Bagai Kepompong...

Saya punya seorang teman yang sepak terjangnya bisa jadi bahan sebuah novel silat.
Teman saya ini punya banyak kelebihan. Sayangnya, seperti Ying dan Yang, Pagi dan Malam, Putih dan Hitam, dia punya lebih banyak lagi kelemahan.

Teman saya ini sangat pintar. Saking pintarnya, dia sering memandang rendah orang lain. Dia juga tak sungkan memberitahu orang yang tak sepintar dirinya betapa tak pintarnya orang itu.
Teman saya ini sangat tekun bekerja. Saking tekunnya, dia selalu gerah, merana, menyembur bila ada orang lain yang dia pikir tidak setekun dirinya.
Teman saya ini seorang perfectionist sejati. Saking perfectionistnya, dia selalu naik darah bila ada orang lain yang membuat kesalahan-kesalahan sepele.
Teman saya ini... sebaiknya saya sudahi saja daftarnya...
Intinya, bila teman ini sedang beredar di suatu tempat, suasana tempat itu jadi panas membara. Nothing is right, kalau ada dia. Panas, gerah, terbakar.

Bagaimana ceritanya saya bisa temenan dengan orang macam itu? Long story short, saya punya teman yang juga temannya dia. *pusing*

Beberapa bulan belakangan, teman saya ini semakin membakar orang-orang di sekitarnya. Puncaknya terjadi pada beberapa bulan belakangan. Orang-orang yang lelah dengan dirinya bersepakat untuk melawannya. Sayangnya, teman saya ini lebih kuat. Satu-satunya orang yang tidak pernah terang-terangan dihinanya, dilabraknya, dimakinya, diajaknya berantem, cuma saya.
Eits, jangan anggap saya ini sakti. Alasan dia tidak pernah mengajak saya berantem terang-terangan cuma satu: Saya lebih sinting dari dia. Dia nyindir, saya balik nyindir. Dia niat mau menghina, saya hina sekalian. Dia memaki, saya ketawa di depan muka dia untuk kemudian saya tinggal pergi. Dalam perang urat syaraf antara dia dengan seisi penghuni dunia, saya masih sanggup menatap matanya, menaikkan sebelah alis, dan menyembur, "mau apa lo?!"
Sikap masa bodoh saya ternyata bisa menyelamatkan saya dari kegilaan orang lain.

Seminggu yang lalu, puncak dari segala puncak terjadi. Ketegangan sudah di depan mata. Sepatah kata dari dia bisa membuat seluruh penduduk dunia (dunia saya dan teman-teman saya) meledak. Semua siap melawan. Dan kali ini, dia tidak sekuat sebelumnya, untuk alasan kerahasiaan yang tidak bisa saya jelaskan (haha!).

Hari perlawanan itu pun terjadi.
Dia bilang A, ada orang yang kontan bilang B.
Dia mau A, orang lain memotong langsung ke B.
Dia memaksa untuk A, orang lain lagi ngeloyor pergi sambil melakukan B.
Dia pokoknya mau A, orang-orang memasang tampang B terang-terangan.
Dia harus dapat A, orang-orang menghadiahinya sms dengan kata B jelas-jelas.
Lalu, dia minta ke saya untuk dapat A. Saya bilang padanya, "emang sapa lu?"
Akhirnya dia ngambek, marah, mutung, dan ujung-ujungnya mendiamkan saya saat kami harus bekerja bareng.
Saya bersyukur. Dunia saya akhirnya damai.

Akhirnya? I wish!
Jam 12 siang dia datang kepada saya dan bertanya sopan, "Mau makan siang gak?"

------------------------------------------------------------------------------------

Anda bisa menebak apa yang saya lakukan saat dia mengajak saya makan siang bareng?

Saya bilang...
"Mau. Perut gue laper banget! Gue mau makan di X, ah."
Dia ikut saya makan di X.

Pulang dari makan siang, saya dihadiahi beragam tatapan dari seluruh penjuru dunia.
Mereka pikir saya sinting. Maksud saya, mereka tahu saya sinting tapi kali ini sepertinya mereka merasa saya benar-benar sudah tidak waras.
Mereka juga pikir saya plin-plan. Sebentar melawan dia, sebentar bergaul dengannya.
Mereka rasa saya mendua.

Sore tadi, seorang teman saya memberanikan diri bertanya pada saya.
Dia tidak bertanya apakah saya sudah sinting sih. Tapi dia bertanya ada di pihak siapa saya ini. Sebuah pertanyaan yang entah kenapa kok tidak membuat saya heran.
"Bukannya dia lagi ngediemin elu?" tanya sang teman.
"Ho-oh. Dari tadi pagi jam 7."
"Trus, kok elu mau makan siang bareng dia?"
"Lah, kan DIA yang ngediemin gue. Gue sih gak punya masalah sama dia."
Teman saya garuk-garuk kepala.
"Jadi elu sebenernya gimana sih perasaannya sama dia?"
"Perasaan? Baik-baik saja. Gue sih cuma cinta suami gue."
"Geblek lu. Maksud gue, teman-teman tuh pada bingung. Mereka kan benci setengah mati sama dia. Mereka bingung elu tuh sebenernya teman dia atau bukan?"
Saya menahan rasa pengen ketawa. Oh, dan pengen pipis sedikit sebenarnya.
"Maksud lu?"
"Ya, dia itu temen elu?"
"Iya. Temen, sahabat, sohib, sobat..."
Teman saya pucat pasi. Dia berasa sudah membocorkan suatu rahasia negara yang paling penting ke seorang mata-mata paling berbahaya. Dan sinting.
"Seperti juga elu temen gue," kata saya.

Butuh waktu bagi teman-teman saya untuk bisa menerima dan ikhlas dengan ide sinting saya: menjadi teman untuk orang yang paling susah dianggap teman. Seorang manusia bisa menjadi penderitaan bagi banyak manusia lain. Seperti teman saya yang keberadaannya membawa hawa panas bagi sekelilingnya. Saya pikir akan sangat membantu bagi dunia ini bila saya tidak ikut-ikutan menyebarkan panas juga. Katanya global warming...?


Oh ya. Anda mengerti?

4 comments:

    saya pernah merasa seperti itu,

    "kamu teman saya. dia teman juga. jangan harap meminta saya untuk memihak kamu."

    terkadang tidak semua orang bisa mengerti bagaimana habit dan sifat seseorang. bersikap netral? mungkin ini jalan terbaik. walopun terkadang makan hati juga. hehehehe

    apa kabar mbak?

    Kalo ini saya mengerti...
    Bagi saya .. sekali teman selamanya menjadi teman .. sejelek apapun kelakuannya...

    jadi prinsipnya kita harus membedakan antara kelakuan seorang teman dan hubungan pertemanan....

    perkara kelakuan teman kita minus.. ya gak papa... kita malah bisa bikin bahan untuk jadi olok-olokan...dan bahan gosip yang siiipp tentunya

    So.. Friend are forever.. hehehe

    psikologi kejiwaan seseorang sangat sulit diduga. Memang ada orang2 tertentu yang punya kelainan secara psikis dan sulit diubah lantaran itu adalah sikap permanen sejak awal.
    Merasa lebih tinggi, hebat, besar dari orang lain sebenarnya adalah penyakit megalomania. Ingin menjadi sebagai yang "segalanya"
    dalam kacamata seperti itu, lumrah kalau ia melihat orang lain lebih rendah, kecil dan hina.
    Tapi kata orang2 bijak bahwa sikap seperti inilah awal keberhasilan dia mencapai tujuan oleh karena tersimpan ambisi besar untuk memenuhi apa maunya.
    wekksssss.. kayaknya komennya terlalu panjang.. (padahal gak ada hubungannya)
    salam

    @Radioholicz: walopun terkadang makan ati juga is the perfect sentence hehehe... Kabar baik, Om.

    @Kentank: bahan gosip? Saya mau itu! LOL

    @Arsyad: nyambung kok, Mas, nyambung. Dan saya setuju.

Blogger Templates by Blog Forum