"Gue ulang tahun kemaren," kata teman saya. "Lampu di rumah mati, trus mobil mogok!"
Saya diam mendengarkan.
"Eh, adek gue yang di Australi nge-sms." Teman saya menarik napas. "Katanya... Met ultah ya, Sis."
"Seneng, dong?" timpal saya.
"Seneng, jidat lu!" maki dia. "Dia nulis: Met ultah ya, Sis. Dapet kado apa dari si Mas? Siang ini gue juga jadi dikasih BMW Sport yang baru dari mertua gue...."
Huahahahahahaha...
Saya tertawa sampai berlinangan air mata.
Seminggu kemudian, ketika pantat ini panas karena duduk kelamaan di kursi keras, di depan komputer keluaran jaman sebelum Perang Kemerdekaan, di ruang kerja warisan jaman sebelum Orde Baru, sambil mengetik kerjaan yang seharusnya bisa dikerjaan seorang sekretaris (yang tentu tidak saya miliki), Selebriti satu ini menyapa sambil mempertontonkan keindahan kantornya yang baru.
Kok ya pas banget timingnya....
Here are the pages of my life. The pictures may only show the fun sides of my life for I don't regret any single moment in life. Enjoy the pages! I hope you guys enjoy them as much as I do... -March 7, 2005-
Wednesday, February 27, 2008
Tuesday, February 26, 2008
Isi dan Bungkus
Saya belajar kalimat-kalimat bijaksana ini dari sahabat saya, Barb.
Suatu kali, saya terperangah menyaksikan tampangnya yang tenang saja saat diomeli seseorang. Barb, gitu loh. Kalau saya ini Rahwana, maka dia Rajanya Rahwana! Tapi kali itu dia diam saja diomeli seorang Dedemit kantor.
"What she was saying was correct. Why should I be angry?" kata Barb.
Saya melotot. "Elu gak denger dia ngomongnya begimana?! Kurang ajar banget mulutnya! Dan elu masih bisa senyum-senyum malaikat gitu?!"
Justru saya yang meranggas.
Dedemit satu itu memang sangat terkenal. Kalau ngomong, dia suka gak liat-liat tempat dan gak liat-liat orang. Saking penglihatannya seburem itu, kalau ngomong dia juga sering kali tidak mengatur bahasanya. Dia tidak pernah membedakan bahasa untuk ngomel ke kuli di pasar dengan bahasa untuk ngomel ke para senior (baca: ibu dan bapak) atau teman sejawat di kantor. Saya tidak suka bahasanya. Saya tidak suka penglihatannya.
Barb, si Raja Rahwana, itu hanya menjawab santai. "It's the packaging that looks bad. Not the content inside."
Saya masih keki. Namun saya juga sadar, Barb benar.
Saya jadi ingat si Mami di rumah. Kadang saya sering gatel-gatel kalau Mami mulai memarahi saya seakan-akan saya masih berumur 15 tahun. Padahal, pesan si Mami hampir selalu benar, walau saya tidak lagi berumur 15 tahun (on second thought, perhaps I'd love to be 15 once again). Hanya gara-gara bungkusnya tidak sesuai dengan selera, saya seringkali tidak mau menuruti si Mami.
Pesan moral kali ini:
Jaga bungkus kalian. Kalau bungkusnya jelek, percuma kita berbusa-busa menyampaikan isi ceramah kita pada orang lain. Nggak ada yang mau dengar! Belum lagi resiko ditabokin orang...
Suatu kali, saya terperangah menyaksikan tampangnya yang tenang saja saat diomeli seseorang. Barb, gitu loh. Kalau saya ini Rahwana, maka dia Rajanya Rahwana! Tapi kali itu dia diam saja diomeli seorang Dedemit kantor.
"What she was saying was correct. Why should I be angry?" kata Barb.
Saya melotot. "Elu gak denger dia ngomongnya begimana?! Kurang ajar banget mulutnya! Dan elu masih bisa senyum-senyum malaikat gitu?!"
Justru saya yang meranggas.
Dedemit satu itu memang sangat terkenal. Kalau ngomong, dia suka gak liat-liat tempat dan gak liat-liat orang. Saking penglihatannya seburem itu, kalau ngomong dia juga sering kali tidak mengatur bahasanya. Dia tidak pernah membedakan bahasa untuk ngomel ke kuli di pasar dengan bahasa untuk ngomel ke para senior (baca: ibu dan bapak) atau teman sejawat di kantor. Saya tidak suka bahasanya. Saya tidak suka penglihatannya.
Barb, si Raja Rahwana, itu hanya menjawab santai. "It's the packaging that looks bad. Not the content inside."
Saya masih keki. Namun saya juga sadar, Barb benar.
Saya jadi ingat si Mami di rumah. Kadang saya sering gatel-gatel kalau Mami mulai memarahi saya seakan-akan saya masih berumur 15 tahun. Padahal, pesan si Mami hampir selalu benar, walau saya tidak lagi berumur 15 tahun (on second thought, perhaps I'd love to be 15 once again). Hanya gara-gara bungkusnya tidak sesuai dengan selera, saya seringkali tidak mau menuruti si Mami.
Pesan moral kali ini:
Jaga bungkus kalian. Kalau bungkusnya jelek, percuma kita berbusa-busa menyampaikan isi ceramah kita pada orang lain. Nggak ada yang mau dengar! Belum lagi resiko ditabokin orang...
Sunday, February 24, 2008
Gelap Bukan Berarti Gelap
Hari Kamis itu, seperti biasa, saya selesai nguli jam 7 malam. Di kantor, kolega-kolega saya sedang ribut menelpon. Isi pembicaraan mereka hanya satu: Di rumah mati lampu gak?
Ternyata hari itu memang hari mati lampu sedunia. Eh, nggak deh, se-Jawa Bali, katanya. Saya sih gak ikut-ikutan menelpon. Bukan karena tidak kuatir tentang padamnya lampu di rumah, tapi karena saya gak punya sisa pulsa di HP.
Perjalanan pulang saya memang agak-agak 'menantang' secara lampu lalu lintas yang saya lalui mati semua. Sepanjang jalan saya menandai daerah yang saya lalui. 80% memang benar-benar mati lampu walau ada beberapa daerah yang beruntung tidak kena pemadaman. Ini mungkin ada urusannya dengan besar kecilnya amalan seseorang...
Sampai di pintu keluar tol Jatiasih, hati saya mulai ikut padam bersamaan dengan gelap gulitanya desa Jatiasih. Saya masih harus nyupir di jalan desa sejauh 7 kilometer lagi untuk bisa sampai di rumah. Namanya juga jalan desa yang punya moto 'lampu jalan itu gak penting', begitu lampu rumah-rumah di sepanjang jalan padam, dunia jadi gelap gulita. Yang saya bayangkan adalah kesepian dalam kegelapan. Setidaknya, itu yang terjadi pada jaman dulu saya masih tinggal di Halim. Begitu lampu mati, mati juga denyut kehidupan manusia satu komplek. Lah, gak ada mati lampu aja, denyut manusia di Halim jarang bisa dirasa begitu bulan sudah menggantikan matahari.
Sambil menyupir saya bernostalgia mengingat kehidupan saya di periode Halim. Kalau gelap kan, realitas sekitar sudah gak keliatan lagi. Belum lagi jalan satu kilometer, saya harus menginjak rem hingga berdecit-decit.
Dodol surodol!!!
Dari depan, belakang, kanan, dan kiri mobil saya, motor-motor berhamburan memenuhi jalanan. Dan, 50% dari motor-motor ini tidak menyalakan lampu!
Ternyata bukan hanya saya yang sakit jantung melihat laler-laler ijo itu bertebaran di jalan. Mobil-mobil lain yang senasib dengan saya juga berjalan pelan, membunyikan klakson tiap 2 meter, dan menyalakan lampu jauh berulang kali. Yang lebih mengerikan lagi, motor-motor itu juga dinaiki satu keluarga dengan anak kecil! Rupanya saat-saat lampu padam seperti itu mereka malah memanfaatkannya untuk jalan-jalan malam!!!
Sampai di rumah, saya merepet panjang lebar tentang kelakuan para pemilik motor itu.
"Bukannya duduk diam di rumah, malah bawa anak jalan-jalan pas lampu mati. Gak tau bahaya apa?!" omel saya.
Pembantu saya tiba-tiba nyeletuk sambil mesem-mesem. "Kan lampu mati, Mbak. Jadi gak bisa nonton TV. Mendingan jalan-jalan naik motor... hehehehe..."
Kalau bukan karena celetukan pembantu, saya sampai sekarang pasti tidak mengerti logika dibalik peristiwa fantastis hari Kamis malam itu.
Ternyata hari itu memang hari mati lampu sedunia. Eh, nggak deh, se-Jawa Bali, katanya. Saya sih gak ikut-ikutan menelpon. Bukan karena tidak kuatir tentang padamnya lampu di rumah, tapi karena saya gak punya sisa pulsa di HP.
Perjalanan pulang saya memang agak-agak 'menantang' secara lampu lalu lintas yang saya lalui mati semua. Sepanjang jalan saya menandai daerah yang saya lalui. 80% memang benar-benar mati lampu walau ada beberapa daerah yang beruntung tidak kena pemadaman. Ini mungkin ada urusannya dengan besar kecilnya amalan seseorang...
Sampai di pintu keluar tol Jatiasih, hati saya mulai ikut padam bersamaan dengan gelap gulitanya desa Jatiasih. Saya masih harus nyupir di jalan desa sejauh 7 kilometer lagi untuk bisa sampai di rumah. Namanya juga jalan desa yang punya moto 'lampu jalan itu gak penting', begitu lampu rumah-rumah di sepanjang jalan padam, dunia jadi gelap gulita. Yang saya bayangkan adalah kesepian dalam kegelapan. Setidaknya, itu yang terjadi pada jaman dulu saya masih tinggal di Halim. Begitu lampu mati, mati juga denyut kehidupan manusia satu komplek. Lah, gak ada mati lampu aja, denyut manusia di Halim jarang bisa dirasa begitu bulan sudah menggantikan matahari.
Sambil menyupir saya bernostalgia mengingat kehidupan saya di periode Halim. Kalau gelap kan, realitas sekitar sudah gak keliatan lagi. Belum lagi jalan satu kilometer, saya harus menginjak rem hingga berdecit-decit.
Dodol surodol!!!
Dari depan, belakang, kanan, dan kiri mobil saya, motor-motor berhamburan memenuhi jalanan. Dan, 50% dari motor-motor ini tidak menyalakan lampu!
Ternyata bukan hanya saya yang sakit jantung melihat laler-laler ijo itu bertebaran di jalan. Mobil-mobil lain yang senasib dengan saya juga berjalan pelan, membunyikan klakson tiap 2 meter, dan menyalakan lampu jauh berulang kali. Yang lebih mengerikan lagi, motor-motor itu juga dinaiki satu keluarga dengan anak kecil! Rupanya saat-saat lampu padam seperti itu mereka malah memanfaatkannya untuk jalan-jalan malam!!!
Sampai di rumah, saya merepet panjang lebar tentang kelakuan para pemilik motor itu.
"Bukannya duduk diam di rumah, malah bawa anak jalan-jalan pas lampu mati. Gak tau bahaya apa?!" omel saya.
Pembantu saya tiba-tiba nyeletuk sambil mesem-mesem. "Kan lampu mati, Mbak. Jadi gak bisa nonton TV. Mendingan jalan-jalan naik motor... hehehehe..."
Kalau bukan karena celetukan pembantu, saya sampai sekarang pasti tidak mengerti logika dibalik peristiwa fantastis hari Kamis malam itu.
Saturday, February 23, 2008
Tanya Kenapa
Satu pertanyaan dadakan Hikari hari ini yang tidak bisa dijawab adalah...
"Mama," tanya Hikari. "Kenapa Mama tidak kaya?"
"Mama," tanya Hikari. "Kenapa Mama tidak kaya?"
Thursday, February 21, 2008
Edward Norton Girl
Jangan tanya siapa Edward Norton itu. Dia memang gak seganteng Keanu Reeves. Atau se-charming Tom Hanks. Atau se-ngetop Ahmad Dhani (*bunuh diri*).
Tapi toh Dia tetap menggila-gilainya!
Sejuta topan badai bisa mampir ke kota Apel Besar, Dia tetap bergeming pada Edward Norton. Mengedarkan mata jelalatannya setiap kali naik Subway. Berharap bisa menemukan sosok Edward -yang katanya sering naik Subway juga- di antara penumpang-penumpang Subway. Girl, you're really a dreamer!
Untungnya Edward Norton gak pernah jadi James Bond. Tak bisa dibayangkan kalau Dia nekat ikut audisi Edward Norton Girl dengan bernyanyi seperti peserta American Idol yang sudah desperado. Apa kata dunia?! Apa kata Simon Cowell?!
Tapi hari ini, akan saya kabulkan mimpinya. Untuk hari ini, sosok Babe akan digantikan dengan Edward. *Dan Babe tidak boleh protes* Akan saya bayangkan dirinya berjalan bergandengan tangan dengan Edward. Tertawa-tawa ria berdua dengan Edward. Bercengkrama asyik dengan Edward. Untuk hari ini. Karena hari ini saya ingin dia bahagia...
Selamat ulang tahun, darling!
I wish I could give you Edward. But I know you already have a better one.
Tapi toh Dia tetap menggila-gilainya!
Sejuta topan badai bisa mampir ke kota Apel Besar, Dia tetap bergeming pada Edward Norton. Mengedarkan mata jelalatannya setiap kali naik Subway. Berharap bisa menemukan sosok Edward -yang katanya sering naik Subway juga- di antara penumpang-penumpang Subway. Girl, you're really a dreamer!
Untungnya Edward Norton gak pernah jadi James Bond. Tak bisa dibayangkan kalau Dia nekat ikut audisi Edward Norton Girl dengan bernyanyi seperti peserta American Idol yang sudah desperado. Apa kata dunia?! Apa kata Simon Cowell?!
Tapi hari ini, akan saya kabulkan mimpinya. Untuk hari ini, sosok Babe akan digantikan dengan Edward. *Dan Babe tidak boleh protes* Akan saya bayangkan dirinya berjalan bergandengan tangan dengan Edward. Tertawa-tawa ria berdua dengan Edward. Bercengkrama asyik dengan Edward. Untuk hari ini. Karena hari ini saya ingin dia bahagia...
Selamat ulang tahun, darling!
I wish I could give you Edward. But I know you already have a better one.
Tuesday, February 19, 2008
Bloggerhood
Biar pun kata orang blogger saya itu rada narsis, banci tampil, penulis keroyokan, dan makhluk yang ramenya cuma di depan komputer doang, saya percaya dengan rasa persaudaraan di jagat blogsphere ini.
Coba bayangkan: saat saya baru datang ke Jepang dan masih bloon pisan, ada blogger Nagaoka yang tiba-tiba menyapa. Tau-tau saya dapat teman baru! Tau-tau dapat ilmu baru.
Lalu ketika saya pindah ke Tokyo dan kehabisan mainan, ada blogger Tokyo yang muncul membawakan dvd. Sayangnya kita gak sempat ngopi di Shinjuku karena saya keburu pulang.
Seminggu lalu, ketika saya harus ngantor di Solo, seorang blogger Solo menyelamatkan saya dari jadwal kerja yang tidak berperi kemanusiaan itu. Mas satu ini memberi saya daftar tempat di Solo yang bisa dikunjungi tanpa harus mengorbankan jam kerja saya hehehe...
So, I really do believe that bloggerhood exists!
Coba bayangkan: saat saya baru datang ke Jepang dan masih bloon pisan, ada blogger Nagaoka yang tiba-tiba menyapa. Tau-tau saya dapat teman baru! Tau-tau dapat ilmu baru.
Lalu ketika saya pindah ke Tokyo dan kehabisan mainan, ada blogger Tokyo yang muncul membawakan dvd. Sayangnya kita gak sempat ngopi di Shinjuku karena saya keburu pulang.
Seminggu lalu, ketika saya harus ngantor di Solo, seorang blogger Solo menyelamatkan saya dari jadwal kerja yang tidak berperi kemanusiaan itu. Mas satu ini memberi saya daftar tempat di Solo yang bisa dikunjungi tanpa harus mengorbankan jam kerja saya hehehe...
So, I really do believe that bloggerhood exists!
Friday, February 08, 2008
Thursday, February 07, 2008
Snow, over there...
Hi Devina san!
This year, it is extreeeeeemly cold and we had snow
twice so far in Honjo or some other places including Tokyo. GITS students and their families or kids who saw the snow for their first time were all excited very much!! You can imagine their reaction, can't you?
Snow is beautiful. I have no objection about it. It covers everything,
mountains, trees, roofs of houses, fields, or even thin telephone
cables too. Everything becomes white and the scenery is so beautiful.
An email from a good friend in Honjo reminds me of how much I miss the city. And how much I miss my friends back then.
The view of one snowy morning, from the top of Honjo dormitory.
Friday, February 01, 2008
Generasi Hikari
Bapak itu berseru-seru lantang. Marah. Menunjuk-nunjuk muka si Supervisor. Dia merasa terhina karena anaknya (kelas 4 SD di sekolah mahal di Jakarta) diberi surat pemberitahuan Belum Membayar Biaya Kursus selama 1 bulan sehingga harus Kehilangan Tempat Kursus kepada Peserta yang Sudah lebih dulu Membayar.
Si Supervisor, walau kelihatan menahan emosi, melayani dengan sabar dan santun. Satu jam penuh!
Didengarkannya semua emosi si Bapak, dari yang sedikit masuk akal sampai yang tidak masuk akal sama sekali. Tapi, si Bapak tidak mau tahu! Anaknya harus tetap kursus di jam yang dia mau!
"Saya sanggup bayar dua kali lipat!"
"Saya hanya salah sedikit kenapa diberi peringatan seperti ini?!"
"Anda mendapat suap dari orang tua yang lain ya?!"
"Saya ini wartawan!"
Kali lain, seorang Ibu juga memaki-maki petugas lain. Persoalannya kurang lebih sama: si Ibu bertanya kenapa nama anaknya tidak ada di papan pengumuman kenaikan kelas. Ketika dijawab bahwa si anak belum ikut ujian, si Ibu marah dan tidak percaya. Menuduh si petugas berbohong.
Bukti diberikan. Bukannya menerima bukti, si Ibu malah lebih marah lagi. Menuduh si petugas lalai tidak memberi tahu jadwal ujian (yang diberikan ke ortu melalui surat) kepada anaknya. Dia lalu menuntut anaknya diuji hari itu juga! Dan hasil tesnya keluar hari itu juga!
Iming-iming uang, rayuan kencang, sampai memuntahkan emosi yang tidak pada tempatnya.
Bila satu tahun ada 365 hari, kejadian seperti tadi bisa berjumlah setengahnya.
Seorang pengajar melintas di depan saya sambil bergumam pelan, "hal begini ini yang membuat guru malas mengajar. Orang tua yang model mereka!"
Saya tidak menjawab. Saya hanya mengelus dada.
Kami, para guru, berusaha mati-matian mendidik anak-anak ini. Menjaga moral dan manner mereka. Sayangnya anak-anak ini mendapat contoh yang paling dekat dengan mereka. Moral dan Manner orang tua mereka sendiri.
Dan, produk dari orang tua model begini adalah generasinya Hikari...
Si Supervisor, walau kelihatan menahan emosi, melayani dengan sabar dan santun. Satu jam penuh!
Didengarkannya semua emosi si Bapak, dari yang sedikit masuk akal sampai yang tidak masuk akal sama sekali. Tapi, si Bapak tidak mau tahu! Anaknya harus tetap kursus di jam yang dia mau!
"Saya sanggup bayar dua kali lipat!"
"Saya hanya salah sedikit kenapa diberi peringatan seperti ini?!"
"Anda mendapat suap dari orang tua yang lain ya?!"
"Saya ini wartawan!"
Kali lain, seorang Ibu juga memaki-maki petugas lain. Persoalannya kurang lebih sama: si Ibu bertanya kenapa nama anaknya tidak ada di papan pengumuman kenaikan kelas. Ketika dijawab bahwa si anak belum ikut ujian, si Ibu marah dan tidak percaya. Menuduh si petugas berbohong.
Bukti diberikan. Bukannya menerima bukti, si Ibu malah lebih marah lagi. Menuduh si petugas lalai tidak memberi tahu jadwal ujian (yang diberikan ke ortu melalui surat) kepada anaknya. Dia lalu menuntut anaknya diuji hari itu juga! Dan hasil tesnya keluar hari itu juga!
Iming-iming uang, rayuan kencang, sampai memuntahkan emosi yang tidak pada tempatnya.
Bila satu tahun ada 365 hari, kejadian seperti tadi bisa berjumlah setengahnya.
Seorang pengajar melintas di depan saya sambil bergumam pelan, "hal begini ini yang membuat guru malas mengajar. Orang tua yang model mereka!"
Saya tidak menjawab. Saya hanya mengelus dada.
Kami, para guru, berusaha mati-matian mendidik anak-anak ini. Menjaga moral dan manner mereka. Sayangnya anak-anak ini mendapat contoh yang paling dekat dengan mereka. Moral dan Manner orang tua mereka sendiri.
Dan, produk dari orang tua model begini adalah generasinya Hikari...