Suatu kesia-siaan...
Thursday, May 21, 2009 by Mariskova
Namanya Sadaruddin. Kami memanggilnya Mas Sadar. Saya masih duduk di bangku SMA kelas 2 sewaktu dia datang dari kampung ke Jakarta. Anak yatim itu baru saja lulus SMA. Tujuannya ke Jakarta hanya satu: ingin menjadi tentara seperti pamannya, si Kumendan. Saran Kumendan untuk melanjutkan sekolah saja daripada jadi prajurit ditolaknya. Padahal dia tahu dengan tingginya yang pas-pasan dan kepolosannya yang luar biasa, akan susah baginya menandingi calon-calon lainnya. Berbekal restu dari Bibi saya -ibunya- dan tekad untuk membanggakan ibunya, Mas Sadar bergeming dengan cita-citanya.
Setiap hari, sembari menunggu pembukaan calon prajurit TNI AU, dia meramaikan rumah kami yang biasanya sepi. Kalau tidak sibuk berkebun, dia akan membantu si mbak membereskan rumah. Atau memasak. Atau mengaji. Atau sholat Tahajud. Atau membaca buku. Atau menasihati saya yang sedang bandel-bandelnya. Mas Sadar memang model anak yang diidam-idamkan setiap orang tua: sholeh, baik hati, rajin, ringan tangan dan penurut. Dia langsung jadi anak kesayangan si Mami. Walau saya juga bukan anak yang nakal, saya jelas bukan anak yang penurut. Omelan si Mami yang menyuruh saya meniru Mas Sadar malah membuat saya seringkali melawan nasihat-nasihatnya.
Lalu datang lah hari pengumuman kelulusan calon prajurit TNI AU. Mas Sadar diterima. Kebahagiaannya memancar menerangi dunia kecilnya. Kebanggaan itu tak pernah bisa saya lupakan. Ketika datang hari dia harus pergi untuk pendidikan, saya menyimpan kesedihan saya kuat-kuat. Tapi sepertinya dia tahu, dan surat pertamanya yang dikirimkan ke rumah kami ditujukan untuk saya. Apakah saya tidak lupa sholat? Apakah saya tidak lupa istirahat cukup? Apakah saya masih rajin belajar? Apakah saya masih rajin mengaji?
Setelah dia lulus pendidikan, hal pertama yang dilakukannya adalah membuat potret dirinya dalam seragam loreng. Foto itu langsung dipajang si Mami di rumah kami. Foto itu rupanya menjadi kenangan terakhir kami dengannya. Mas Sadar meninggal dalam kecelakaan pesawat Hercules C-130 di Condet, Jakarta Timur pada tanggal 5 Oktober 1991 seusai mengikuti upacara Hari ABRI di Jakarta. Satu pleton hilang begitu saja. Dan saya -adiknya yang nakal ini- tak pernah sempat bilang selamat tinggal padanya.
Rasa perih kehilangan Mas Sadar tak pernah bisa hilang dari rumah kami. Setiap kali kami mendengar pesawat militer jatuh dan menimbulkan korban, rasa perih itu menyeruak kembali. Lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi. Rasa perih itu semakin menjadi bila menyadari bahwa jatuhnya 1 pesawat seringkali berarti kehilangan beberapa tetangga saya, orang tua teman saya, teman adik-adik saya, atau malah teman saya sendiri. Jatuhnya pesawat Hercules lain di Magetan hari Rabu kemarin membuat saya harus menahan emosi saat harus bertemu Tante R yang anaknya ikut menjadi korban dan dimakamkan di tanah yang sama dengan Mas Sadar.
Eyang Kung saya yang juga prajurit itu pernah bilang pada saya.
"Itu resiko prajurit, Nduk. Mati dalam tugas."
Maaf, Eyang. Mati dalam tugas buat saya adalah mati saat bertempur dengan musuh. Mati saat perjalanan menuju tempat musuh. Mati karena musuh.
Mati karena alat transportasi yang abal-abal harusnya tidak masuk dalam daftar resiko seorang prajurit.
Duka saya mendalam untuk seluruh korban dan keluarga jatuhnya pesawat Hercules di Magetan hari Rabu, 20 May 2009.
--------------
Foto diambil dari sini, menggambarkan suasana pelepasan jenazah korban Hercules C-130 yang jatuh di Condet, Jakarta Timur pada tanggal 5 Oktober 1991. 130-an prajurit tewas dalam pesawat yang terbakar.
Setiap hari, sembari menunggu pembukaan calon prajurit TNI AU, dia meramaikan rumah kami yang biasanya sepi. Kalau tidak sibuk berkebun, dia akan membantu si mbak membereskan rumah. Atau memasak. Atau mengaji. Atau sholat Tahajud. Atau membaca buku. Atau menasihati saya yang sedang bandel-bandelnya. Mas Sadar memang model anak yang diidam-idamkan setiap orang tua: sholeh, baik hati, rajin, ringan tangan dan penurut. Dia langsung jadi anak kesayangan si Mami. Walau saya juga bukan anak yang nakal, saya jelas bukan anak yang penurut. Omelan si Mami yang menyuruh saya meniru Mas Sadar malah membuat saya seringkali melawan nasihat-nasihatnya.
Lalu datang lah hari pengumuman kelulusan calon prajurit TNI AU. Mas Sadar diterima. Kebahagiaannya memancar menerangi dunia kecilnya. Kebanggaan itu tak pernah bisa saya lupakan. Ketika datang hari dia harus pergi untuk pendidikan, saya menyimpan kesedihan saya kuat-kuat. Tapi sepertinya dia tahu, dan surat pertamanya yang dikirimkan ke rumah kami ditujukan untuk saya. Apakah saya tidak lupa sholat? Apakah saya tidak lupa istirahat cukup? Apakah saya masih rajin belajar? Apakah saya masih rajin mengaji?
Setelah dia lulus pendidikan, hal pertama yang dilakukannya adalah membuat potret dirinya dalam seragam loreng. Foto itu langsung dipajang si Mami di rumah kami. Foto itu rupanya menjadi kenangan terakhir kami dengannya. Mas Sadar meninggal dalam kecelakaan pesawat Hercules C-130 di Condet, Jakarta Timur pada tanggal 5 Oktober 1991 seusai mengikuti upacara Hari ABRI di Jakarta. Satu pleton hilang begitu saja. Dan saya -adiknya yang nakal ini- tak pernah sempat bilang selamat tinggal padanya.
Rasa perih kehilangan Mas Sadar tak pernah bisa hilang dari rumah kami. Setiap kali kami mendengar pesawat militer jatuh dan menimbulkan korban, rasa perih itu menyeruak kembali. Lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi. Rasa perih itu semakin menjadi bila menyadari bahwa jatuhnya 1 pesawat seringkali berarti kehilangan beberapa tetangga saya, orang tua teman saya, teman adik-adik saya, atau malah teman saya sendiri. Jatuhnya pesawat Hercules lain di Magetan hari Rabu kemarin membuat saya harus menahan emosi saat harus bertemu Tante R yang anaknya ikut menjadi korban dan dimakamkan di tanah yang sama dengan Mas Sadar.
Eyang Kung saya yang juga prajurit itu pernah bilang pada saya.
"Itu resiko prajurit, Nduk. Mati dalam tugas."
Maaf, Eyang. Mati dalam tugas buat saya adalah mati saat bertempur dengan musuh. Mati saat perjalanan menuju tempat musuh. Mati karena musuh.
Mati karena alat transportasi yang abal-abal harusnya tidak masuk dalam daftar resiko seorang prajurit.
Duka saya mendalam untuk seluruh korban dan keluarga jatuhnya pesawat Hercules di Magetan hari Rabu, 20 May 2009.
--------------
Foto diambil dari sini, menggambarkan suasana pelepasan jenazah korban Hercules C-130 yang jatuh di Condet, Jakarta Timur pada tanggal 5 Oktober 1991. 130-an prajurit tewas dalam pesawat yang terbakar.