"...
Gue garuk-garuk kepala dah dengerin segala keanehan pembokat baru nyokap ini. Nah sekarang gue lempar ke Devina untuk cerita tentang dunia kepembokatan ini. Silakaannn…" -
Kenny-
warning: this is a very very looooooooongg postWaktu gue 'mengaku' pada seorang teman Jepang bahwa gue
sama sekali tidak bisa masak dan
baru mulai memasak pas tinggal di Jepang (1.5 tahun yang lalu), sang teman terperangah. "
So, who cooked your meals before?" tanya dia. "
Your mom?" tanya dia lagi dengan tidak percaya. Ya jelas, menurut dia keterlaluan ajah orang segede gue masih bergantung pada masakan nyokap (walopun emang iya sih pada saat para asisten pulang). Waktu gue jawab, "
my maid", pandangan dia berubah dari
hah-elu-masih-dimasakin-nyokap ke
hah-elu-pasti-orang-kaya-banget... Ha! Dia pasti ngebayangin rumah gue yang model Victorian dengan Butler dan para Maid-nya... hehehe... I wish!
Sejak gue bayi (dan gue anak sulung), ortu sudah memperkerjakan PRT. Bukan karena keluarga kami kaya raya tapi alasan utama karena nyokap bekerja.
Cliche but true.
Kalau melihat sejarah si mami memperkerjakan PRT itu sudah lama sekali -lebih dari 30 tahun- harusnya gue punya banyak sekali PRT. Tapi tidak. Selama 30 tahun, sebagian besar pembantu gue bekerja bertahun-tahun pada keluarga gue. Satu hal yang harus gue 'pelajari' dari nyokap adalah bagaimana membuat pembantu betah. Kalau menurut konsep ke-PRT-an si mami sih:
1) Kalau punya anak kecil, pembantu harus dua. Satu mengurus rumah, satu mengurus anak. Seorang pembantu yang sudah capek mengurus rumah tidak akan bisa diandalkan mengurus anak. Lah, ibu sendiri aja bisa habis kesabaran sama anaknya, apalagi seorang pembantu?! Minusnya konsep ini: harus bayar dua pembantu. Ini namanya gaji sebulan habis buat bayar pembantu doang.
2) Pembantu harus lebih muda dari nyonya rumah. Oh, ya, ini bener sekali! Umur ternyata menentukan siapa yang menjadi komandan...
3) Ajari anak untuk menghormati pembantu, termasuk memanggil pembantu dengan embel-embel 'Mbak'. Nyokap lebih sering marahin kita karena
'membuat sebal pembantu' daripada ngomelin pembantu karena
'membuat sebal anak-anak'.
4) Nah, ini yang paling penting: Beri perlakuan yang sama antara keluarga dan pembantu. Dari soal makan sampai soal tingkah laku. Gue inget nyokap gue pernah ditegur tetangga karena dia melihat pembantu gue nonton tivi sambil duduk di kursi bareng kita. Duh... so what gitu loh?!
Hampir semua pembantu nyokap didapat dari Eyang Putri gue. Eyang gue itu yang membawa para calon PRT dari kampung, mendidik mereka di rumah Eyang, dan menyalurkannya ke anak-anaknya. Waktu gue usul ke Eyang untuk membuka biro PRT, beliau
njewer gue sambil bilang
nyari PRT buat anak-anaknya yang 10 orang aja susah, disuruh nyariin orang laen... *ampun, mbah*. Oh, nyokap gue gak suka pake jasa biro PRT. Gak sreg, katanya. Kebetulan, tiap kali nyari dari biro jasa, memang gak pernah kebeneran.
Itu sih sial aja kali ya?Dan dari semua PRT gue itu ada beberapa yang membekas di ingatan gue.
Yang pertama, Mbak Si, pengasuh gue waktu bayi. Kata nyokap, dia sayang banget sama gue (
yeah, what can I say? *timpuk*) dan telaten ngurus gue. Setiap sore dia akan mendandani gue cantik-cantik (
say no more *timpuk lagi*), mengajak gue jalan sore, dan memamerkan gue ke tetangga-tetangga (
emang gue bayi apaan dipamer-pamerin?!). Tapi pada suatu hari dia tiba-tiba minta ijin pulang kampung dan gak balik lagi. Ternyata beberapa hari kemudian, tetangga sebelah rumah bercerita bahwa pada suatu siang tetangga ini menemukan gue menangis kejer di teras dengan benjol di kepala (kepala gue, bukan kepala teras) karena terjatuh di undakan tangga sementara Mbak Si sedang berada di kamar mandi. Waktu itu umur gue 1 tahun, dan adek-adek gue bersumpah bahwa kejadian itulah penyebab otak waras gue rada-rada bocor. Kalau gue analisa sih, jatuhnya gue itu menyebabkan hilangnya kemampuan berhitung gue (
hayah!). Setelah menghilang ke kampung, Mbak Si mengirim surat pada nyokap dan meminta maaf. Nyokap cuma komentar, "untung kepala kamu keras". Halah nyindiiiiiirrrr...
Pembantu berikut yang gue ingat adalah Mbak So. Si mbak ini pengasuh adek gue yang bungsu. Dia sangat menyayangi adek bungsu gue yang membuat dia ngambek kalo nyokap gue deket-deket sama adek ini! Walopun dia penyayang sama adek bungsu gue, dia galak banget sama gue n adek gue yang satu lagi. Gue dan Mbak So ini juga selalu punya ide yang berbeda mengenai berapa banyak nasi dipiring yang bisa/harus dimakan seorang anak berumur 7 tahun! Mbak So juga sebel banget sama temen-temen gue yang selalu membantu gue 'ngumpet' setiap kali jam makan siang tiba. Riwayat bekerja Mbak So di rumah gue selesai ketika nyokap sudah tidak tahan dengan rasa jealousnya si Mbak tiap kali nyokap gue bercengkrama dengan si adek. Mbak So terpaksa dipulangkan ke kampung walopun itu menyebabkan adek gue demam selama beberapa minggu karena kehilangan 'induknya'. Nah, kalo gue n adek bungsu gue punya pengasuh, adek tengah gue (kita bertiga, adek gue laki semua) gak pernah sukses dengan pengasuhnya secara dia itu tengil bin bengal!!! Setelah beberapa kali bikin nangis pengasuhnya, adek gue itu diasuh secara 'khusus' oleh ortu gue. Sekarang ini dia bisa ketawa geli inget itu, dulunya sih kita yang ngetawain dia karena punya program khusus yang lebih mirip program di akademi militer daripada di nursery school...
Kemudian ada Mbak I yang masakannya lezat-lezat lagipula baik hati. Rasanya dia pembantu gue yang paling top, walopun kadang-kadang kalo nyokap gue lagi ngomelin gue, dia suka ikut-ikutan ngomelin juga.
Sigh. Dia keluar dari rumah gue karena menikah dan ikut suaminya transmigran ke Irian Jaya. Setelah Mbak I, ada Mbak T. Si Mbak T ini awet muda! Waktu pertama kali datang ke rumah gue -waktu itu gue SMP-, dia mengaku masih 17 tahun. Sekarang ini, dia ikut nyokap gue, dan kalau ditanya orang tentang umurnya, dia masih tetap berumur 17 tahun! Mbak T ini satu-satunya pembantu yang sayang sama adek tengah gue yang tengil bin bengal itu. Kalau masak, dia akan bikin satu menu khusus untuk adek gue itu diluar menu untuk satu keluarga *
geleng-geleng*. Saking lamanya dia di rumah nyokap, dia tahu semua makanan kegemaran kita sampai 'pacar' kegemaran kita :) Dia juga tahu kalau adek gue itu pacaran sama si A berapa minggu, dan si B berapa hari. Dan dia bakal bilang ke adek-adek gue kalo si A lebih cakep dari B, tapi si C lebih baik hati dll dsb. Yang nyebelin dari dia adalah... dia lebih sayang sama si Papap dari pada sama gue. Jadi, waktu jamannya pacaran dulu, kalo gue lagi keluar sama temen gue yang laen (Sumpah. Temen!) dan si Papap nelpon ke rumah, Mbak T bakal bilang gini: Oh, Mas, si Mbak Dewi lagi keluar tuh. Tadi dijemput temennya si Mas itu pake mobil ini dari jam segini. Gak bilang tuh mau kemana, tapi udah lama loh Mas perginya. Di telpon aja ke henpon-nya, Mas. Bla bla bla...
Tuh, tau kan sekarang kenapa gue bisa pacaran sampe 10 tahun tanpa bisa selingkuh?! Yang unik lagi dari Mbak T adalah dia sering salah denger. Kalau ada orang telpon ke rumah dan mengaku bernama Doni, maka dia bisa menyampaikan bahwa nama orang itu Ali! Pernah sekali dia bikin nyokap gue sakit kepala karena pesen gue yang berbunyi
'pager Mama aku taruh di laci meja rias' berubah menjadi '
Mbak Dewi naruh traktor di bawah meja kerja Ibu'. Peristiwa ini benar terjadi pada tahun 1996. Mbak T ini yang jadi saksi perjalanan hidup gue dari gadis muda belia cantik nan periang serta pintar, baik hati, penyabar, dan rajin menabung sampai menjadi gadis muda belia seperti tadi yang punya pacar, terus menjadi perempuan seperti deskripsi sebelumnya yang punya karir, terus lagi menjadi perempuan masih berdeskripsi sebelumnya yang menikah dan punya anak. Kalau ada yang mau tulis biografi gue, Mbak T ini jelas harus masuk dalam daftar orang yang diwawancara (
atau malah jangan?!). Walaupun sempat
postpone beberapa lama dari keluarga gue karena mengurus ortunya yang sakit, trus pindah kerja ke rumah tante gue, sekarang ini Mbak T balik lagi kerja untuk nyokap gue. Hebat euy!
Pembantu gue terakhir yang paling-sungguh berkesan buat gue adalah Mbak D. Mbak D ini bener-bener dan satu-satunya pembantu gue, bukan pembantu nyokap, walopun gue tinggal bareng nyokap. Mbak D ini gue pekerjakan untuk mengasuh Hikari, sejak Hikari umur 1 bulan sampai 2.5 tahun, sebelum kita berangkat ke Jepang. Waktu memperkerjakan Mbak D, gue melanggar 'konsep PRT' nyokap bahwa si nyonya rumah harus lebih tua dari asistennya. Mbak D ini setahun lebih tua dari gue, dan dia manggil gue 'Eneng' dan manggil Papap dengan 'Abang'. Mbak D ini super hebat. Masakannya ueenakk, bersih-bersih rumah jagonya, ngasuh anak hebat sekali! Dia juga sayang sekali sama Hikari. Kalau Hikari diomelin gue, dia yang nangis minta ampun. Kalau Hikari sakit, dia nangis lebih kejer dari gue. Kalau Hikari dijahilin temannya di Playgroup, dia yang panas. Waktu Hikari mau gue bawa ke Jepang, dia ngambek sama nyokap gue karena ngebolehin Hikari dibawa gue... Untuuunngg... Hikari masih milih gue daripada dia.
Lega. Aslinya, dia itu bukan PRT. Dia tadinya ibu RT biasa dengan anak dua, yang bungsu udah kelas 1 SD. Trus, suaminya menceraikan dia, kawin sama perempuan lain, dan meninggalkan Mbak D ini begitu aja bersama kedua anaknya. Karena harus mencari nafkah, dia minta kerja sama sepupu gue yang kemudian menyalurkannya ke gue. Dari pertama, gue udah pusing sama dia karena ternyata berangkat ke Jakarta dia menyimpan cita-cita untuk balas dendam dengan mantan suaminya: dia mau cari suami baru! Alhasil, dia 'memprospek' semua available bachelor di sekitar rumah gue yang bikin dia dapet kuliah gratis dari Pak RT supaya menjaga nama baik ortu gue. Rasanya, selama memperkerjakan dia 2.5 tahun, gue udah beratus-ratus kali pengen PHK dia karena kelakuannya yang satu ini. Tapi mengingat rasa sayangnya pada Hikari dan kelebihannya dia mengasuh Hikari, gue selalu mengalah. Kalau sekarang ini, gue sering ketawa bareng Papap mengingat Mbak D ini. Kita ketawa mengingat gayanya dia yang lebih mirip 'nyonya' kita dari kita sebagai employer dia. Kita juga udah bisa ketawa ingat tingkahnya tiap kali pergi ke RS (Hikari yang sakit-sakitan ini, setiap bulan selalu 'berkunjung' ke RS). Di RS, Mbak D akan memamerkan Hikari kesemua ibu-ibu yang juga lagi nunggu giliran, sementara gue duduk manis di bangku, kadang sambil baca buku. Sering kali ibu-ibu yang lain mengira kalo ibunya Hikari itu si Mbak D. Mbak D sendiri tidak pernah berusaha mengoreksi asumsi ini :( Pernah suatu hari, Hikari harus diambil darahnya pagi-pagi. Karena gue pikir gue akan ke RS pada waktu ayam jago-pun belum berkokok, selesai siap-siap gue ambil kunci mobil, ambil tas n dompet, dan keluar kamar dengan bercelana jeans, T-shirt yang dikeluarin, dan tanpa make-up sedikitpun. Waktu gue keluar kamar, Mbak D dengan menggendong Hikari sudah menunggu gue di luar dengan dandanan full-make-up, rambut tergerai panjang, kaos turtle neck warna merah menyala, rok jeans ketat sebetis, dan sepatu sendal berhak 5 senti! Yang gue lakukan kemudian adalah balik lagi ke kamar, ganti baju, dan pake bedak+lipstik. Karena peristiwa ini lah nyokap gue memberi gue satu pelajaran baru: Kalau gue keluar bareng anak, gue HARUS dandan supaya gue gak disangka pembantunya si anak! Yah, bener juga sih. Habis anak gue kan putih sipit sementara guenya hitam belo...
Anyway, para asisten ini lebih mirip keluarga kami sendiri daripada pekerja kami. Rasanya di setiap potret keluarga dan setiap peristiwa penting di keluarga kami, mereka selalu ada menjadi saksi, menjadi bagian kami. Suprised juga gue menyadari kalau gue bisa survived di sini tanpa mereka... How about you? Kalian punya cerita tentang para asisten ini?
++ Oh, ya, setahun setelah ikut gue, Mbak D berhasil menikah dengan portir bandara yang sering lewat di depan rumah gue.