. Kecuali dia, kelas itu sungguh menyenangkan. Dan setelah saya meyakinkan diri bahwa Saya bukanlah si Faktor X pembuat dirinya masam, saya menjadi tak begitu perduli dengan kemasaman-nya. Lagipula, kecuali wajahnya yang masam, dia juga tak pernah membuat onar di kelas, so case closed. For a while.

Suatu kali, ketika sedang berbincang-bincang (baca: ngegosip) dengan mister owl-si-bijak yang rupanya adalah guru kelas anak perempuan itu di level sebelumnya, saya menanyakan perihal si anak.
"Do you still remember this girl?"
"Yeah, sure. Why?"
"Well, I am not sure. But she is kind of bitter whenever she comes to class. Was she like that too before?"
Mister owl-si-bijak tertawa.
"Dia memang begitu. It's not you. It's her."

Selanjutnya mister owl-si-bijak memberikan teorinya.
"Orang seperti itu punya Muka Rugi," katanya.
"Hm?"
"Ya." Si mister melanjutkan, "kemana-mana dia pergi tanpa sadar dia memasang wajah asem seakan-akan orang satu dunia berbuat salah padanya. Padahal kalau kita tanya sama dia, she doesn't have problems with us. It's all in the mind and heart."

Saya tak mendebat si mister. Susah mendebat filsuf satu itu. Tapi dipikir-pikir dia ada benarnya juga. Jujur saja, saya mungkin pernah menjadi si Muka Rugi karena beberapa teman saya pernah berkomentar, "elu tuh kalo moody-nya kumat, muka lo pasti pahit banget. You look like you're about to punch every one you see."
Padahal kalau saat saya sedang bermuka pahit atau asem atau rugi atau apalah, saat itu yang saya rasakan hanya kebosanan dan tak perdulian. Tapi yang keluar kok jadi muka yang ngajak berantem orang? Mister owl-si-bijak benar. Walau buat saya, it's all in the heart. Kalau hati sudah asem, wajah pun merefleksikannya. Tak perduli what's in my mind.

Sejak itu, saya mencoba untuk lebih sering tersenyum. Kalau gagal untuk tersenyum (saya lebih sering menggeram karena), saya belajar untuk membuat wajah saya lebih tawar. Tawar masih lebih baik daripada asem, bukan?

Cerita ternyata tak habis disini.
Saya memang tak bertemu anak perempuan itu lagi selepasnya dia dari level yang saya ajar. Tapi saya bertemu si Muka Rugi yang lain.

Manusia satu ini sebenarnya baik hati. Dia juga -anehnya- penolong nomer wahid di kalangan teman-teman. Tapi, wajah manusia ini tak pernah terlihat tersenyum, atau tawar sekalipun. Walau dengan saya, dia masih sering tertawa ngakak. Sialnya buat dia, dia punya jabatan lebih tinggi dibanding teman-temannya dan terkenal galak luar biasa. Siapapun juga tahu kalau boss sering dimusuhi anak buah, apalagi boss yang galak???

Saya kasihan pada dirinya karena sebenarnya dia itu pintar, baik, penolong, dan adil. Ketika orang bilang dia galak, dia sebenarnya sedang menjadi outspoken. Buat saya yang sama-sama sering nyablak, dia bukan galak. Dia jujur, walau terkesan sadis. Ketika orang bilang dia tak punya empati, dia sebenarnya sedang berusaha menjadi adil dan lurus. Tapi sayang, mukanya yang selalu masam menghilangkan nilai positif dirinya. Bila orang-orang berbicara tentang dirinya, mereka akan berkata, "kenapa si dia? Kok gue dicemberutin dia? Emang gue salah apa?"
Persis seperti saya dan si anak perempuan berseragam putih abu-abu.
Jawabannya pun persis sama: It's not you. It's her.

Ternyata benar-benar bikin rugi punya muka seperti itu.

EVERY DAY ZEN:
People see others in terms of themselves. If you are ambitious, that is the way you see others. If you are greedy, you see others in terms of desire. Bunan

Satu Saja Cukup. Anak, maksudnya!

Jaman sekarang, hari begene, jumlah anak seringkali menjadi pertanda macam mana orang tuanya.
- Kalau anaknya 2: orang tua rasional. Satu kan sepi, dua lebih rame, tapi biaya ngempanin gak terlalu ngeberatin.
- Anak 3: masih rasional, tapi seneng keramaian. Dua anak belum cukup ramai.
- Anak 4: hmm... yang keempat pasti gak sengaja ya? *nada Tantowi Yahya*
- Anak 5: nggg... are you trying to prove somethin' here?
- Anak 6, 7, 8... : okay, okay, we got it. Don't you think you've done enough proving already?

Lalu, gimana kalo anaknya hanya satu? Seperti saya, misalnya. Orang tua macam mana saya dan Papap euy?

Seperti yang sudah diduga, begitu Hikari udah bisa ngomong lancar dikit, jalan lancar dikit, ngompol lanc... udah gak lancar lagi, pertanyaan berikutnya dari orang-orang satu dunia kepada kami berdua adalah "Kapan Hikari mau dikasih adek lagi?"
Nah, ente udah nanya belom sama ntu anak apa die mau dikasih adek? Sampe detik ini sih jawabannya masih "Kagak mau!" dengan nada "What? Do I have to have one?" plus alis mata kiri ditarik ke atas.

Sepertinya, pertanyaan model ini memang standar ditanyakan kepada semua orang yang cuma punya satu anak.
Pertanyaan basa-basi dong?
Gak juga.
Kok?
Soalnya, kalo kita kasih jawaban basa-basi -ibarat cerber- mereka akan melanjutkan pertanyaan mereka sampai berseri-seri...

"Kapan nih bikin yang kedua?"
"Bikinnya sih enak, tapi ngempaninnya kagak enak."
"He, jangan berprasangka buruk sama Tuhan. Banyak yang punya anak segerbong masih bisa hidup kok."
See!

"Hikari kapan dikasih adek?"
"Hikarinya juga gak mau kok dikasih adek."
"Nah, elu jadi bapak ibunya ngajarinnya begimana sih?"
Lah?

"Kapan mau punya anak kedua?"
"Oh, harus ada yang kedua ya?"
"Elu tuh, gak mensyukuri rahmat Tuhan. Banyak orang tua di dunia yang mau punya anak satu aja susah. Elu dikasih kemudahan buat punya anak lebih masa' gak mau?!"
Yah?

"Mau punya anak berapa? Gak cuma satu kan?"
"Nggg... belum tau. Sampai saat ini kayaknya satu dulu deh."
"Lho? Kenapa?"
Nah lo! "Kenapa? Ya... kita mau fokus dulu ke yang ini." Sambil puter otak nyari alasan yang gak bikin kita dirajam si penanya.
"Memang kalau lebih dari satu gak bisa fokus?"
Yah, dia lanjut lagi. "Ya, fokus. Tapi kita belum siap aja sekarang."
"Belum siap gimana?"
Do-oh. "Ya, siapin mental kita, siapin mental Hikari, siapin duit, siapin lain-lain?"
"Kalian tuh kebanyakan siap-siap malah gak jadi!"
"Ya... nanti dulu deh."
"Nanti kapan?"
Arrrgghh..

"Gak mau kasih adek ke Hikari?"
"Gak." Bodo ah. Jawab lempeng aja lah.
"Masa' sih? Mau punya anak satu aja gitu?"
"Emang napa?" Pasang tampang sangar sebelum diceramahin duluan.
"Ah, gila lo. Jangan lah! Masa' cuma satu sih?!"
Yaa... gue dikatain gila.

"Wah, kayaknya udah waktunya kasih adek ke Hikari nih."
"Hehehe..."
"Iya, dong. Satu lagi. Yang perempuan."
Nah, kalo dapetnya laki, gue kudu hamil berapa kali lagi biar dapet perempuan?

Si Papap yang biasanya gak ambil pusing dengan komentar orang, belakangan mulai rese. Bukan, bukannya rese mau punya anak lagi! Tapi rese gak abis pikir 'what's wrong with one child only?' gitu loh! Kalo saya sih udah dari jaman dulu udah rese duluan.
Sebenarnya kita masih bisa menikmati pertanyaan sejenis itu bila yang bertanya mau terima dengan -syukur-syukur mau menikmati- jawaban kita. Padahal seringkali, untuk menghindari diskusi panjang lebar luar biasa gak nyambungnya, kami memberi jawaban yang jujur sejujur-jujurnya: Untuk saat ini, kami ingin menikmati kebertigaan kami. Terima kasih.

Cukupkah?
Ya. Untuk para teman yang mengerti kami mereka akan berhenti bertanya.
Untuk yang lain...
Hahahaha...
Mereka memberikan teori lanjutan.
"Elu pasti trauma karena proses kelahiran yang kemarin ya? Well, let me tell you something. Yang kedua biasanya lebih lancar."
"Anak kedua lebih gampang diurus. Memang sih kemarin itu kondisi Hikari yang sakit-sakitan bisa bikin orang tua trauma. Tapi percaya deh. Kita lebih santai dengan anak kedua."

O-my-god.

Mencari Zen-ku

After having killed all, you see that mountains are mountains, rivers are rivers. -Shoitsu-


Beberapa minggu belakangan, kepala ini penuh, hati apalagi.
Ternyata, bukan perut saja yang bisa terasa penuh.
Ingin rasanya mengurutkan kepala dan hati,
sehingga semua yang memenuhinya bisa terurai dengan baik.
Lalu dicarikan jalannya masing-masing.
Semoga semua akhirnya kembali ke jalannya yang benar.
Tapi sayang...

Sebelum yang kepenuhan itu diurut dan diurai,
hal-hal baru tetap datang memenuhi.
Mendesak kepala dan hati.
Membuat mereka tetap penuh.
Seakan-akan ada ribuan kilometer pita kaset terburai, pita video terbelit-belit, benang berbeda warna tersimpul tak karuan.
Kepala menjadi berdenyut-denyut.
Hati menjadi berdetak layaknya bom. Padahal dia bukan jantung.
Bukankah jantung itu bukan hati?

Bukan. Ternyata hati bukan jantung.
Dia hanya bom waktu.
Dan pemicunya adalah kepala yang berdenyut.
Maka pada suatu hari,
tak jauh dari hari ini,
bom itu PECAH.

Semua Meledak!
Meledak!
Meledak!
Di atas kasur, di bawah bantal.

Ketika semua telah meledak,
mata baru melihat,
gunung tetap menjadi gunung,
dan sungai tetap menjadi sungai.

Kenapa tak kuledakkan saja bom itu dari dulu?
*dasar telmi*

Oleh-oleh dari Lembang

Sabtu-Minggu kemarin kami ke Lembang. Bukan buat senang-senang, well, tapi ada family gathering dari kantor Papap...
Pulangnya, saya dapat beberapa foto yang membuat saya geli.

Yang ini mengingatkan saya pada postingan saya jaman baheula sewaktu nasionalisme saya dipertanyakan. Difoto di depan lapangan Gasibu, Bandung.
Photobucket - Video and Image Hosting

Yang ini pas kita mau keluar tol ke Jakarta. Sumpah saya gak ngerti maksupnya. Angkot kah? Mobil kecil mungil bayar tol hanya Rp. 3500 kah? Ada yang jual mobil kecil asal Pasteur dengan harga Rp. 3500 kah (Na-ah!)?
Photobucket - Video and Image Hosting

Telpon Lagi!

Hari ini, jam setengah delapan malam. Saya sedang bersiap-siap pulang setelah selesai mengajar kelas terakhir setengah jam sebelumnya. Tiba-tiba hp saya berbunyi.

*ring tone Toxic Britney Spears*
"Halo?" kata saya pada nomor tak dikenal itu.
"HE! KAMU DIMANA NIH? KAMU MASIH DIKANTOR, HAH?" suara laki-laki menghardik saya. "DIMANA KAMU?!"
"Halo? Ini siapa?"
"IYA, IYA. KAMU DIMANA?! DIKANTOR? KAMU MASIH DIKANTOR?!"
oke, si barbar ini harus diberi pendidikan sedikit...
"BAPAK MAU BICARA DENGAN SIAPA? HP SALAH NOMER BEGINI MASIH MARAH-MARAH!"
tuuuuuuuuuuut
Pengecut sialan itu mematikan telponnya.

Kalo gak inget kalo yang saya pegang itu hp dan bukannya sendal jepit, sudah pasti akan saya banting karena kesal.
Teman saya tertawa terkekeh-kekeh. Untuk hp dengan suara halus begitu, suara hardikan laki-laki tadi terdengar nyaring di seluruh penjuru ruang guru.
"Suami lo, kali," goda seorang teman.
"Kalo suami gue sampai bernada ato bersuara begitu sama gue, gue langsung putusin itu telpon!" jawab saya spontan.

Moral of the story for me, akhirnya: Papap tak pernah bersuara keras pada saya walaupun dia sedang kesal (kalau marah hampir tak pernah). Tapi, saya juga tak mau tak ikhlas di-suara keras-i. Dia bertemu saya baik-baik, kenalan baik-baik, menikahi saya baik-baik, saya tak rela dikerasi begitu. Respect me, like I respect you. Itu prinsip. Kecuali kalau saya melakukan dosa besar: menelantarkan anak, menyeleweng, membuka aib keluarga, dll.

Moral of the story for the woman who was supposed to take THAT damn telephone: Anda juga tak punya hak untuk dihardik seperti itu!

Telpon Pembangkit Bulu Kuduk

Gara-gara baca postingan si Pak Le', saya jadi teringat kisah ngeselin di tahun lalu.

Waktu itu kami sedang tidur pulas. Jam menunjukkan pukul 2 malam. Gelap. Dingin.
Tiba-tiba telpon di sisi tempat tidur berbunyi.
Saya dan Papap langsung terduduk bangun. Telpon diatas jam 11 malam itu -sejarahnya- tak pernah berisi kabar gembira.

Papap, yang berada tepat disebelah telpon, langsung mengangkat telponnya.
Suara laki-laki yang menangis terisak-isak terdengar di telpon.
Sekarang bayangkan hal ini:
- Malam-malam buta
- Masih setengah ngantuk
- Ada suara orang menangis di telpon
- Suara itu berbahasa Jepang
- Anda tak bisa bahasa Jepang

Papap berjibaku dan berusaha mengerti orang ini. Siapa ini? Tanya Papap berulang kali. Ada apa? Apa yang terjadi?
Semua bahasa dikeluarkan: Inggris, Jepang, Indonesia....
Dia tetap tidak mengerti.

Tiba-tiba laki-laki itu menyebut dua kata: Nama Sensei saya yang berusia 75 tahun dan kata Mati dalam bahasa Jepang.

Sekarang Papap benar-benar panik. Sensei saya itu sudah tua, dan sedang sakit. Apa benar beliau meninggal dunia?
Gagang telpon pun dioper ke saya.
Dengan bahasa Jepang yang sedikit lebih baik dari Papap saya pun mulai muter-muter bertanya: Siapa? Ada apa? Apa yang terjadi?
Jawabannya isak tangis yang semakin kencang, dan tambahan dua kata: cepat kesini!
Saya mendesak lagi: Ada apa? Ada apa dengan Sensei?
Si penelpon bilang, "beliau ada di ruang sebelah. Sudah mati."

Tiba-tiba telpon terputus.
Kami kebingungan, panik, dan putus asa.
Jam 2 malam. Apa kami harus menelpon ke rumah Sensei? Atau lebih baik telpon teman kami yang lain? Jam 2 malam!
Untungnya Papap teringat sesuatu: Ini di Jepang! Kalau ada sesuatu yang terjadi dengan Sensei, pasti istrinya -yang sama sepuhnya- akan lebih dulu menelpon ambulan, daripada menelpon kami. Dan ambulan plus segala kecanggihan sistem darurat Jepang, pasti sudah membereskan sesuatu. Lagipula, kami tak kenal suara laki-laki ini.
Maka kami pun tak jadi menelpon siapa-siapa malam itu.
Sepanjang sisa malam sampai subuh tiba, kami akhirnya duduk bengong di depan tivi karena tak tahu harus melakukan apa.

Pagi-pagi sekali, jam 7, saat saya tahu seisi rumah Sensei saya -biasanya- sudah bangun dan beraktifitas, saya menelpon rumah Sensei. Suara ceria istrinya menjawab.
Eh?
Tak lama suara Sensei saya terdengar nyaring dan riang. Antara bingung dan lega, saya gelagapan bersuara.
"Apa kabar, Sensei?"
"Baik," jawabnya dengan nada sedikit heran. Ya, kami kan baru saja ketemu beberapa hari lalu.
Dan saya pun berbohong, bertanya tentang kursus bahasa Jepang yang akan saya hadiri siang nanti. Saya tak tega berkata, 'tadi malam ada orang yang menelpon kami dan berkata anda telah meninggal.'

Beberapa hari setelah kejadian, ketika Sensei berkunjung ke apartment kami, baru kami menyampaikan cerita telpon misterius itu. Beliau terlihat kaget dan mengusulkan untuk memberitahu polisi.
Polisi?
Ah, thanks, but no thanks.
Berdasarkan pengetahuan kami atas sifat orang Jepang yang prosedural, lebih baik tidak.
Maka sampai sekarang, kami tak tahu. Siapa, apa motifnya si penelpon misterius itu. Sungguh tak lucu tentu saja.

Tapi kalau dipikir-pikir lagi, bagaimana kalau kejadian itu benar adanya?

Pin Pembawa Pusing

Judul diatas bukan obat anti virus penyakit apapun. Pin yang saya maksud adalah nomor Pin ATM yang kemarin bikin saya pusing tujuh keliling.

Ceritanya, pada saat ini saya memegang hanya sebuah kartu ATM dari sebuah bank yang cukup besar. Bukan, bukan Bank-nya si Papap. Kartu ATM ini satu-satunya akses saya pada duit yang tak seberapa tapi penting untuk menyambung hidup. Jadi bayangkan kalau saya tak bisa memakai si kartu!

Ada teman yang bertanya 'Kok saya mau beresiko dengan hanya punya satu kartu ATM -dari bank itu pulak?'. Apalagi saya tak punya credit card samsek. Sebenernya sih saya bukannya ikhlas/nekat/bloon ambil resiko begitu. Tapi keadaan yang memaksa. Soale, waktu saya pulang kampung kemaren, semua rekening tabungan saya di beberapa bank plus kartu-kartunya pada expired, kecuali satu kartu ATM itu. Udah begitu, saya tak bisa pindah dari bank satu ini karena jreng jreng jreng perusahaan tempat saya nguli adalah nasabah bank ini. Lagipula, begimana mau buka rekening di bank lain kalo duit buat ngisi rekeningnya gak ada? Emang bisa pake daun? *nangis bombai goyang india*

Setelah kurang lebih 6 tahun jadi nasabah bank ini kesan saya sih biasa-biasa aja. Belum pernah sangat mengesalkan. Yah, kalo ada tulalit sedikit antara cabang satu dengan cabang lain, masih bisa dimaklumi lah. Pernah ngerasain yang lebih parah soalnya. Atau soal CS yang galak bin judes? Bank ini masih punya saingan yang lebih parah deh. Dan saya juga belum pernah kena masalah sama debit card-nya. Tapiii... ini dia... Diantara bank-bank lain yang pernah jadi langganan saya, bank ini yang paling sering nyuruh nasabahnya gonta-ganti pin kartu ATM!

Dan ini Masalah Besar buat saya! Saya kan paling bego kalo berurusan dengan angka!!!

Apa daya, untuk menyiasati kelemahan (baca: kebegoan) saya yang satu itu, saya pun menggunakan tanggal-tanggal kenangan untuk pin ATM saya. Sialnya, dengan gonta-ganti pin begini, saya kan kehabisan tanggal bo! Tanggal lahir saya, Papap, Hikari, Pernikahan, Emak, Babe, Dua adek saya, nomor telpon rumah, nomor hp orang-orang, semua sudah habis dipake! Toloooonnnggg.....

Kemarin, begitu saya berdiri di depan mesin ATM, sebuah pengumuman sudah nangkring dengan manis: Ubah pin anda dari 4 digit menjadi 6 digit, yaaa....
Saya pun menjerit histeris. Untung si mesin ada di gedung kantor sendiri.
Pak Satpam yang baik budi tersenyum pengertian.
"Iya, Mbak, tanggal segini uang saya juga udah habis..."
"......................................?"

Saya akhirnya tidak jadi mengambil duit, dan sekarang saya bokek sampai ke ujung kantong.

Seriously...

I got in touch with blog more than 3 years ago. My best bud told me about it, but at that time I didn't really pay attention to it. I mean, come on, reading/sending emails was difficult enough with this kind of internet connection. Besides, my work required me to work never at my table so that it was kind of difficult to find time to sit down and write.

Then, Papap went to Japan. Again, my oscar-winning-kind-hearted buddy created a blog for Papap so that Papap could update us with his news and we (our gang and myself) could still get in touch with him. Papap's blog still exists till today.

When I went to Japan two years ago, this same buddy -again- created a blog for me. This blog. He created the blog, instead of me, for a simple reason: I was really a dummy in this internet world. I still am. But, having a lot of time in my hands (when I wasn't trying to cook, cleaning the apartment, or playing with Hikari), I could do more with the blog he created. I could make it live.

When I chose the name for this blog, I chose The Pages. Why? Because the blog was for so many people with so many requests. My parents and some friends wanted me to update them about our new life, but some others needed me to chat only, to talk about things. On the other hand, I got tired writing about our going here and there doing this and that only. I also needed to voice whatever was going on in my mind, without caring so much if my readers understood what I said. So, The Pages, then, because I wanted it to be like a newspaper where you could get all kinds of news about my life with me as the chief editor.

One thing I always make sure about this blog, I always mean what I write, whether it is a fun-light post or a forehead-wrinkling post. Another thing is since the beginning, I've treated this blog and blogging seriously. May be it is because -for me- writing is business. No matter how fun it can be, or whatever form it takes.

Although blogging activities are not, should not, considered something alien anymore nowadays, many people still think blogging is anything but a serious business. I don't blame them. A lot of people seldom think a blog is serious if it consists of daily-life stories. But then, so what?

Now, here it comes the thing that has dumbfounded me recently. I was asked: WHY DON'T YOU WRITE SOMETHING SERIOUS. SOMETHING THAT SHOW YOU CARE ABOUT YOUR SURROUNDING, YOUR PEOPLE, YOUR COUNTRY?
By that, they meant "instead of talking about eating Sate Padang (or not eating it), why don't you write about Corruption, Government, Whatever happens in Society...?"

What do you think my answer was?

It takes more than a resolution....

New Year's spirit doesn't last forever. Three weeks, a month, may be, but not more than that. So, what else is supposed to be said beside HAPPY NEW YEAR, GUYS!!!

To tell you the truth, I'm not New-Year-New-Resolution kind of person. While newspapers, magazines, people (and blogs) have that topic as their headlines, I don't really care much if new year starts in January. Come to think of it, my new year -and my resolutions- begin in March, when I celebrate my birthday. What do yo think of it? Pathetic or Narcissistic?

BUT, I am blessed with having so many friends who are concerned with my well being (considering I am never well). So, when these people who hardly know each other sent me emails with similar questions: what my resolutions would be in 2007, I am obliged to answer. Sorry, though, the reply is written in this blog (you know who lazy I am when it comes to writing similar things to different email addresses). Guys, I know you asked me this question because you know so well I am terrible in fulfilling my resolutions, right?

Well, may be you, guys, are right. My last year resolutions are not successful either. Let's see what I missed: My most important resolution (which is a top secret item) is only half done due to my lack of ambition and discipline. This, surprisingly, has broken my heart so deep... This also makes me realize that when it comes to myself, it takes more than a resolution to change myself. It takes a resolution, 8-day-a-week hardwork, a bunch of prayers, and a lot of policemen to ensure I do whatever it takes to realize my resolution.

So, this year's resolutions will be (and it doesn't include having a second child):
1) Make sure my half done 2006 resolution is done in three months, top! This means no more procrastinating, more hardworking... sigh.
2) End my record of having typhoid fever. Enough is enough!
3) Save more, spend less. (Okaaay, this is going to be D-I-F-F-I-C-U-L-T, like very very difficult)
4) Return the dvds I borrowed from Sir Mbilung. Sekaligus menemui beliau selagi masih di Bogor, or else... sampai jumpa di Tokyo, ya, Sir? (nangis darah)
5) Blog more, blogwalk more.
6) Reply your emails asap.
7) Reply letters more often. (This is the consequence for having friends who are allergic to email)
8) Spend more time with Hikari than reading.
9) Smile more to Papap, no matter how tiring 3-hour driving is.
10) Unpack those boxes we had from Japan. Moss has started to grow. No wonder, since the boxes arrived two months ago...

So, how do my resolutions sound?

Blogger Templates by Blog Forum