Maen Gamelan

Sejak membaca tulisan si Mas ini, saya jadi terkenang-kenang masa beberapa tahun yang lalu: saat saya masih lebih muda dan hidup lebih kurang-sengsara.

Institusi tempat saya bekerja mempunyai perangkat gamelan lengkap. Perangkat gamelan ini bukan sekedar aksesoris. Pada jamannya, institusi ini punya tim gamelan lengkap -dari yang bagian ngetok-ngegong sampe yang bagian nyanyi. Ada bulenya pulak. Mereka bahkan punya pelatih, yang setia melatih dua kali seminggu, dua jam setiap sesinya. Tiap-tiap, mereka bahkan diundang pentas.

Itu jaman dulu. Tim gamelan ini sekarang sudah punah. Sejarah kepunahannya... nah ini... yang bikin saya punya perasaan bersalah...

Ceritanya, pada jaman 7-8 tahunan yang lalu, setiap kali saya dan Barb -sobat saya- selesai ngajar, kita selalu melewati tempat tim gamelan yang sedang berlatih. Sekali dua kali lewat, belum berasa ada getaran-getaran aneh. Belum adanya getaran aneh itu berlangsung selama... beberapa tahun, kayaknya, secara tim itu selalu latihan di tempat yang sama selama beberapa tahun. Apalagi saat-saat itu, saya lagi mabok cinta dengan Sting, sementara si Barb beraliran Bianca Castafiore.

Tetapi, suatu hari, ketika kami melewati ruang latihan itu, kami merasakan ada getaran-getaran aneh. Kami kepengen ngintip yang latihan.

Begitu kami melongok ke ruangan itu, spontan latihan berhenti.
Waduh!

Habis itu, para pemain histeris melambai-lambaikan tangannya dan memanggil-manggil kami supaya masuk. Yang sopan dengan ke-jaim-annya hanya Pak Pelatih saja.

Setelah dipersilahkan masuk, kami sempet menonton mereka latihan, basa-basi tanya ini-itu, iseng-iseng mukulin instrumen, sampai akhirnya mereka dengan suka cita mengajak kita ikut latihan gamelan. Kita udah ge-er aja melihat mereka seantusias itu. Ternyata mereka histeris ngajak kita ikut maen, karena tim itu isinya laki semua...

Singkatnya, kami berdua menjadi pemain terbaru di tim gamelan. Bukan cuma terbaru, tapi juga terbego! Si Barb dengan pintarnya langsung milih jadi pemukul Gong. Saya bilang pintar, karena... dari lagu sepanjang semenit, dia paling nge-gong cuma 5 kali. Sial!

Saya yang kurang pintar. Saya langsung ditarik jadi pemain Saron (tulung dikoreksi kalo ada pakar gamelan disini). Saron itu yang bentuknya seperti keyboard dengan beberapa nada. Cara mainnya, misal: pertama, tangan kanan pukul nada (misal) Do, kedua, pada saat tangan kanan yang sama memukul nada Re, tangan kiri pegang nada Do yang tadi supaya getarannya berhenti. Jadi, begitu tangan kanan mukul nada yang lain, tangan kiri harus siap megang nada yang dipukul tadi. Got it?!

Hasil dari satu kali latihan adalah...
1. Latihan dibubarkan.
2. Diganti dengan les privat Pak Pelatih untuk saya. (Si Barb ngobrol dengan yang lain)
3. Tangan kiri saya benjut-benjut kena pukul tangan kanan yang memegang pemukul Saron.
4. Saya stress. Pak Pelatihnya depresi.

Setelah latihan yang pertama, saya hampir mundur teratur tau diri. Apalagi, saya tuh gak hapal-hapal nama instrumen gamelannya, DAN gak hapal-hapal nada-nadanya.
Pelatih: "Sekarang saron main."
Saya diam.
"Ayo, saron!"
Saya tetap diam. Ngelirik kanan-kiri sambil ngedumel kenapa si saron gak maen-maen.
Barb ketawa ngakak. "DEV! It's YOURS!"

"Do-re-mi!" kata Pak Pelatih.
Saya pukul Do-sol-la-aduh. Aduh itu pas jari saya kepukul lagi untuk yang kesekian kalinya.

Begitulah.
Tapi, teman-teman yang lain terus menyemangati. Akhirnya, saya teruskan berlatih juga sih, walaupun setelah beberapa minggu, Pak Pelatih kelihatannya sudah gak perduli kalau saya memukul nada yang benar atau tidak...

Lalu, datang suatu masa ketika kami harus pentas.
Secara Pak Pelatihnya orang Jawa (ya, iyalaaahhh!), beliau kayaknya gak enak hati kalau tidak menyertakan saya dalam timnya. Jalan keluar yang beliau ambil: saya disuruh nyinden aja.
Barb udah histeris ketawanya.

Saya tak berkecil hati. Karena ternyata bukan hanya saya yang saking begonya jadi disuruh nyinden ajah. Ada satu orang Mas Satpam berbadan tinggi tegap hitam berkumis tebal yang juga disuruh jadi sinden. Lengkaplah tim jadi-jadian kami dengan pesinden yang satu rahwana perempuan, yang satu rahwana laki.

Tapi, ternyata Pak Pelatih gak kuat jantung. Beberapa minggu menjelang pentas, saya, Barb, dan Mas Satpam diberitahu baik-baik kalau posisi kami digantikan pemain cadangan. Kami malah lega.

Setelah pentas terakhir itu, Pak Pelatih gak pernah muncul lagi di kantor. Dan tim gamelan kami pun bubar. Sampai sekarang.

Gara-gara saya kayaknya...

Gambar saron (iya, yang diatas itu), diambil dari sini.

Try this!

Boss, you keep complaining how difficult it is to teach recent-generation students.

I have a suggestion. What if we put this in every classroom?

source: from email

The Zen of Bad Mood

No matter how bad a state of mind you may get into,
if you keep strong and hold out,
eventually the floating clouds must vanish,
and the withering winds must cease. Dogen


I'll be right back.
After I master these particular Zen words...

Hunch

Saya seringkali mendapat hunch. Saya sering merasa sesuatu akan terjadi. Tapi, hunch seperti yang saya punya ini seringnya malah menyusahkan dan mengganggu mood. Terutama, kalau saya merasa it's really something bad. Soalnya, saya kan bukan dukun yang bisa melihat masa depan (catet: saya juga ogah jadi dukun. Gak funky aja, gitu loh B-)).

Yang paling sering dan (hampir) paling pasti terjadi adalah kalau tiba-tiba saya ingat seseorang. Teruuuus, ingat seseorang padahal saya tidak ada keperluan dengan orang itu. Hampir pasti, orang itu akan menghubungi saya, atau malah menelpon saya, atau.... terjadi sesuatu atas dirinya :-S.

Herannya, saya ini gak pernah menang lotere. Saya juga gak bisa meraba atau merasa lotere. Ini kejadian nyata: kalau ada 100 hadiah dan 105 peserta, saya pasti bagian dari 5 orang yang gak kebagian hadiah.

Belakangan, I have a hunch that something big, and probably ugly is going to happen. When, where, who, atau to whom-nya saya gak tau. Akibatnya, saya deg-degan melulu beberapa hari ini. Oleh Papap, saya disuruh bersantaiiiiiii.... yang akhirnya malah ngabisin duit setelah capek keliling mall #-o.

Jadi, sodara-sodara. Maap banget kalo postingan ini agak garing. Soalnya saya butuh pelampiasan, dan si Papap sudah terlalu babak belur untuk jadi korban tampiasnya...b-( .

Gilmore Girls

Pernah nonton film seri tv Gilmore Girls kan?
Masih ingat konflik yang terjadi di film itu kan?
Bagaimana si Lorelai Gilmore selalu berantem dengan maminya -Emily- yang super duper pengatur itu?

Bagaimana urusan sekolah Rory dan urusan golf Rory-Grandpa menjadi ajang tarik-tarikan Lorelai dan maminya?

Ingat dong...

Nah, walau tak separah mereka, saya sedang mengalami episode Lorelai-Emily.
Ceritanya, saat ini kami -saya, Papap, dan Hikari- sedang mempunyai suatu proyek maha besar, maha penting, dan maha berpengaruh pada setidaknya 5 tahun kedepan kehidupan kami. Maaf, proyeknya terpaksa dirahasiakan karena kata orang pamali kalo ribut-ribut duluan. Dan bukan, ini bukan proyek bikin adik buat Hikari.

Saking pentingnya proyek ini, kami mempekerjakan seorang ahli handal. Sekali lagi, ini bukan ahli kandungan. Ahli handal ini kami peroleh atas referensi si Mami yang direferensikan oleh bosnya si Mami yang direferensikan lagi oleh temennya bosnya si Mami.

Masalah dimulai ketika kami -ibarat syuting film- mau meneriakkan kata, 'action!'. Tiba-tiba, si Mami mulai ribut tentang detil A, B, C, D sampai Z. Si Papi rupanya gak mau ketinggalan. Emansipasi Eyang Kakung. Papi ribut tentang detil A1, B1, C1, D1 sampai Z1. Eeeehh, bosnya si Mami gak mau tertinggal pulak. Beliau juga ribut tentang... A sampe Z jilid 2. Lalu semua orang mulai ribut yang mengakibatkan kami berdua (Hikari merasa solider dan ikut ribut minta buku gambar) hanya bisa menganga lebar... Lalu saya berubah menjadi Lorelai Gilmore... Lalu, seperti pada film GG dimana Emily selalu menang, si Mami pun kali ini menang lagi.

Malam itu, saya, Hikari dan Papap, tergeletak di atas tempat tidur sambil menatap langit-langit. Langit-langit kamar, maksudnya. Kami terlalu capek untuk bersuara setelah perdebatan panjang sebelumnya.

Tiba-tiba, Hikari bersuara, "Pap, di Indonesianya kok lama sekali. Kapan Ari pulang ke Jepang."
"Iya, Pap. Kapan?" Sigh
Tidak ada jawaban.
Kami menengok.
Papap sudah ngorok.

Optimis - Pesimis


"The glass is half full."
"Are you sure it's not half empty?"

Saya ini bukan orang yang 100% optimistis. Tapi, saya benci pada orang yang pesimistis. See, I use the word benci. Underlined.

Alasan saya, rasa pesimistis itu membunuh mental, menghilangkan kreatifitas, menghantui usaha. Kenapa gak sekalian aja gali lobang 1x2 meter dan berendam disana?

Si Papap sering bilang kalau saya itu terlalu banyak perhitungan, terlalu perfeksionis, maunya apa-apa tergambar jelas lebih dahulu. Kalau bisa, saya akan mencatat masa 10 tahun kedepan, dengan alasan: just in case. Saya juga paling rewel kalo dikasih tugas dadakan, secara itu berarti saya gak bisa merencakan segala sesuatunya lebih sempurna. Lebih detil, lebih terorganis, lebih berkurang kejutan-kejutan tak manis dibelakangnya. Itu saya, yang mengaku benci pada sifat pesimistis.

Tapi pada suatu siang, ditengah-tengah sesi training yang harusnya saya ikuti dengan cermat, saya malah berhasil membuat belasan bentuk origami karena saya gedeg dan bete abis dengan para nara sumbernya. (Soalnya, kalo saya sengaja tidur, pasti dicolek pake golok sama bos....)

Ceritanya, di suatu siang, di sebuah leadership training, beberapa nara sumber menceritakan pengalaman mereka menggunakan leadership skillsnya. Dan kalimat-kalimat seperti dibawah ini pun terlontar:

"Yah, jangan kaget deh kalo nanti kalian mendapat resistansi dari pihak X. Mereka itu memang susah diberi pengertian."
"Memang ada orang-orang yang enak untuk diajak kerja sama, tapi yang namanya burnt-out Xs lebih banyak lagi. Dan mereka tuh memang udah gak bisa diapa-apain. Lebih baik kita simpan tenaga buat hal lain."
"Orang-orang itu udah gak bisa diomongin. Udah gak punya motivasi deh."
"Sepertinya hal itu gak bisa dipakai di tempat saya deh. Soalnya, di tempat saya itu orang-orangnya gak bersemangat/malas/cynical/burn-out (pilih salah satu)."
"Apalagi kalau ketemu dengan pihak Y. Wah, makin mati aja deh kita..."
"Kayaknya susah ya menerapkan hal itu. Teorinya sih sepertinya mudah, tapi prakteknya..."

Ow, come on! Dimana sih ada pekerjaan memimpin yang gak pake masalah? Emangnya seorang pemimpin punya priviledge seorang pembeli nasi goreng yang bisa pesen gak pake jengkol?! Come on, guys! You are what you think! If you think you can't, then you CAN'T!

Suatu hari, untuk alasan promosi jabatan, saya diwawancara oleh seseorang yang cukup menjabat dibanding saya di kantor.
"How will you handle people who don't want to change (for the sake of improvement)?"
"I'll do this, and that, and this, and that, because it's this and that."
"But, they still find it difficult to change!"
"Well, I can do this and that, because of this and that."
"They WON'T change!"
"Well, at least I'll try first. I strongly believe people want to change. It's our job to know how to motivate them."
"But these people won't change! They are not motivated!"
"I don't believe so!"
Setelah itu saya sukses mendapat nilai gagal dari beliau. Luckily, there were other people who were smarter than him...
Balik lagi, ke acara leadership training tadi. Ketika seorang kolega mencolek saya dan bertanya,
"What do you think, Dev?"
"I think, those people suck!"

Don't you agree with me?

With Lots of Thanks

Pak Dhe dan Bu Dhe Salabenda,
Thank a billion!

I've just started to read the first 28 pages, but I've already got enlighted (see, it's that powerful!). It's like getting the answers I've been trying to find ^:)^ .

For you all, I'll write the review of the book, of course after I finish reading it :D . And, I have one request for everyone reading this: If you happen to know books about Right-brained children, please inform me. Thaaannnk youuuu!

Freedom of Speech

Sekeluarnya kita dari minimarket di depan komplek, seorang bapak memarkir motornya di dekat kita. Hikari menggoyangkan tangan saya.

"Ma, bajunya TENTARA."
Si bapak berkumis berbadan besar itu memang memakai jaket loreng.
"Iya."
"Ma," dengan suara lebih kencang dan tangan menunjuk, Hikari menyambung, "BAPAKNYA PERUTNYA GENDUUUUT, TAPI BAJUNYA TENTARA YA!"

That, ladies and gentlemen, is what I call freedom of speech going bad...

Blogger Templates by Blog Forum