PMS

PREMENSTRUAL SYNDROME

Boys, aren't you glad you don't have to experience it?!


Rasa sakit melilit di perut itu belum seberapa, karena PMS sendiri adalah gabungan dari gangguan pada emosi, fisik, psikologis, dan mood. Banyak perempuan merasakan gangguan di keempat hal tadi. Saya, entah harus bersyukur atau menyumpah, selalu mengalami penderitaan melulu di fisik.

Sejak pertama kali mendapat haid dan kesananya mengalami sakit haid, saya sudah mengantongi jam terbang pingsan di tempat-tempat publik: di bis, di angkot, di pintu gerbang sekolah, di kelas, di koridor sekolah, di mobil Eyang Kung, di halte bis, di taksi, dll. Yang paling sering tentu di rumah.
Setelah punya anak, sakit haid saya bertambah selain sakit perut juga migren. Untuk migren ini, jam terbang pingsan saya bertambah: di kantor dan di UGD RS Carolus.

Tiap perempuan punya PMS yang berbeda-beda. Teman saya ada yang bertambah nafsu makannya. Dari segentong jadi tiga gentong. Teman yang lain, ada yang malah jadi memilih puasa, karena setiap mencium aroma masakan langsung muntah. Ada yang bawaannya sensitif melulu. Disenggol dikit nangis, gak disenggol kejer. Ada yang bawaannya ngajak berantem melulu. Ada yang bawaannya mencetin jerawat. Ini karena tiap PMS jerawat segede jengkol muncul di seluruh permukaan wajah. Udah jelek, jerawatan pula. Untung ada ojek. Ada juga yang kerjanya marah-marah dan bawaannya pengen beres-beres rumah. Nah, kalo yang ini PMS-nya Mami saya. Pokoknya, kalau sudah PMS, dunia salah aja dah!

Mungkin, mungkin nih, karena itu pula Tuhan mengijinkan perempuan yang sedang haid untuk cuti sholat. Bayangin aja. Tanpa PMS pun, kita seringkali nangis kejer saat sujud di kaki Tuhan. Apalagi pas tingkat sensitif tinggi saat kita PMS???
"Hiks, ooooh, Tuhaaan, suamikuuu ituu..."
"Huaaaa... Tuhaaan... si Mami tuuuhh..."
"Ihiks ihiks... Tuhaaan... Waaaa...."
Segala apa diaduin.
Mungkin Tuhan gak sampai hati untuk bilang, "Bo, elu tuh cuma PMS doang!"

Balik lagi ke sakit perut saya pas PMS bulan ini, seperti ayam nunggu jadwal dipotong saya ngejogrok di pantry kantor. Sapaan pun bertebaran dari manusia-manusia penunggu kantor lainnya. Ketika rahasia terbongkar...
"Ohhh, lagi PMS ya?!"
"Iya. Tapi gak perlu pake teriak-teriak kali ya?"
"Sakit perut yaaa?!"
"Iya. Tapi gak perlu teriak-teriak."
"Wah, gue sih lebih milih sakit perut aja deh kalo pas PMS! Kalo gue pas PMS, bawaannya pengen marah-marah ngamuk-ngamuk sensi-sensi melulu! Orang yang gak tau kan disangkanya gue ini emang pemarah! Bener deh! Gue mendingan sakit perut aja!"

Kenapa ya manusia selalu berlomba untuk lebih menderita dari yang lain???

Berbagi Rezeki

Satu dari beberapa rencana kami sebulan yang lalu adalah memasang telpon dari Perusahaan Telpon Milik Negara. Sebagai warga negara yang baik, patuh pada peraturan dan beriman, kami mendaftarkan diri kepada Customer Service Online perusahaan tersebut.
"Ini nomer pendaftarannya, Pak. Nanti rumah Bapak disurvei dulu."
"Kapan prosedur lapangannya selesai?"
"Seminggu kira-kira. Minggu depan Bapak telpon lagi."

Perasaan kami girang. Wah, sudah profesional nih. Ada rasa bangga dan kami pun bisa tidur nyenyak selama seminggu.

Minggu berikutnya, saya yang menelpon.
"Mbak, nomer pelanggan sekian sekian kapan bisa dipasang?"
"Line telponnya belum ada, Bu. Telpon kami seminggu lagi."
"Kok bisa belum ada, Mbak? Wong saya tahu ini jalur lewat di pekarangan depan rumah saya. Teknisi telponnya aja waktu itu bilang tinggal tarik kabel dari kotak besi di depan rumah saya?!" (Kebetulan sewaktu kami sedang membangun rumah, tetangga sebelah sedang memasang telpon dari perusahaan yang sama)
"Iya, Bu. Tapi disini memang sudah penuh."
Sudah lah. Saya malas ribut. Kami menunggu seminggu lagi.

Seminggu lewat lagi. Jawaban perusahaan itu masih sama.
Tiba-tiba saya dengar kabar-kabar.
"Kemane aje lu! Masang telpon perusahaan itu memang lama tau. Bisa beberapa tahun. Kecuali elu mau bayar calo!"
"Kita pasang pake calo, Mbak. Waktu kita dateng ke kantor cabang itu, kita dikasih tau kalau jalurnya penuh. Trus, pas keluar ada calo dan satpam yang nawarin untuk pasang. Cepet tuh. Gak sampe seminggu udah kepasang."
"Pake calo. Bayar sejuta setengah. Tiga hari kring, De'!"
"Disini, kita kumpulin orang satu RT. Trus, minta pasang sama calo. Kalau rame-rame begitu, jadi lebih murah."
"Iya, kalau lewat jalur resmi, bertahun-tahun gak bakal dapet. Tuh, kayak tante itu."
"Gak usah masuk kantornya, Mbak. Baru sampai halaman parkirnya aja udah ditawarin kok."

Saya masih tak percaya. "Masa' sih?! Itu kan artinya mereka memberi kesempatan pada calo dong!"

Kemarin, Papap di telpon seorang petugas Perusahaan Telpon Milik Negara. Entah darimana dia tahu nomer telpon hp si Papap.
"Pak, katanya mau pasang telpon ya?"
"Iya."
"Kalau nunggu dari kantor, bisa lama, Pak."
"Trus?"
"Saya bisa ngurusin. Bayarnya belakangan aja kalau sudah terpasang."
"Biayanya berapa? Harga resmi kan? Tigaratus sekian?"
"Wah, bukan, Pak. Itu yang jalur resmi. Kalau mau cepat, biayanya SATU SETENGAH JUTA."

Mendengar cerita saya, seorang kolega berkomentar berat, "Yah, itu caranya mereka berbagi rezeki."

Kalau bukan karena fasilitas internetnya, saya tidak akan terus berharap ada mukjizat!

Ala kami

Papap mendapat pinjaman film Ayat-ayat Cinta dari temannya. Begitu sampai rumah, dia menunjukkannya pada saya sambil sepertinya berharap kalau saya akan berteriak kegirangan. Reaksi saya hanya, "Oh, iya, pernah baca resensinya." sambil sedikit berbohong karena sebenarnya saya pernah skimming novel AAC milik teman.
"Bagus gak?" tanya Papap.
"Gitu deh. Film soal poligami," jawab saya sekenanya.
"Jadi kamu gak mau nonton ya?" kata Papap enteng dengan nada datar tanpa perasaan. Sama datarnya dengan jawaban dia ketika seorang relatif yang mengundang kami selametan menanyakan ketidak hadiran kami.
"Kata si Om, minggu lalu kita diundang makan sama dia?"
"Iya," jawab Papap polos.
"Kok kamu gak bilang?"
"Lah, kamu pasti gak mau dateng."
"Loh kok?"
"Iya. Acaranya di restoran Wong Solo. Kamu kan pernah bilang gak bakal mau makan disitu."

Datang harinya ketika akhirnya si Papap punya waktu untuk nonton. Dia sempat ngajak saya yang dilihatnya sedang sibuk mondar-mandir. Jawaban saya standar, "Puter aja. Ntar kalo sempet, aku sambil nengok."
Knowing her wife, Papap akhirnya dengan mandiri menyetel filmnya dan menontonnya sendiri.

Baru setelah film hampir selesai, saya balik lagi ke kamar (tempat Papap nonton TV).
"Gimana? Bagus?" tanya saya sambil masih sibuk nguprek.
"Lumayan."
"Jadi, apa moral of the story-nya?"
"Ya, dia nunjukin alasan yang tepat untuk berpoligami."
"Yaitu?"
"Ya, ada cewek yang hampir mati karena cinta sama dia. Jadi dia nolongin cewek itu."
"Hampir mati? Emang tuh cowok ganteng?"
"Biasa aja."
"Pinter?"
"Yaa... standar."
"Alim?"
"Ya, standar."
"Kaya raya?"
"Gak."
"Jadi, apa yang bisa bikin cewek mati cinta sama dia?"
Papap mikir. Lama.
Saya menambahkan, "kalo yg bikin cerita itu cewek, endingnya pasti gak gitu."
"Apa endingnya?" kata Papap penasaran.
"Endingnya, si cewek yg mau mati ketemu cowok laen yang lebih cocok. Si cowoknya mati. Si istri pertama cowoknya ketemu cowok laen dan kawin dengan cowok itu lalu dia hidup berbahagia sampai mati tanpa perlu berpoligami."
Papap lalu mematikan tivi dan dvd player.

SELAMAT HARI KARTINI TEMAN-TEMAN PEREMPUAN!

Status

Status, entah itu soal pernikahan, pendidikan, harta kekayaan, pekerjaan, dsb, ternyata penting bagi banyak orang.
Entah ya, bagi saya. Seingat saya, soal yang satu ini agak konyol kalau dipenting-pentingkan
Satu-satunya status yang saya pentingkan adalah saya istri sah dan satu-satunya dari seorang Papap. Bagaimana dengan para hadirin sekalian?

Soal status ini muncul karena kelakuannya Hikari.
Gara-gara sering dikasih penjelasan bahwa "kalau mau punya uang harus bekerja", dia mempunyai definisi sendiri tentang punya uang dan bekerja.
Hari itu, Hikari pulang sekolah langsung ke rumah Eyang. Malamnya, saya dan Papap bertemu dia lagi di rumah Eyang Kakung Buyut untuk memperingati 40 hariannya Eyang Uti Buyut. Begitu saya dan Papap keluar dari mobil, bapak saya langsung memanggil kami.
"Kamu tau gak apa yang dikerjain Hikari tadi siang?"
"............"
"Begitu embaknya gak liat, dia keluar rumah..."
Deg. Jantung saya hampir copot.
"Dia keluar rumah bawa cangkir...."
Papap melirik saya.
"Trus dia ke jalan utama komplek dan nongkrong di pinggir jalan..."
Saya dan Papap lirik-lirikan sembari sakit jantung.
"Sambil pegang cangkir, dia jongkok di pinggir jalan, MINTA-MINTA UANG SAMA YANG LEWAT!!!"
Plas! Saya dan Papap tertawa terbahak-bahak. Tapi ternyata bapak saya sudah sakit jantung duluan.

Hikari pun lalu diinterogasi.
"Kenapa?"
"Maksudnya apa?"
"Mau kamu apa?"
dsb dst dll...

Jawaban Hikari singkat. Dan polos.
"Aku mau cari uang. Aku bekerja cari uang...."

Cerita belum selesai sampai disitu. Sepertinya saya dan Papap sudah terlalu cepat tertawa.
Rupanya, saat si pengasuh Hikari menyadari kalau anak asuhnya menghilang, dia langsung blingsatan mencari ke seluruh penjuru dunia. Begitu ditemukan, teriakan si pengasuh yang pertama kali keluar dari mulutnya adalah...
"YA ALLAH HIKARIIIII... KAMU ANAK ORANG KAYA GAK BOLEH MINTA-MINTA BEGITUUUU!"
Dan teriakan itu didengar pula oleh seluruh penjuru dunia.

Bagi pengasuh Hikari, status itu penting. Benar atau salah bahwa kami orang kaya, tidak terlalu penting.
Bagi kami, teriakan si pengasuh yang penting. Kami menghindari datang ke rumah orang tua saya sampai semua tetangga orang tua saya lupa insiden itu. Mungkin sampai kami benar-benar jadi orang kaya...

Sekilas...

Waktu itu, saya habis menyesali nasib.

Gara-gara nekat potong rambut di salon yang hairstylistnya gak bisa berbahasa Indonesia, potongan rambut saya jadi hancur beibeh. Saya sudah gak tau lagi mana yang lebih baik: punya rambut panjang yang ancur berantakan modelnya, atau potong rambut dengan hasil yang kadang seperti Tommy Page, kadang seperti Yuni Shara, atau seringkali seperti jabrik punk.

Saya patah hati. Emosi campur aduk. Memble aja seharian.

Penghibur saya hanya pemandangan bunga Sakura yang baru mulai mekar yang terlihat dari jendela di sisi meja belajar.

Lalu saya pun mulai menulis.
Lamaaaaaaaaa kemudian, tulisan itu selesai dan diberi judul Hair-quake. Mirip seperti perasaan saya saat itu yang hancur berantakan seperti kena gempa gara-gara rambut.

Banyak orang yang menyemangati saya untuk menyelesaikan tulisan itu dan kemudian mengirimkannya ke penerbit. Sayanya sih seringkali males, ya males nulis, males ngirim, males ngecek ke penerbit. Sampai ada yang gemesss karena sifat malas ngecek saya itu hehehe... Alhamdulillah urusan novel satu itu sudah selesai. Mudah-mudahan saya bisa cepat mengeluarkan yang kedua (sambil mikir, gue mau nulis apa lagi?!).

Dasar ble'eh, ketika novel itu keluar pun saya gak sadar. Saya baru tau kalau novel itu sudah terbit dan beredar dari beberapa teman yang berbaik hati mengkonfirmasi penglihatan mereka (dan setelah itu minta jatah novel gratis haha!). Bayangkan surprise bahagia saya ketika cerita tentang novel itu ada disini. Berbeda dengan asumsi orang yang menyangka sahabat saya itu melakukan marketing blogging, saya dan dia sama sekali tidak berkonspirasi. Boro-boro berkonspirasi, ngobrol dengannya pun saya tak bisa. Internet mati, rek!

Yang paling menyenangkan dari kehadiran novel itu bukan soal penerbitannya (ya, itu juga sih hehehe). Juga bukan dari telpon si Mami yang nyaring bersuara, "Temen Mama pada mau beli nih. Beli dimana ya?" (yang tentu saja saya jawab, "Ma, ini novel fiksi anak muda. Bukan buku resep masakan!")
Yang paling menyenangkan dari semua ini adalah sapaan-sapaan dari teman-teman sekalian yang membuat saya semakin menyadari betapa saya sungguh beruntung punya begitu banyak teman! Tuhan memang Maha Baik!

Terima kasih, teman-teman sekalian!
Love you, always!

Huaaaaaafffff........

Rasanya legaaaaaa...

Kelegaan yang sama yang biasa saya rasakan begitu menginjakkan kaki di rumah setelah 1.5 jam menahan pipis sepanjang perjalanan dari kantor ke rumah. Menyetir mobil di jalan padat mobil pun tidak bisa dilakukan dengan full concentration. Jantung deg-degan, pinggul pun sudah miring ke kanan ke kiri. Menahan pipis.

Tapi jam 14:20 hari ini, saya lega bukan karena menahan pipis sepanjang jalan. Di menit ini saya lega karena puasa internet saya sepertinya bisa berakhir hari ini. Internet di kantor sudah menyala lagi!

Walau tidak bisa diandalkan lebih dari 30%, keberadaan fasilitas internet kantor ini seperti memuaskan dahaga saya setelah hampir satu bulan koneksi internet di rumah belum tersambung. Tanpa koneksi internet, saya merasa seperti tercabut dari akar, dari keluarga, dari komunitas, dari saudara, dari dunia!

Hmmm...
Kenapa ya absen pergi ke kantor selama sebulan tidak memberikan efek yang sama?

Blogger Templates by Blog Forum