Thursday, April 23, 2009

Alif Ba Ta...

Mengaji, rasanya tidak pernah jadi les yang saya tunggu-tunggu sewaktu saya kecil. Seribu macam alasan sudah pernah saya berikan supaya saya bisa terhindar dari keharusan mengaji. Seribu macam alasan itu selalu gagal total dipatahkan si Mami.

Saya mulai belajar mengaji yang serius saat duduk di bangku SD, sekitar kelas 3 atau 4. Pertama belajar mengaji, orang tua saya mengirim saya ke masjid di dekat rumah. Semua anak di komplek saya juga di kirim ke masjid yang sama. Mengaji time waktu itu masih menyenangkan. Bukan karena mengajinya, jelas, tapi karena ide kami bisa main bareng di masjid dan membuat Ketua Masjid marah-marah karena kegaduhan yang kami buat.

Ustadz kami waktu itu bernama Pak Yusuf. Pagi hari, Pak Yusuf bekerja dan sore harinya mengajar kami mengaji. Wajar saja, ketika waktunya kami mengaji, Pak Yusuf sering terkantuk-kantuk mendengarkan alunan bacaan kami yang gak jelas melodinya. Entah bagaimana belajar dan diajarnya, saya sudah bisa membaca Juz Amma dengan lancar saat saya kelas 4. Oh iya, jaman dulu tidak ada ustadz yang mengajar pakai sistem Iqro. Jadi mungkin, metode saya adalah metode hapalan.
Walaupun bukan anak yang paling bandel di masjid, saya juga ngaku aja bukan anak yang paling alim. Yeah, right. Modus operandi yang sering saya lakukan adalah membaca satu ayat dengan ritme yang pelaaaaan sekali, sehingga membuat Pak Yusuf yang sudah dalam kondisi mengantuk berat, menjadi tidur sekalian. Begitu Pak Yusuf tidur, saya berhenti membaca. Setelah itu, saya dan teman-teman pun cekikikan sampai puas.

Pak Yusuf bisa tertidur sekitar 1 hingga 3 menit. Saat dia terbangun, dia akan mendapatkan wajah polos alim saya di hadapan dia. Lalu, dia akan bertanya...
"Kok berhenti?"
Saya jawab dengan alim tentu saja. "Kan sudah selesai."
Pak Yusuf mengangguk-angguk. "Oooh. Kalo gitu, giliran siapa sekarang?"
Dan pembaca berikutnya melakukan modus operandi yang sama.

Saat saya lulus SD, saya tidak lagi belajar mengaji di masjid. Entah karena si Mami berpikir saya sudah terlalu tua untuk mengaji bersama anak-anak, atau karena ada orang yang melaporkan kelakuan saya kepadanya. Si Mami lalu memanggil Pak Yusuf ke rumah untuk memberi saya dan kedua adik saya les privat. Kali ini modus operandi saya lebih canggih: ikutan ekskul di sekolah setiap hari sehingga selalu pulang sore yang artinya waktu mengaji sudah lewat. Hasilnya jelas. Kedua adik saya sudah khatam sampai 2 kali, saya sekalipun belum pernah. Yang jelas, saya khatam ikutan Paskibra, Pramuka, dan PMR.

Di SMA, saya sudah tidak mengaji lagi. Mungkin karena si Mami bosan mendengar seribu alasan saya. Tapi, di SMA itu saya melihat kenyataan betapa les ngaji saya sebelumnya berguna untuk meningkatkan nilai agama di sekolah. Sejak itu, setiap kali sepupu saya mengajak saya mengaji di rumah tetangga bersama ibu-ibu, saya ikhlas ikutan. Kesadaran selalu datang terlambat. Masih bagus datang juga.

Sekarang ini, saya menjadi sosok si Mami pada jaman saya kecil dulu. Memaksa anak saya mengaji. Karena Hikari sekolah sampai sore, dia tidak bisa mendapatkan pengalaman mengaji di masjid seperti saya dulu. Alhasil, saya harus memanggil guru mengaji ke rumah, dan YA AMPUUUUUUUUNNNN menyebalkannya si Hikari bila waktunya mengaji datang. Dia memang tidak bisa kabur dari Pak Ustadz, dia juga tidak bisa menunggu Pak Ustadz tertidur. Yang Hikari lakukan adalah berpura-pura lupa pada semua huruf Iqro dan doa yang sudah diajarkan di sesi sebelumnya...

Apakah ini hukum Karma? Memberinya pengertian bahwa mengaji itu penting sepertinya sia-sia. Di sesi berikutnya, dia bakal pura-pura lupa dengan ceramah saya sebelumnya. Enaknya diapain anak ini ya?!

Monday, April 20, 2009

I don't understand...

Di dunia per-bahasa-an, bahasa manusia tentunya dan bahasa Inggris khususnya, ada satu teknik belajar yang tujuannya untuk bisa lebih lancar cas cis cus secara lebih natural. Nama teknik itu drilling dan teknik ini tidak ada hubungannya dengan pengeboran, perminyakan, dan per-oli-an (if that word ever existed).
Drilling adalah teknik mengulang-ulang kata, frase, kalimat supaya nyantol di lidah. Katanya. Kalau anda pernah melakukan drilling dan ternyata kalimat-kalimat bahasa Inggris itu tetap tidak nyantol di lidah anda, kesalahan bukan pada lidah anda. Mungkin pada umur. *Bletak!*

Hikari, anak saya itu, sedang melakukan self-drilling. Suatu hal yang sering dia lakukan saat bertemu dengan satu kata/frase/kalimat tertentu yang dia suka. Dia melakukan ini tanpa perintah saya, bapaknya, apalagi gurunya.
Waktu kami baru pulang dari Jepang dulu, dia bertemu dengan Spongebob di tivi dan mulai mendengar kata bodoh. Semingguan dia teriak-teriak berkeliling rumah, "Mama bodoh, Papap bodoh, Eyang bodoh, Om bodoh, Mama bodoh... aduh!"
(ada beberapa adegan yang sengaja disensor demi kenyamanan pemirsa)

Sekarang ini Hikari sedang keranjingan expressions yang dia dengar di tivi kabel, channel kartun tentunya.
"Eyang! I'm here to destroy you!"
"Mama, I'm busy!"
"Papa! Do you mind?"
"Papa! Do you mind?"
"Papa! Do you mind?"
Gak tau kenapa, setiap kali dia dengar suara si Papap, Hikari akan berseru, "Do you mind?!"

Beberapa hari ini, Hikari lagi keranjingan I don't understand.
"Mama, I don't understand why I (have to) eat vegetables."
Saya mulai ceramah.
"Mama, I don't understand these numbers." (Lagi belajar matematika)
Saya ceramah lagi.
"Mama, I dont' understand the movie."
Saya ceramah.
"Mama, I don't understand."
"You don't understand... what?"
"I don't understand I don't understand."
Saya melotot.
"Mama, I don't understand why you are happy (when) you (are) telephoning."
Saya ceramah.
"Mama, I don't understand why (the) sky is blue."
"Mama, I don't understand why I (have to) pray."
"Mama, I don't understand why you (are) angry."

Oh, Tuhan...

Saturday, April 18, 2009

Love it while you can...

I've been very suspicious about this.
He is like glued to me.
Wherever I go, whatever I do, whenever...
It's not like he demands to go with me when I want to do some errands. Oh, I have no objection to let him come with me to those places where I go.
Instead, it's on those times when I have deadlines to finish, work to do, reports to make, WHEN I CANNOT MOVE AWAY FROM THE COMPUTER that he always puts himself around me, calling me, asking for my attention, calling me, calling me, calling me...

"Mama, look here!"
"Mama, hold this!"
"Mama, watch me do this!"
"Mama, why...?"
"Mama, how...?"
"Mama, what...?"
"Mama, mama, mama, mama!"

And HIS DAD is just a few meters away DOING NOTHING!

Right now, above my pressured feelings and rushed adrenalin, I'm taking a deeeeeep breath, holding his face between my hands, looking directly at his eyes, forcing the sweetest smile I have, and hearing myself saying, "tell me again about Monster Lochness?"

He is getting older fast and I cannot waste time by looking away.

Cuplikan Satu Minggu

SENIN
Masih trauma mobil mogok di tol yang macet total seminggu lalu. Menyetir mobil pulang pergi ke kantor menempuh jarak 60-an kilometer yang macet, saya mendadak terserang hipertensi. Kata pertama yang di dengar orang-orang di kantor adalah "ROAAARRRR!!!"

SELASA
Pengen nampol seseorang. Untung hari itu jadwal saya pulang awal.

RABU
Pergi ke kantor dengan meninggalkan mobil di rumah dengan niat mulia merendahkan kadar dosa akibat memaki kemacetan yang akan berakibat pada hipertensi. Masih trauma mobil mogok.
End result: bayar mahal untuk bis ac yang ac-nya rusak, turun beberapa belas kilo lebih jauh dari tempat tujuan, dibawa angkot detour ke tempat lain yang juga bukan tempat tujuan, dan berakhir di halte bus transjakarta depan UNJ. Dapat pencerahan: mahasiswi UNJ sedang demam fashion celana jeans pencil cut, sepatu pantofel flat (plastik lebih disukai), kaos warna-warni, cardigan berwarna kinclong TAK senada dengan kaos bahkan di siang hari yang amit-amit panasnya, dan rambut ala Cinta di AADC.

KAMIS
Pengen NAMPOL(!) seseorang. Untung saya orangnya sabar.

JUMAT
MASIH pengen nampol. Kali ini lebih dari satu orang.

MALAM SABTU
Stress karena harus memberi training dalam waktu 2 minggu kurang sementara ALL MY SUPPOSED-TO-BE MENTORS ARE M.I.A in mind, spirit and body! You, guys? Helloooo?

Kesimpulan minggu ini: Beautiful!

Friday, April 03, 2009

Bagai Kepompong...

Saya punya seorang teman yang sepak terjangnya bisa jadi bahan sebuah novel silat.
Teman saya ini punya banyak kelebihan. Sayangnya, seperti Ying dan Yang, Pagi dan Malam, Putih dan Hitam, dia punya lebih banyak lagi kelemahan.

Teman saya ini sangat pintar. Saking pintarnya, dia sering memandang rendah orang lain. Dia juga tak sungkan memberitahu orang yang tak sepintar dirinya betapa tak pintarnya orang itu.
Teman saya ini sangat tekun bekerja. Saking tekunnya, dia selalu gerah, merana, menyembur bila ada orang lain yang dia pikir tidak setekun dirinya.
Teman saya ini seorang perfectionist sejati. Saking perfectionistnya, dia selalu naik darah bila ada orang lain yang membuat kesalahan-kesalahan sepele.
Teman saya ini... sebaiknya saya sudahi saja daftarnya...
Intinya, bila teman ini sedang beredar di suatu tempat, suasana tempat itu jadi panas membara. Nothing is right, kalau ada dia. Panas, gerah, terbakar.

Bagaimana ceritanya saya bisa temenan dengan orang macam itu? Long story short, saya punya teman yang juga temannya dia. *pusing*

Beberapa bulan belakangan, teman saya ini semakin membakar orang-orang di sekitarnya. Puncaknya terjadi pada beberapa bulan belakangan. Orang-orang yang lelah dengan dirinya bersepakat untuk melawannya. Sayangnya, teman saya ini lebih kuat. Satu-satunya orang yang tidak pernah terang-terangan dihinanya, dilabraknya, dimakinya, diajaknya berantem, cuma saya.
Eits, jangan anggap saya ini sakti. Alasan dia tidak pernah mengajak saya berantem terang-terangan cuma satu: Saya lebih sinting dari dia. Dia nyindir, saya balik nyindir. Dia niat mau menghina, saya hina sekalian. Dia memaki, saya ketawa di depan muka dia untuk kemudian saya tinggal pergi. Dalam perang urat syaraf antara dia dengan seisi penghuni dunia, saya masih sanggup menatap matanya, menaikkan sebelah alis, dan menyembur, "mau apa lo?!"
Sikap masa bodoh saya ternyata bisa menyelamatkan saya dari kegilaan orang lain.

Seminggu yang lalu, puncak dari segala puncak terjadi. Ketegangan sudah di depan mata. Sepatah kata dari dia bisa membuat seluruh penduduk dunia (dunia saya dan teman-teman saya) meledak. Semua siap melawan. Dan kali ini, dia tidak sekuat sebelumnya, untuk alasan kerahasiaan yang tidak bisa saya jelaskan (haha!).

Hari perlawanan itu pun terjadi.
Dia bilang A, ada orang yang kontan bilang B.
Dia mau A, orang lain memotong langsung ke B.
Dia memaksa untuk A, orang lain lagi ngeloyor pergi sambil melakukan B.
Dia pokoknya mau A, orang-orang memasang tampang B terang-terangan.
Dia harus dapat A, orang-orang menghadiahinya sms dengan kata B jelas-jelas.
Lalu, dia minta ke saya untuk dapat A. Saya bilang padanya, "emang sapa lu?"
Akhirnya dia ngambek, marah, mutung, dan ujung-ujungnya mendiamkan saya saat kami harus bekerja bareng.
Saya bersyukur. Dunia saya akhirnya damai.

Akhirnya? I wish!
Jam 12 siang dia datang kepada saya dan bertanya sopan, "Mau makan siang gak?"

------------------------------------------------------------------------------------

Anda bisa menebak apa yang saya lakukan saat dia mengajak saya makan siang bareng?

Saya bilang...
"Mau. Perut gue laper banget! Gue mau makan di X, ah."
Dia ikut saya makan di X.

Pulang dari makan siang, saya dihadiahi beragam tatapan dari seluruh penjuru dunia.
Mereka pikir saya sinting. Maksud saya, mereka tahu saya sinting tapi kali ini sepertinya mereka merasa saya benar-benar sudah tidak waras.
Mereka juga pikir saya plin-plan. Sebentar melawan dia, sebentar bergaul dengannya.
Mereka rasa saya mendua.

Sore tadi, seorang teman saya memberanikan diri bertanya pada saya.
Dia tidak bertanya apakah saya sudah sinting sih. Tapi dia bertanya ada di pihak siapa saya ini. Sebuah pertanyaan yang entah kenapa kok tidak membuat saya heran.
"Bukannya dia lagi ngediemin elu?" tanya sang teman.
"Ho-oh. Dari tadi pagi jam 7."
"Trus, kok elu mau makan siang bareng dia?"
"Lah, kan DIA yang ngediemin gue. Gue sih gak punya masalah sama dia."
Teman saya garuk-garuk kepala.
"Jadi elu sebenernya gimana sih perasaannya sama dia?"
"Perasaan? Baik-baik saja. Gue sih cuma cinta suami gue."
"Geblek lu. Maksud gue, teman-teman tuh pada bingung. Mereka kan benci setengah mati sama dia. Mereka bingung elu tuh sebenernya teman dia atau bukan?"
Saya menahan rasa pengen ketawa. Oh, dan pengen pipis sedikit sebenarnya.
"Maksud lu?"
"Ya, dia itu temen elu?"
"Iya. Temen, sahabat, sohib, sobat..."
Teman saya pucat pasi. Dia berasa sudah membocorkan suatu rahasia negara yang paling penting ke seorang mata-mata paling berbahaya. Dan sinting.
"Seperti juga elu temen gue," kata saya.

Butuh waktu bagi teman-teman saya untuk bisa menerima dan ikhlas dengan ide sinting saya: menjadi teman untuk orang yang paling susah dianggap teman. Seorang manusia bisa menjadi penderitaan bagi banyak manusia lain. Seperti teman saya yang keberadaannya membawa hawa panas bagi sekelilingnya. Saya pikir akan sangat membantu bagi dunia ini bila saya tidak ikut-ikutan menyebarkan panas juga. Katanya global warming...?


Oh ya. Anda mengerti?

Wednesday, April 01, 2009

1 Bulan 30 Hari: Teori Relevansi

Hanya dalam hitungan hari (belum lagi minggu) niat saya untuk bercerita tentang apa yang terjadi pada suatu hari yang cerah tiba-tiba menjadi tidak relevan lagi. Itu sekali lagi menunjukkan kepada saya betapa waktu dalam hidup ini sama sekali tidak ada artinya.

Sebelum saya berubah menjadi filsuf gagal, lebih baik saya cerita dulu deh apa yang tadinya mau saya tulis.
Tadinya, saya mau bercerita tentang Teori Sofa dan hubungannya dengan Teori Comfort Zone.
Anda pernah menyadari kelakuan anda di saat duduk di sofa favorit? Apa anda selalu duduk tegak? Atau malah tidur berselonjor sampai tidak lagi menyisakan tempat untuk orang lain? Atau malah menaikkan kaki ala warung nasi?
Buat saya, kelakukan saya di sofa favorit (di rumah) biasanya mencerminkan karakter saya se-apa adanya. Gak pakai polesan.
Duduk melorot, kaki bersila di atas sofa (kadang sebelah kaki nangkring), baju kaos belel celana pendek, rambut tak kena sisir, dan kadang -terkadang saja- pake acara kentut diam-diam.
Buat saya, acara leyeh-leyeh di sofa menunjukkan seberapa tinggi level kenyamanan saya dengan diri saya sendiri. Kehadiran si Papap, si Hikari, si embak, kadang juga si Mami dan si Papi, tidak membuat level kenyamanan itu turun. Seakan-akan saya ingin berkata kepada mereka, "ini lah gue. Telen dah."

Sekarang, coba pindahkan sofa favorit tadi ke tempat lain. Ke kantor misalnya. Apakah saya akan tetap melakukan hal yang sama?
Walau secara teori saya tidak mungkin datang ke kantong dengan kaos belel dan celana pendek, saya masih bisa duduk melorot, kaki bersila di atas sofa, rambut acak-acakan dan tentu saja kentut diam-diam. Ditambah dengan fakta bahwa saya sudah bertahun-tahun di kantor yang sama, dikelilingi oleh orang-orang yang kurang-lebih sama, dikepalai oleh orang-orang yang kurang lebih sama, kelakuan saya di sofa favorit jelas akan sama saja. I am in my comfort zone. This is me. Shove it.
Dan kenyataannya, bukan cuma saya yang membawa sofa favorit ke kantor.

Kemarin itu, saya ingin bercerita bagaimana saya sedang berpikir untuk mengambil jarak dengan sofa favorit saya di kantor. Ini ada hubungannya dengan kedatangan orang baru di kantor dan kepergian orang lama ke tempat lain. Alasan saya, saya tidak tahu bagaimana orang baru itu akan menilai sofa saya. Dan kelakuan saya di atas sofa itu tentunya. Tapi tiba-tiba, sesuatu terjadi sore ini dan tiba-tiba juga sofa favorit saya menjadi tidak relevan lagi. Either I sit on it, sleep on it, or stand on it, it won't matter anymore karena tiba-tiba, hari ini saya malah ditawari sebuah sofa baru.

Sofa baru ini memang tidak lebih mahal daripada sofa nyaman saya yang lama. Lebih baru, jelas. Tapi belum tentu lebih nyaman. Penawaran yang begitu tiba-tiba malah membuat saya curiga untuk mencoba sofa baru itu. Dasar manusia! Bukannya girang dengan sofa yang baru, saya malah mundur ke belakangan dan mencoba mengambil jarak sejauh-jauhnya. Dengan kepala dimiringkan, alis diangkat sebelah, dan otak diperas, saya memandang sofa baru itu dengan tingkat kenyamanan yang hampir nol.

Beberapa jam dari penawaran sofa baru tadi, saya masih belum bisa memutuskan sofa mana yang saya mau duduki dan saya abuse. Yang nyaman? Yang licin dan baru?
Yang pasti, kejadian beberapa jam yang lalu membuat saya terpikir tentang teori baru berjudul Relevansi. Betapa tidak relevannya setiap detik (dan masalah di detik itu) dalam hidup saya bila saya mau sebentar saja mengingat bahwa 1 bulan terdiri dari 30 hari.

Anda mengerti?

update:
hahahaha... hadirin sekalian, saya tidak sedang dipromosikan atau mempromosikan apa-apa. Ini hanyalah cerita tentang sebuah sofa lama dan sofa baru (dan kebiasaan orang yang duduk di atasnya). Cerita selanjutnya, tunggu beberapa hari lagi ya. Tapi saya gak pernah nolak kalau ada yang mau ngedoain saya dapat promosi...