Untuk Tante-tante dan Om-om serta teman-teman Hikari, terima kasih atas doa kesembuhannya Hikari. Hikari masih dikarantina dirumah sampai minggu depan. Masih sedikit kuyu dan pucat, serta nafsu makannya belum kembali, tapi secara keseluruhan ia sudah lebih sehat. Terima kasih banyak semuanya...
Saat Hikari sakit kemarin, sekali lagi terasa butuhnya 'kekuatan' tambahan dari luar diri sendiri. Tentu saja karena kekuatan dari diri sendiri sedang menipis. Sebagai perempuan biasa *hiyaaah*, bukan kali itu saja saya merasa membutuhkan suntikan kekuatan dari luar. Dan saya biasanya mendapatkan kekuatan itu dari orang-orang sekitar saya yang saya tahu, tidak harus yang saya kenal. Mengingat mereka, orang-orang ini, dan mengingat kondisi mereka serta bagaimana mereka meng-handle sesuatu selalu sukses mem-boost semangat juang saya, memberikan saya kekuatan menghadapi masalah saya sendiri.
Misalnya, saat-saat saya hampir gila karena mengerjakan pekerjaan rumah yang gak ada habisnya (oke, ini termasuk dramatisasi) sambil mendengarkan rengekan Hikari yang selalu always tidak pernah never, saya langsung melakukan refleksi. Gak jauh-jauh refleksinya, gak sampai harus pergi ke spa dan berpijat diri sampai sore, walaupun kalau bisa sih kenapa enggak?! Cara saya cukup duduk bersandar dan melayangkan pikiran sambil membatin, 'Si mpok-samurai-dapur ajah dengan anak batita dua (dua!), bisa selamat lahir batin tanpa cacat hanya karena ngepel, nyapu, ngurus rumah, dan bergumul dengan teriakan dua anak. Masa saya gak bisa? Anak cuma satu, rumah cuma secuil begini.' Biasanya setelah itu akal sehat saya datang kembali, beban terasa lebih ringan, gigi geligi dan geraham tak lagi menggerutukkan perasaan kesyal. Saya tak perlu curhat saat itu juga. Hanya dengan membayangkan bahwa saya lebih beruntung, biasanya kekuatan itu datang sendiri.
Ada kalanya juga saya hampir menyembur murka pada kulkas, wajan dan kompor karena merasa putus asa: wong gak bisa masak kok disuruh nyiapin menu makanan sebulan?! Belum lagi kalau ide memasak mentok, masakan gagal, makanan gak menyelerakan. Rasanya pengen lari ke restoran dan membajak koki disana. Pada saat-saat seperti ini saya mengingat cerita tante subur yang cuma bisa masakin mie instan untuk anak-anaknya selama beberapa tahun di negeri seberang. Saya mungkin hanya bisa masak 4 menu masakan, tapi toh lebih sehat dari mie instan. Detik itu juga saya merasa lebih waras sedikit.
Kemarin pun sewaktu saya sedang menangis bombay disebelah Hikari yang tertidur menggigil dan mengigau, saya teringat mami di kampung. Bagaimana si mami jungkir balik mengurus 3 anak balita yang umurnya berdekatan. Anak pertamanya (saya) penyakitan dari bayi, anak keduanya punya paru-paru basah, dan anak ketiganya punya alergi ini itu. Ah, si mami aja bisa, masa gue enggak? Begitu kira-kira hati kecil saya berbicara. Hmmm... sebenernya, begini ini hati kecil saya bicara...
Si Malaikat: Emak lu aja dulu bisa. Masa elu begini aja pake nangis kejer? Lah, elu cuma ngurusin anak satu begini. Emak dulu anaknya 3 bo!
Si Setan: Iya, emak lu emang anaknya tiga. Tapi asistennya juga 3!
Si Malaikat: Jangan dengerin tuh si setan. Bikin rusuh ajah. Mo gue bantuin tampol gak?
Kira-kira begitu dan akhirnya si Malaikat lah yang menang. Maka diantara tangis dan pergulatan batin, saya mendapatkan kekuatan untuk melalui cobaan itu.
Kalau kalian, darimana datangnya kekuatan itu? (Kalau dari Yang Di Atas, itu sudah pasti la yaw!)
No comments:
Post a Comment