Acara makan siang kali ini diisi dengan mengobrol. Antara saya dan seorang kolega yang lebih senior. Saya sedang menceritakan peristiwa yang terjadi hanya beberapa jam sebelum acara makan siang kami itu.
Pagi, sebelum menuju ke kantor, saya duduk berhadapan di sebuah restoran siapsaji siap24jam dengan seorang teman kuliah dulu. Topik yang sedang dibicarakan -apalagi- anak kami dan calon sekolah mereka. Obrolan saya dengan si teman agak kurang konsentrasi karena saya masih terbayang diskusi tanpa hasil antara saya dan Papap tentang rencana
pindah rumah kami. "Ternyata memulai hidup baru itu butuh modal, ya," komentar Papap sambil bengong ketika menyadari kalau rumah tujuan-pindah kami itu benar-benar kosong melompong tanpa seciduk beras pun,
apalagi furnitur. How can we start living in a house without a single thing (and the money to buy that single thing) but the house itself?!
Kembali ke saat konsentrasi saya melayang di depan wajah teman kuliah tadi, sang teman bercerita bahwa dia mau pindah rumah juga. Demi mencari sekolah ideal untuk anaknya.
"Pindah deket gue aja. Ntar gue nitip antar jemput anak gue ke elu," kata saya sembarangan.
"Boleh juga tuh. Anak gue butuh maenan juga sih," sahutnya polos.
"Sialan lu. Di kata anak gue Lego kali?!"
Dia tertawa ngikik.
Lalu dia melanjutkan. "Tapi pindahnya nanti. Nunggu duit pinjeman dari kantor dulu."
"Oh."
Lalu kami berdua tenggelam dalam lamunan. Melamun tentang duit.
Saya lebih memilih melamun tentang Keanu Reeves."Inget," kata saya diantara saat-saat bengong kami, "minjem duitnya bukan cuma buat beli rumah. Tapi juga buat ngisi rumahnya."
"Maksud lo furnitur?"
"Maksud gue, beras, gula, sabun cuci-cuci, kompor, kulkas, mesin cuci..."
"Wah bener juga! Kita kan sama-sama pengontrak rumah ortu yang gak berharta sama sekali ya?!" katanya kaget.
Walau agak keberatan dengan kalimat 'pengontrak rumah ortu yang gak berharta', saya gak bisa protes. Kebenaran itu memang menyakitkan. Kami balik lagi tenggelam dalam lamunan.
Tiba-tiba hp teman saya itu berbunyi.
"Laki gue!" katanya sambil menatap saya.
"Ya iyalah. Masa' laki gue yang nelpon elu?"
Si teman menyepak kaki saya dari bawah meja. (Perhatian: ini kejadian betulan yang tidak patut dicontoh)
"Ya, Mas?" jawabnya
tiba-tiba kemayu.
"Aku lagi di
tuuuuut sama si De'.... iya... he-eh... iya... APA?!"
Jeritannya membuat tamu-tamu restoran di posisi yang berdekatan langsung menoleh ke arah kami.
"SERIUS, Mas?! IYA?! BENER?!"
Saya sepak balik kakinya. Berteriak-teriak lewat hp di restoran sungguh bukan ide yang bagus. Untung telponnya tidak lama.
Begitu hp mati, teman saya meraih kedua tangan saya. Sungguh adegan yang menjijikkan mengingat saat itu kedua tangan saya sedang belepotan cheese burger.
"De', tebak!"
"Ogah."
"Laki gue tadi nelpon."
"Lanjut. Bagian itu gue udah tau."
"Dia bilang pinjeman kantornya udah turun tadi! Dan, jumlahnya lumayan bangeeeeetttt!" katanya sambil tertawa bahagia dengan mata berkaca-kaca.
Balik ke episode makan siang plus ngobrol saya dengan kolega kantor tadi, saya menceritakan kejadian pagi itu sambil tertawa terkekeh-kekeh. Tapi kolega saya tidak ikut tertawa.
"Kamu memang orang yang aneh," katanya tiba-tiba yang membuat saya keselek daging rawon.
"Kalau saya, hati saya pasti sedang berdarah-darah. Bayangin, pas kita sedang minta A sama Tuhan, eh Tuhan malah ngasih A sama orang lain di depan kita. Apa gak
nelongso? Kamu malah ketawa-tawa?"
Saya selalu berpikir bahwa Tuhan mempunyai rasa humor yang sangat tinggi, kalau tidak bisa dibilang
witty. Dan saya pikir, kejadian pagi itu -seperti juga banyak kejadian
lainnya -memperlihatkan rasa humorNya yang memang lucu, yang seringkali membuat saya tertawa-tawa geli sendiri....
Atau memang saya yang aneh?