Topeng? Asli?

Sewaktu sedang ngobrol dengan Pak Dhe ini, saya bilang pada beliow kalau saya itu aselinya pemalu. Tak disangka, si Pak Dhe malah komentar berbeda.
"Aslinya sih gak pemalu. Tapi topengnya iya, kali."

Jawaban yang singkat, tajam, dan daaleeemmm...
Membuat saya mikir: He? Jangan-jangan memang saya kebalik-balik make topengnya? Yang saya pikir aseli malah topeng dan sebaliknya?

Kalimat beliow kembali terngiang-ngiang sewaktu tadi ngobrol dengan Barb, kawan saya. Kita lagi ngegosipin seorang kawan perempuan yang gak pernah nongol kongkow-kongkow lagi. Padahal, kongkow-kongkow itu tempat kita mencari tambahan duit.

"Katanya, dia gak punya ongkos buat dateng kemari."
"Bukan cuma ongkos. Dia lagi stress berat karena uang buat makan sehari-hari pun gak punya."
"Hah?! Suaminya dipecat?"
"Suaminya gak pernah pulang lagi. Katanya pindah ke lain sarang, eh, hati."
"Bajingan!"
"Bajingan juga!"
"Padahal mereka dulu kan pasangan serasi. Si cewek selalu ngalem suaminya yang romantis luar dalem walaupun mereka sudah punya 3 anak."
"Iya. Si cewek juga bilang kalo si suami tetep manjain dia walopun badannya melar kesana-sini. Kata suaminya cinta gak pandang berat badan."

Kami terdiam. Bajingan, begitu rasanya kalau pikiran kita bisa teriak.

Lalu si Barb melanjutkan.
"Jadi aselinya keluar ya."
"Aselinya? Apa bukan lagi kasus aja karena dulunya dia gak begitu."
"Justru ini aselinya, kali. Dia udah gak nyanggup make topengnya lagi."

Dan saya teringat percakapan saya dengan ksatria nginggris diatas.
Anda sekalian pada pake topeng ataw muka aseli sekarang ini?

#?%'*@!?#@

Hikari senang nonton film kartun. Sama lah seperti anak lain. Walaupun bahasa Indonesia yang dipakai di film kartun masih lebih aman daripada program tivi yang lain (misal: sinetron), kadang-kadang kita masih kecolongan. Maka belum tentu menonton film kartun anak itu bebas dari BO alias Bimbingan Orang Tua. (Dicatat juga kalau kartun Shin-chan bukan untuk anak-anak loh!)

Tahukah anda kalau dubbing agency disini menerjemahkan kata 'Fool' menjadi 'Bodoh'?

Ketika kami baru menetap beberapa minggu di Jakarta, eh, pinggiran Jakarta, kata tak pantas pertama Hikari adalah... Bodoh. Lalu dia berlarian kesana kemari di depan tamu kami sambil teriak, "Mama bodoh. Papa bodoh. Eyang bodoh. Om bodoh. Hikari bodoh."
Rasanya saat itu saya ingin memanggang Spongebob dibawah sinar matahari terik musim kemarau!

Sewaktu saya tanya pada Hikari apakah dia mengerti arti kata Bodoh, jawabnya tentu saja Tidak Tahu.
"Bodoh itu apa, Ma?"
"Tidak pintar."
"Tidak pintar?"
Hikari tidak mengerti. Cara satu-satunya hanya menerjemahkan kata itu ke bahasa Jepang.
"Hikari tahu baka kan?"
"Gak boleh ngomong baka, Ma." (Dia ingat pernah dikoreksi gurunya tentang kata baka ini yang artinya kurang lebih sama dengan Fool, Stupid, etc.)
"Nah, bodoh itu sama dengan baka."
Untuk kasus baka, persoalan terpecahkan. Hikari langsung membuang kata Bodoh jauh-jauh.

Tadi malam, baru saja, Hikari ngejahilin Eyang Kungnya. Jempol kaki Eyang Kung yang sedang tertidur di sofa, diikat ke kursi. Begitu Eyang Kungnya terbangun, Hikari tertawa-tawa riang.
"Siapa nih yang ikat jempol Eyang? Hikari ya?"
"Bukan! Itu dia, Eyang. Si pecundang."

Coba tolong saya memberi penjelasan semudah mungkin buat Hikari untuk kata satu itu...

Lebih gampang cari pacar?

Seminggu mantengin Hikari sakit plus dapat tugas tambahan: ngurus rumah beserta isinya (2 mbah, 3 laki-laki bangkotan, 1 anak kecil sakit, 3 kura-kura, dan sejibun ikan hias) karena PRT pulang kampung (red: baca TATI) membuat saya tepar di akhir minggu. Alhamdulillah, walau di akhir minggu pertama saya sempat meriang merem melek, Hikari sudah mulai membaik. Dengan catatan, kalau dia gak banyak pecicilan.

Minggu ini PRT saya yang satu rencananya balik ke rumah kami. Tati tentu saja tak ikut balik. Sebagai gantinya, si bibi membawa kerabatnya yang lain. Fakta ini -yang tadinya membuat saya berduka sekali- sekarang membuat saya deg-degan. Ganti PRT berarti harus training ulang, kan? Padahal saya itu bener-bener terrible PRT trainer. Stress lagi deh.

Kalau ingat si Tati, saya makin sedih. Walau masih kecil dan belum pengalaman ngasuh anak (ikut dengan saya sejak Hikari umur 1.5), anak itu pintar. Dan yang pasti, dia ngerti adat saya yang nyebelin dan moody. Dia gak pernah saya ajarin harus gini gitu karena saya paling mati gaya kalau harus ngajarin kerja PRT.

"Gini loh caranya masak. Ini kompor. Ini lada. Ini sabun cuci..."
"Emangnya mbak bisa masak ya?"
"Nggak sih. Ini juga sok tau aja."
See what I mean?

Dengan si Tati, saya hanya ngerjain apa yang harus dikerjain. Learning by doing. Lalu, dengan cerdasnya, dia memperhatikan diam-diam. Karena kalau dia kebanyakan nanya, jawaban standar saya adalah 'tanya Ibu aja deh'. Dia memperhatikan jam berapa saya ngebangunin Hikari. Apa yang saya lakukan setelah itu. Bagaimana cara saya memandikan, memakaikan baju, memberi makan, sampai menidurkan Hikari. Lama kelamaan, dia melakukannya persis sama dengan saya. Tanpa perlu instruksi verbal. Hanya kadang-kadang saya kasih komen atau instruksi, sisanya benar-benar hasil belajar dirinya sendiri. Selain itu dia ikut menerapkan nilai-nilai (values) yang saya berikan ke Hikari. Misalnya, dia tahu kalau saya ingin Hikari makan sambil duduk manis (dan tidak berlarian kesana-kemari), maka dia akan mengikuti prosedur saya. Atau dia tahu kalau sepulang sekolah Hikari harus melakukan A-B-C, ya dia ikuti tanpa harus saya awasi. Kalau Hikari sedang main, si Tati juga ikut ngajarin alfabet, misalnya, karena dia melihat saya melakukan hal yang sama. Nah, model PRT seperti Tati ini rasanya tidak diproduksi lagi. Pengasuh Hikari yang pertama -walaupun jagoan ngasuh anak- seringkali memangkas prosedur dan nilai-nilai terapan saya. Akhirnya dia malah menerapkan nilai-nilai yang dia anut....

Maka, ketika kali ini Hikari akan mendapat pengasuh baru, saya mulai bertanya-tanya 'What if?'.
"Yang penting dia bersih," kata si Papap.
"Ya, itu harus. Tapi dia juga harus sayang anak. Perhatian," jawab saya.
"Kamu ajarin dia untuk ngurus Hikari," kata Papap lagi.
"Yang penting jujur," kata si Mami.
"Jangan yang bodo banget. Nanti bisa dikerjain si Ari," kata si Babe, yang sering jadi bulan-bulanan Hikari.
Dia harus begini.
Dia harus begitu.
Dia harus seperti ini.
Dia harus seperti itu.

Sigh.
"Pap?"
"Oi?"
"Kayaknya lebih gampang cari pacar daripada cari pembantu."
"Hihihi..."

Apa yang salah?

Hikari sakit.
Gejala typus.
Sewaktu hakim berjubah putih bersenjatakan stetoskop dan bersuara Tantowi Yahya itu mengeluarkan vonis atas selembar kertas, saya kontan duduk membeku.

"Gak mungkiiiinnn, dok!"
Mulut saya pun mengeluarkan serentetan suara penuh alasan dengan kecepatan tinggi.
Typus, dok?
Gejala.
Whatever.
Ya, hal seperti ini bisa terjadi.
WHAT?!
Dia gak pernah jajan, Dok. Kebersihannya selalu saya perhatikan. Selalu cuci tangan, kaki, dan muka hampir 1000x sehari (yang langsung diamini oleh Papap). Ganti baju sehari lebih dari 5 kali (Papap mengamini lagi). Mandi bisa 4 kali minimal (Papap ngangguk lagi). Kamarnya selalu dibersihkan pagi dan sore dengan antiseptik (Papap ngangguk-ngangguk). Dia gak pernah main sembarangan, apalagi yang kotor-kotor. Bla, bla, bla, bla...
Di rumah ada yang sakit?
Gak ada.
Dia sudah sekolah?
Sudah. TK kecil.
Bu, di sekolah kan macam-macam ada loh...
WHAT??!!
Apa itu berarti saya harus mengeluarkan dia dari sekolah?

Melihat wajah berpikir saya, Papap langsung memotong. He knows how far I would go. AND he doesn't want to go down that road.

Sudah 4 hari dan saya masih berkutat dengan pertanyaan 'apa yang salah?'.
Saya merasa gagal jadi ibu.
Saya merasa gagal melindungi.
Saya meleleh mendengar Hikari mengigau dan menceracau dalam demam tingginya.
Apa yang salah?
Typus, gitu loh.
Yang katanya seseorang bisa terkena karena tidak higenis. TIDAK HIGENIS?!
Please...
Kurang paranoid apa lagi SAYA ini?

Dan anda tau apa yang jadi ironi?
Diantara kita bertiga, Papa yang paling bocor ke-higenis-annya.
Dan dia tak pernah kena penyakit ketidak higenisan....
Tell me, how fair life can be?

T - A - T - I

Saya sedang berduka.
Dan itu bukan karena kedua pekerja rumah tangga saya pulang kampung mendadak.
Juga bukan karena saya harus absen mengajar dan tinggal di rumah.
Dan APALAGI bukan karena saya harus mengurangi 8 jam tidur menjadi 5 jam saja.
Bukan.

PRT pulang kampung dengan very very short notice (less than 24 hours) itu sudah biasa di rumah ini.
Juga dengan kedua PRT ini.
Mereka -bibi dan ponakan- sudah bekerja di rumah kami selama beberapa tahun sehingga kami sudah hapal kebiasaan mereka.
Yang justru membuat saya berduka adalah
ketika salah satu PRT saya, yang paling kecil, belum lagi 17, si pengasuh Hikari, yang bernama TATI terisak-isak ditelpon meminta maaf.
Dia tak boleh kembali ke Jakarta.
Alasan?
Ini bukan alasan.
Ini bullshit!

Dia dipaksa kawin oleh bapaknya...

Kata bibinya -yang sudah bolak-balik melarikan diri ke rumah kami ketika dipaksa kawin- di kampung mereka, menjadi janda itu lebih terhormat daripada jadi perawan tua.
Kata bibinya, teman-teman sepantaran Tati sudah pada kawin-beranak-dan menjanda.
Hanya beberapa bernasib baik dijadikan istri kesekian.
Kata bibinya, Tati akhirnya memutuskan untuk tunduk pada titah sang bapak,
atas dalih berbakti pada orang tua.
Karena itu saya berduka.

Bagi orang, si Tati itu bodoh karena pasrah dan tak mau lari.
Bagi saya, si Tati itu pemberani.
Dia jauh lebih berani dari saya ketika saya memutuskan untuk siap menikah.
Dan usia saya waktu itu 26.

Kalau saya jadi Tati,
dipaksa kawin diusia belum lagi 17,
saya pasti akan melarikan diri.
Karena buat saya,
melarikan diri lebih mudah daripada menikah...

Tati tidak melarikan diri.
Dia memutuskan untuk menyiapkan diri.
Dia pemberani.
Tapi toh saya tetap berduka.

Duit Selipan

Lagi bengong-bengong muter otak gimana caranya nyari tambahan uang jajan, tiba-tiba sesuatu terlihat menyembul dari kantong tas kerja diatas meja.

He, apa itu?

Temuan saya ternyata mengejutkan! Dari kantong tas, saya berhasil mendapatkan duit selipan sebanyak Rp. 20,000. Lumayan buat beli 10 teh botol...

Bukan sekali ini saja duit selipan memberi saya kejutan manis, dan seringkali malah menyelamatkan nasib saya (misal: yang tadinya gak punya duit tol, jadi bisa naek tol terusan deh). Akhirnya, setelah dipikir-pikir, saya mau menjalankan progam keuangan baru: Managing Duit Selipan!

Gini caranya:
1) Kalau dapat kembalian uang receh besar (paling kecil Rp. 1000) jangan langsung taruh di dompet. Selipkan saja di kantong celana, kantong jaket, kantong tas, kantong jas, dan kantong-kantong yang lain. YAKINKAN, kalau semua barang berkantong tadi adalah MILIK ANDA, bukan milik orang lain. Kalau barang itu milik orang, namanya jadi Duit Nyumbang. [-)

2) Setelah uang receh tadi diselipkan, langkah selanjutnya adalah LUPAKAN dimana anda menyelipkan duitnya. Kalau tempat selipan diingat-ingat terus [-X, itu namanya Nabung.

3) Duit selipan jangan lebih dari Rp. 20,000. Kalau anda punya uang Rp. 50,000 atau malah Rp. 100,000 mending ditabung di bank atau ditaruh di dompet buat belanja deh. Dihibahkan ke saya juga boleh =.

4) Walau anda harus melupakan tempat selipan tadi (seperti pada poin 2), ketika periode BU (alias Butuh Uang) mendera anda, ingat-ingat kembali posisi duit selipan anda. Bergerilya-lah dan temukan kembali duit selipan anda. Jangan sampai anda lupa 100% posisinya karena fungsi duit selipan adalah untuk menyelamatkan nasib anda disaat darurat. Kalau gak bisa ditemukan, ya gak selamat lah diri anda 8-.

catatan: poin 4 selalu terjadi pada Papap. Dia selalu amnesia dimana dia menyembunyikan duit selipannya. Untuk mengatasi bencana ini, saya menyuruhnya menyelipkan uang DIA di kantong-kantong milik SAYA... ;)

Oke, selamat menyelipkan duit!

Debt Diet

Terinspirasi oleh tayangan Oprah tentang Debt Diet, saya memutuskan untuk melewati tanpa melirik apalagi menoleh tukang martabak keju kesukaan saya. Padahal saya sempat melihat longokan heran si tukang dari kaca spion mobil. Maaf, bang. Saya lagi diet.

Tidak seperti prinsip hidup saya yang dengan lantang berteriak “Life is too short for a diet” (yang membuat saya disemprot seorang teman/psikolog terkenal dengan balikan kalimatnya “Life will be a lot shorter if I don’t!”), diet yang macam ini benar-benar saya butuhkan.

Bukan, bukan karena saya punya debt alias hutang. Justru hutang saya NOL. Saya gak punya credit card dan sumber hutangan saya yang lain –si Mami- memberi resiko terlalu tinggi bila dihutangi (misal: mengubah saya menjadi supir pribadi, atau menjadi tukang suruhan ini itu dalam waktu tak terbatas tanpa boleh protes). Masalah justru timbul bukan dari hutang saya yang nol. Masalah justru datang karena jumlah duit saya sialnya berbanding lurus dengan hutang saya. Jadi, hutang nol, pemasukan duit juga nol. Lah, kalo masuk kosong tapi keluar deras, bisa jatuh miskin saya ini. Hmm… koreksi. Saya sudah jatuh miskin.

Debt Diet di Oprah menggugah rasa kemiskinan saya. Kalau para pasien Oprah yang berhutang ribuan dollar dari puluhan kartu kredit mereka aja bisa sembuh, masa’ saya yang tak berhutang tak bisa sembuh dari pengeluaran-pengeluaran tak perlu?! Maka, tukang martabak, tukang mie ayam, tukang teh botol, dan para tukang makanan yang lain pun menjadi korbannya. Ternyata, penyakit pengeluaran saya memang di jajan makanan-makanan enak.

Jalan seminggu-dua diet saya ini cobaan mulai berdatangan. Tentu saja cobaan pertama datang dari tukang sate padang yang kemunculannya bak bis transjakarta itu; setahun sekali tapi gak janji. Cobaan yang lain datang dari Hikari yang menganggap supermarket mini di dekat rumah sudah seperti rumah sendiri. Cobaan yang paling berat tentu tidak mengkonsumsi teh botol yang sudah menjadi bagian dari darah saya (tiap hari gitu nenggaknya). Tapi, ada cobaan lain yang ternyata lebih berat lagi: undangan pesta ulang tahun! Secara saya itu berasal dari keluarga super besar, tiap bulan bisa ada dua atau tiga pesta ulang tahun. Dan, tiap tamu kudu bawa kado, bo!

Apa yang terjadi kalau saya tidak bawa kado barang secuil pun? Kalau yang ulang tahun anak kecil, saya bisa di demo tangisan tak berkesudahan. Kalau yang ulang tahun sudah bangkotan, saya bisa didera celaan tak berkesudahan juga. Dan celaan yang paling menyebalkan adalah “ya, udah. Kalo gak bawa kado, kasih Yen juga boleh kok.”

Untung sodara, kalo bukan sodara udah saya anggap bukan sodara deh!

Sesuai dengan salah satu metode Debt Diet-nya Oprah, si pasien harus come clean dengan orang-orang disekitarnya kalau dia sedang berusaha mengurangi hutangnya. Ini dimaksudkan supaya orang-orang disekitarnya mengerti kalau mereka menolak ajakan makan diluar dan acara senang-senang lainnya. Buat saya, metode ini bukan masalah. Lah, saya pan biasanya memang nyablak aja kalo ngomong. Kalo lagi gak punya duit, ya bilang gak punya duit. Gitu aja kok susah amat? Sayangnya, dengan kondisi kami yang baru pulang dari ‘luar negeri’ orang menjadi susah untuk percaya. Pikir mereka, kita kaya aja. Mereka mana perduli kalau kita justru ngirit ini itu di luar negeri biar gak jadi gelandangan. Di negeri ini semua yang dari luar negeri tercium bau dollar dihidung orang-orang...

Walau sering didera ledekan sodara-sodara, saya masih bisa super cuek tak sakit hati. Sudah terlatih seumur hidup bergaul dengan Rahwana-Rahwana itu karena. Lagipula, yang namanya sodara, jahil diluar baik hati di dalam. Paling banter senjata pamungkas mereka adalah “ya deh, tahun ini gak kasih kado, tapi tahun depan gue minta BMW seri terbaru ya.”

Namun ketika ada seorang teman-tak-dekat berkomentar begini, saya pun meradang.

“Rumah lo dimana sekarang?”
“Masih nebeng sama emak babe?”
“Loooh kok gak beli sendiri?”
“Gak punya duit. Mau beliin?”
“Halaahh… alasan lo gak punya duit padahal tabungan Yen lo berjuta-juta di bawah bantal. Basi lo.”
“Kalo besok mayat lo ditemukan di kali termutilasi, itu gue pelakunya...”

Sayang, metode Debt Dietnya Oprah gak membahas soal unsuccessful attempt to be honest.

Mem-bilingual-kan Anak

Tadi pagi saya menonton acara tivi dengan presenter Ferdi Hasan dan Rieke Dyah. Salah topik hari ini adalah “pengajaran bahasa asing untuk anak-anak”. Sepertinya topik begini sudah jadi topik umum di jaman sekarang, eh? Agak berbeda jaman saat Hikari baru lahir dulu.

Di liputan itu, diperlihatkan beberapa sekolah pra-SD yang punya kurikulum bilingual maupun total English. Lalu ada dua orang narasumber yang berbicara tentang pengalaman anak-anak mereka dengan multi languages. Apa yang terjadi? Ini dia yang membuat saya tergerak untuk menulis isu multilingual learners, sekaligus menjawab pertanyaan banyak orang kepada saya tentang Hikari dan pengalamannya bersinggungan dengan bahasa asing di umur semuda ini (sekarang 4 tahun).

Ibu pertama, punya dua anak; sulung laki-laki usia 4 tahunan, kedua perempuan usia 3 tahunan. Ibu ini memasukkan kedua anaknya ke sekolah berbahasa Indonesia, Inggris, dan Mandarin. Di rumah, kedua anaknya juga berbahasa Inggris. Yang terjadi adalah si sulung berbicara dalam bahasa campuran, cenderung acak-acakan, dan seringkali dengan gesture. Tapi si ibu dengan optimis berkata kalau sejalan dengan umur, si sulung akan bisa melewati periode bahasa acak-acakan ini.

Ibu kedua anak pertamanya, perempuan, harus dibawa ke psikolog dan diterapi karena tak juga bicara. Latar belakangnya, pada usia masih toddler dia dibawa ke Jepang selama 3 tahun. Disana –walau tidak sekolah- si anak bersinggungan dengan bahasa Indonesia, Jepang, dan Inggris. Persis Hikari. Ketika mereka kembali ke Indonesia, si anak ditolak masuk sekolah manapun karena disangka autis. Gara-garanya anak ini hanya bisa bahasa bubbling, tak ber-‘kata’, hanya suara tak jelas –dia menyebutnya bahasa planet. Sang ibu pun kapok dan trauma dengan soal multilingual ini.

Lalu, bagaimana dengan Hikari dan bahasa asing? Sebagai seorang guru bahasa Inggris, godaan-rayuan-tuntutan-tekanan dari orang lain terhadap saya untuk membuat Hikari langsung bisa berbahasa Inggris sejak lahir sangat dahsyat! Mungkin mereka berpikir 'emaknya guru bahasa Inggris, anaknya pasti keluar langsung cas cis cus dong'. Tapi, justru saya yang menolak membuat Hikari bilingual sejak bayi. Papap pun seide dengan saya. Kami, saya terutama, justru ingin membuat Hikari berbahasa Indonesia yang baik dan benar sampai ke titik komanya.

Alasannya:
1) Saya prihatin melihat murid-murid saya yang -berbahasa Inggris tentu masih susah-berbahasa Indonesia yang baik pun tak bisa. Banyak penelitian menyebutkan bila seseorang tak mampu berbahasa yang baik, orang itu juga tak bisa berlogika (mengambil kesimpulan) yang runtut, apalagi menyampaikan hasil pikirannya dengan jernih dan runtut. Ini alarm pertama saya.
2) Berdasarkan referensi-referensi yang saya baca itu, saya mengambil kesimpulan bahwa Hikari harus menguasai satu bahasa dulu dengan baik. Daaannn karena kami orang Indonesia, juga karena kami tak punya rencana ambisius untuk mengirim Hikari sekolah ke luar negeri (ambisius, karena buat makan sehari-hari aja masih mikir. Ini alarm kedua saya.), SATU bahasa yang harus dikuasai benar oleh Hikari adalah tentu saja Bahasa Indonesia dong.
3) Poin ketiga ini terus terang 'teori' saya pribadi. Saya berteori kalau Hikari sudah menguasai satu bahasa dengan baik dan benar, dia akan lebih cepat menyerap bahasa asing. Landasan teori saya, kalau Hikari sudah paham -tanpa sadar, tentunya- struktur satu bahasa, dia hanya tinggal memanipulasi struktur bahasa itu dengan kosakata bahasa asing. Tentu, grammar tiap bahasa berbeda, tapi kan yang diperlukan oleh seorang anak kecil yang first learner adalah vocab. Menurut saya.
4) Saya juga sering mendengar, melihat, dan mengalami sendiri anak-anak yang menjadi 'silent' akibat multi languages exposure yang dia terima. Anak-anak ini ada yang tak bisa 'bicara' (hanya bubbling, noise tanpa arti) sampai usia SD sehingga mengalami stress dan butuh terapi. Beberapa orang optimis bilang silent period ini hanya sementara, toh nantinya si anak akan langsung berbicara dalam lebih dari dua bahasa atau lebih. Maksudnya, diam sebentar tapi langsung nyerocos dua sekaligus. Maaf, saya tak mau ini. Saya memilih anak saya tertunda kemampuannya berbahasa asing, daripada dia mengalami silent period dan tak bicara sama sekali. Siapa yang jamin silent period ini akan berakhir dalam sebulan, dua bulan, setahun? Lalu selama periode itu, bagaimana anak saya mengkomunikasikan perasaannya, pikirannya? Bagaimana? Dengan tantrum? Ini alarm ketiga saya.
5) Saya tak bisa menyediakan lingkungan yang suportif dan otentik buat Hikari untuk ber-bilingual. Teorinya, seorang anak akan lebih cepat (dari segi penyerapan dan hilang kebingungannya) berbahasa asing bila lingkungan sehari-harinya mendukung. Orang tua harus selalu berbahasa asing dengannya sehingga pemakaian bahasa asing ini menjadi wajar, seperti di negeri asalnya. Duh, penghuni rumah saya sih memang multilingual, tapi Inggris bukan salah satunya. Saya menyadari betul keterbatasan kami ini. Ini alarm keempat.
6) Berdasarkan pengalaman, saya tak terlalu rusuh ingin meng-Inggris-kan Hikari sedini mungkin. Kata Papap, dia juga baru belajar bahasa Inggris pas SMP kok. Toh, sekarang dia bisa juga menguasainya. Terdengar menyepelekan? Ah, enggak. Hanya mencoba realistis. Lagipula, saya, walaupun mendapat exposure dari bapak saya yang bicara tiga setengah bahasa (pakai setengah, soalnya yang bahasa Arab cuma bisa baca tulis gak bisa ngomong hehehe), juga tak mendapat pengajaran bahasa Inggris khusus sejak kecil. Sistem bapak saya adalah sambil lalu sambil ngobrol sambil main, nanti juga nyangkut. Berdasarkan pengalaman kami berdua itu, kami pun yakin Hikari akan baik-baik saja walau tak bilingual sejak orok.
7) Kemampuan Bilingual berarti kemampuan bicara dalam dua bahasa dengan sama baiknya. Hanya saja saat ini banyak sekolah yang justru menitik beratkan pada bahasa Inggris. Akibatnya, si anak hanya bisa berbahasa Inggris, dan malah tidak bisa berbahasa Indonesia. Jadi tidak ada bedanya antara anak Indonesia biasa dengan anak ini. Keduanya sama-sama bisa satu bahasa saja. Si anak yang berbahasa Inggris tidak menjadi bilingual speaker mengingat kemampuan bahasa Indonesianya juga pas-pasan.

Setelah alasan-alasan kami itu terkumpul dan terkomunikasikan dengan baik antara saya dan Papap, ini lah yang terjadi:
1> Saya membacakan buku untuk Hikari sejak dia baru lahir. Sebagian alasannya adalah saya sering mati gaya untuk urusan menemani bayi bermain. Daripada nyanyi dan berbahasa bayi yang malah akan membuat saya diseret ke pos hansip akibat mengganggu ketentraman masyarakat, saya bacain buku aja buat Hikari.
Tapi, walaupun buku-buku yang saya baca itu berbahasa Inggris (buku berbahasa Indonesia untuk anak balita yang berkualitas bagus masih jarang pada jaman itu), saya tetap menggunakan bahasa Indonesia. Kalau di buku itu ada gambar Giraffe, saya akan bilang ‘ini gambar jerapah’ dan bukan ‘this is a giraffe’.
2> Saya mengusahakan –setengah mati tentunya- berbahasa Indonesia yang baik dan benar bila berbicara dengan Hikari (yang waktu itu masih orok), juga bila sedang berada di sekitar dia. Saya juga memaksa Papap melakukan hal yang sama. Susahnya setengah mati apalagi saya pengucap Kagak dan bukannya Tidak. Lebih susah lagi kalau kami sedang berkunjung ke rumah Eyang saya yang berbahasa Jawa dan ke rumah saudara besar Papap yang berbahasa Betawi. Tapi kami maju terus pantang mundur, bo!
3> Saya acap kali memberi pengertian kepada anggota keluarga yang satu rumah dengan kami (termasuk pembantu) untuk bicara bahasa Indonesia yang baik kepada Hikari. Usaha ini termasuk memperbaiki kosakata pengasuh Hikari yang asal Tasik, mengoreksi kosakata bahasa Jawa Mami saya (yang membuat saya disemprot habis), dan mengingatkan Papap untuk berkosakata Bahasa Indonesia dan bukannya Betawi. Saya juga seringkali keserimpet soal ini terutama kalau lagi ngobrol dengan adik-adik saya.
4> Usaha yang berjalan sejak Hikari baru lahir membuahkan hasil. Hikari lebih cepat bicara daripada berjalan (oke deh, ini sebenernya juga bukan achievement yak?). Pada usia kurang dari 2 tahun kosakatanya sudah banyak dan baik. Pada usia 2.5 tahun dia sudah bisa membuat kalimat yang baik, dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, secara struktur dan pengucapan.
5> Ketika saya lihat bahasa Indonesia Hikari sudah baik, saya mulai menggunakan kosakata bahasa Inggris. Ia berusia 2 tahun waktu itu. Bila kami sedang membaca buku, saya akan berkata begini, “Ini Jerapah. Bahasa Inggrisnya Giraffe. Jerapah. Giraffe.” Saya selalu menyebut ‘Bahasa Inggrisnya…” untuk membuat dia mengerti bahwa kata itu ‘berbeda’ dari bahasa yang biasa dia pakai. Sampai usia Hikari 2.5 tahun, bahasa Inggris yang saya berikan ke Hikari hanya berbentuk kata. Saya belum menggunakan satu kalimat lengkap semisal ‘Sit down, please’ sesuai dengan alasan saya nomor 5 diatas; kondisi saya tak bisa menjadikan penggunaan kalimat tadi seotentik mungkin.
6> Ketika kami pindah ke Jepang, usia Hikari 2.5 tahun. Di Jepang, Hikari mendapat exposure bahasa Inggris (di apartment dan dormitory, juga dengan teman-teman Papap) dan bahasa Jepang, tentu saja. Pada saat ini lingkungan kami mendukung penggunaan bahasa Inggris. Maka saya baru menggunakan kalimat dan ekspresi bahasa Inggris secara lengkap kepada Hikari. Dari mulai ‘Sit down, please’ atau ‘Say, thank you’ dsb. Papap tetap dengan bahasa Indonesianya. Hikari sedikit-sedikit bisa menggunakan kalimat/ekspresi yang kami ajarkan tapi dia pun belum fasih/fluent. Untuk bahasa Jepang, kami hanya mengenalkan dia dengan kata/words karena kami sendiri juga tidak fluent. Yang membuat kami tersenyum puas adalah Hikari sanggup memanipulasi bahasa. Dia bisa berkata, ‘Aku melihat Bees disana’. Buat kami, Hikari sudah melek Parts of Speech. Dia tahu harus menaruh kata benda dimana.
7> Kemampuan bahasa Jepang Hikari diasah ketika masuk sekolah di usia 3 tahun pas. Di sekolah ini Hikari tak mendapat penerjemah. Bahasa yang digunakan hanya satu; bahasa Jepang. Satu bulan pertama, Hikari terlihat berusaha menyerap semua bahasa yang dia dengar. Mungkin juga dia sedang berusaha me-make sense bahasa-bahasa tadi. Hasilnya, Hikari seringkali mengganti kata yang dia tidak tahu dengan bahasa planet, yang terdengar seperti orang nggerundel. Hanya saja dia tidak terlihat stress, malah happy-happy saja. Setelah lewat satu bulan, dengan vocab yang lebih banyak, semua kata yang tadinya dia lafalkan seperti bahasa planet sudah diganti dengan kata bahasa Jepang yang benar. Kadang, struktur bahasa masih pakai bahasa Indonesia, tapi dengan vocab bahasa Jepang. Dia memanipulasi struktur bahasa: Dia bisa bilang ‘Aku gohan mau makan’ untuk ‘boku wa gohan tabetai (struktur bahasa Jepang S-O-V bukan S-V-O).
Bulan kedua, Hikari mulai lancar berbahasa Jepang. Struktur sampai aksennya pun sudah bahasa Jepang. Sementara, Bahasa Inggrisnya ya masih begitu-begitu saja. Tahu vocab, tahu beberapa ekspresi, tapi tak bisa menggunakan secara aktif. Kami pun membiarkan saja. Paling-paling dia hanya menjawab Yes/No ketika ditanya orang. Buat kami jawaban sekedar Yes/No sudah menunjukkan pemahaman.
8> Ketika pulang ke Indonesia (usia 4 tahun lewat), bahasa Jepangnya sudah sangat fasih. Apalagi bila dibandingkan dengan saya dan Papap. Bahasa Indonesianya –seperti yang kami harapkan dari ‘perjuangan’ sebelumnya- juga tetap baik. Saking ‘baiknya’ menurut ukuran orang umum, dia sering diolok-olok keluarga besar kami karena menggunakan kata seperti: Tidak, Lalat (dia bertengkar dengan sepupunya karena si sepupu menyebut binatang itu dengan Laler), aku Ingin, dsb.
9> Sekarang, Hikari mulai belajar bahasa Inggris intensif karena sekolahnya ternyata menerapkan system bilingual (ternyata, bo, secara kita gak tau tadinya hihi). Saya memperhatikan proses penyerapan bahasa asing Hikari lancar-lancar saja. Dia tak kebingungan apalagi stress. Kosakata Inggris bertambah banyak. Bahasa Jepang masih dipakai walau kalau lagi sadar didengar orang dia akan segera tutup mulut. Bahasa Indonesia tetap baik.
10> Problem yang harus kami hadapi sekarang adalah 1: memberi arahan tentang bahasa slang. Dia boleh saja berbahasa slang (gak mungkin lah kalau gak boleh. Gak realistis namanya) tapi kita saring dan kita jelaskan arti serta penggunaannya.
Problem 2: menguraikan kalimat-kalimat bahasa Inggris yang dia dapat dari tivi, film, maupun lagu yang tak jelas terdengar pronunciationnya menjadi satu kalimat/kata yang meaningful. Pengucapan kalimat-kalimat itu seringkali terlalu cepat, sehingga yang terdengar akan seperti noise. Maka ketika Hikari mulai bubbling (misal: ketika Hikari meniru kalimat Spongebob: ‘Look, awacaktach big, wasweswossker, pink, worm’, saya akan mengucapkan kalimat itu kembali pelan-pelan ‘Look, it’s a big, scary, pink worm’ beserta artinya.)

Sekarang, apakah kami puas dengan kemampuan bahasa Hikari?
Jelas.
Dalam urusan berbahasa Inggris (sebagai bahasa standar penguasaan bahasa asing di negeri ini), Hikari memang sangat tidak selevel dengan anak-anak yang sejak dini disekolahkan di sekolah berbahasa asing atau bilingual. Beberapa orang juga berkata kalau kami terlalu santai dan telah menghilangkan Golden Period Hikari dengan tidak memaksimalkan kemampuannya. Kalau kami terbawa nafsu dan terpengaruh, kami pasti akan panik. Untungnya kami sadar kalau 3 tujuan utama kami sudah tercapai:
1) Hikari mulai bicara lebih awal (mulai 1.5 tahun) dan tidak mengalami hambatan bicara. Dia juga mampu mengkomunikasikan perasaan dan pikirannya sejak dini. Hal ini sangat signifikan mengurangi dan menghilangkan tantrumnya sejak dini. Kami sungguh bahagiaaaa banget bisa meminimalkan masa tantrumnya.
2) Hikari bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, dan tetap bisa berbahasa ini walau ada exposure bahasa asing lainnya. Artinya, dengan satu fondasi yang kuat, dia sanggup menyerap yang lain.
3) Hikari tak mengalami gegar bahasa (language shock), yang bisa saja berujung ke gegar-gegar yang lain.

Apakah teori plus praktek yang kami terapkan kepada Hikari benar dan berhasil?
Untuk Hikari, jawabannya IYA dan sudah terbukti. Alhamdulillah.
Untuk anak anda? Anda yang paling tahu.

Tulisan saya ini sekedar memberi sisi lain dari isu ‘Membuat Anak Multilingual Sejak Dini’.
Simpulkan saja tulisan ini dengan:
-> Tidak semua orang tua berusaha membuat anaknya bilingual sejak dini, kok. Contohnya, kami, hehehe…
-> Kalau anak anda juga belum atau malah tidak bilingual sampai sekarang (dalam hal ini berbahasa Inggris ya), tenang saja. Hikari juga tidak. Papap waktu kecil tidak juga. It’s not the end of the world. Jadi, tidak usah panik dan merasa seakan-akan anak anda adalah satu-satunya anak tertinggal dibanding seluruh populasi anak Indonesia.
-> Terlebih dulu, pikirkan dampak positif dan negatif sistem ini. Faktor-faktor pendukungnya, lingkungannya, pengajarnya (hati-hati loh dengan pengajar yang pronunciationnya tak benar), sekaligus juga tujuan anda membuat anak bilingual sejak dini. Kalau anda memang berencana mengirim anak anda belajar keluar negeri pada usia sekolah dasar atau high school, silahkan genjot kemampuan bahasa Inggrisnya (dan mengesampingkan kemampuan bahasa Indonesianya? Enggak kan?). Terutama yang harus jadi bahan pemikiran: anak anda sanggup kagak, eh, tidak?!
-> Yang penting adalah APAPUN bahasa yang harus dikuasai si anak, PASTIKAN si anak menguasainya dengan BAIK. PENTING INI!

Catatan: silahkan mengkomentari tulisan ini, baik dengan pujian (ehehek), pertanyaan, tambahan informasi, koreksi, penjelasan, penerangan (lampu kalee), dsb. Khusus untuk tulisan ini, saya akan memberi jawaban atas komentar anda (biasanya gak pernah kan?). Terimakasih.

Blogger Templates by Blog Forum