Susah Sedih
Saturday, March 10, 2007 by Mariskova
"Low point. Low point," kata Kate Winslet sambil menampar pipinya dalam The Holiday ketika ia baru mencoba bunuh diri.
Kriinnngg...
"Ya, De?"
"Lagi apa, say? Hiks. Sibuk? Hiks."
"Nnggg... gak juga sih. Kenapa?"
"Gini loh, gue kan la..."
Tuuuut
"Bentar ya, De. Gua ada panggilan masuk."
"Lagi sibuk kan lo."
"Gak. Hanya lagi nunggu kabar dari Tanjung Priok."
"Hah?"
"Iya, sodara gue kemaren naik kapal Lavina itu..."
Apa gak susah buat sedih saya itu?
Apa gak di-kemplang-i orang banyak kalo saya ngaku lagi sedih dan frustasi?
Nasib...
Bahkan, mau curhat ke orang-orang di rumah ini malah lebih susah lagi.
"Ma, aku sedih banget deh. Hiks. Aku..."
"Gitu aja sedih! Kamu tuh jangan sedikit-sedikit masalah diambil pusing."
"Aku kan belum ngomong apa-apa?"
atau
"Pa, aku lagi sedih nih."
"........................"
Salah objek. Mantan komandan pasukan gak punya cukup training dan pendidikan untuk memberi ekspresi yang tepat pada seseorang yang berkata dia sedang sedih.
Curhat ke adik saya?
Mendingan bunuh diri.
Ke pembantu?
Mendingan bunuh diri lalu bunuh diri lagi.
Ke Papap? Ini kejadian nyata. Saya kirim sms.
Pap, aku capek lahir batin. Bla bla bla... Bisa darah tinggi kalo begini caranya.
Tut tut... sedetik kemudian reply Papap masuk ke hp.
I love you , too.
Langsung cari golok.
Curhat dengan Hikari?
"Ri, mama lagi sedih nih..."
"Mama sedih? Huaaaaaaaaaaaaa (nangis kejer)... Mama jangan sedih, nanti Hikari sedih juga. Huaaaaa (nangis kejer)."
"Deeee! Itu anaknya diapain?!" teriak si Mami dari lantai bawah.
Saking frustasinya saya karena saya gak bisa mengeluarkan rasa frustasi-sedih-penat saya itu, saya bergerilya ke teman-teman yang lain. Saya pikir satu-satunya cara untuk keluar dari Sedih dan Susahnya Sedih adalah dengan Menyepi.
"Dung, ada kerjaan yang butuh ngirim orang ke luar kota seminggu dua minggu gak?"
"Banyak lah."
"Gue mau dong."
"Gue cuma bilang banyak. Gue gak bilang kalo gue bisa ngasih kerjaan begitu."
Mending cari orang lain daripada terjadi pembunuhan dengan penganiayaan berat.
"Bo, elu masih jadi interpreter sewaan kan?"
"Masih. Knapa?"
"Ada kerjaan buat gue gak? Gue mau dong kalo ada kerjaan di luar kota seminggu dua minggu."
"Kalo ada, udah gue ambil duluan kali."
Dasar! Sama orang sedih kok masih gak mau ngalah...
Beberapa minggu terakhir, saya juga berada dalam titik terendah dalam hidup. Dimulai dari hal-hal kecil, berpuncak pada sakitnya Hikari, dan sampai sekarang masih tersisa rasa-rasa pahit. Sialnya, saya termasuk orang yang tidak bisa mengeluarkan rasa sedih. Apalagi membagi kesedihan. Setiap kali saya ingin curhat mungkin sambil nangis bombay goyang India, saya langsung kecil hati. Pikir saya: 'segitu aja kok udah KO. Masalah orang lain jauh lebih besar, bo'. Begitu. Satu-satunya orang yang ketiban sial pernah di-curhat-i sembari nangis oleh saya hanya kawan saya si Mbak'e. Itu juga mungkin karena dia seorang psikolog makanya saya bisa mengumbar air mata. Bawaannya pengen ngadu aja kalo ketemu orang berprofesi demikian.
Tapi, hanya sekali itu saja! Bukan apa-apa. Setelah saya puas nangis kejer di depan Mbak'e, saya jadi malu sendiri. Lah, kalo ngomong soal MASALAH, si Mbak'e itu punya masalah jauh lebih besar dari saya sampai membuat rambutnya berubah warna tanpa perlu ke salon. Sedangkan masalah saya hanya keciiilll... bila dibandingkan dengan masalahnya. Saya pun langsung stop sedih pada saat itu juga. Malu, coy.
Nah, kemaren itu saya rasanya pengen nangis kejer lagi, pengen teriak+tantrum, pengen lempar-lempar barang, pengen nabok kanan kiri, pengen melatih jurus pencak silat, pengen curhat. Tapi sekali lagi, belum sempet keluar rasa sedih dan frustasi, saya sudah keburu memberangusnya. Takut ge-er, merasa punya masalah paling besar sedunia. Apalagi -apalagi nih- beberapa minggu belakangan faktanya orang yang punya masalah jauh lebih besar dari saya itu jumlahnya ribuan.
Gak lucu aja kalo...
Kriinnngg...
"Halo, teman? Lagi sibuk gak? Hiks. Gue mau curhat nih."
"Halo juga. Sibuk? Enggak. Gue lagi kongkow-kongkow aja."
"Kongkow-kongkow? Enak bener. Dimana?"
"Di atap rumah."
"Hah?! Ngapain lu diatap rumah?"
"Ngeliatin banjir di bawah kaki gue."
Mau nyoba teman lain di hari lain juga rasanya gak mungkin...Kriinnngg...
"Ya, De?"
"Lagi apa, say? Hiks. Sibuk? Hiks."
"Nnggg... gak juga sih. Kenapa?"
"Gini loh, gue kan la..."
Tuuuut
"Bentar ya, De. Gua ada panggilan masuk."
"Lagi sibuk kan lo."
"Gak. Hanya lagi nunggu kabar dari Tanjung Priok."
"Hah?"
"Iya, sodara gue kemaren naik kapal Lavina itu..."
Apa gak susah buat sedih saya itu?
Apa gak di-kemplang-i orang banyak kalo saya ngaku lagi sedih dan frustasi?
Nasib...
Bahkan, mau curhat ke orang-orang di rumah ini malah lebih susah lagi.
"Ma, aku sedih banget deh. Hiks. Aku..."
"Gitu aja sedih! Kamu tuh jangan sedikit-sedikit masalah diambil pusing."
"Aku kan belum ngomong apa-apa?"
atau
"Pa, aku lagi sedih nih."
"........................"
Salah objek. Mantan komandan pasukan gak punya cukup training dan pendidikan untuk memberi ekspresi yang tepat pada seseorang yang berkata dia sedang sedih.
Curhat ke adik saya?
Mendingan bunuh diri.
Ke pembantu?
Mendingan bunuh diri lalu bunuh diri lagi.
Ke Papap? Ini kejadian nyata. Saya kirim sms.
Pap, aku capek lahir batin. Bla bla bla... Bisa darah tinggi kalo begini caranya.
Tut tut... sedetik kemudian reply Papap masuk ke hp.
I love you , too.
Langsung cari golok.
Curhat dengan Hikari?
"Ri, mama lagi sedih nih..."
"Mama sedih? Huaaaaaaaaaaaaa (nangis kejer)... Mama jangan sedih, nanti Hikari sedih juga. Huaaaaa (nangis kejer)."
"Deeee! Itu anaknya diapain?!" teriak si Mami dari lantai bawah.
Saking frustasinya saya karena saya gak bisa mengeluarkan rasa frustasi-sedih-penat saya itu, saya bergerilya ke teman-teman yang lain. Saya pikir satu-satunya cara untuk keluar dari Sedih dan Susahnya Sedih adalah dengan Menyepi.
"Dung, ada kerjaan yang butuh ngirim orang ke luar kota seminggu dua minggu gak?"
"Banyak lah."
"Gue mau dong."
"Gue cuma bilang banyak. Gue gak bilang kalo gue bisa ngasih kerjaan begitu."
Mending cari orang lain daripada terjadi pembunuhan dengan penganiayaan berat.
"Bo, elu masih jadi interpreter sewaan kan?"
"Masih. Knapa?"
"Ada kerjaan buat gue gak? Gue mau dong kalo ada kerjaan di luar kota seminggu dua minggu."
"Kalo ada, udah gue ambil duluan kali."
Dasar! Sama orang sedih kok masih gak mau ngalah...
sedih personal dan sedih yang massal tentu aja beda. mereka yang kena bencana kemaren adalah bagian dari sedih massal. tapi yang mereka alami itu kan kesedihan personal.
bukannya gue mau mengkotak2kan rasa sedih. tapi, rasa sedih di setiap orang itu manusiawi banget. jadi, jangan dibandingin. kalo dibandingin mah, ampe milenium berikutnya juga kita bakalan malu mulu kalo sedih.
udah dev, nangis kejer lagi aja.... kalo kurang embernya, kasitau gue.
gak usah malu lah dev kalo sedih...gue kalo sedih dan gak bisa ngeluarin kayak gitu, trus main game aja sampe capek....wanna try?
waaahhh... walau baru niat sedih aja susah, ga berarti gak boleh sedih jeng...