Thursday, August 28, 2008

Our Mother's Signature

Nama perempuan itu Jeng DJ. Usianya di pertengahan 30-an tahun. Kata perfeksionis dan idealis sepertinya diciptakan khusus untuk dia saat dia lahir.

Saya sebenarnya lebih suka memanggil di Jeng TOA as in TOA mesjid. Ini bukan penghinaan. Hanya sekedar menyamakan deskripsi karakter dan bawaan orok dengan sebuah nama panggilan. Lagipula, TOA nya bukan sembarang TOA. TOA yang satu ini seringkali menyuarakan gema sebuah bom yang meledak. Meledaknya gak tanggung-tanggung: di kantor, di antara para pejabat tinggi, di tengah-tengah orang berhati lemah.

Saat ini -seperti juga saat-saat yang lalu- Jeng DJ sedang stress berat. Bawaannya (dikutip sesuai dengan kalimat aslinya) PENGEN NELEN ORANG. Ini akibat dia ditimpuki kerjaan yang gak tanggung-tanggung banyaknya dan jelas gak sesuai dengan nominal gaji.
Menurut saya pribadi sih, Jeng DJ pengen nelen orang bukan karena kerjaannya yang ngebludak. Dia sampai gahar begitu karena orang-orang yang harus dia kerja-samai mempunyai deskripsi 'sudah bego, goblok lagi'. Dan anehnya mereka selalu naik pangkat...

Coba sekarang kita bayangkan si Jeng DJ ini. Di tenggelamkan oleh kerjaan, di gaji rendah (haha!), di kerjain para kolega dengan menyuruhnya ikut panitia ini itu, dianggap terlalu idealis, dan yang paling menggelikan (buat saya) dia diiklankan sebagai berkepribadian tidak dewasa.

Lalu apa yang dilakukan oleh Jeng DJ?
Jelas apa yang selalu dilakukan oleh dia.
Ngamuk. Ngomel. Maksa orang untuk bekerja bener.
Does it work?
Jelas tidak.
Sebagai akibatnya, Jeng DJ jadi pengen nelen orang lagi.

Apa hubungannya Jeng DJ dengan saya?
Jeng DJ itu sosok yang menentramkan buat saya. Jelas bukan menentramkan dengan feeling yang sama seperti mendengarkan Pak Quraish Shihab berceramah tentang kemurnian hati. Feeling menentramkannya adalah seperti, "Oooooh, ternyata ada orang yang hidupnya lebih sial lagi dari gue!"
Tapi, applause should be given to her. Setelah selesai nelen orang, Jeng DJ biasanya sanggup tertawa-tawa lepas menertawakan hidupnya yang lebih sial dari saya.
Bawaan orok Jeng DJ yang terakhir (tertawa-tawa lepas menertawakan hidupnya yang lebih sial dari saya) itu lah yang menjadi persamaan antara saya dan dia.

Terakhir kali saya bercakap-cakap dengan Jeng DJ, kami berkesimpulan bahwa kemampuan kami menertawakan kepahitan (hayah!) hidup ini berkat didikan ibu-ibu kami.
Perlu diketahui, walaupun ibu-ibu kami itu tidak saling mengenal, mereka sepertinya lulusan dari perguruan silat yang sama: Kejemnya gak kira-kira! Dan terutama, mereka selalu sanggup menaikkan dagu pasang tampang sekokoh batu walaupun cobaan hidup mereka luar biasa beratnya (having us as daughters, that is!).
Maka, selagi kami memperingati dan mengenang karakter Raja Tega mereka (yang terutama ditujukan kepada kami yang anak perempuan satu-satunya), kami mendapat satu kesimpulan. Satu pencerahan.
"Kalau emak-emak kita itu gak raja tega sama kita, yang ada sedikit-sedikit susah kita bakal mewek mulu kali ya?" kata saya berfilosofi.
"Iya, itu emang begitu itu mereka ngedidik kita."

Jadi, itu lah signature dari para ibu kami.
Pesan moral kali ini: what is your mother's signature on you?

5 comments:

  1. my mother signature? pendiem tapi tahu-tahu ngambek :D

    ReplyDelete
  2. oh klu sama beliau mah jgn macem2. mo bohong apapun pasti ketauan:P

    ReplyDelete
  3. Hmmm... gw sama Nyokap sama2 kolektor benda2 gak jelas tapi dengan jenis yang berbeda. Kalo Nyokap suka banget ngumpulin kancing dan alat makan melamin, gw suka ngumpulin dus.

    ReplyDelete
  4. bagian atas2 cerita tentang Jeng DJ ini kayaknya menimpa saya bulan lalu, sebulan penuh. rasanya tenaga dan pikiran saya seperti diperas abis2an. uh, tiap saat rasanya pengen makan orang!

    ReplyDelete
  5. sama dong... ortu saya juga raja tega, tapi cuma ke anak2 perempuannya aja

    ReplyDelete