.... adalah Hak Setiap Bangsa

Kemerdekaan adalah Hak Setiap Bangsa


Suara laki-laki kecil itu lantang menembus udara pagi yang masih basah dengan embun. Dia mungkin tidak menyadari bila satu kalimat yang telah dia ucapkan telah membuat kami terdiam dalam suatu kesadaran yang mungkin baru datang setelah waktu lewat lebih dari hitungan belasan tahun.

Pagi tanggal 17 Agustus itu saya mendapat tugas mengantar Hikari ke sekolah untuk upacara sementara Papap harus menghadiri upacaranya sendiri. Ini upacara tujuhbelasan pertama yang akan dihadiri oleh Hikari. Konsep upacara pun masih tak jelas untuk seorang Hikari.

"Ma, upacara itu apa sih?" Itu pertanyaan Hikari di perjalanan menuju sekolah. Jawaban standar saya yang hanya menjelaskan soal-soal teknis tentang arti upacara tidak memuaskan Hikari.
"Kenapa harus upacara?" tuntut Hikari.
Kenapa? Kenapa?
Karena kita merayakan kemerdekaan kita?
Ah, terlalu dangkal. Kita bisa juga merayakan kemerdekaan dengan menyanyi-nyanyi kan? Atau ikut tarik-tambang? Atau ikut panjat pinang? Atau ikut pengajian syukuran kita sudah merdeka? Atau sekedar sujud syukur di pagi buta untuk tidur lagi kemudian?
Kenapa?
Karena kebiasaan?
Jawaban bunuh diri itu namanya.
Akhirnya saya memilih diam. Dan pertanyaan itu belum terjawab oleh saya. Sampai sekarang. Entah kenapa, Hikari juga memilih diam. Tidak menuntut jawaban seperti yang biasanya dia lakukan.

Kami sampai di sekolah bersamaan dengan datangnya anak-anak lain. Mereka semua riang-riang. Tidak ada yang merengut karena harus bangun pagi hanya untuk upacara. Murid-murid kemudian berkumpul di lapangan bersama dengan guru-guru mereka. Murid-murid berbaris rapi di lapangan. Tidak ada raut wajah terpaksa atau tegang. Guru mereka berdiri di belakang barisan dengan muka yang ramah. Petugas-petugas upacara cilik menempati posisi mereka dengan riang. Lalu, entah bagaimana awalnya, para orang tua ikut serta berdiri bersemangat mengikuti jalannya upacara walau dari pinggir lapangan.

Upacara dimulai. Mula-mula inspektur upacara, laki-laki kecil yang bertubuh besar berusia 9 tahunan, masuk ke tengah lapangan dengan sikap tegap. Tangan kanannya mengayun bersamaan dengan kaki tangannya. Lalu tangan kiri diayun berbarengan dengan kaki kirinya. Kami, para orang tua, tersenyum geli, tapi manusia-manusia Indonesia cilik di tengah lapangan itu tidak ada yang tertawa mengejek.

Kemudian, tiga orang petugas pembawa bendera cilik mendapat giliran untuk berjalan. Berbeda dengan para Paskibraka yang menjalankan tugas mereka di Istana Negara dengan segala gerakan yang telah diatur dengan cermat, petugas-petugas cilik ini berjalan dengan langkah percaya diri walau tanpa keteraturan tangan dan kaki. Ketika mereka akhirnya sampai di depan tiang bendera, para orang tua menahan napas. Apakah anak-anak kami itu mampu menjalankan tugasnya? Menaikkan bendera tanpa terbalik? Buat para orang tua yang jaman sekolah dulu kenyang dengan urusan baris berbaris menaikkan bendera ala militer, melihat para petugas cilik itu begitu percaya diri sekaligus tanpa beban membuat kami bergidik. Bukankah bendera begitu sakral? Kalau sampai terbalik, apakah ada yang akan dihukum push-up?

Lima belas menit kami semua menunggu. Lima belas menit! Menunggu tangan-tangan kecil mereka menalikan bendera ke talinya. Menunggu tangan-tangan kecil itu siap menaikkan bendera di tiangnya. Saya memandangi para peserta upacara. Suasana tetap khidmat. Tak ada ketegangan seperti upacara-upacara bendera yang kami tahu, tapi tetap khidmat. Tidak ada yang ribut dan berulah hanya karena harus menunggu bendera disiapkan selama lima belas menit. Kamera dan handycam telah lama disiapkan para orang tua untuk mengabadikan momen terpenting itu. Lima belas menit lewat, sebuah teriakan tegas terdengar dari mulut kecil seorang petugas.

"Bendera, siap!"
Kami, para orang tua, didikan jaman suatu orde dimana upacara dianggap lambang nasionalisme menahan napas. Dan ketika bendera terbentang sempurna dari jari-jari cilik para petugas, dada kami menggembung bangga. Ah, tapi para guru mereka sepertinya tak terpengaruh. Wajah mereka tetap wajah penuh kebanggaan kepada anak didik mereka sejak upacara dimulai hingga detik ini.
Inspektur upacara cilik lalu meneriakkan perintah memberi hormat. Dirijen cilik lantang menyanyikan bait awal lagu Indonesia Raya. Seluruh peserta upacara memberi hormat dan mulai menyanyi. Entah siapa yang memulai, kami, para orang tua yang berdiri berjajar tegap di pinggir lapangan memberi hormat pada bendera, dan menyanyi. Kami bernyanyi Indonesia Raya!



Belasan atau mungkin puluhan tahun telah lewat sejak upacara terakhir kami di sekolah. Mungkin juga sudah belasan atau puluhan tahun telah lewat sejak hati kami merasa tergetar saat mendengar lagu Indonesia Raya. Hari itu, kami ikhlas menyanyikan lagu Indonesia Raya, menghormat kepada bendera Merah Putih, mendengarkan Pancasila dan Pembukaan UUD 45 dikumandangkan tanpa sedikitpun berharap upacara segera berakhir. Walau tanpa pakaian putih gagah milik anggota Paskibraka dan tanpa gerakan baris-berbaris penuh perhitungan milik para anggota militer, upacara kali itu begitu penuh perasaan. Dan kebanggaan! Rasanya seperti kami menurunkan suatu warisan kepada anak-anak kami. Anak-anak yang menjadi masa depan negara kami!

Sebelum masuk ke mobil untuk pulang ke rumah, seorang ibu berkomentar.
"Apa tahun depan anak-anak perlu dilatih baris-berbaris ya? Supaya lebih rapi?" tanyanya ragu.
Orang tua lain tak langsung menjawab. Kami saling menatap. Tanpa dikomando kami menggeleng. Termasuk ibu yang bertanya tadi.
"Biarin aja lah bagaimana anak-anak itu. Toh benderanya terbuka dan naik juga."
"Iya. Biar aja model upacaranya seperti ini. Gak bikin nasionalisme berkurang juga kan?"

Kami pulang dengan puas. Dengan kesadaran baru bahwa nasionalisme tidak diukur dari berapa derajat kaki petugas upacara harus dinaikkan. Tidak diukur dari tinggi badan seorang petugas paskibra. Ketika kemerdekaan adalah hak setiap bangsa, seharusnya kita bisa merdeka juga dalam mengekspresikan rasa nasionalime kan?

9 comments:

    asli gw demen banget postingan lo kali ini. so real and so understanding. suddenly i wana feel to be a mother. LOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOH!!!!!!!!!! kakakakakakakakakakakak.

    Tapi bus buat Hikari. gak kayak gw dulu yang pernah jadi pembaca UUD n gagap abis. tapi nasionalismen gw penuh.....waktu itu, sih :)

    gue paling sering deg2an kalo pas naikin bendera. sampai sekarang tetep deg2an. mau nonton perayaannya di tivi, atau ngeliat sendiri di lapangan. wuihhhh, selalu deg2an!

    tapi iya bener juga tuh, sampe sekarang gue juga masih suka nggak bisa ngasih jawaban memuaskan sama para ponakan kalo mereka nanya, kenapa harus upacara. jawaban iseng gue dulu sih, "karena teta kan ditugasin buat baca UUD," atau, "karena ini penting untuk keberlangsungan hidup bernegara." yang ada mereka ngelirik satu sama lain, makin nggak mudeng...

    baca tulisan mba, saya jadi ikut deg-degan nunggu bendera berkibar.
    dan tersadar, seperti tulisan mba, betapa pengaruh orba udah merasuk jauh (halah...bahasanya) :D tentang bendera yg ga boleh terbalik apalagi menyentuh tanah atau jatuh (dulu di sekolah ancamannya ditembak tentara...entah bener ato nda').

    setuju mba, biarin aja upacaranya dan baris berbarisnya tetep seperti ini. nasionalisme ga diukur dengan rapinya barisan ala militer seperti yang kita (kita? udah tua juga saya ternyata) dapatkan dulu. hehehe

    pas abis upacara, Hikari nanya lagi ga mbak? atau apa yg dia rasakan abis upacara itu?

    jadi inget waktu dapet tugas ngerek bendera di SMA (catet: SMA), itu tali rasanya beraaaaaatttt banget jadi waktu lagu mo habis bendera masih setengah tiang, diusahain ngebut juga percuma. lagu dah habis n bendera masih sejengkal dari puncak, ditarik-tarik ga mau naik juga. karena takut kerekan ato talinya putus ya udah diakhiri sampai disitu, mungkin pengaruh hujan deres malem sebelumnya jadi itu kerekan seret ato emang dasarnya grogi. yang jelas sejak saat itu saya ga pernah lagi ngerek bendera :D

    Malem Ibu....
    salam kenal dari saya,
    Saya juga ikutan kontes ini lho...

    Saya doakan Ibu yg menang, amin.

    Saya tunggu visit baliknya.

    Blognya keren..

    On 10:51 pm, August 25, 2009 Anonymous said...

    hadoh mak... dalem banget! iya juga, kenapa sih kudu upacara? untuk meningkatkan nasionalisme? apa benar? soal berbaris kudu kompak biar anak2 tambah nasionalis? kalik upacara bendera itu menciptakan perasaan 'khidmat' saat menjalani prosesi upacara itu, therefor creates more sense of nationalism? hmmm...

    sudah lama saya gak ikut upacara. maklum usia sudah tidak diwajibkan lagi tiap senin.

    satu hal yang kuingat adalah seringnya teman2 paskibraka salah pasang bendera.

    apa firasat nasionalisme sudah pudar ya. itu 15 tahun lagi. bagaimana dengan sekarang :)

    setuju, kayaknya sedikit korelasi antara upacara bendera dng nasionalisme.

    Kenapa kita harus upacara (bendera) ??
    1. karena pada upacara ada pengumuman penting dari inspektur upacara. (kenaikan gaji dll)
    2. untuk menghitung personil yang masuk (dan bolos) hari ini. (PNS ituh kudu upacara tiap hari loh)

    dan lainnya :)

    hmm..upacara dan nasionalisme..
    berat =) tapi saya yakin erat hubungannya..awalnya saya merasa memang tidak ada hubungannya, toh nasionalisme bukan diukur dari upacara dan pembacaan UUD..tapi semenjak saya tinggal di sebuah negara besar dan "berkuasa" yang disadari atau tidak masih tinggi sekali nasionalisme-nya..dan itu ternyata dimulai dari pembacaan "pancasila" dan mengheningkan cipta setiap pagi sebelum sekolah dimulai dari semenjak TK dan dengan menyanyikan lagu kebangsaan di setiap ada keriaan, kumpul2, sampai memulai acara resmi yang notabene memang perlu menyanyikan lagu kebangsaan..seperti nonton konser band, nonton circus, dan keriaan lainnya..disadari ato tidak..mengingatkan kita akan nasionalisme ..saya kangen upacara =)

Blogger Templates by Blog Forum