Hari ini, jam setengah delapan malam. Saya sedang bersiap-siap pulang setelah selesai mengajar kelas terakhir setengah jam sebelumnya. Tiba-tiba hp saya berbunyi.
*ring tone Toxic Britney Spears*
"Halo?" kata saya pada nomor tak dikenal itu.
"HE! KAMU DIMANA NIH? KAMU MASIH DIKANTOR, HAH?" suara laki-laki menghardik saya. "DIMANA KAMU?!"
"Halo? Ini siapa?"
"IYA, IYA. KAMU DIMANA?! DIKANTOR? KAMU MASIH DIKANTOR?!"
oke, si barbar ini harus diberi pendidikan sedikit...
"BAPAK MAU BICARA DENGAN SIAPA? HP SALAH NOMER BEGINI MASIH MARAH-MARAH!"
tuuuuuuuuuuut
Pengecut sialan itu mematikan telponnya.
Kalo gak inget kalo yang saya pegang itu hp dan bukannya sendal jepit, sudah pasti akan saya banting karena kesal.
Teman saya tertawa terkekeh-kekeh. Untuk hp dengan suara halus begitu, suara hardikan laki-laki tadi terdengar nyaring di seluruh penjuru ruang guru.
"Suami lo, kali," goda seorang teman.
"Kalo suami gue sampai bernada ato bersuara begitu sama gue, gue langsung putusin itu telpon!" jawab saya spontan.
Moral of the story for me, akhirnya: Papap tak pernah bersuara keras pada saya walaupun dia sedang kesal (kalau marah hampir tak pernah). Tapi, saya juga tak mau tak ikhlas di-suara keras-i. Dia bertemu saya baik-baik, kenalan baik-baik, menikahi saya baik-baik, saya tak rela dikerasi begitu. Respect me, like I respect you. Itu prinsip. Kecuali kalau saya melakukan dosa besar: menelantarkan anak, menyeleweng, membuka aib keluarga, dll.
Moral of the story for the woman who was supposed to take THAT damn telephone: Anda juga tak punya hak untuk dihardik seperti itu!
yup betul, dikawin kan bukan buat dibentak2 ya nggak dev :D
ReplyDelete