Sudah tiga bulan Hikari belajar di sekolah yang baru. Setiap hari, saya mengantar dan menjemputnya. 15 menit sekali jalan, 7 kilometer yang berkelok dan berundak. Maklum, jalan kampung selebar dua mobil tanpa trotoar kecuali jalan setapak berumput ilalang.
Sudah tiga bulan juga saya melihat dia. Perempuan berkerudung dengan wajah datar, berpakaian rapi, dengan tangan kanan menggandeng anak laki-laki berusia 3 tahun berpakaian rapi yang sepertinya habis mandi (karena wajahnya selalu berlumuran bedak) dan tangan kirinya memegang sebuah golok besar berkilat. Mengacung-acungkan golok besar berkilat, lebih tepatnya. Setiap pagi pukul 8:13an, saya (di dalam mobil) berpapasan dengannya di jalan yang sama, hampir di titik yang sama, dengan gaya yang sama: dia mengacungkan goloknya, dan saya memutar kemudi jauh ke kanan menghindari ayunan goloknya. Ternyata bukan saya saja yang berpikiran melencengkan mobil jauh ke kanan; pengemudi mobil lain juga melakukan hal yang sama.
Sudah tiga bulan juga saya melihat dia. Perempuan berkerudung dengan wajah datar, berpakaian rapi, dengan tangan kanan menggandeng anak laki-laki berusia 3 tahun berpakaian rapi yang sepertinya habis mandi (karena wajahnya selalu berlumuran bedak) dan tangan kirinya memegang sebuah golok besar berkilat. Mengacung-acungkan golok besar berkilat, lebih tepatnya. Setiap pagi pukul 8:13an, saya (di dalam mobil) berpapasan dengannya di jalan yang sama, hampir di titik yang sama, dengan gaya yang sama: dia mengacungkan goloknya, dan saya memutar kemudi jauh ke kanan menghindari ayunan goloknya. Ternyata bukan saya saja yang berpikiran melencengkan mobil jauh ke kanan; pengemudi mobil lain juga melakukan hal yang sama.
Pertama saya berpapasan dan melihat dia, saya hanya menyumpah, 'duh, itu pegang golok hati-hati kenapa!'
Lama-lama saya jadi penasaran. 'Nih orang siapa sih? Mau kemana? Mau ngapain?'
Kemudian saya mengira-ira. 'Gak mungkin mau bercocok tanam, wong bajunya rapi jali begitu!'
Kadang berpikir, 'gak mungkin juga dia seorang tukang jagal kebo. Dandanannya gak matching, bo!'
Sekali dua kali saya berpikir terlalu jauh. 'Jangan-jangan dia agak sinting. Jangan-jangan dia...'
Tak hanya saya. Ketika Eyang Kung-nya Hikari sesekali ikut mengantar, bliow juga berkomentar, 'mau ngegolok siapa dia?'
Dan kami pun bertukar imajinasi.
Kalau anda, seperti apa imajinasinya?
Sabtu kemarin, teman baik saya bercerita bagaimana satu aksi-nya disalah mengerti orang satu gereja. Teman itu punya kebiasaan mencatat khutbah pendeta dengan PDA-nya. Bukannya diberi piagam penghargaan sebagai pendengar khutbah terbaik, dia malah dipelototi jemaat yang lain karena disangka main sms...
Setelah tertawa ngakak mendengar ceritanya, saya tersentak. Saya ingat bagaimana saya berimajinasi tentang si Perempuan Bergolok. Sama saja, antara saya dan jemaat-jemaat itu.
Sama salah kaprahnya.
Kesadaran saya itu tentu saja membuat saya syok berat. Bukannya apa-apa. Resolusi saya tahun jebot dulu adalah 'Menghilangkan Suudzon alias berprasangka buruk terhadap orang lain'.
Ealaaahh... baru ketemu Perempuan Bergolok aja, resolusi saya udah jebol. Gimana kalau saya bertemu bapak tua setengah botak menggandeng cewek cantik seumur adik saya? Gimana kalau bertemu Pak A yang suaminya Bu B, di hotel C, bersama Bu D yang istrinya Pak E? Gimana kalau saya bertAmu ke rumah mewah si X yang satu nasib gajinya sama saya? Gimana kalau saya berpapasan dengan seorang manusia yang bermuka rugi lagi? Gimana kalau saya bertemu dengan cowok ganteng yang tersenyum legit pada saya? Gimana kalau ada sms di hp Papap yang terbaca 'Mas, kapan ke rumah lagi?'
Apa saya sanggup menahan diri supaya tak suudzon?
ps: 'Gimana' yang terakhir gak ada urusannya dengan suudzon ato gak, pasti langsung dibawa ke mahkamah internasional.
namanya persepsi ya bok, nggak bisa diatur kemana langkahnya: ke suudzon atau khusnuldzon. jadi, kalo menurut gue, persepsi jelek atau bagus nggak papa dan halal-halal aja. yang penting, pas kita udah sampe ke taraf menyimpulkan, semua itu udah terkonfirmasi, jadi nggak cuma brenti pada persepsi.
ReplyDeletelo tinggalnya di negeri kebangsaan mana sih mak? kok golok masih jadi asesoris perempuan? perasaan golok jadi asesoris itu udah jaman kabluk dan nggak ngenakin banget dulu.... sekarang mah udah gelang anting atau PDA.
hihihi, moga2 nggak bakal sampe ke mahkamah internasional ya dev. bisa-bisa lo yang bakal pake asesoris goloknya. huahahahahaha.
lha ... sms saya buat papap dibaca
ReplyDeletewakakaka... gw suka endingnya,'Gimana' yang terakhir gak ada urusannya dengan suudzon ato gak, pasti langsung dibawa ke mahkamah internasional :D
ReplyDeletedie jualan kelapa muda kalee deket sekolahan anaknya.... n perkara sms di hp si babeh...kudu dijadikan kasus pra duga tak bersalah
ReplyDeletesuudzon..? saya sering berpoikir keadan terburuk buat diri saya ketika saya melakukan sesuatu. apa itu termasuk suudzon? kalo berpikiran buruk sama orang, tergantung.... (saya sering merasa dicurangi oleh teman saya sendiri, walaupun itu tidak pernah terbukti!tapi saya juga tidak pernah ambil pusing dengan pikiran itu, mau bener ato salah, sabodo teuing!)
ReplyDeletejgn2 dia cucunya cut nyak dhien...eh,itu sih rencong ya,bukan golok....hahahahha
ReplyDeletenice posting Dev..
ReplyDeletegw setuju sama Fitri.. persepsi itu mungkin bisa apa aja. asal jangan bikin kesimpulan dulu sebelum ada faktanya.