1. Judulnya?
2. Cover-nya?
3. Penulisnya?
4. Sinopsisnya?
5. Ceritanya secara keseluruhan?
6. Nilai-nilai yang disisipkan di dalamnya?
7. Editing-nya?
8. Harganya?
I love reading.
Tidak seperti film, saya tidak pernah menghakimi sebuah buku dari nilai-nilai yang dianut penulisnya. Atau sinopsisnya. Atau penulisnya. Atau malah covernya. Apalagi judulnya.
Beberapa kali saya berhenti membaca satu buku tanpa selesai. Itu biasanya karena:
a. Otak saya ternyata nggak nyampe dalam menelan isi buku.
b. Tanpa menyelesaikan membaca, saya sudah tahu kesimpulan buku itu.
c. Itu buku matematika. Atau aritmatika. Atau statistika. Atau apapun yang berbau tika-tika...
Tapi, saya tidak pernah berhenti membaca satu buku karena saya benci cerita di buku itu.
Hal yang sama terjadi kemarin ketika saya membeli sebuah buku yang berkaitan dengan satu hukum agama setebal kurang dari 100 halaman. Judulnya anggap saja sama seperti "Apakah kita boleh makan menggunakan sendok?"
Sampai halaman 55, si penulis masih berputar-putar dengan cerita 'Sendok adalah... dan Gunanya Sendok adalah..." Perkara Apakahnya belum juga disentuh. Eeh, belakangan, perkara apakah saya boleh makan menggunakan sendok hanya dibahas kurang dari 5 halaman. Itupun tidak ada kesimpulan yang dimulai dengan kata "Jadi...".
Kecewa dengan buku itu? Jelas. Tapi benci? Nggak tuh.
Selama ini saya tidak pernah membenci satu buku dengan alasan jelas. I love reading. Bahkan koran gurem yang dari kertasnya aja sudah gak enak di mata, tetap saya baca, tak peduli beritanya juga cuma yang gurem-gurem aja. Saya tetap membaca semata-mata untuk memuaskan mata saya.
Tapi beberapa waktu lalu saya membeli sebuah novel. Covernya keren. Judulnya modern. Ceritanya tentang kehidupan perempuan cantik yang sibuk dan mandiri yang tinggal di kota besar. Seharusnya saya merasa 'gue banget gitu loh' (terutama yang bagian cantik dan mandiri tinggal di kota besar haha!).
Nyatanya... Tidak sama sekali!
Dan itu bukan karena jalan ceritanya, bahasanya, editingnya, etc.
Ada satu hal di buku itu yang membuat saya -sebagai seorang yang senang membaca- menjadi tersedih-sedih bukan main. Satu hal itu adalah kesan. Cerita di buku itu memberi kesan yang sama ketika seseorang mengelompokkan manusia berdasarkan kasta: the haves, the so-so, atau the neither-one. Membaca novel itu membuat saya seakan-akan masuk ke sebuah kelompok eksklusif dimana saya tidak diundang tapi dengan nggak tau dirinya malah nongol di pertemuan kelompok itu. Lalu, untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya membenci sebuah buku.
Kalau anda, apa yang membuat anda membenci sebuah buku?
lagi seru-serunya baca ehh entah salah jilid ato salah kirim ato apalah yang membuat beberapa halaman hilang! bete deh
ReplyDeleteYang gw sebel ... yang whiny mewek2 dan yang menggurui
ReplyDeletejadi, yang dibenci itu tadi, buku apa mbak?
ReplyDeletenot my kind of book: yang ada angka-angkanya. langsung gue permisi undur diri babai dadah deh.
ReplyDeleteps. kabar baik De. jadi kapan itu sarana internet disiagakan?
setuju sama Santi, yang menggurui..
ReplyDeleteBuat Erma: rahasia dong! Nanti gue digebukin yg nulis buku. Tapi itu novel keluaran baru2 aja. hehehe
ReplyDeleteMbak...judul buku yg bagus itu apa ya? mau tau dong... pengen baca jg nih...
ReplyDeletebelum ada sih yang saya benci bener2. tapi kalo yang bikin saya brenti membaca sebuah buku, biasanya karena:
ReplyDelete1. buku terjemahan yang membuat saya empat kali berpikir lebih keras dibanding baca buku aslinya dalam bahasa... Inggris :p
2. salah jilid yang udah kelewatan. kalo cuma satu dua halaman sih, tetep dilanjut
3. mmm...apalagi ya? mungkin kalo baca buku yang mbak akhirnya ga suka itu. emang buku apa sih mbak? hihihi...
oh iya, kapan bukunya terbit lagi?