Expectation. Yours truly.
Saturday, November 01, 2008 by Mariskova
Dulu, duluuuu banget, sewaktu saya masih umur-umur SMP dan SMA, si Mami selalu mengomeli saya setiap kali beliau mendapati saya sedang uring-uringan karena kecewa. Kecewa terhadap tingkah laku, perlakuan orang kepada saya.
Ya. Saya memang seringkali marah, kecewa, ujung-ujungnya uring-uringan sakit hati setiap kali ada orang yang seenaknya membatalkan janji atau mengingkari ucapannya pada saya.
Seorang tante yang (lebih dari 3x) secara last-minute membatalkan janji dengan saya.
Seorang kerabat lain yang (juga lebih dari 3x) menarik ucapannya.
Seorang teman yang (bolak-balik) cuma bisa janji-janji untuk ini itu.
Berbeda dengan banyak orang yang menganggap pembatalan janji tanpa alasan, penarikan ucapan tanpa rasa tanggung jawab, pengumbaran kata-kata tanpa nilai-nilai, pemberian janji tanpa niat untuk melakukannya itu suatu hal yang biasa, lumrah, tak perlu dimasukkan hati, saya tidak bisa melihat kelumrahan dibalik semua itu.
Saya bisa termangu-mangu.
Berpikir keras tentang alasan logis yang -menurut saya- harusnya ada.
Lalu, menangis diam-diam.
Menurut si Mami, sebagai manusia, saya terlalu punya ekspetasi tinggi terhadap manusia lain.
Menurut si Mami, saya terlalu menganggap tinggi nilai-nilai para manusia.
Menurut si Mami, hanya karena saya selalu (berusaha) lurus dan baik, saya jadi menganggap atau mengharapkan orang juga selalu lurus dan baik.
Menurut si Mami, hanya karena saya selalu menepati janji, saya berharap orang lain juga menepati janji mereka.
Menurut si Mami, hanya karena saya bekerja keras, saya berpikir orang lain juga harusnya melakukan hal yang sama.
Menurut si Mami, saya itu.... antara bodoh dan naif...
Si Mami, sebagai seorang ibu, benci melihat saya sakit hati.
Sejak dulu, si Mami selalu menasihati (dengan nada yang enggak bisa dibedain dengan ngomel-ngomel) saya supaya tidak terlalu polos. Tidak terlalu melihat dunia dengan nilai kesempurnaan yang tinggi.
Kalau berjanji, harus ditepati.
Kalau berkata, harus ada integritas.
Kalau berpikir, harus logis.
Kalau berjiwa, harus manusiawi.
Saya berusaha. I could say I did. I tried very hard.
But, I failed.
Saya kembali menjadi saya.
Yang melihat dunia dengan kepolosan.
Yang memandang manusia dengan ketinggian nilai-nilai integritas.
Yang meminta kesempurnaan dari setiap janji, nilai, pemikiran...
Apa hasilnya?
Saya jatuh.
Bangun lagi.
Jatuh lagi.
Jatuh lagi.
Bangun lagi.
Jatuh.
Kembali jatuh.
Bangun dengan terseok-seok.
Jatuh.
Lalu bangun.
Untuk jatuh lagi.
Si Mami kembali menasihati saya.
Mungkin hati beliau sudah berdarah-darah melihat saya.
Mungkin mata beliau sudah merah menangisi saya.
Tapi satu yang saya tahu pasti.
Jauh di dalam lubuk hatinya,
Beliau bangga pada kegigihan saya.
Untuk berharap pada manusia.
Bukan saya yang harus menurunkan ekspetasi saya kepada manusia.
Ekspetasi saya baik-baik saya.
Biarkan orang lain yang menaikkan nilai dirinya,
untuk memenuhi ekspetasi saya.
Pertanyaan saya sekarang: apakah saya hanya seorang diri?
*untuk teman saya yang hatinya masih penuh pengharapan pada nilai-nilai kemanusiaan. It's still there. Or, at least, I am still here.
Ya. Saya memang seringkali marah, kecewa, ujung-ujungnya uring-uringan sakit hati setiap kali ada orang yang seenaknya membatalkan janji atau mengingkari ucapannya pada saya.
Seorang tante yang (lebih dari 3x) secara last-minute membatalkan janji dengan saya.
Seorang kerabat lain yang (juga lebih dari 3x) menarik ucapannya.
Seorang teman yang (bolak-balik) cuma bisa janji-janji untuk ini itu.
Berbeda dengan banyak orang yang menganggap pembatalan janji tanpa alasan, penarikan ucapan tanpa rasa tanggung jawab, pengumbaran kata-kata tanpa nilai-nilai, pemberian janji tanpa niat untuk melakukannya itu suatu hal yang biasa, lumrah, tak perlu dimasukkan hati, saya tidak bisa melihat kelumrahan dibalik semua itu.
Saya bisa termangu-mangu.
Berpikir keras tentang alasan logis yang -menurut saya- harusnya ada.
Lalu, menangis diam-diam.
Menurut si Mami, sebagai manusia, saya terlalu punya ekspetasi tinggi terhadap manusia lain.
Menurut si Mami, saya terlalu menganggap tinggi nilai-nilai para manusia.
Menurut si Mami, hanya karena saya selalu (berusaha) lurus dan baik, saya jadi menganggap atau mengharapkan orang juga selalu lurus dan baik.
Menurut si Mami, hanya karena saya selalu menepati janji, saya berharap orang lain juga menepati janji mereka.
Menurut si Mami, hanya karena saya bekerja keras, saya berpikir orang lain juga harusnya melakukan hal yang sama.
Menurut si Mami, saya itu.... antara bodoh dan naif...
Si Mami, sebagai seorang ibu, benci melihat saya sakit hati.
Sejak dulu, si Mami selalu menasihati (dengan nada yang enggak bisa dibedain dengan ngomel-ngomel) saya supaya tidak terlalu polos. Tidak terlalu melihat dunia dengan nilai kesempurnaan yang tinggi.
Kalau berjanji, harus ditepati.
Kalau berkata, harus ada integritas.
Kalau berpikir, harus logis.
Kalau berjiwa, harus manusiawi.
Saya berusaha. I could say I did. I tried very hard.
But, I failed.
Saya kembali menjadi saya.
Yang melihat dunia dengan kepolosan.
Yang memandang manusia dengan ketinggian nilai-nilai integritas.
Yang meminta kesempurnaan dari setiap janji, nilai, pemikiran...
Apa hasilnya?
Saya jatuh.
Bangun lagi.
Jatuh lagi.
Jatuh lagi.
Bangun lagi.
Jatuh.
Kembali jatuh.
Bangun dengan terseok-seok.
Jatuh.
Lalu bangun.
Untuk jatuh lagi.
Si Mami kembali menasihati saya.
Mungkin hati beliau sudah berdarah-darah melihat saya.
Mungkin mata beliau sudah merah menangisi saya.
Tapi satu yang saya tahu pasti.
Jauh di dalam lubuk hatinya,
Beliau bangga pada kegigihan saya.
Untuk berharap pada manusia.
Bukan saya yang harus menurunkan ekspetasi saya kepada manusia.
Ekspetasi saya baik-baik saya.
Biarkan orang lain yang menaikkan nilai dirinya,
untuk memenuhi ekspetasi saya.
Pertanyaan saya sekarang: apakah saya hanya seorang diri?
*untuk teman saya yang hatinya masih penuh pengharapan pada nilai-nilai kemanusiaan. It's still there. Or, at least, I am still here.
Salut buat kegigihannya. Hidup integritas. You are not alone, my friend.
you're not alone De.
Alasan yang kebetulan sama yang membuat saya jadi orang paling apatis di dunia
tenang tante.. tengok kebelakang masih ada saya ;;).. ..
lonely? sometime we need that kind of feeling to make us tough ....
But u r not alone of feeling lonely...
hehehe. very inspiring bu guru.
Kontradiktif gak sih, dep? Kita diajarkan untuk menepati janji. Tapi dilain pihak, jangan marah kalo orang nggak nepati janjinya sama kita. Hhmmm... Gue agak susah mencernanya, karena gue KAYAK ELO BANGET, agak2 naif seperti contohnya gue kira semua orang apa adanya kayak gue. Dan ternyata gue salah... :P
uda gitu makin kebentuk di jpn yg slalu bs `on-time` apapun itu ^o^
ganbatte dev^o^!!!
salam kenal ya.. dah lama saya jadi silent reader, kali ini mau bilang.. mengena banget tulisannya.. I'm still there, too, walopun sering berdarah-darah juga..
kalo saya kadang dibilang bodoh dan naif...tapi biarin aja. biarin...