Gara-gara baca postingan si Pak Le', saya jadi teringat kisah ngeselin di tahun lalu.
Waktu itu kami sedang tidur pulas. Jam menunjukkan pukul 2 malam. Gelap. Dingin.
Tiba-tiba telpon di sisi tempat tidur berbunyi.
Saya dan Papap langsung terduduk bangun. Telpon diatas jam 11 malam itu -sejarahnya- tak pernah berisi kabar gembira.
Papap, yang berada tepat disebelah telpon, langsung mengangkat telponnya.
Suara laki-laki yang menangis terisak-isak terdengar di telpon.
Sekarang bayangkan hal ini:
- Malam-malam buta
- Masih setengah ngantuk
- Ada suara orang menangis di telpon
- Suara itu berbahasa Jepang
- Anda tak bisa bahasa Jepang
Papap berjibaku dan berusaha mengerti orang ini. Siapa ini? Tanya Papap berulang kali. Ada apa? Apa yang terjadi?
Semua bahasa dikeluarkan: Inggris, Jepang, Indonesia....
Dia tetap tidak mengerti.
Tiba-tiba laki-laki itu menyebut dua kata: Nama Sensei saya yang berusia 75 tahun dan kata Mati dalam bahasa Jepang.
Sekarang Papap benar-benar panik. Sensei saya itu sudah tua, dan sedang sakit. Apa benar beliau meninggal dunia?
Gagang telpon pun dioper ke saya.
Dengan bahasa Jepang yang sedikit lebih baik dari Papap saya pun mulai muter-muter bertanya: Siapa? Ada apa? Apa yang terjadi?
Jawabannya isak tangis yang semakin kencang, dan tambahan dua kata: cepat kesini!
Saya mendesak lagi: Ada apa? Ada apa dengan Sensei?
Si penelpon bilang, "beliau ada di ruang sebelah. Sudah mati."
Tiba-tiba telpon terputus.
Kami kebingungan, panik, dan putus asa.
Jam 2 malam. Apa kami harus menelpon ke rumah Sensei? Atau lebih baik telpon teman kami yang lain? Jam 2 malam!
Untungnya Papap teringat sesuatu: Ini di Jepang! Kalau ada sesuatu yang terjadi dengan Sensei, pasti istrinya -yang sama sepuhnya- akan lebih dulu menelpon ambulan, daripada menelpon kami. Dan ambulan plus segala kecanggihan sistem darurat Jepang, pasti sudah membereskan sesuatu. Lagipula, kami tak kenal suara laki-laki ini.
Maka kami pun tak jadi menelpon siapa-siapa malam itu.
Sepanjang sisa malam sampai subuh tiba, kami akhirnya duduk bengong di depan tivi karena tak tahu harus melakukan apa.
Pagi-pagi sekali, jam 7, saat saya tahu seisi rumah Sensei saya -biasanya- sudah bangun dan beraktifitas, saya menelpon rumah Sensei. Suara ceria istrinya menjawab.
Eh?
Tak lama suara Sensei saya terdengar nyaring dan riang. Antara bingung dan lega, saya gelagapan bersuara.
"Apa kabar, Sensei?"
"Baik," jawabnya dengan nada sedikit heran. Ya, kami kan baru saja ketemu beberapa hari lalu.
Dan saya pun berbohong, bertanya tentang kursus bahasa Jepang yang akan saya hadiri siang nanti. Saya tak tega berkata, 'tadi malam ada orang yang menelpon kami dan berkata anda telah meninggal.'
Beberapa hari setelah kejadian, ketika Sensei berkunjung ke apartment kami, baru kami menyampaikan cerita telpon misterius itu. Beliau terlihat kaget dan mengusulkan untuk memberitahu polisi.
Polisi?
Ah, thanks, but no thanks.
Berdasarkan pengetahuan kami atas sifat orang Jepang yang prosedural, lebih baik tidak.
Maka sampai sekarang, kami tak tahu. Siapa, apa motifnya si penelpon misterius itu. Sungguh tak lucu tentu saja.
Tapi kalau dipikir-pikir lagi, bagaimana kalau kejadian itu benar adanya?
waahh bener2 ga ada kerjaan tuh orang..
ReplyDeleteuntung ya ga kejadian apa2..
jd pengen tau tingkat kejahatan disana dulu gemana?...
wah, ngeri juga. si penelepon nggak tau iseng, apa kreatif, atau lagi eksperimen kali ya...
ReplyDeletehmmm...aku jadi terinspirasi...
jadi jadi sape yg nelpon gag ketahuan Dev???
ReplyDeletesorry telat yak
MET TAON BARU buat semuanya...
gmn Hikari...bhs indonesiannya dah lancar???
DI jepang bisa juga ya ada telpon kayak gitu... apalagi sampai tau nama sensei anda. Sekedar sharing, waktu SMA dan ikut pertukaran pelajar dulu saya pernah telpon nyasar (nomor sudah benar tapi nyasar saja). orangnya juga ngotot banget dan marah2... (tumben, padahal orang jepang tidak emosionil kan?) sampai saya merasa sedih dan bingung. Tapi akhirnya clear oleh staf AFS yang ngecek masalah ini.
ReplyDeleteSalam kenal ya... Sukses selalu untuk anda