Harus cuti dulu.
Ada sakit massal disini.
Harus pamit juga,
walau kata si mbok, "mo minggat, yo minggat sana!"
Alasannya satu,
takut disangka sombong, nyuekin, sok sibuk, gak mau nyapa...
Emangnya saya seleb apa?!
Cuti dulu yaaa...
ps: untuk Nek!
Cepat sembuh juga. Dunia butuh dirimu. Dakuh butuh bacaan milikmu...
Here are the pages of my life. The pictures may only show the fun sides of my life for I don't regret any single moment in life. Enjoy the pages! I hope you guys enjoy them as much as I do... -March 7, 2005-
Tuesday, August 28, 2007
Friday, August 24, 2007
Critical Brain
I was showing a picture of Big Ben to my students.
"Big Ben!" shouted one student.
"That's right!" I said.
"Does anyone know where it is?"
Loud and clear, a voice from the corner shouted confidently, "PADANG!"
One student in his essay wrote that Global Warming is caused by glass house effect. So, he wrote, we must not build our house using glasses. We must use wood, instead.
Okay, his misunderstanding and mistranslation of Rumah Kaca to Glass House is understandable. But his reasoning?
Most of the time, I find teaching a language exhausting. It's because I have to check the students' critical thinking as well. When they write, or when they give arguments, these students have to be able to give a sound reason. The problem is their reason is usually illogical, unreasonable, incomprehensible, and mostly irrelevant.
Gee... what have they been doing in their life?
Teaching grammar, or other four skills (reading, writing, listening, and speaking) is easy. You have rules, you have guide books, and of course you have your boss to disturb. But teaching critical thinking? You'll end up having your brain critical...
Sigh...
Whoever wants to be a teacher these days, s/he must be really mad.
picture from here
"Big Ben!" shouted one student.
"That's right!" I said.
"Does anyone know where it is?"
Loud and clear, a voice from the corner shouted confidently, "PADANG!"
Some teachers complain how little students know about the outside world. But, I can still nod to the Padang answer because -after all- that student knew I was asking about a place. The fact that she answered the wrong kind of place, well, perhaps she didn't have the exposure needed.
But, if you think that is hillarious, try this:One student in his essay wrote that Global Warming is caused by glass house effect. So, he wrote, we must not build our house using glasses. We must use wood, instead.
Okay, his misunderstanding and mistranslation of Rumah Kaca to Glass House is understandable. But his reasoning?
Most of the time, I find teaching a language exhausting. It's because I have to check the students' critical thinking as well. When they write, or when they give arguments, these students have to be able to give a sound reason. The problem is their reason is usually illogical, unreasonable, incomprehensible, and mostly irrelevant.
Gee... what have they been doing in their life?
Teaching grammar, or other four skills (reading, writing, listening, and speaking) is easy. You have rules, you have guide books, and of course you have your boss to disturb. But teaching critical thinking? You'll end up having your brain critical...
Sigh...
Whoever wants to be a teacher these days, s/he must be really mad.
picture from here
Thursday, August 23, 2007
Mind Your Own
Beberapa hari yang lalu, saya mendengarkan cerita seorang penyiar (cewek) dari sebuah stasiun radio. Begini ceritanya:
Malam itu, si penyiar sedang mencari tempat parkir. Sambil mengantri, dia melihat seorang perempuan kenes berpakaian celana panjang dan kemeja rapi berjalan PD melintasi lapangan parkir mall yang besar itu. Di antara sorot lampu mobil yang menembus segala hal, si penyiar melihat kalau zipper celana si perempuan terbuka dengan bebas....
Oke, sampai sini, gak usah pake dibayangin! Tapi katanya sih, perempuan itu pake tali berhuruf G.
Perempuan ini berjalan mendekati mobil si penyiar. Penyiar kita ini deg-degan. Bilang, gak, bilang, gak? Akhirnya si penyiar memutuskan untuk membuka jendela mobil, menyapa si perempuan, memberitahu perihal zippernya, dan buru-buru menutup jendela mobil dan kabur demi melihat muka si korban berubah antara pengen nabok dan pengen pingsan.
Kalau anda, apakah anda akan memberitahu perempuan itu?
Ada banyak peristiwa sejenis lainnya yang saya yakin pernah membuat para hadirin sekalian grogi. Kasih tau? Atau, gak usah?
Sewaktu dosen favorit di kampus dulu terkena musibah open-zipper begini saat sedang berkobar-kobar memberi kuliah di kelas, gak ada satu mahasiswa pun yang mau memberi tahu si dosen. Padahal, pose favorit si dosen adalah menangkringkan salah satu kakinya ke kursi paling depan.
Tolong, yang ini juga gak perlu dibayangkan!
Kebanyakan orang sepertinya memilih untuk diam saja. Termasuk saya. Terutama saya.
Saya lebih memilih untuk membuang muka, daripada menanggung derita setiap kali si korban bertemu saya dia akan berpikir 'duh, ni cewek pernah liat itu gue...'
Jadi siapa yang sebenarnya jadi korban?
Jiwa saya yang lebih rela menjadi korban ini pernah kena batunya ketika selama berbulan-bulan saya harus menghirup bau jempol seorang teman yang doyan melepas sepatunya. Segala cara -kecuali menegur- sudah saya coba: pindah kursi, kabur pas jadwal makan siang bareng, menolak duduk disebelahnya, sampai bangkrut karena membelikannya peralatan kaki anti bau untuk ulang tahunnya. Segala cara gagal, tentu saja. Walau saya tahu masalah akan lebih mudah dipecahkan bila saya mau menegurnya sekali saja, tetap saja saya tak punya hati untuk melakukannya. Kalau anda?
Mental saya ini berbeda jauh dengan mental berani mati seorang teman.
Saya dan Papap punya seorang teman yang sepertinya tidak tahan panas. Kena matahari sedikit, dia pasti bau. Baunya itu pun kadang gak hilang dari ruangan walau orangnya sudah pergi setengah jam yang lalu.
Saya dan Papap sempat dorong-dorong: siapa yang harus ngasih tau orang ini bahwa dia... bau! Setahun berlalu, si teman masih bau, kita juga masih dorong-dorongan. Ketika masalah bau ini semakin tidak tertahan berkaitan dengan intensitas pertemuan kita yang semakin sering, saya dan Papap terpikir untuk menghadiahinya deodorant.
Sebelum ide ini terealisasi (yang mungkin akan memakan waktu 5 tahun kemudian), kami kedatangan seorang teman baru. Si teman lama dan si teman baru pun bertemu. Tidak sampai sehari, si teman lama sudah mendapat pencerahan mengenai masalah baunya dari si teman baru. Problem's solved. Memang sih abis itu mereka berdua gak pernah ngobrol lagi...
Belakangan saya pikir, saya gak bisa terus-terusan bertingkah sok normal. Lagipula, saya kena karma karena gak mau berkorban untuk kesejahteraan umat.
Suatu hari saya yang sedang flu berat belanja bersama teman di sebuat mini market. Ketika sedang mengantri di kasir, si kasir tersenyum-senyum pada saya. Sebagai manusia ramah dan baik hati, tentu saya balas tersenyum. Maka, kami pun menghabiskan beberapa menit saling men-senyum-i satu sama lain. Tiba-tiba teman di belakang saya mencolek,
"Gila, bau banget. Sapa yang kentut sih? Elu kecium gak?"
"Bau kentut? Gak nyium tuh. Gue kan lagi pilek. Kesian deh lu..."
Begitu keluar dari mini market itu, si teman ketawa ngakak.
"Elu tau gak, De? Semua orang disitu mikirnya elu yang kentut, tau!"
FYI, sumpah, bukan saya yang kentut!
Malam itu, si penyiar sedang mencari tempat parkir. Sambil mengantri, dia melihat seorang perempuan kenes berpakaian celana panjang dan kemeja rapi berjalan PD melintasi lapangan parkir mall yang besar itu. Di antara sorot lampu mobil yang menembus segala hal, si penyiar melihat kalau zipper celana si perempuan terbuka dengan bebas....
Oke, sampai sini, gak usah pake dibayangin! Tapi katanya sih, perempuan itu pake tali berhuruf G.
Perempuan ini berjalan mendekati mobil si penyiar. Penyiar kita ini deg-degan. Bilang, gak, bilang, gak? Akhirnya si penyiar memutuskan untuk membuka jendela mobil, menyapa si perempuan, memberitahu perihal zippernya, dan buru-buru menutup jendela mobil dan kabur demi melihat muka si korban berubah antara pengen nabok dan pengen pingsan.
Kalau anda, apakah anda akan memberitahu perempuan itu?
Ada banyak peristiwa sejenis lainnya yang saya yakin pernah membuat para hadirin sekalian grogi. Kasih tau? Atau, gak usah?
Sewaktu dosen favorit di kampus dulu terkena musibah open-zipper begini saat sedang berkobar-kobar memberi kuliah di kelas, gak ada satu mahasiswa pun yang mau memberi tahu si dosen. Padahal, pose favorit si dosen adalah menangkringkan salah satu kakinya ke kursi paling depan.
Tolong, yang ini juga gak perlu dibayangkan!
Kebanyakan orang sepertinya memilih untuk diam saja. Termasuk saya. Terutama saya.
Saya lebih memilih untuk membuang muka, daripada menanggung derita setiap kali si korban bertemu saya dia akan berpikir 'duh, ni cewek pernah liat itu gue...'
Jadi siapa yang sebenarnya jadi korban?
Jiwa saya yang lebih rela menjadi korban ini pernah kena batunya ketika selama berbulan-bulan saya harus menghirup bau jempol seorang teman yang doyan melepas sepatunya. Segala cara -kecuali menegur- sudah saya coba: pindah kursi, kabur pas jadwal makan siang bareng, menolak duduk disebelahnya, sampai bangkrut karena membelikannya peralatan kaki anti bau untuk ulang tahunnya. Segala cara gagal, tentu saja. Walau saya tahu masalah akan lebih mudah dipecahkan bila saya mau menegurnya sekali saja, tetap saja saya tak punya hati untuk melakukannya. Kalau anda?
Mental saya ini berbeda jauh dengan mental berani mati seorang teman.
Saya dan Papap punya seorang teman yang sepertinya tidak tahan panas. Kena matahari sedikit, dia pasti bau. Baunya itu pun kadang gak hilang dari ruangan walau orangnya sudah pergi setengah jam yang lalu.
Saya dan Papap sempat dorong-dorong: siapa yang harus ngasih tau orang ini bahwa dia... bau! Setahun berlalu, si teman masih bau, kita juga masih dorong-dorongan. Ketika masalah bau ini semakin tidak tertahan berkaitan dengan intensitas pertemuan kita yang semakin sering, saya dan Papap terpikir untuk menghadiahinya deodorant.
Sebelum ide ini terealisasi (yang mungkin akan memakan waktu 5 tahun kemudian), kami kedatangan seorang teman baru. Si teman lama dan si teman baru pun bertemu. Tidak sampai sehari, si teman lama sudah mendapat pencerahan mengenai masalah baunya dari si teman baru. Problem's solved. Memang sih abis itu mereka berdua gak pernah ngobrol lagi...
Belakangan saya pikir, saya gak bisa terus-terusan bertingkah sok normal. Lagipula, saya kena karma karena gak mau berkorban untuk kesejahteraan umat.
Suatu hari saya yang sedang flu berat belanja bersama teman di sebuat mini market. Ketika sedang mengantri di kasir, si kasir tersenyum-senyum pada saya. Sebagai manusia ramah dan baik hati, tentu saya balas tersenyum. Maka, kami pun menghabiskan beberapa menit saling men-senyum-i satu sama lain. Tiba-tiba teman di belakang saya mencolek,
"Gila, bau banget. Sapa yang kentut sih? Elu kecium gak?"
"Bau kentut? Gak nyium tuh. Gue kan lagi pilek. Kesian deh lu..."
Begitu keluar dari mini market itu, si teman ketawa ngakak.
"Elu tau gak, De? Semua orang disitu mikirnya elu yang kentut, tau!"
FYI, sumpah, bukan saya yang kentut!
Tuesday, August 21, 2007
Komplek Sepuh
Semenjak pulang kampung hampir setahun yang lalu, saya menumpang tinggal di rumah orang tua saya. Rumah ortu saya ini berada di komplek pensiunan tentara.
Si Papi pernah menyuruh saya membeli rumah di komplek yang sama. Maksudnya tentu saja supaya beliau bisa setiap saat menculik Hikari. Sayanya yang ogah. Komplek ini kan entah berada di propinsi mana di Indonesia ini!
Melihat tampang ogah-ogahan saya, si Papi mulai melancarkan jurus penjual kecapnya. Kecapnya yang pertama: "Disini kan bisa ketemu sama tetangga yang di komplek lama." Maksud Papi saya, tetangga disini sama isinya dengan tetangga di rumah kami yang lama. Mendengar ini saya makin ogah. Gak siap mental aja kalau lagi jalan sore ada kakek-kakek atau nenek-nenek yang begitu ketemu saya berkomentar, "eeeh, kamu sudah besar ya. Dulu kan kamu yang kecilnya ingusan melulu tho?"
Lalu, kecapnya si Papi yang kedua adalah membeberkan segala kelebihan komplek ini dibanding komplek-komplek perumahan lain. Pertama: lebih murah, katanya. Ya iyalah, tukang pos aja bingung mau ngasih nomer kode pos berapa buat komplek di lokasi yang hanya bisa dideteksi oleh dukun dan supir ojek.
Pastinya si Papi hampir kehabisan jurus ketika beliau mengatakan komplek ini sangat self-sufficient and stress-free. Segala ada. Kita gak perlu keluar komplek ini untuk belanja, rekreasi, olah-raga, nenangga, sampai berkebun. "Bahkan," tambah si Papi, "tanah untuk kuburan aja udah disediain disini!"
Beh... plis deh... Pensiunan sih pensiunan...
Seorang teman saya pernah bercerita begini: suatu siang, dia naik bus TransJakarta dari Kp. Rambutan sampai Matraman. Di sebelahnya, duduk seorang kakek yang ternyata salah satu tetangga saya.
Si kakek itu bercerita, "setiap minggu saya sibuk, mbak."
Teman, "sibuk apa, Pak?"
Kakek, "melayat. Tiap minggu pasti ada aja nama yang diumumin di mesjid."
Sumpah, kalau terbayang wajah bapak-ibu saya, cerita ini gak lucu sama sekali. Tapi, kok ya lucu juga...
Cerita teman saya tadi sama isinya dengan cerita si Papi. Waktu saya tanya kenapa sholat Jumat di mesjid dekat rumah itu lama sekali, si Papi menjawab enteng.
"Kan harus nungguin jemaahnya yang udah tua-tua. Ada yang pernah stroke, ada yang udah gak bisa berdiri, ada yang sholatnya harus senderan...."
Kebayang gak sih mereka harus jalan jam berapa ke mesjid yang hanya berjarak ratusan meter untuk bisa shalat Jumat tepat waktu?
Seperti juga si Papi yang pernah kena stroke ringan dan mengidap beberapa gejala penyakit lainnya, tetangga yang lain juga hampir sama. Penyakit umum disini adalah stroke, darah tinggi, dan jantung.
Ini cerita dua hari yang lalu: tetangga sebelah kiri saya menyuruh tukang untuk mengikat dahan-dahan pohon mangganya yang menjulur ke rumah kami. Dahan-dahan itu ditarik sedemikian rupa ke arah dalam (pekarangan rumah beliau). Melihat tukangnya yang ngos-ngosan, si Papi mendekati Kakek sebelah.
Papi: Pak, dipangkas aja atasnya. Daripada diikat-ikat begitu...
Kakek: Wah, instruksi nyonya harus begitu, Pak. Saya takut kalau gak sama dengan instruksinya.
Setelah saya tanya si Papi, ternyata istri si Kakek itu punya darah tinggi dan kalau kemauannya gak dituruti, bisa histeris sampai pingsan. Ternyata, kejadian ini pemandangan biasa di komplek.
Karena itu lah, saya gak heran lagi ketika malam tadi ketemu Pak RT (yang juga sudah sepuh) sedang naik motor keliling komplek. Ternyata Pak RT baru selesai menengahi dua kakek yang berhadapan rumah. Mereka bertengkar karena kakek A membuat pagar bambu mengelilingi 2 pohon mangganya. Berhubung pohon mangganya itu ditanam diluar pagarnya, otomatis pagar bambunya melebar sampai menghabiskan setengah badan jalan umum. Kakek B yang punya garasi persis di depan pagar bambu itu jelas blingsatan.
"Trus, Pak RT bilang apa ke Pak A?" tanya si Mami.
"Saya suruh minum obat dua-duanya," jawab Pak RT kalem. Ternyata kedua kakek itu penderita stroke dan darah tinggi.
Kejadian yang paling lucu sekaligus mengesalkan buat saya dan para penghuni berusia muda di komplek ini adalah saat menjalani rutinitas pagi. Para sepuh di komplek ini rata-rata menggunakan mobil-mobil Eropa keluaran tahun 70-80an. Jangan ditanya kondisinya. Masih bisa jalan aja udah prestasi tersendiri karena setelah diperhatikan keempat roda mobil-mobil ini sepertinya sudah tidak kompak lagi. Kalau kita sedang sial, kita bakal bertemu dengan mobil-mobil ini di jalanan desa yang hanya muat dua mobil. Bayangkan antrian yang terjadi di belakang mobil-mobil tua yang jalannya hanya 10 km/h itu! Gak bisa disalip pulak!
Yang lumayan mengenaskan di komplek ini adalah ketika menyaksikan seorang kakek dituntun berjalan oleh satpam. Waktu saya tanya si Mami, kakek itu ternyata salah satu kolega si Papi waktu masih dinas dulu. Si kakek ini seringkali pergi keluar rumah dengan niat berjalan-jalan. Tapi yang terjadi adalah begitu beliau belok ke jalan yang berbeda, beliau tidak pernah ingat lagi letak rumahnya dimana. Akhirnya, Satpam atau penghuni komplek yang lain sering menemukan si kakek sedang berjalan muter-muter kehilangan arah...
Agak miris buat saya membayangkan tetangga-tetangga sekomplek saya ini. Soalnya, saya tahu sekali bagaimana mereka sewaktu masih muda dan berdinas. Sekarang, ketika seragam dan pangkat itu sudah tidak terpakai lagi, yang bisa mereka lakukan ketika bertemu di jalan hanya saling memberi hormat dengan tangan kanan terangkat ke kening.
Kata Papi saya, "menghabiskan masa pensiun yang paling enak ya bertetangga dengan teman-teman lama.
Kalau kata Mami saya, "penghiburan para pensiunan ya ketika main sama cucu."
Maksudnya?!
Si Papi pernah menyuruh saya membeli rumah di komplek yang sama. Maksudnya tentu saja supaya beliau bisa setiap saat menculik Hikari. Sayanya yang ogah. Komplek ini kan entah berada di propinsi mana di Indonesia ini!
Melihat tampang ogah-ogahan saya, si Papi mulai melancarkan jurus penjual kecapnya. Kecapnya yang pertama: "Disini kan bisa ketemu sama tetangga yang di komplek lama." Maksud Papi saya, tetangga disini sama isinya dengan tetangga di rumah kami yang lama. Mendengar ini saya makin ogah. Gak siap mental aja kalau lagi jalan sore ada kakek-kakek atau nenek-nenek yang begitu ketemu saya berkomentar, "eeeh, kamu sudah besar ya. Dulu kan kamu yang kecilnya ingusan melulu tho?"
Lalu, kecapnya si Papi yang kedua adalah membeberkan segala kelebihan komplek ini dibanding komplek-komplek perumahan lain. Pertama: lebih murah, katanya. Ya iyalah, tukang pos aja bingung mau ngasih nomer kode pos berapa buat komplek di lokasi yang hanya bisa dideteksi oleh dukun dan supir ojek.
Pastinya si Papi hampir kehabisan jurus ketika beliau mengatakan komplek ini sangat self-sufficient and stress-free. Segala ada. Kita gak perlu keluar komplek ini untuk belanja, rekreasi, olah-raga, nenangga, sampai berkebun. "Bahkan," tambah si Papi, "tanah untuk kuburan aja udah disediain disini!"
Beh... plis deh... Pensiunan sih pensiunan...
Seorang teman saya pernah bercerita begini: suatu siang, dia naik bus TransJakarta dari Kp. Rambutan sampai Matraman. Di sebelahnya, duduk seorang kakek yang ternyata salah satu tetangga saya.
Si kakek itu bercerita, "setiap minggu saya sibuk, mbak."
Teman, "sibuk apa, Pak?"
Kakek, "melayat. Tiap minggu pasti ada aja nama yang diumumin di mesjid."
Sumpah, kalau terbayang wajah bapak-ibu saya, cerita ini gak lucu sama sekali. Tapi, kok ya lucu juga...
Cerita teman saya tadi sama isinya dengan cerita si Papi. Waktu saya tanya kenapa sholat Jumat di mesjid dekat rumah itu lama sekali, si Papi menjawab enteng.
"Kan harus nungguin jemaahnya yang udah tua-tua. Ada yang pernah stroke, ada yang udah gak bisa berdiri, ada yang sholatnya harus senderan...."
Kebayang gak sih mereka harus jalan jam berapa ke mesjid yang hanya berjarak ratusan meter untuk bisa shalat Jumat tepat waktu?
Seperti juga si Papi yang pernah kena stroke ringan dan mengidap beberapa gejala penyakit lainnya, tetangga yang lain juga hampir sama. Penyakit umum disini adalah stroke, darah tinggi, dan jantung.
Ini cerita dua hari yang lalu: tetangga sebelah kiri saya menyuruh tukang untuk mengikat dahan-dahan pohon mangganya yang menjulur ke rumah kami. Dahan-dahan itu ditarik sedemikian rupa ke arah dalam (pekarangan rumah beliau). Melihat tukangnya yang ngos-ngosan, si Papi mendekati Kakek sebelah.
Papi: Pak, dipangkas aja atasnya. Daripada diikat-ikat begitu...
Kakek: Wah, instruksi nyonya harus begitu, Pak. Saya takut kalau gak sama dengan instruksinya.
Setelah saya tanya si Papi, ternyata istri si Kakek itu punya darah tinggi dan kalau kemauannya gak dituruti, bisa histeris sampai pingsan. Ternyata, kejadian ini pemandangan biasa di komplek.
Karena itu lah, saya gak heran lagi ketika malam tadi ketemu Pak RT (yang juga sudah sepuh) sedang naik motor keliling komplek. Ternyata Pak RT baru selesai menengahi dua kakek yang berhadapan rumah. Mereka bertengkar karena kakek A membuat pagar bambu mengelilingi 2 pohon mangganya. Berhubung pohon mangganya itu ditanam diluar pagarnya, otomatis pagar bambunya melebar sampai menghabiskan setengah badan jalan umum. Kakek B yang punya garasi persis di depan pagar bambu itu jelas blingsatan.
"Trus, Pak RT bilang apa ke Pak A?" tanya si Mami.
"Saya suruh minum obat dua-duanya," jawab Pak RT kalem. Ternyata kedua kakek itu penderita stroke dan darah tinggi.
Kejadian yang paling lucu sekaligus mengesalkan buat saya dan para penghuni berusia muda di komplek ini adalah saat menjalani rutinitas pagi. Para sepuh di komplek ini rata-rata menggunakan mobil-mobil Eropa keluaran tahun 70-80an. Jangan ditanya kondisinya. Masih bisa jalan aja udah prestasi tersendiri karena setelah diperhatikan keempat roda mobil-mobil ini sepertinya sudah tidak kompak lagi. Kalau kita sedang sial, kita bakal bertemu dengan mobil-mobil ini di jalanan desa yang hanya muat dua mobil. Bayangkan antrian yang terjadi di belakang mobil-mobil tua yang jalannya hanya 10 km/h itu! Gak bisa disalip pulak!
Yang lumayan mengenaskan di komplek ini adalah ketika menyaksikan seorang kakek dituntun berjalan oleh satpam. Waktu saya tanya si Mami, kakek itu ternyata salah satu kolega si Papi waktu masih dinas dulu. Si kakek ini seringkali pergi keluar rumah dengan niat berjalan-jalan. Tapi yang terjadi adalah begitu beliau belok ke jalan yang berbeda, beliau tidak pernah ingat lagi letak rumahnya dimana. Akhirnya, Satpam atau penghuni komplek yang lain sering menemukan si kakek sedang berjalan muter-muter kehilangan arah...
Agak miris buat saya membayangkan tetangga-tetangga sekomplek saya ini. Soalnya, saya tahu sekali bagaimana mereka sewaktu masih muda dan berdinas. Sekarang, ketika seragam dan pangkat itu sudah tidak terpakai lagi, yang bisa mereka lakukan ketika bertemu di jalan hanya saling memberi hormat dengan tangan kanan terangkat ke kening.
Kata Papi saya, "menghabiskan masa pensiun yang paling enak ya bertetangga dengan teman-teman lama.
Kalau kata Mami saya, "penghiburan para pensiunan ya ketika main sama cucu."
Maksudnya?!
Saturday, August 18, 2007
Tertawa di Tanggal 17
Pada tanggal 17 Agustus 2007, hari Jumat, hari Kemerdekaan RI...
1) Komplek perumahan saya (hak milik bapak saya) ternyata tidak menyelenggarakan perayaan kemerdekaan rame-rame. Saya agak kecewa, karena saya ingin memberi pengalaman 17-an yang meriah kepada Hikari. That would be his first August 17. Tetapi, perayaan yang ada hanya: 1. Kerja bakti seminggu sebelumnya, 2. Pasang bendera dan umbul-umbul, 3. Nonton upacara di tivi, dengan sangat khidmat (saluran tivi di TVRI, dan gak boleh diganti sampai President bubar jalan).
Sewaktu saya protes mengenai absennya lomba-lomba dan panggung gembira ke bapak saya, si papi menjawab, "ini komplek pensiunan! Isinya kakek-kakek dan nenek-nenek yang buat jalan aja susah. Mau disuruh lomba apaan?!"
2) Di salah satu stasiun tivi, ada liputan permainan anak-anak jaman dulu pada tanggal 17 Agustus. Salah satu permainan itu adalah main tembak-tembakan menggunakan senjata bambu berpeluru buah kecil. Senjata itu buatan sendiri. Pelurunya diambil dari pohon.
Si Papi, "dulu pas lagi rame main itu, satu pohon bisa dipanjatin banyak orang. Mereka rebutan ngambil buahnya. Udah gitu, pas lagi main, gak ada yang mau jadi tentara Belanda. Soalnya kalo jadi tentara Belanda pasti badan dan kepalanya abis benjol-benjol ditembakin yang lain."
Papap, "waktu kecil aku main itu juga tuh. Tapi buahnya pakai buah seperti tomat kecil yang hijau. Senjata aku dulu, senjata bambu itu, Mam. Kalau kamu apa?"
Saya, "senjata beneran kali..." (secara gue lahir dan gede di komplek tentara gitu loooh)
3) Di tivi anggota Paskibraka sedang menaikkan bendera.
Saya: "Ri, kalo udah besar mau jadi kakak Paskibraka gak?"
Hikari: "Tidak. Aku mau jadi spongebob aja."
4) Pelajaran sejarah diberikan kepada Hikari di sepanjang perjalanan menuju kota Jakarta.
Saya: "Hikari, bendera Indonesia warnanya apa?"
Hikari: "Banyak, Ma."
Papap: "Hah? Kok banyak?"
Hikari sambil menunjuk ke luar mobil: "Itu ada merah putih, ada hijau, ada biru tengahnya segitiga..."
5) Selesai menonton upacara di Istana, penghuni komplek mengobrol bangga, "nah, tahun ini komandan upacaranya dari AU!"
Saya: "Penting ya, Pi?"
Papi: "Penting! Ini kan komplek pensiunan AU!!!"
6) Tumpeng kami (saya, salah satunya) untuk perlombaan 17-an di sekolah Hikari roboh....
1) Komplek perumahan saya (hak milik bapak saya) ternyata tidak menyelenggarakan perayaan kemerdekaan rame-rame. Saya agak kecewa, karena saya ingin memberi pengalaman 17-an yang meriah kepada Hikari. That would be his first August 17. Tetapi, perayaan yang ada hanya: 1. Kerja bakti seminggu sebelumnya, 2. Pasang bendera dan umbul-umbul, 3. Nonton upacara di tivi, dengan sangat khidmat (saluran tivi di TVRI, dan gak boleh diganti sampai President bubar jalan).
Sewaktu saya protes mengenai absennya lomba-lomba dan panggung gembira ke bapak saya, si papi menjawab, "ini komplek pensiunan! Isinya kakek-kakek dan nenek-nenek yang buat jalan aja susah. Mau disuruh lomba apaan?!"
2) Di salah satu stasiun tivi, ada liputan permainan anak-anak jaman dulu pada tanggal 17 Agustus. Salah satu permainan itu adalah main tembak-tembakan menggunakan senjata bambu berpeluru buah kecil. Senjata itu buatan sendiri. Pelurunya diambil dari pohon.
Si Papi, "dulu pas lagi rame main itu, satu pohon bisa dipanjatin banyak orang. Mereka rebutan ngambil buahnya. Udah gitu, pas lagi main, gak ada yang mau jadi tentara Belanda. Soalnya kalo jadi tentara Belanda pasti badan dan kepalanya abis benjol-benjol ditembakin yang lain."
Papap, "waktu kecil aku main itu juga tuh. Tapi buahnya pakai buah seperti tomat kecil yang hijau. Senjata aku dulu, senjata bambu itu, Mam. Kalau kamu apa?"
Saya, "senjata beneran kali..." (secara gue lahir dan gede di komplek tentara gitu loooh)
3) Di tivi anggota Paskibraka sedang menaikkan bendera.
Saya: "Ri, kalo udah besar mau jadi kakak Paskibraka gak?"
Hikari: "Tidak. Aku mau jadi spongebob aja."
4) Pelajaran sejarah diberikan kepada Hikari di sepanjang perjalanan menuju kota Jakarta.
Saya: "Hikari, bendera Indonesia warnanya apa?"
Hikari: "Banyak, Ma."
Papap: "Hah? Kok banyak?"
Hikari sambil menunjuk ke luar mobil: "Itu ada merah putih, ada hijau, ada biru tengahnya segitiga..."
5) Selesai menonton upacara di Istana, penghuni komplek mengobrol bangga, "nah, tahun ini komandan upacaranya dari AU!"
Saya: "Penting ya, Pi?"
Papi: "Penting! Ini kan komplek pensiunan AU!!!"
6) Tumpeng kami (saya, salah satunya) untuk perlombaan 17-an di sekolah Hikari roboh....
Thursday, August 16, 2007
Jangan Salahkan Dunia!
Neng,
kebahagiaan itu bukan hadiah,
bukan sesuatu yang mesti ada.
Neng,
kebahagiaan itu harus diusahakan,
tidak pake syarat macam-macam.
Kebahagiaan tidak pake kata asal.
-asal kaya, baru bisa bahagia
-asal cakep, baru bisa bahagia
-asal ada teman, baru bisa bahagia
-asal ada anak, baru bisa bahagia
Itu kebahagiaan asal namanya.
Kebahagiaan juga tidak pake kata kalau.
-kalau di Indonesia, baru bisa bahagia
-kalau di luar negeri, baru bisa bahagia
-kalau Indonesia tertib, baru bisa bahagia
-kalau luar negeri halal semua, baru bisa bahagia
Itu namanya kalau bisa bahagia.
Kalau enggak bisa?
Mau apa lu?
Neng,
kebahagiaan itu bukan hanya ada di hati,
karena gak semua hal itu melulu pake perasaan.
Kebahagiaan juga ada di otak yang logis berpikir.
Di mata yang jernih melihat.
Di bibir yang rela tersenyum.
Neng,
kebahagiaan itu, walau harus diusahakan, tersebar dimana-mana.
Dia ada, di setiap tempat kamu pergi.
Dia ada, di setiap langkah yang kamu bawa.
Tapi, soal kamu bisa melihatnya berceceran di setiap tapakmu, itu yang jadi masalah.
Kebahagiaan tidak mengenal negara.
Apalagi warna passport, Neng!
Ayo lah, Neng,
jangan lah manyun kerap kali.
Berkeluh kesah seakan hanya dirimu yang sengsara.
Berpikiran buruk terhadap dunia.
Berasa semua orang menyakitimu.
You may be important. But not that important.
Neng,
Merasa bete itu normal.
Merasa kesal itu wajar.
Merasa kehilangan semangat itu biasa.
Tapi, Neng,
hidup gak perlu melulu tentang bete, kesal, dan kehilangan semangat.
Hidup bisa melulu tentang bahagia, bete sebentar, bahagia lagi, bahagia terus, bahagiaaaaaa...
Jadi, Neng,
Cari kebahagiaan mu.
Berceceran itu dimana-mana!
Berhenti manyun lah!
Dunia tak punya salah!
kebahagiaan itu bukan hadiah,
bukan sesuatu yang mesti ada.
Neng,
kebahagiaan itu harus diusahakan,
tidak pake syarat macam-macam.
Kebahagiaan tidak pake kata asal.
-asal kaya, baru bisa bahagia
-asal cakep, baru bisa bahagia
-asal ada teman, baru bisa bahagia
-asal ada anak, baru bisa bahagia
Itu kebahagiaan asal namanya.
Kebahagiaan juga tidak pake kata kalau.
-kalau di Indonesia, baru bisa bahagia
-kalau di luar negeri, baru bisa bahagia
-kalau Indonesia tertib, baru bisa bahagia
-kalau luar negeri halal semua, baru bisa bahagia
Itu namanya kalau bisa bahagia.
Kalau enggak bisa?
Mau apa lu?
Neng,
kebahagiaan itu bukan hanya ada di hati,
karena gak semua hal itu melulu pake perasaan.
Kebahagiaan juga ada di otak yang logis berpikir.
Di mata yang jernih melihat.
Di bibir yang rela tersenyum.
Neng,
kebahagiaan itu, walau harus diusahakan, tersebar dimana-mana.
Dia ada, di setiap tempat kamu pergi.
Dia ada, di setiap langkah yang kamu bawa.
Tapi, soal kamu bisa melihatnya berceceran di setiap tapakmu, itu yang jadi masalah.
Kebahagiaan tidak mengenal negara.
Apalagi warna passport, Neng!
Ayo lah, Neng,
jangan lah manyun kerap kali.
Berkeluh kesah seakan hanya dirimu yang sengsara.
Berpikiran buruk terhadap dunia.
Berasa semua orang menyakitimu.
You may be important. But not that important.
Neng,
Merasa bete itu normal.
Merasa kesal itu wajar.
Merasa kehilangan semangat itu biasa.
Tapi, Neng,
hidup gak perlu melulu tentang bete, kesal, dan kehilangan semangat.
Hidup bisa melulu tentang bahagia, bete sebentar, bahagia lagi, bahagia terus, bahagiaaaaaa...
Jadi, Neng,
Cari kebahagiaan mu.
Berceceran itu dimana-mana!
Berhenti manyun lah!
Dunia tak punya salah!
Wednesday, August 15, 2007
Mengancam Lewat Mata
Pernah baca artikel tentang reportase seorang wartawan yang mewawancarai para tahanan di sebuah penjara di Amerika?
Wartawan itu bertanya, "bagaimana anda memilih korban anda?"
Jawaban para tahanan adalah, "kami melihat mata mereka."
"Maksud lo?" (yaaa... kira-kira seperti itu lah)
"Contohnya anda. Begitu anda melihat kami, anda tidak mengalihkan pandangan mata anda. Anda malah menatap kami dalam-dalam. Itu memberi kesan kalau anda bukan seorang penakut dan bukan seorang yang gampang dikerjain."
Saya merasa terinspirasi dengan artikel ini, walau saya lupa itu artikel terbitan kapan, dimana, dan oleh siapa.
Saya juga merasa pesimis bisa melakukan hal-natap-menatap itu setelah membaca artikel ini. Alasannya konyol: saya ini pemalu yang rendah hati serta lemah lembut. Jangankan melihat lurus ke mata para penjahat itu, melihat laki-laki ganteng seperti Keanu aja membuat mata saya blingsatan keluar dari jalur lurusnya. *bletak*
Sejak membaca artikel itu, saya belum mendapat pencerahan lagi bagaimana saya bisa melatih rasa PD dan melatih kemampuan untuk menatap ke mata orang lain tanpa berpaling. Bahkan seorang teman saya yang saya ajak ngobrol tentang cara-sukses-menatap-mata-orang sama pesimisnya dengan saya.
Dia bilang, "kalau melirik judes, elu udah lulus. Tapi kalo menatap tajam, elu kudu sering-sering latihan di terminal."
What?! Apa gue gak disangka polwan, ntar?
Eniwei, waktu ternyata berhenti di hari kemarin. Saya mendapat pencerahan.
Saat itu saya sedang dihukum si boss dengan cara menyuruh saya duduk manis selama dua jam di kelas orang lain, memperhatikan guru kelas itu mengajar, untuk kemudian mencatat baik-baik apa yang saya lihat di kelas itu. Sumpah, saya lebih memilih duduk di kantin.
Sebelum masuk kelas, si guru sudah membisiki saya.
"Murid gue badung-badung, De. Anak SMA semua."
Uuuuggggghhhh.... I love this class instantly. Gue dan murid badung, gitu loohh.
Ternyata guru itu benar-benar tidak sedang meledek nyali saya. Begitu saya membuka pintu kelas dan diperkenalkan oleh si guru kepada murid-muridnya, tampang ngenyek langsung menyebar ke seluruh penjuru kelas. Itu lah ruginya pemilik muka imut-imut yang nekat berprofesi sebagai guru.
Beberapa murid cowok di pojok kelas sengaja berbisik keras-keras (nah, berbisik tapi keras!).
"Sapa sih?"
"Mo apa sih?"
"Ih, ada guru lain. Males banget." -> yang ini muncul dari kerumunan perempuan.
"Psstt... pssttt... pssssttt..."
"Silent, please!" Ini gurunya yang mulai mengancam karena gak enak hati dengan saya.
Yang kemudian saya lakukan adalah: menoleh ke kiri, ke tempat guru itu berdiri, tersenyum manis padanya, lalu.... menoleh kembali ke depan, menghilangkan senyum dari wajah saya, menarik alis mata kiri saya ke atas, dan menghabiskan beberapa detik untuk menatap tajam ke wajah-wajah tengil di hadapan saya satu persatu.
Sukses. Mereka langsung berhenti berbisik. Mereka menunduk.
Dan, seperti ada konsensus tak terlihat tak terdengar tak berbau, mereka mengambil keputusan kalau keadaan akan lebih aman buat mereka bila mereka duduk dan belajar dengan tertib selama saya duduk di kelas itu selama 2 jam.
Menurut guru kelas itu, selama dua bulan belajar, baru hari itu murid-muridnya bisa diam dan well-behaved. Padahal yang saya lakukan adalah hanya memberi mereka kesan pertama ala Clint Eastwood: "Go ahead. Make my day!"
Saya tidak mau kembali lagi ke kelas itu. Cukup sekali saja. Saya lebih bahagia jadi manusia yang pecicilan dan penuh cekikikan. Dan itu tidak bisa saya lakukan di kelas yang butuh perlakuan khusus.
Ketika si guru bertanya bagaimana caranya saya memperlakukan kelas-kelas saya sendiri, jawaban saya singkat: First impression is very crucial. Pertama kali saya menjejakkan kaki di kelas baru, yang pertama saya lakukan adalah memberi kesan yang dalam kepada setiap kepala di kelas saya bahwa 'I am the boss in this room'. Sambil memberi senyum saya yang katanya manis itu, tentunya.
Moral of the story dari posting ini adalah:
Kalau saya terpaksa harus menggunakan trik cara-sukses-menciutkan-nyali-penjahat, yang harus saya lakukan adalah membayangkan penjahat itu sebagai salah satu murid saya di kelas. Dia pasti bakal memilih institusi lain untuk belajar bahasa Inggris....
Sunday, August 12, 2007
Fun with August 17
I know that Independence Day is supposed to be something solemn, no matter which version of the country's national anthem you believe is the real one. Still, I determine to have some fun out of it. Let's see...
1. I'll watch Nagabonar Jadi 2 again. And this time I'll ignore Tora's unsuccesful Batak accent, or the too-clean Bajaj driver, or the useless appearance of Darius. I'll even ignore Papap's habit of asking questions during movie watching.
2. I'll dress in red and white to work, even if that means my students will have an amazing time differentiating me from the flag.
3. I'll tie a miniature of the Indonesian flag at the car's radio antenna, and force my friends to salute when they pass my car. Or, when my car passes them.
4. I'll make the street singers sing Merah-Putih song by Cokelat. It doesn't matter if I don't like the song. People do say it is difficult to leave our comfort zone. I'll even be more generous than usual.
5. I'll willingly take part in 'Decorate Tumpeng' competition at Hikari's school, ignoring the fact that I can't cook. After all, it is designed to be beautiful, not edible.
How about you?
ps: I'm still Indonesian and patriotic eventhough I use English. You cannot change my mind about this issue, man.
1. I'll watch Nagabonar Jadi 2 again. And this time I'll ignore Tora's unsuccesful Batak accent, or the too-clean Bajaj driver, or the useless appearance of Darius. I'll even ignore Papap's habit of asking questions during movie watching.
2. I'll dress in red and white to work, even if that means my students will have an amazing time differentiating me from the flag.
3. I'll tie a miniature of the Indonesian flag at the car's radio antenna, and force my friends to salute when they pass my car. Or, when my car passes them.
4. I'll make the street singers sing Merah-Putih song by Cokelat. It doesn't matter if I don't like the song. People do say it is difficult to leave our comfort zone. I'll even be more generous than usual.
5. I'll willingly take part in 'Decorate Tumpeng' competition at Hikari's school, ignoring the fact that I can't cook. After all, it is designed to be beautiful, not edible.
How about you?
ps: I'm still Indonesian and patriotic eventhough I use English. You cannot change my mind about this issue, man.
Friday, August 10, 2007
Tolong Dicolek
Kalau diantara para teman dan pengunjung sekalian ada yang kenal dengan Mbak satu ini:
tolong banget menginformasikan kepada beliau kalau grammar di sampul albumnya yang baru (yang berjudul its me USSY) itu salah.Yang benar adalah IT'S (memakai koma atas) me. Atau, lebih baik lagi kalau berjudul Ini Aku. Dijamin gak ada yang protes soal grammar.
source:
-foto Ussy dari KapanLagi.com
Thursday, August 09, 2007
A Quake
Just now there was a quake.
It had to be quite big because it could wake everyone up at my house and around the neighborhood.
It could wake up Papap, and let me tell you that it is extremely difficult to wake up a sleepy head like him.
It could wake up Papap, and let me tell you that it is extremely difficult to wake up a sleepy head like him.
Thank God, it wasn't destructive.
How about you? Are you all okay?
I just hope that whatever happened around here was not destructive at other places, either.
Saturday, August 04, 2007
Chaos
Apa yang terjadi bila nenek-nenek bertemu kakek-kakek?
Jawabannya: saya diisukan hamil!
Ceritanya sungguh konyol.
Uwaknya si Papap yang sudah nenek-nenek kebetulan bertemu dengan Eyang Kakung saya (yang pastinya sudah kakek-kakek). Kebetulan rumah mereka itu satu kelurahan dan keduanya termasuk jenis lansia pecicilan: masih doyan arisan, senam, dan field trip.
Cerita berlanjut ketika pada suatu acara si Uwak bertegur sapa dengan si Eyang. Untung gak ada Eyang Uti saya. Apa jadinya isu itu kalau ditambahi satu nenek-nenek lagi??!
Entah bagaimana ceritanya, si Uwak mendapat kesimpulan kalau:
1. Saya sedang hamil dua bulanan.
2. Saya ngidam berat dan muntah-muntah parah.
3. Saya masuk rumah sakit.
Padahal kenyataannya adalah... saya lagi training.
Si Uwak lalu menelpon Mama Mertua. Mama Mertua kaget bukan kepalang. Masalahnya, si Papap saat itu sedang di luar kota sehingga Mama Mertua berpikir kalau saya sengaja tidak memberita tahu si Papap karena takut Papap menjadi panik. Akhirnya, Mama Mertua dan ipar-ipar menelpon Papap. Mendengar berita saya hamil dan masuk rumah sakit, Papap langsung menganga. Memang responnya agak-agak menyebalkan saat itu. Papap pun langsung menelpon saya.
"Kamu dimana?"
"Dirumah. Baru mau berangkat."
"Kemana?"
"Ke kantor lah."
"Tadi mama telpon."
"Oh."
"Katanya kamu masuk rumah sakit."
"Oh."
"Katanya kamu hamil..."
"Oh." Lalu, "APA?!"
Urusan bertambah runyam ketika Mama Mertua bertemu Eyang Uti saya. Rumah mereka sekali lagi masih satu kelurahan. Begitu bertemu Eyang Uti, si Mama malah mengajak si Eyang menjenguk saya yang katanya hamil, ngidam berat, dan harus masuk rumah sakit. Eyang Uti kaget! Let me tell you something: mengagetkan orang tua berumur hampir 80 tahun adalah tindakan yang tidak dianjurkan.
Kejadian berikutnya sungguh chaotic.
1. Eyang Uti menelpon Mami saya sembari mengomel panjang lebar memberi nasihat karena tidak diberi tahu si Mami kalau saya hamil, ngidam, dan masuk rumah sakit.
2. Si Mami yang lagi ngantor lalu menelpon saya yang juga lagi ngantor sembari ngamuk-ngamuk panjang lebar. Si Mami ngamuk bukan karena merasa tidak diberi tahu saya, tapi lebih karena habis diomeli si Eyang. Baru belakangan si Mami mengkonfirmasi isu.
3. Si Mami ngomel pada Papi saya karena Papi saya malah ketawa-tiwi begitu dikabari.
4. Saya ngomel-ngomel juga panjang lebar sama si Papap karena saya habis diamuki si Mami.
5. Eyang Uti dan si Mami ngomel-ngomel riuh rendah ke Eyang Kakung yang dianggap sebagai sumber isu.
6. Saya diomeli Eyang Kakung karena beliau merasa tidak menyebarkan isu semacam itu.
7. Saya juga diomeli Mama Mertua. Yang ini karena beliau kebingungan mau ngomel sama siapa.
8. Saya diketawain habis oleh para ipar.
9. Saya ngomel lagi sama Papap.
10. Penjahatnya tetap tak tersentuh hukum.
Siapa bilang kumpul-kumpul lansia itu selalu positif?!
picture: from email
Jawabannya: saya diisukan hamil!
Ceritanya sungguh konyol.
Uwaknya si Papap yang sudah nenek-nenek kebetulan bertemu dengan Eyang Kakung saya (yang pastinya sudah kakek-kakek). Kebetulan rumah mereka itu satu kelurahan dan keduanya termasuk jenis lansia pecicilan: masih doyan arisan, senam, dan field trip.
Cerita berlanjut ketika pada suatu acara si Uwak bertegur sapa dengan si Eyang. Untung gak ada Eyang Uti saya. Apa jadinya isu itu kalau ditambahi satu nenek-nenek lagi??!
Entah bagaimana ceritanya, si Uwak mendapat kesimpulan kalau:
1. Saya sedang hamil dua bulanan.
2. Saya ngidam berat dan muntah-muntah parah.
3. Saya masuk rumah sakit.
Padahal kenyataannya adalah... saya lagi training.
Si Uwak lalu menelpon Mama Mertua. Mama Mertua kaget bukan kepalang. Masalahnya, si Papap saat itu sedang di luar kota sehingga Mama Mertua berpikir kalau saya sengaja tidak memberita tahu si Papap karena takut Papap menjadi panik. Akhirnya, Mama Mertua dan ipar-ipar menelpon Papap. Mendengar berita saya hamil dan masuk rumah sakit, Papap langsung menganga. Memang responnya agak-agak menyebalkan saat itu. Papap pun langsung menelpon saya.
"Kamu dimana?"
"Dirumah. Baru mau berangkat."
"Kemana?"
"Ke kantor lah."
"Tadi mama telpon."
"Oh."
"Katanya kamu masuk rumah sakit."
"Oh."
"Katanya kamu hamil..."
"Oh." Lalu, "APA?!"
Urusan bertambah runyam ketika Mama Mertua bertemu Eyang Uti saya. Rumah mereka sekali lagi masih satu kelurahan. Begitu bertemu Eyang Uti, si Mama malah mengajak si Eyang menjenguk saya yang katanya hamil, ngidam berat, dan harus masuk rumah sakit. Eyang Uti kaget! Let me tell you something: mengagetkan orang tua berumur hampir 80 tahun adalah tindakan yang tidak dianjurkan.
Kejadian berikutnya sungguh chaotic.
1. Eyang Uti menelpon Mami saya sembari mengomel panjang lebar memberi nasihat karena tidak diberi tahu si Mami kalau saya hamil, ngidam, dan masuk rumah sakit.
2. Si Mami yang lagi ngantor lalu menelpon saya yang juga lagi ngantor sembari ngamuk-ngamuk panjang lebar. Si Mami ngamuk bukan karena merasa tidak diberi tahu saya, tapi lebih karena habis diomeli si Eyang. Baru belakangan si Mami mengkonfirmasi isu.
3. Si Mami ngomel pada Papi saya karena Papi saya malah ketawa-tiwi begitu dikabari.
4. Saya ngomel-ngomel juga panjang lebar sama si Papap karena saya habis diamuki si Mami.
5. Eyang Uti dan si Mami ngomel-ngomel riuh rendah ke Eyang Kakung yang dianggap sebagai sumber isu.
6. Saya diomeli Eyang Kakung karena beliau merasa tidak menyebarkan isu semacam itu.
7. Saya juga diomeli Mama Mertua. Yang ini karena beliau kebingungan mau ngomel sama siapa.
8. Saya diketawain habis oleh para ipar.
9. Saya ngomel lagi sama Papap.
10. Penjahatnya tetap tak tersentuh hukum.
Siapa bilang kumpul-kumpul lansia itu selalu positif?!
picture: from email