Suatu kesia-siaan...

Namanya Sadaruddin. Kami memanggilnya Mas Sadar. Saya masih duduk di bangku SMA kelas 2 sewaktu dia datang dari kampung ke Jakarta. Anak yatim itu baru saja lulus SMA. Tujuannya ke Jakarta hanya satu: ingin menjadi tentara seperti pamannya, si Kumendan. Saran Kumendan untuk melanjutkan sekolah saja daripada jadi prajurit ditolaknya. Padahal dia tahu dengan tingginya yang pas-pasan dan kepolosannya yang luar biasa, akan susah baginya menandingi calon-calon lainnya. Berbekal restu dari Bibi saya -ibunya- dan tekad untuk membanggakan ibunya, Mas Sadar bergeming dengan cita-citanya.

Setiap hari, sembari menunggu pembukaan calon prajurit TNI AU, dia meramaikan rumah kami yang biasanya sepi. Kalau tidak sibuk berkebun, dia akan membantu si mbak membereskan rumah. Atau memasak. Atau mengaji. Atau sholat Tahajud. Atau membaca buku. Atau menasihati saya yang sedang bandel-bandelnya. Mas Sadar memang model anak yang diidam-idamkan setiap orang tua: sholeh, baik hati, rajin, ringan tangan dan penurut. Dia langsung jadi anak kesayangan si Mami. Walau saya juga bukan anak yang nakal, saya jelas bukan anak yang penurut. Omelan si Mami yang menyuruh saya meniru Mas Sadar malah membuat saya seringkali melawan nasihat-nasihatnya.

Lalu datang lah hari pengumuman kelulusan calon prajurit TNI AU. Mas Sadar diterima. Kebahagiaannya memancar menerangi dunia kecilnya. Kebanggaan itu tak pernah bisa saya lupakan. Ketika datang hari dia harus pergi untuk pendidikan, saya menyimpan kesedihan saya kuat-kuat. Tapi sepertinya dia tahu, dan surat pertamanya yang dikirimkan ke rumah kami ditujukan untuk saya. Apakah saya tidak lupa sholat? Apakah saya tidak lupa istirahat cukup? Apakah saya masih rajin belajar? Apakah saya masih rajin mengaji?

Setelah dia lulus pendidikan, hal pertama yang dilakukannya adalah membuat potret dirinya dalam seragam loreng. Foto itu langsung dipajang si Mami di rumah kami. Foto itu rupanya menjadi kenangan terakhir kami dengannya. Mas Sadar meninggal dalam kecelakaan pesawat Hercules C-130 di Condet, Jakarta Timur pada tanggal 5 Oktober 1991 seusai mengikuti upacara Hari ABRI di Jakarta. Satu pleton hilang begitu saja. Dan saya -adiknya yang nakal ini- tak pernah sempat bilang selamat tinggal padanya.

Rasa perih kehilangan Mas Sadar tak pernah bisa hilang dari rumah kami. Setiap kali kami mendengar pesawat militer jatuh dan menimbulkan korban, rasa perih itu menyeruak kembali. Lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi. Rasa perih itu semakin menjadi bila menyadari bahwa jatuhnya 1 pesawat seringkali berarti kehilangan beberapa tetangga saya, orang tua teman saya, teman adik-adik saya, atau malah teman saya sendiri. Jatuhnya pesawat Hercules lain di Magetan hari Rabu kemarin membuat saya harus menahan emosi saat harus bertemu Tante R yang anaknya ikut menjadi korban dan dimakamkan di tanah yang sama dengan Mas Sadar.

Eyang Kung saya yang juga prajurit itu pernah bilang pada saya.
"Itu resiko prajurit, Nduk. Mati dalam tugas."
Maaf, Eyang. Mati dalam tugas buat saya adalah mati saat bertempur dengan musuh. Mati saat perjalanan menuju tempat musuh. Mati karena musuh.
Mati karena alat transportasi yang abal-abal harusnya tidak masuk dalam daftar resiko seorang prajurit.


Duka saya mendalam untuk seluruh korban dan keluarga jatuhnya pesawat Hercules di Magetan hari Rabu, 20 May 2009.


--------------
Foto diambil dari sini, menggambarkan suasana pelepasan jenazah korban Hercules C-130 yang jatuh di Condet, Jakarta Timur pada tanggal 5 Oktober 1991. 130-an prajurit tewas dalam pesawat yang terbakar.

A Week in a Woman's life

I woke up in the morning and found myself irritated for no reason.
My body was swollen and I felt sore all over.
The hot shower felt like ice raining on top of my head.
I got ready for work and suddenly I couldn't find the right size of pants. Even the shirt was suddenly a size smaller.
I definitely had a fat day that day, if that was possible for my case.
But I wasn't worried about the fat day.
It was obvious I couldn't make myself eat so why worried about the fat day?
Surely but sure, there were soft knocks in my head.
Then the soft knocks became not-so soft anymore.
And when the knockings became harder, I couldn't do anything but vomit.
There was nothing right about me at all.
I watched myself in the mirror wondering.
What the hell had happened in the previous 6 hours I spent sleeping?
Had I made the Night God upset?
I dragged myself from the bedroom to the car.
It was time to go.
Finding the motivation to go to the office needed a lot of effort.
I still had to go, though.
Because for some, a PMS is just an abbreviation, not a sickness.

May they get worse PMS regardless of gender.
Amen.

Ciiiiaaaaaaaaat!!!

Beberapa minggu belakangan menjadi momen-momen dimana saya harus belajar sabar. Sukses atau enggak, itu lain soal. Yang penting proses pembelajarannya. Setelah hati, jantung dan kepala diajak olah raga selama beberapa minggu, semingguan ini saya meniatkan diri untuk mengolah ragakan fisik. Biar semua bagian tubuh kebagian sama rata adil loh jinawi.

Setelah 10 tahun lebih vakum aerobik (satu olah raga lain yang mau saya jalani selain renang) dan 2 tahun vakum olah raga apapun (bersepeda ke pasar di Honjo dan jalan kaki mengelilingi Tokyo, Kyoto, Nara, Himeji, Kobe, Chiba, dan Hakone masuk kategori olah raga menurut saya), sore tadi saya mulai aerobik lagi.

Awalnya biasa saja. Maksup saya, saya masih sanggup lah goyang sana goyang sini, megol sana megol sini. Gini-gini, saya kan lulusan perguruan tari Jawa dan tari poco-poco. Pernah manggung nari dimana-dimana. Pernah juara nari poco-poco se-DKI (harapan 1 aja belagu). Kalo cuma goyang-goyang aja sih... keciiiillll.
Lalu, mas pelatih mulai menambah gerakan. Gerakannya jadi mirip-mirip samba campur cha-cha campur goyang dombret. Saya? Masih bisa goyaaaannnngg.... megol sana megol sini.
Mas pelatih mulai panas. Dia menambah dengan gerakan mirip Thai Boxing. Tendang, tinju, tendang, tinju, goyaaaannnggg...
Saya? Makin napsu.
TENDANG! TINJU! TENDANG LAGI! TINJUUUUUU!!! TENDAAAAANGGG!!!
Saya keluarkan seluruh tenaga. Setelah itu perasaan saya jadi enteng.

Sejam setelah megal-megol dan tentu saja tendang-tinju, latihan selesai. Si mas pelatih bercakap-cakap dengan peserta, termasuk saya.
"Mbak, gayanya yang paling bagus pas yang Thai Boxing deh. Kayaknya bener-bener dari hati yang paling dalam.

Topeng

Memberi training sementara badan gak delicious karena kehilangan mentor radang tenggorokan dan flu memang suatu perjuangan tersendiri.
Perjuangan untuk menggunakan otak untuk berpikir tentang materi training daripada berpikir tentang tempat tidur yang nyaman.
Perjuangan untuk fokus pada trainee daripada fokus pada tempat tidur yang nyaman.
Perjuangan untuk menahan hawa napsu kesal daripada menahan hawa napsu ngantuk.
Perjuangan titik.

Bahkan sebelum saya mulai trainingnya, perjuangan saya sudah dimulai.
Dari mulai keki karena gak ada yang mau jadi mentor saya, sampai sebuah taruhan yang dibuat oleh teman-teman saya mengenai apakah saya bisa menang melawan mentor saya. Kualat lu pada!
Kemudian sebuah nasihat mampir di telinga saya dari kolega sesama trainer.
Kata mbak cantik-ramah-nan-halus-hati ini, "De, nanti kalau kasih training dan feedback ke trainees, yang halus ya..."
MAKSUD LO?!

Alhamdulillah, semua sudah selesai. Pelajaran moral kali ini "Banyak-banyak lah tidur dan minum vitamin sebelum memberi training. Jangan lupa pasang topeng bahagia dan ramah hati."

Blogger Templates by Blog Forum