Fasilitas

Kata orang, manusia yang kreatif itu adalah manusia yang kalau diberi kesempitan fasilitas akan berusaha sedemikian rupa menggunakan akalnya sehingga fasilitas yang terbatas tidak menjadi penghalang kreatifitasnya.

Sekarang, please do tell me...
Kalau fasilitas koneksi internetnya dodol n bloon, kita harus kreatif ngeblog seperti apa ya?
Mengirim surat berperangko ke blogger dot com yang berisi postingan terbaru kita setiap kali kita mau update?

Yeah, right!

Grrrhhhh.........!!!

Apa yang pertama kali dilakukan perempuan-perempuan Indonesia (oke deh, dan beberapa laki-lakinya) yang bermukim di luar negeri ketika sedang kembali ke tanah air? Cari makanan khas Indonesia? Ah, udah basi kali je. Perempuan sekarang kan banyak yang pinter masak, terutama yang bermukim di luar negeri. Ini bukan pujian, tapi kenyataan. Lah, kalo gak memaksakan diri untuk pinter masak di negeri orang, sapa yang mau masakin toh?
Eh, jadi ngelantur. Oke, pertanyaan di atas tadi, apakah sudah bisa dijawab oleh para hadirin sekalian?
Blum?
Duh!
Jawabannya itu hanya satu: POTONG RAMBUT!
Kok?
Potong rambut di luar negeri itu banyak bikin miris hati, karena. Pertama, tentu saja, karena harganya muahaalll. Tapi, buat saya, bukan itu yang jadi soal. Kalau kasus saya, potong rambut di negeri nyang itu sungguh melelahkan dan membuat sport jantung. Gimana gak sport jantung? Saya dan si pemotong rambut tak pernah bisa sebahasa dan sepaham. Ujung-ujungnya, potong rambut di situ entu malah bikin capek karena kudu jungkir balik menggerakkan segala badan menirukan bahasa Tarzan. Belum pernah tuh saya dipotong rambut sesuai dengan yang saya pesan. Segitunya saya sudah pernah nekat menyimpan rasa malu dengan meminta tolong teman lokal untuk menuliskan instruksi-instruksi pemotongan rambut saya. Satu-satunya yang menjadi penghibur hati saat potong rambut disana adalah pelayanan plus penyambutan yang 100% memuaskan ditambah dengan kursi cuci rambut yang gak pernah bikin leher patah tulang…

Naaah, sekarang saya kembali ke tanah air tercinta. Harusnya tak ada lagi masalah potong memotong rambut toh? Well, guess what?
Sebulan setelah saya beredar di kampung halaman, rambut ini sudah mulai bikin gerah. Potong aaaahhh, pikir saya. Maka pergilah saya dan si rambut ke suatu mall ngetop yang jaraknya selemparan sepatu dengan Cikeas itu. Kaki ini pun mantap rasanya melangkah ke gerai potong rambut yang franchise-nya ada dimana-mana. Setelah memastikan kalau gerai yang saya tuju benar-benar tempat pemotong rambut profesional (dan bukannya sekolah pemotong rambut yang isinya para pemotong rambut pemula sedang memotong rambut korbannya), saya dengan PD-nya melaporkan diri ke resepsionis.
“Mbak, saya mau potong rambut.”
Si Embak melirik. “Duduk dulu deh, Mbak.”
Oke lah, batin saya. Gak pake senyum manis dan penyambutan sempurna pun tak apa. Saya cuma perlu potong rambutnya.
“Berapa orang lagi, Mbak?” tanya saya.
“Satu.”
Asiiiikkkkkk, sorak saya dalam hati.
Lima belas menit kemudian saya masih menunggu di seberang meja resepsionis yang maha tinggi dan lebar itu.
Setengah jam…
Empat puluh lima menit…
……………..
Kok gak ada pergantian pelanggan? Mana yang menunggu (selain saya)? Dua orang pemotong rambut sudah selesai dengan pelanggan mereka…
Tiba-tiba seorang cewek berambut pirang panjang (bukan bule), berbaju baby doll, bercelana legging masuk. Si Mbak resepsionis langsung menyambut. Mau creambath dan potong, kata si cewek itu. Silahkan cuci rambut, balas si Mbak Resep.
Lho kok? LHO? LHO KOK?

Saya pun berdiri menghampiri resepsionis (telat banget gak seeh?!).
“Mbak! Saya mau potong rambut MASIH LAMA?!!!”
Si mbak terbelalak. “OOOOOhhh… ya ampun… saya lupa kalau ada Embak…”
Cerita setelah kejadian ini saya hilangkan secara sengaja.

Proses selanjutnya, saya dilayani oleh (sepertinya) laki-laki muda berambut ikal dicat pirang yang penampilannya sungguh fashionable. Saya jadi menyesal datang dengan celana pendek dan kaos belel. Tanpa dandan pula.
Si Mas pirang itu membolak-balik helai rambut saya dengan dua jarinya sambil melirik tak tertarik.
Waduh, nih orang sepertinya kok bete banget liat gue sih?!
“Kamu gak mau dicreambath?” tanyanya.
Ealaaahh… dia ber-kamu-kamu. Disangka anak SMP kali gue ini je?
“Gak. Saya mau pergi lagi.”
Mulutnya membentuk huruf O.
“Rambut kamu tipis ya…”
“Iya…” Duh.
“Halus banget sih.”
“…..”
“Jidat kamu juga lebar ya.”
“???”
“Supaya gak kelihatan tipis dan bisa nutupin jidat kamu yang lebar, dipotong model Yuni Shara aja lah….”
“….”

Orang itu membuat saya dekat dengan Tuhan. Dia berhasil membuat saya Istigfar sepanjang masa. GUE GITU LOH YANG BAYAR ELU. KENAPA JADI GUE YANG DIHINA-HINA??????!!!!!!!!!!!!!!!!!

Aaarrrgghhh!

As the personification of Idefix, Obelix’s cute little dog in Asterix and Obelix, I am furious slash angry slash mad slash enraged slash infuriated slash upset to read the news about the preparation set by the government to welcome His Majesty George W. Bush. I don’t care about the: why he is coming, where he is coming or when, how he is coming, who is going to meet, whom is going to see him, what mission he is carrying, which party is going to protest against him, bla bla bla… I don’t care. Besides, those things don’t matter. What we will do about those things- that matters.
However, I am, really, am FURIOUS when I learned where he will be getting off!!! That man is going to get off his big-bad helicopter in BOGOR BOTANICAL (and historical) GARDEN, next to a pond filled with beautiful lotus flowers, among thousand collections of hundred-years-of-age plants, and at the same time, sacrificing the green grass. Dear God, whhhyyyy thereeeeeeee? This is so worth protesting!

Handphone, si Mami, dan Kacamata

Saat di Jepang dulu (hmm… sepertinya saya sekarang selalu memulai tulisan dengan kalimat begini? *mikir*), ada sebuah iklan handphone untuk para manula. Di negeri yang segala apa bisa dikerjakan dari handphone (termasuk bayar belanjaan dan beli karcis kereta), handphone buat manula sepertinya dan seharusnya bukan suatu hal yang aneh.

Ah, ternyata tidak begitu.

Pada kenyataannya, bagi orang-orang tua generasi perang dunia kedua (apalagi pertama!), handphone itu musuh, bukan kawan. Memakai handphone itu seperti memakai mesin ATM (apalagi kalo mesinnya super canggih dan menggunakan kanji); dipencet tombolnya, malah nanya melulu, gak dipencet, uang gak keluar. Buat Sensei-sensei saya dan para kerabat serta teman sesama manula, handphone bukan barang bawaan. Apalagi barang pakai-an. Maka, ketika ketika iklan hp buat manula itu muncul, saya pun tersenyum geli (sementara sensei saya tersenyum kecut).

Di iklan itu digambarkan dua orang kakek-kakek beruban (yang masih gagah berkumis memakai yukata lengkap) sedang membicarakan hp milik kakek A. Si kakek B terlihat agak alergi dan ngeri begitu kakek A mengeluarkan hpnya. Kata si kakek A, “hohoho… hp ini manula-friendly looh. Liat niiiiyyy…” Lalu, si kakek A pun memencet sebuah tombol dan segera saja suara cucunya terdengar dari seberang sono. Dan ketika ia selesai bicara, kakek A hanya perlu memencet tombol yang sama. Mudah toh? Maka kakek A dan B pun tertawa bersama.
Iklan itu keburu selesai sebelum saya sempat bertanya: kalau mau nelpon ke nomor lain, gimana caranya?

Sesampainya saya di Jakarta, si Mami yang baik hati merelakan nomer hp plus pulsanya dan tentu saja beserta tempat SIM cardnya (baca: handphonenya) untuk saya. No worries, kata si Mami. Ternyata beliau punya 4 nomor dan 3 hp! Haiyyyaah!!!

Soal hp, manula pemakai hp disini ternyata jauh lebih canggih dari negeri yang tadi saya ceritakan itu karena disini gak ada hp untuk manula. Si Mami yang juga sudah nenek-nenek itu (bow, udah punya cucu kan…) ternyata hp-hpnya selalu super canggih. Mami bisa pakai Bluetooth, bisa pake fasilitas denger-denger musik, bisa ini itu. Kebalikannya, si Babeh –yang ahli radar n satelit itu- malah gatek berat kalo soal hp. Tiap kali si Babeh mau pake hpnya (yang hanya untuk nelpon saya, adek-adek saya, atau si Mami), pasti minta pencetin kita sehingga dia hanya tinggal mangap doang. Balik lagi ke si Mami, dari datang sampai sekarang ini saya sering ternganga-nganga ngeliat Mami mamerin kebolehan hpnya. Saya nganga bukan liat hpnya; saya nganga liat gaya Mami. Nenek-nenek, gitu looh. Saya jadi berasa dinosaurus banget.

Tapi kecanggihan hp sini dan pemakai manulanya terbentur satu masalah.
Suatu kali, saat sedang memamerkan kebolehan hpnya –dan dirinya, tentu saja- hp si Mami berbunyi. Panggilan masuk. Si Mami memegang hp itu sekitar selengan jauhnya. Matanya mengernyit-ngernyit.
Kita: Gak dijawab, Mam?
Mami: hmm? (sambil bolak-balik merhatiin si hp)
Panggilan masuk itu pun berhenti.
Eh, nyala lagi!
Si Mami kembali mengernyit-ngernyit melihat si hp.
Kita: WOI! Gak dijawab? (maksudnya: brisik, euy!)
Mami: Ngggg… kacamata Mama mana ya?
Panggilan masuk kedua tadi berhenti lagi.
Sedetik kemudian, hp bunyi lagi!
Kita: MAAAAAAAAAKKK, itu hp mau dijawab gak seeehhh?!
Mama: lagi nyari kacamata dulu.
Kita: ngapain juga nyari kacamata dulu?
Mama: kan mau lihat siapa yang nelpon. (dengan nada kalem-kalem aja. Pada saat ini si hp udah bunyi untuk yang keempat kalinya)
Kita: emangnya kalau gak kenal sama nomer telponnya trus gak dijawab?
Mami: ya, dijawab juga dong.
Lhaaa????

Sekarang saya gak heran lagi kalau lihat orang-orang seumur emak saya yang hanya diam memandangi hpnya sementara si hp menjerit-jerit digenggamannya. Ini bukan karena para manula negeri ini pada gatek. Tuh orang pasti lagi gak bawa kacamata.

Blogger Templates by Blog Forum