A Day to Learn
Tuesday, December 16, 2008 by Mariskova
Ada yang terjadi hari ini di kantor. Dan hari ini bukan Hari yang Seru atau Hari yang Bau. Hari ini bisa dibilang sebagai Hari yang Membuat Hati Sesak. Yaaah, saya kan juga manusia. Tidak setiap hari saya bisa mendapat pelajaran hidup yang bisa membuat saya ketawa.
Beberapa minggu lalu, saya harus melakukan sesuatu dan saya harus melakukannya bersama seorang subordinate saya. Then, something happened when we were working on that thing and I had to make a decision. A fast one. Selesai. Semua beres. Or so, I thought.
Setelah hari itu, beberapa kolega saya meledek saya atas apa yang terjadi dan (keputusan) apa yang telah saya lakukan. Kesian deh, lu. Kata mereka. I took it easy because nothing harm was done. Yang paling menderita dengan keputusan saya ya memang saya sendiri.
Lalu, datang hari ini. Kami dipanggil bos untuk meeting. Tiba-tiba di dalam meeting itu, si bos menyindir seseorang. Beliau menyebut seseorang itu sudah melakukan kesalahan besar dan kesalahan itu bertambah besar lagi karena si orang itu sudah menyeret-nyeret anak buahnya untuk melakukan hal yang sama. I just knew that the boss was talking about me. And I also knew that the boss behaved that way because of something said by one of my colleagues.
Saya bukan pengecut yang tidak bisa menerima teguran. Kenapa harus menyindir?
Ini pelajaran hidup nomor 1 hari ini. Warn people when they make mistakes. Gak perlu nyindir. Menyindir doesn't solve the problem.
Saya bisa menyadari keputusan yang saya buat beberapa minggu lalu dilihat dari kacamata si bos adalah (bisa jadi) suatu keputusan yang bodoh, salah, atau bahkan membahayakan (seseorang). I had to make a decision at that time and I did. If it was a bad decision, I would take the risk. Lalu pelajaran hidup nomor 2 hari ini adalah tidak semua orang bisa percaya bahwa seorang penjahat perang mungkin mau menerima resiko atas kejahatannya. I should have known that.
Kolega si pembisik itu sepertinya menyadari bahwa dia telah membuat saya terusik. Sepertinya, dia juga tidak menyangka si bos akan berlaku seperti yang beliau lakukan. Yang kemudian dilakukan kolega saya adalah membuat alasan. Excuse.
Pelajaran hidup nomor 3 hari ini, sayang, perbuatan bisik-membisik itu tidak perlu, buang-buang waktu, dan seringkali membahayakan. Masih ada manusia seperti saya yang sanggup dihadapi langsung dan dikonfrontasi. Efisien, efektif, dan langsung selesai.
Seusai meeting, saya termenung sendirian di meja saya. Lagipula, kalau ada orang lain, namanya diskusi, bukan termenung. I was asking myself why I was so upset. Toh, saya (kira-kira) tahu konsekuensi dari keputusan saya. Kenapa saya harus kesal?
Diri saya beralasan bahwa saya mungkin tidak akan kesal kalau kolega saya itu menegur saya langsung tanpa perlu berbisik-bisik kepada yang lain.
Tapi hati kecil saya langsung membantah. Pelajaran hidup nomor 4 hari ini untuk diri saya sendiri adalah when you make mistakes, accept them. Don't make excuses. Saya sudah membuat kesalahan. Apapun konsekuensinya saya harus hadapi. Bagaimanapun bentuk konsekuensi itu, juga tetap harus saya terima. Saya tak perlu lagi menenangkan hati dengan beralasan 'mungkin saya tidak akan kesal begini kalau dia melakukannya dengan cara lain'. No excuses.
Then, I made peace with myself.
Beberapa minggu lalu, saya harus melakukan sesuatu dan saya harus melakukannya bersama seorang subordinate saya. Then, something happened when we were working on that thing and I had to make a decision. A fast one. Selesai. Semua beres. Or so, I thought.
Setelah hari itu, beberapa kolega saya meledek saya atas apa yang terjadi dan (keputusan) apa yang telah saya lakukan. Kesian deh, lu. Kata mereka. I took it easy because nothing harm was done. Yang paling menderita dengan keputusan saya ya memang saya sendiri.
Lalu, datang hari ini. Kami dipanggil bos untuk meeting. Tiba-tiba di dalam meeting itu, si bos menyindir seseorang. Beliau menyebut seseorang itu sudah melakukan kesalahan besar dan kesalahan itu bertambah besar lagi karena si orang itu sudah menyeret-nyeret anak buahnya untuk melakukan hal yang sama. I just knew that the boss was talking about me. And I also knew that the boss behaved that way because of something said by one of my colleagues.
Saya bukan pengecut yang tidak bisa menerima teguran. Kenapa harus menyindir?
Ini pelajaran hidup nomor 1 hari ini. Warn people when they make mistakes. Gak perlu nyindir. Menyindir doesn't solve the problem.
Saya bisa menyadari keputusan yang saya buat beberapa minggu lalu dilihat dari kacamata si bos adalah (bisa jadi) suatu keputusan yang bodoh, salah, atau bahkan membahayakan (seseorang). I had to make a decision at that time and I did. If it was a bad decision, I would take the risk. Lalu pelajaran hidup nomor 2 hari ini adalah tidak semua orang bisa percaya bahwa seorang penjahat perang mungkin mau menerima resiko atas kejahatannya. I should have known that.
Kolega si pembisik itu sepertinya menyadari bahwa dia telah membuat saya terusik. Sepertinya, dia juga tidak menyangka si bos akan berlaku seperti yang beliau lakukan. Yang kemudian dilakukan kolega saya adalah membuat alasan. Excuse.
Pelajaran hidup nomor 3 hari ini, sayang, perbuatan bisik-membisik itu tidak perlu, buang-buang waktu, dan seringkali membahayakan. Masih ada manusia seperti saya yang sanggup dihadapi langsung dan dikonfrontasi. Efisien, efektif, dan langsung selesai.
Seusai meeting, saya termenung sendirian di meja saya. Lagipula, kalau ada orang lain, namanya diskusi, bukan termenung. I was asking myself why I was so upset. Toh, saya (kira-kira) tahu konsekuensi dari keputusan saya. Kenapa saya harus kesal?
Diri saya beralasan bahwa saya mungkin tidak akan kesal kalau kolega saya itu menegur saya langsung tanpa perlu berbisik-bisik kepada yang lain.
Tapi hati kecil saya langsung membantah. Pelajaran hidup nomor 4 hari ini untuk diri saya sendiri adalah when you make mistakes, accept them. Don't make excuses. Saya sudah membuat kesalahan. Apapun konsekuensinya saya harus hadapi. Bagaimanapun bentuk konsekuensi itu, juga tetap harus saya terima. Saya tak perlu lagi menenangkan hati dengan beralasan 'mungkin saya tidak akan kesal begini kalau dia melakukannya dengan cara lain'. No excuses.
Then, I made peace with myself.
betul bu.. yang udah lewat toh gak akan bisa balik ya, yang penting gimana memperbaiki kerusakan yang sudah terjadi dan gak diulang lagi...
no.4 dalem banget, mengingat sudah sifat natural bahwa kita ga mau/susah untuk menerima bahwa kita salah ato sudah melakukan kesalahan, nice story anyway :D
sayang juga ya, si bos kok bisanya nyindir2 doang, cara yang ga dewasa.
tapi udah mbak, biarin lah orang2 itu...yang paling tau kan kita sendiri.
Waduh ya kalau mau professional seharusnya si bos itu ngomong langsung ke elo ya Dev... ini nyindir2 itu ngga mencerminkan keprofesionalannya sebagai bos!
Mungkin si bos orang jawa tengah mbak.. soalnya dijawatengah tidak sopan untuk menegur secara langsung (menurutku sih).. Dulu waktu kerja di smg aku juga tidak bisa menegur langsung ke anak buah.. harus dengan halus... kalo dng terang-2an sih bisa diajak berantem.. beda dengan di Sby..
@Kentank: boss saya bukan orang Jawa Tengah. Dan dia tidak menegur. Tapi menyindir hehehe...
@Neng Jeni, Iway, Yati, n Santi: thanks for the support, guys ;D
pelajaran nomor 5. jangan baca blog orang sekantor. hal ini bisa membuat si pembaca penasaran dan kemudian menebak-nebak siapa orang yang disebut-sebut penulis.
pelajaran ke 6. terimalah rasa penasaran itu dengan lapang dada.
sampai jumpa di pelajaran ke 7.
setuju setuju :D