Tiga minggu yang lalu Hikari mengikuti psikotes di sekolahnya. Iya, psikotes. Untuk anak TK kecil (umur 4 tahun). Dan tidak untuk melamar pekerjaan.
Katanya sih, jaman sekarang udah model anak tk disuruh psikotes...
Si Barb, kawan saya itu, berkomentar heboh. "What? Psychotest? Is he going to work somewhere?!"
Haha. Funny.
Lebih konyol lagi, saya dan Papap juga gak bisa menjelaskan kenapa anak tk kudu ikut psikotes. Walau begitu kami ingin berbaik sangka dan kami berpikir mengenai kemungkinan manfaat dari tes ini.
Di surat resmi dari sekolah Hikari ditulis bahwa psikotes itu memerlukan waktu kurang lebih 2 jam. Wah, bukan main-main nih, pikir kami. 2 jam, gitu loh! Ngapain aja anak tk 2 jam di dalam kelas?
Lalu, hari itu pun datang. Sabtu pagi.
Ada persiapan?
Selain makan pagi dan nonton Dora the Explorer, tidak ada persiapan lain.
Anak tk, gitu loh.
Ketika kami sampai di sekolah, kericuhan sudah dimulai. Entah panitianya yang agak bodor karena ternyata satu kelas tes diisi oleh 20-an anak tk, atau pihak sekolah yang PD karena menaruh segitu banyak anak untuk di tes di dalam satu kelas (ada beberapa kelas). Akhirnya yang terjadi adalah di kelas beberapa anak nangis kencang luar biasa karena tidak mau ditinggal ortunya dan merasa asing dengan wajah-wajah panitia. Sudah begitu, panitia kok membiarkan ortu, kakek-nenek, babysitter, pembantu, dan banyak orang lain nongkrong di depan kelas-kelas itu. Alhasil, di dalam kelas penuh teriakan dan tangisan, di luar kelas penuh obrolan ngalur-ngidul. Saya dan Papap menghindar dan memilih menunggu di area yang berbeda, sementara Hikari duduk nyaman di mejanya sambil ngobrol dengan seorang cewek (itu yang kami lihat terakhir sebelum kami pergi).
Belum 45 menit kami menunggu, saya melihat sosok Hikari muncul di kejauhan.
Eh, itu anak ngapain? Kok udah keluar?
Dengan riang, dia menghampiri kami. "Ayo, Pa, kita ke Junction."
Kami syok.
"Kok Hikari sudah keluar?"
"Sudah selesai belajarnya."
"Ah, yang benar?"
Si Papap langsung menyuruh saya balik ke kelas tes tadi dan bertanya langsung ke panitia. Ternyata Hikari tidak berbohong.
"Iya, bunda. Hikari sudah selesai."
"Ha? Sudah?" Mata saya membelalak menatap teman-teman Hikari yang lain yang masih berada di dalam kelas dan masih sibuk melakukan sesuatu.
"Iya, Hikari sudah selesai lebih dulu. Sudah boleh pulang."
Saya dan Papap tambah syok. Waduh, what did he do?
Sewaktu kami tanya ke anak kunyil itu tentang tesnya, jawabannya singkat. "Aku menggambar balon. Ada seribu balonnya, Ma. Banyak."
Berjam-jam saya, Papapnya, Eyangnya menginterogasi Hikari dengan berbagai cara dan bahasa. Jawabnya tetap sama: Menggambar seribu balon.
Kami tak percaya.
Sungguh, kemarin kami baru merasa berdosa tak mempercayainya karena ternyata Hikari jujur. Tesnya memang hanya menggambar, dan ia menggambar balon. Seribu, seratus, sepuluh, siapa yang tau?
Dan apa hasil tesnya?
Hikari tetap normal dan gak ada keanehan. Papap sampai mengerutkan dahi. Ke-bodor-an Hikari ternyata tak terdeteksi. Yang membuat kami luar biasa takjub adalah hasil tes itu bertolak belakang dengan hasil pengamatan kami dan hasil pengamatan gurunya (yang baru diberikan ke kami oleh si guru pada akhir semester lalu). DAN, hanya dari hasil menggambar saja, si panitia psikotes bisa memberikan prediksi personality Hikari sebanyak 2 halaman penuh! Kami memang bukan ahlinya sih dan mungkin kami (plus gurunya) bisa salah mengambil kesimpulan tentang anak kami sendiri, tapi.... 2 halaman? Dari 30 menit menggambar? Satu gambar? Dengan kondisi hiruk pikuk begitu? Please?
Contohnya: Kalau lihat dari gayanya belajar dan kemampuan matematikanya (gen ini bukan diturunkan oleh saya), terlihat bahwa dia Left-brain dominant banget. Tapi di tes itu ternyata disebut dia Right-brain dominant. Ada lagi hal-hal lain dari hasil tes itu yang membuat saya dan Papap saling bertatapan selama beberapa menit yang sama sekali tidak ada unsur romantisnya.
Ternyata kami tidak sendiri. Maksudnya tidak sendiri bertukar-pandang-tak-romantis itu. Satu aula penuh orang tua berebutan memprotes panitia dalam acara 'Penjelasan Hasil Psikotes' itu. Semua punya keberatan yang hampir sama.
"Anak saya ditulis jenius. Tapi apa saya bisa percaya dia jenius dengan cara tes begini? Hanya dari satu lembar gambar, anda bisa menyimpulkan begitu? Anda bisa punya hasil 2 halaman penuh?"
Lah, yang ditulis jenius aja protes apalagi yang ditulis luar biasa tak biasa...
Sekali lagi kami tak ikut ribut disitu. Kami kan pecinta damai.
Pulang dari acara itu,
"Pap, cari second opinion?"
"He-eh." Ngangguk. "Segera."
"Trus anak ini untuk sementara mo diapain?"
Papap mengernyit memandangi anak semata wayangnya itu. Yang dipandangi malah mengedip-ngedipkan matanya sambil tebar pesona.
"Mungkin kita yang harus di tes sama psikiater, kali."
"Kita? Kamu, kali," jawab Papap dengan muka lurus.
saya juga cenderung kurang setuju (baca : gak setuju banget he he) dengan psikotes pada anak usia dini. Jangankan pada anak usia dini, pada orang dewasa-pun kadang2 saya juga bingung kok, pada hasul tesnya. Kalo yang hitung menghitung dan logika sih, saya paham bahwa itu memang menilai kemampuan matematis dan logika berpikir kita. Tapi kalo udah tes menggambar, walah sampai sekarang pun saya gak bisa melihat hubungannya dengan hal apapun. Masa dari gambar sebuah pohon, bisa terdeteksi macam-macam karakter manusia....Itu untuk orang dewasa apalagi untuk balita. Mungkin kalo Hikari menggambar balon-nya bukan seribu, tapi sepuluh balon, atau ukuran balonnya bervariasi, mungkin hasil psikotes Hikari akan beda lagi yah...:)
ReplyDeleteuri
Dev, mgkn itu kelebihan psikolog dari kita...hasil itu bisa benar dan bisa kurang benar, tergantungkondisi anak saat itu. Wkt dulu anakku TK di-psikotest gitu, gak terlalu aku anggap serius. Masuk SMP test lagi, baru aku mulai memperhatikan hasilnya. Ternyata kadang bisa sangat diluar pengamatan kita, dan kita cuma bisa memfasilitasi yg dia butuhkan.
ReplyDeletebtw, Junction? you're in the same area with me, Dev...
terus hasil psikotes ortunya gemana, eh ibunya ? :D...
ReplyDeleteMbak Dev, happy belated bday yaah, smoga smoga smoga semuanyaaa....amiinn
ReplyDeletedulu gw waktu mo masuk TK juga ikutan psikotes di suatu TK di jkt timur, hasilnya gag diterima di TK itu, mungkin kerena terlalu jongkok:D, begitu lulus SD gw daftar di SMP yg sama brand-nya dengan TK itu, hasilnya IQ gw paling tinggi sesekola, sampe gag percaya gw...lagian salah satu yang gw inget di psikotes TK itu yah sama kek hikari, disuruh nggambar2, sama disuruh ngancingin baju sdiri...tapi hasilnya malah bloon berad:D
Kalau ahli dalam bidang pisikologi dan bimbingan konseling memang waktu kuliahnya ada meteri tentang membaca arti gambar Bu.. jd memang karakter anak bisa dibaca lewat gambar itu ada ilmunya untuk memahami gambar tersebut... Bahkan tes menggambar itu bisa dilakukan kepada orang dewasa..
ReplyDelete