Saturday, May 26, 2007

Dengan Damai

Saya terpekur membaca tulisan teman tersayang saya yang nun jauh disana. Kalau para hadirin sering berkunjung ke blog nenek-cantik-berwajah-remaja itu (yang tak perlu lah saya tunjukkan jalannya karena saking ngetopnya), anda pasti telah membaca tulisannya tentang 'Kapan seseorang siap menjadi ibu?'

Nek, saya tak punya jawaban atas pertanyaan dirimu. Saya hanya pernah berada di sisi yang berbeda. So, please spare me a minute. I'll tell you a story...

Di kehidupan saya yang dulu, saya tak pernah suka anak kecil. Saya menghargai mereka sebagai individu, tapi tak pernah bisa melihat dimana lucunya seorang anak kecil. Sama seperti saya tak bisa melihat dimana lucunya seekor puppy. Jadi, jangan suruh saya untuk menggembala keponakan-keponakan kecil, karena I'd just turn their day into a hell without realizing it. Bila seorang kolega membawa anaknya ke kantor dan teman-teman yang lain sibuk memuji kelucuan si anak, saya tak pernah ikut-ikutan. Saya bahkan pernah yakin seyakin-yakinnya kalau kelakuan seorang anak itu 95% akibat didikan orang tuanya. Akibatnya, ketika seorang anak kecil bertingkah 'bandel', saya tak bisa melihat kelucuan dari tingkahnya.

Let me tell you one of my darkest moment:
Suatu hari, di food court sebuah mall, saya dan teman-teman sedang duduk menikmati makanan. Seorang anak berusia 6 tahun mondar-mandir di dekat meja kami sambil membuat keributan: lari-lari, menyenggol meja kami, teriak-teriak, batuk dan menarik ingus di dekat kami, berdiri di samping kami yang sedang berdiskusi, dan lain-lain. Ibunya tak terlihat gerah walau saya rasanya sudah berasap. Ketika rasa sabar saya habis, saya memesan sebuah ice cream cone bertingkat dua yang terlihat sangat-sangat menggiurkan. Saya melihat bagaimana kedua bola mata anak itu hampir loncat keluar melihat es krim saya. Dan tahukah apa yang saya lakukan? Dengan sengaja saya menjilati es krim itu di depan pandangan matanya. Saya tahu dia sebelumnya dilarang minum es krim oleh ibunya...
Segitu teganya saya pada anak kecil.

Papap pun setali tiga uang. Ia -yang anak bungsu- juga tak punya empati rasa lucu pada seorang anak kecil. Maka, ketika kami akan menikah, kami berencana untuk menunda punya anak.

Rencana tinggal rencana. Saya langsung hamil setelah menikah. Kejadian ini membuat tante bungsu saya -yang usianya hanya lebih tua dua tahun dari saya- frustasi berat. Sebagai tante bungsu yang terkenal penyayang keponakan-keponakannya dan pengasuh bayi nomer wahid di keluarga kami, dia belum juga hamil setelah menikah dua tahun. Dia pun terisak 'Why me?'. Yang dia tak tahu, saya juga sedang terhenyak dan bertanya 'Why me?' untuk alasan yang berseberangan dari dirinya.

Teman-teman saya menjadi saksi betapa saya sering mengelak pertanyaan mereka tentang kehamilan saya. Saya tak mau berterus terang. Antara malu, tak percaya, tak siap, tak sanggup, dan berbagai macam alasan gila lainnya. Mother-and-child bond? Hell, saya tak merasakannya. Mana itu perasaan penyayang yang dikatakan ibu-ibu hamil lainnya? Karena rasa tak percaya dan tak mau itu lah saya berlaku secuek saat saya tak hamil: jalan tergesa-gesa, lari naik turun tangga, mengejar bis, mengangkat beban berat, makan minum seenaknya... sampai beberapa teman laki-laki saya yang malah menjerit-jerit histeris. Dua bulan setelah saya hamil, saya mengalami pendarahan. Tell me crazy, tapi saya tak bisa merasa sedih atau menyesal. Tuhan Maha Besar, janin saya selamat. Yang kemudian membuat saya berkewajiban untuk merawatnya adalah karena saya sadar ada Tuhan yang mengawasi saya. Saya bingung karena saya tak bisa merasakan rasa sayang, tapi saya berusaha tak membuat Tuhan marah.

Lalu hidup saya berubah ketika bayi itu lahir. Sejak saya melahirkan Hikari hingga detik ini, setiap kali saya melihat wajahnya, atau teringat tingkah polahnya, rasa bersalah selalu menyerang saya. Ya Tuhan, apa yang mungkin terjadi pada diri saya bila saya tak memiliki Hikari seperti sekarang? Bagaimana mungkin saya bisa mengacuhkan dia dulu, kalau saya tahu betapa saya bisa sangat menyayanginya sekarang? Mungkin karena rasa bersalah ini pula yang membuat saya setiap kali menggigil paranoid berlebihan setiap kali Hikari -yang memang rentan sakit- jatuh sakit. What if? Begitu setiap kali saya berderai air mata. Saya takut Tuhan menghukum saya...

Nek, tante saya pernah bertanya pada Tuhan 'why her and not me?'. Saya tak tahu jawabannya. Saya malah sempat bertanya 'why me and not her?' karena rasanya tak adil buat dirinya. Tapi, Nek, untungnya saya yang kurang ajar begini -entah kenapa- selalu ingat pada kata-kataNya yang ini:

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. "

Saya lalu belajar ikhlas, walau untuk seorang saya, ikhlas itu susahnya minta ampun. Saya belajar bila kita ikhlas pada apapun ketentuanNya, kita bisa merasakan hidup ini lebih damai. I'm still learning...

With lots of love for you, Nek!

11 comments:

  1. saya pun tengah belajar menyukai anak kecil...entah mengapa tak terlalu nge-fans sama anak kecil, teman2 saya pun banyak yg memasang wajah tanpa ekspresi jika melihat anak kecil. apa karena saya anak bungsu, entahlah, i'm not sure...

    ReplyDelete
  2. duh, terharu bacanya. smoga setelah punya anak nanti, aku juga bisa berubah kayak mba.
    titip muah2 untuk hikari :)

    ReplyDelete
  3. ini maksudnya mbak fitri mohan? punya anak menurut saya susah susah gampang. jangan cemas kalau belum punya, nanti juga dikasih yang diatas.

    -rika-

    ReplyDelete
  4. thank you so much MJ. :) i love you.

    ReplyDelete
  5. koq saya mengalami "sindrom" yang sama ya.. :|..

    ReplyDelete
  6. wah baru maen sini nongkrongin cerita lo Dev, biasa buat bisa cengar-cengir halah lha kok yg ini serius tho^o^.
    Percaya ga percaya kalo nda mau malah dikasih hihi...kek gw mo nunda setahun pny anak 2bln udah nongol, nunda2 biar satu ajah udah dikasi `penangkal` teteup aja bobol,pengen anak co yg nongol jg ce kalo Tuhan berkehendak eman d...mskp slama hamil bawaan sutris dan bete teteup aja kalo dah liat beibenya luluh semuanya, hikz...mn mungkin membuat idup anak sendiri merana ya gak..is a live gw teteup aja harus ganbatte...:p
    halah kok malah gw curhat...
    hikariii-kun bagi dong bunga2nya masak mama doang^o^

    ReplyDelete
  7. Jangan2 hal yg sama berlaku juga ke soal nikah ya.
    Ngebet nikah, tapi kok gak nikah2 ya...:-)

    http://syafrina-siregar.blogspot.com

    ReplyDelete
  8. hiks, sama mbak, saya ngerasa dari dulu anak kecil tuh biasa aja ga ada lucu-lucunya (sampai sekarang masih sih) n cenderung berisik :D .Sekarang dah punya baby 8 bulan, saya cinta anak saya dan kalo lihat anak kecil selalu teringat si kecil di rumah, mungkin mengingat perjuangan kami dari awal menikah hingga ada dia diantara kami :D

    ReplyDelete
  9. Tuhan selalu tau yg terbaik buat kita memang, kitanya aja yg kebanyakan tuntutan...

    Gw hamil muda aja makan duren, makan kambing, jatuh, lari2 ngejar bus jg...tp krn gw merasa gak mau cengen aja jd org hamil...
    dan gw ama suami jg bukan yg seneng anak kecil, dan liat anak nakal jg gak ada lucu2nya krn ortunya gak bisa ngajarin yg bener..

    ReplyDelete
  10. Mbak Devi, biasanya kalau ngintip ke blog ini, bawaannya ngakak atau mesem-mesem.Tapi kali ini bikin hati terharu-biru dan mata berair. Nulisnya sehabis sholat tahajud, yah? :-) Bercanda. Saya suka sekali tulisan ini. Butuh keberanian untuk ngaku sampai sedalam ini. Sekarang, saya bisa percaya kalau 'malaikat' itu pada dasarnya lebih suka menyamar jadi anak kecil daripada orang dewasa. Dan karena itu lah orang2 suka tak henti nanya: kapan nih punya momongan....:-) Salute.

    ReplyDelete
  11. Mbak Devina, dah lama ga mampir, baca postingannya jd tenggorokan sakit (nahan haru gitu). Daku jg dulu suka ber-'why me not her?', tapi sekarang semuanya di ikhlasin ajalah, Allah maha tahu ya..

    ReplyDelete