Mengaji, rasanya tidak pernah jadi les yang saya tunggu-tunggu sewaktu saya kecil. Seribu macam alasan sudah pernah saya berikan supaya saya bisa terhindar dari keharusan mengaji. Seribu macam alasan itu selalu gagal total dipatahkan si Mami.
Saya mulai belajar mengaji yang serius saat duduk di bangku SD, sekitar kelas 3 atau 4. Pertama belajar mengaji, orang tua saya mengirim saya ke masjid di dekat rumah. Semua anak di komplek saya juga di kirim ke masjid yang sama. Mengaji time waktu itu masih menyenangkan. Bukan karena mengajinya, jelas, tapi karena ide kami bisa main bareng di masjid dan membuat Ketua Masjid marah-marah karena kegaduhan yang kami buat.
Ustadz kami waktu itu bernama Pak Yusuf. Pagi hari, Pak Yusuf bekerja dan sore harinya mengajar kami mengaji. Wajar saja, ketika waktunya kami mengaji, Pak Yusuf sering terkantuk-kantuk mendengarkan alunan bacaan kami yang gak jelas melodinya. Entah bagaimana belajar dan diajarnya, saya sudah bisa membaca Juz Amma dengan lancar saat saya kelas 4. Oh iya, jaman dulu tidak ada ustadz yang mengajar pakai sistem Iqro. Jadi mungkin, metode saya adalah metode hapalan.
Walaupun bukan anak yang paling bandel di masjid, saya juga ngaku aja bukan anak yang paling alim. Yeah, right. Modus operandi yang sering saya lakukan adalah membaca satu ayat dengan ritme yang pelaaaaan sekali, sehingga membuat Pak Yusuf yang sudah dalam kondisi mengantuk berat, menjadi tidur sekalian. Begitu Pak Yusuf tidur, saya berhenti membaca. Setelah itu, saya dan teman-teman pun cekikikan sampai puas.
Pak Yusuf bisa tertidur sekitar 1 hingga 3 menit. Saat dia terbangun, dia akan mendapatkan wajah polos alim saya di hadapan dia. Lalu, dia akan bertanya...
"Kok berhenti?"
Saya jawab dengan alim tentu saja. "Kan sudah selesai."
Pak Yusuf mengangguk-angguk. "Oooh. Kalo gitu, giliran siapa sekarang?"
Dan pembaca berikutnya melakukan modus operandi yang sama.
Saat saya lulus SD, saya tidak lagi belajar mengaji di masjid. Entah karena si Mami berpikir saya sudah terlalu tua untuk mengaji bersama anak-anak, atau karena ada orang yang melaporkan kelakuan saya kepadanya. Si Mami lalu memanggil Pak Yusuf ke rumah untuk memberi saya dan kedua adik saya les privat. Kali ini modus operandi saya lebih canggih: ikutan ekskul di sekolah setiap hari sehingga selalu pulang sore yang artinya waktu mengaji sudah lewat. Hasilnya jelas. Kedua adik saya sudah khatam sampai 2 kali, saya sekalipun belum pernah. Yang jelas, saya khatam ikutan Paskibra, Pramuka, dan PMR.
Di SMA, saya sudah tidak mengaji lagi. Mungkin karena si Mami bosan mendengar seribu alasan saya. Tapi, di SMA itu saya melihat kenyataan betapa les ngaji saya sebelumnya berguna untuk meningkatkan nilai agama di sekolah. Sejak itu, setiap kali sepupu saya mengajak saya mengaji di rumah tetangga bersama ibu-ibu, saya ikhlas ikutan. Kesadaran selalu datang terlambat. Masih bagus datang juga.
Sekarang ini, saya menjadi sosok si Mami pada jaman saya kecil dulu. Memaksa anak saya mengaji. Karena Hikari sekolah sampai sore, dia tidak bisa mendapatkan pengalaman mengaji di masjid seperti saya dulu. Alhasil, saya harus memanggil guru mengaji ke rumah, dan YA AMPUUUUUUUUNNNN menyebalkannya si Hikari bila waktunya mengaji datang. Dia memang tidak bisa kabur dari Pak Ustadz, dia juga tidak bisa menunggu Pak Ustadz tertidur. Yang Hikari lakukan adalah berpura-pura lupa pada semua huruf Iqro dan doa yang sudah diajarkan di sesi sebelumnya...
Apakah ini hukum Karma? Memberinya pengertian bahwa mengaji itu penting sepertinya sia-sia. Di sesi berikutnya, dia bakal pura-pura lupa dengan ceramah saya sebelumnya. Enaknya diapain anak ini ya?!
usul : ganti guru ngaji?
ReplyDeletekok sama ya pengalamannya ... hehehe....
ReplyDeletelha wong gen anak... ya gak jauh dengan ibunya donk.. hihihi..
ReplyDelete@Kenny: ini udah ganti 3x!
ReplyDelete@Mbak J: pengalaman ibunya atau anaknya mbak? Hehehe
@Kartiko: Nyindiiiirrrr?!