Sunday, January 25, 2009

When YOU alone is not enough...

Pernah dengar cerita ini?

Ada sebuah keluarga dengan tiga orang anak yang Bapak dan Ibunya sangat sibuk. Sang Bapak katanya sibuk bekerja mencari nafkah untuk keluarga. Sang Ibu juga katanya sibuk bekerja menambahi nafkah untuk keluarga. Ada beberapa orang yang
mempertanyakan definisi sibuk bekerja mereka, tapi tidak ada yang benar-benar
peduli.
Saking sibuknya si orang tua, tiap anak diberikan seorang pengasuh.
Untuk menjamin keberhasilan pengasuhan si anak, sang orang tua mempekerjakan
pengasuh yang canggih, digaji lumayan besar, diberi job descriptions yang
njelimet, diminta untuk memiliki jiwa kreatif yang tinggi, dan terutama dituntut untuk bisa melakukan semua tugas tanpa kehadiran pemberi tugas.
Bulan demi bulan, tahun berlalu, sang anak bertambah besar. Dan pintar. Para pengasuh -yang kebetulan adalah orang-orang yang berhati tulus dan penuh kasih- berhasil membuat anak-anak ini tumbuh menjadi anak-anak yang mandiri dan sukses di (setidaknya di sekolah). Dalam perjalanan menuju sukses, anak-anak ini seringkali mempertanyakan hilangnya figur orang tua mereka. Namun setiap kali mereka harus puas dengan jawaban, "kan ada nanny!" Ketika sukses sudah diraih,anak-anak ini kembali mempertanyakan figur orang tua mereka yang seperti frame tanpa foto. Kembali jawaban diberikan, "kan ada nanny!"


Saya pernah berpikir, apa benar sosok orang tua tidak bisa dihapus oleh sosok pengasuh yang mungkin (mungkin) berkualitas sekelas orang tua kandung? Apakah hal ini semacam sesuatu yang sudah menjadi kodrat? Bagaimana perasaan para pengasuh yang sudah menyerahkan hati, pikiran dan tenaganya untuk anak-anak asuhnya tapi masih dianggap belum cukup juga? Bagaimana perasaan orang tua ketika melihat anak-anak mereka bisa sukses dan mandiri walau tanpa campur tangan mereka?

Sudah seminggu lebih saya mengalami kondisi yang kurang lebih sama.
Sudah seminggu ini saya mengerjakan satu proyek di kantor yang yang melibatkan banyak orang. Segala hati, pikiran, dan tenaga saya curahkan untuk mengerjakan proyek ini. Suatu hal yang wajar, saya kira, mengingat saya penanggung jawabnya. Setelah rencana proyek selesai dibuat, pelaksanaannya membuat saya berdebar-debar. Ketika hari pertama usai, saya berucap syukur. Alhamdulillah, semua lancar.
Orang-orang memberi pujian, para karyawan yang menjadi obyek proyek ini berseru puas, para kolega pun mengangguk setuju. Lalu, satu demi satu komentar berbeda dipertanyakan kepada saya. Komentar yang kira-kira sama dengan kalimat, "Mana orang tuanya?"

Seperti cerita keluarga di atas, saya memang cuma berperan sebagai seorang nanny. Walau saya telah mencurahkan segala daya upaya untuk keberhasilan proyek ini, sosok saya ternyata belum cukup untuk memuaskan dahaga seorang anak akan orang tuanya. Walau anak-anak dalam proyek saya memeluk saya dan berterima kasih pada saya karena kesuksesan proyek ini, mereka masih mencari figur orang tua mereka.
Saya tidak sakit hati. Saya hanya berharap saya bisa memberi tahu anak-anak ini alasan ketidak hadiran orang tua mereka. Karena alasan yang sebenarnya dan sejujurnya hanya satu.
Their parents do not really care.

6 comments:

  1. inference : lagi ngomongin boss lu kan??? bukan gue (hheheee)

    ReplyDelete
  2. imho, mungkin si ortunya care, tapi nggak semua ortu punya luxury (waktu terutama) buat nunjukin itu secara langsung ke anaknya.

    di sisi lain, nggak bisa juga soal ketiadaan waktu ini dijadiin alesan buat ortu "mentransfer kasih sayang ke anak" lewat nanny. mereka kudunya ya tetep "always there" buat si anak. too bad, pintu segala masa-nya doraemon itu nggak bener2 ada di dunia nyata. kalo ada, mungkin ortu yang bener2 care yang super sibuk pun akan "always there" dimanapun si anak berada.

    sepengalaman gue menyaksikan interaksi adik gue dengan nanny-nya, dia itu sampe nggak bisa lepas. ibu gue aja nggak digape. pokoknya si nanny udah kayak ibunya aja. lebih sedih ditinggal nanny ketimbang ibu gue. makanya, akhirnya pas si nanny akhirnya kawin dan balik ke desanya, adik gue mewek mulu berhari-hari. itu pas dia masih umur 3 taunan gitu. sekarang mah, kalo gue tanyain, dia LUPA BERAT. nggak inget sama sekali siapa dulu nanny-nya. malah ingetan gue.

    ReplyDelete
  3. kadang lebih baik ngga dipeduliin. i'm used to it already... :-)

    ReplyDelete
  4. OMG, cerita itu seperti nyindir saya de. but i try to give everything for my sons...

    ReplyDelete
  5. thanks atas kunjunganya mbak
    wah tulisanya mantab
    sukses deh

    thanks ya

    ReplyDelete
  6. @ . : Wah, rencana saya semula sih mau nyindir bos saya hehehehe...

    ReplyDelete