"Tok tok tok..."
"Hai, Wan!" (nama disamarkan)
"Hai, Ton!"
"Wah, sudah lama kita tidak berjumpa ya?"
"Iya. Gimana kabarmu, Ton?"
"Aaah, ini loh. Perusahaanku ditagih pajaknya."
"Ooooh." (sambil tertawa terpaksa)
"Ternyata besar juga ya?"
Benar-benar tertawa terpaksa.
"Untung aku punya teman disini." (sepertinya pakai kedip-kedip mata) "Bantu lah aku. Jangan kuatir deh. Nanti aku kasih ehem ehem buat kamu."
"Wah. Maaf, teman. Aku tidak bisa. Aku sudah bersumpah kepada negara... bla bla bla..."
"Ah! Kamu kan temanku! Sok suci kamu!"
Gubrak! (Banting pintu)
"Ada apa, Pak? Ada apa, Pak?" (suara anak buah panik)
(Tersenyum bijak) "Tidak ada apa-apa. Hanya orang yang mencoba untuk membujuk saya berbuat yang tidak benar."
(Suara hati bicara) "Ternyata kamu yang bukan teman sejatiku. Kamu memaksaku berbuat yang tak sesuai dengan hati nurani bla bla bla..."
Basi banget, kan?
Yet, it sticks in my head like... forever.
Coba baca lagi kalimat terakhir si tokoh baik budi ini.
"Ternyata kamu bukan teman sejatiku."
Mirip dengan kalimat pada iklan anti narkoba.
"Teman sejati tidak akan membuatmu mati."
Yang sepertinya cocok juga dipakai untuk iklan anti teroris.
Saya membayangkan diri saya sebagai petugas pajak itu.
Terjepit antara kewajiban untuk berbuat jujur dan kewajiban untuk menjaga nilai pertemanan.
Saya membayangkan diri saya sebagai si korban narkoba itu.
Terjepit antara keinginan untuk lepas dari obat laknat itu dan keinginan untuk menyenangkan teman.
Karena saya bukan petugas pajak dan bukan korban narkoba, dan bukan pula petugas pajak yang terkena narkoba, saya mudah sekali bilang, "ya, jangan mau berteman dengan dia! Teman kok menjerumuskan begitu!"
Tapi kalau anda pernah berada pada posisi dimana nilai kesetiaan anda diuji oleh teman anda dari kesediaan anda mengikuti apa mau si teman.... ehem... ternyata tidak mudah ya.
Di luar kemasan iklan yang basi itu, saya mendapati suatu pesan bijak -yang entah sengaja atau malah tidak sengaja keluar dari iklan itu- akan nilai pertemanan.
Kamu kan temanku. Kenapa kamu tidak mau menolongku?"
"Katanya kamu kan temanku. Kok tega kamu membiarkanku begini?"
"Apa artinya kamu jadi temanku kalau kamu tidak mau mengikuti mauku?"
Dia yang berpikir temannya seharusnya mau menolong dia dengan cara mematikan hati nurani sesungguhnya tak pantas kita jadikan teman.
Seorang teman tidak akan pernah menaruh diri kita pada posisi dimana kita harus membutakan mata keadilan dan membisukan hati nurani hanya demi dirinya seorang.
Bawa pertemananmu ke tempat lain saja.
seorang teman SEJATI akan membantu kita MENEMUKAN hati nurani kita bila itu hilang entah dimana, termatikan atau terbisukan. mengingatkan bila kita lupa kalau kita memilikinya.tanpa kita merasa terpaksakan.
ReplyDeletenamanya juga SEJATI.pasti susah nyarinya....
hmmm....rasanya iklan ini jadi mengingatkan banyak kasus pertemanan hari2 belakangan inin :D
ReplyDelete*nyatet dalam hati*
teman sejati....
ReplyDeletetidak usah dicari...
akan datang sendiri....
tak akan pergi...
meskipun dimaki-maki...
saya pernah tuh berada diposisi si petugas pajaknya dan sumpah rasanya gak enak bener...dilema...dilema...
ReplyDeletemasa sih ada aparat pemerintah yg kayak gitu? basi deh..
ReplyDelete*gak percaya ama aparat pemerintahsoal pemberantasan korupsi*
well,...ehm,...
ReplyDeleteDaff, Ken: teman sejati kalian memang baik sekali ;)
ReplyDeleteJeng Yati: benerrrrr banget. Ternyata jaman skrng berteman kudu nunjukin surat kelakuan baik hehe
bukan facebook: trus? apa yg terjadi?
Mas Zam: pengalaman buruuukkkhhh ya?
Je: maksudnya tuh apa ya?