Ceramah ustadz saya yang paling berkesan buat saya adalah soal doanya orang-orang teraniaya. Kata Pak Ustadz, "doanya orang-orang yang teraniaya itu makbul. Dikabulkan Tuhan."
Sampai gede, becandaan saya dengan teman-teman adalah, "Coy, aniaya gue dong. Gue lagi butuh rejeki berlimpah nih."
Atau kalau hidup serius lagi susah dan saya benar-benar sedang dianiaya orang (atau orang-orang), kalimat penyemangat saya nomor wahid jelas adalah, "Gue ikhlas kok teraniaya begini. Mudah-mudahan doa gue mau keliling dunia terkabul."
Belakangan ini, kalau teman-teman saya bikin saya emosi sedikit, saya bilang ke mereka. "Eh, elo-elo pada udah menganiaya gue tau! Moga-moga doa gue terkabul."
"Doa apa elu?" tanya teman-teman saya.
"Doa mau beli mobil baru."
Herannya, setelah itu mereka langsung baik sama saya. Enggak mau menganiaya saya lagi.
Tapi benar. Saya memang butuh doa beli mobil baru itu terkabul. Ini rekor mobil mogok saya sudah melebihi batas kenormalan sebuah mobil doyan mogok sekalipun. Hmmm... sebenarnya, mogok bukan kata yang tepat. Meleduk! Itu baru kata yang tepat.
Mobil sedan hijau jijay jreng metalik buatan Korea tahun 2006 itu sebenarnya masih kinclong dan mulus lus lus lus. Catnya pun baru. Tapi, penyakitnya adalah gampang panas. Radiator pun jadi mendidih dan... Bleduk! Atau kalau tidak langsung bleduk, biasanya ada suara seperti orang kentut panjang dan kencang lalu dari balik kap mobil keluar asap putih tebal... ppppsssssshhhhhh....
Pertama kali radiator saya meleduk itu tahun 2004 akhir. Rumah saya masih di Halim dan saat itu jam pulang kantor saya lewat di Kebon Nanas. Jalanan macet total. Saya masuk ke jalur lambat yang cuma cukup satu mobil. Tiba-tiba di depan kantor kementrian hidup, ada suara PPPSSSSSSSHHHHHHHHH kencang. Lalu BLEDUK! Kap saya terangkat ke atas. Untung... masih untung kap itu terkait jadi gak langsung njeplak.
Kontan mesin mati. Dan selama hampir semenit kemudian, saya yang tidak pernah mengalami mogok mobil cuma bisa bengong bego. Tidak lama, supir taksi Blue Bird di belakang saya keluar dari taksinya dan tanpa diminta mendorong mobil saya ke dalam halaman kantor Departemen PU dan meninggalkan saya disitu. Teman saya yang diceritain langsung memuji si supir.
"Duh, untung dia baik ya. Gak pamrih gitu."
"Ya, iyalah. Kalo dia gak ngedorong, dia juga gak bisa lewat kali!" kata saya sewot.
Moral of the story: satu kebaikan seringkali ada motif pribadinya juga.
Setelah itu, saya meninggalkan si ijo kinclong itu di Jakarta selama 2 tahun. Pulang dari Jepang, si ijo yang sudah tidak kinclong di cat baru dan didandani rapi lagi. Tapi, penyakit dia belum mau hilang juga.
Pada suatu malam, si ijo panas lagi di antara kemacetan parah di depan Plangi. Papap buru-buru mematikan mobil dan dalam sekejap kami jadi bahan caci maki orang se-Jakarta. Hikari segera terkena panick attack. Dia langsung rewel dan menangis. Si Papap yang sudah gerah diomelin orang, makin naik pitam mendengar tangisan Hikari. Saya lalu memeluk Hikari dan bilang, "Hikari berdoa dulu ya. Supaya di dengar Allah. Dan mobilnya bisa jalan lagi."
Bukannya sok agamis. Saat itu saya juga sedang men-sugesti diri sendiri. Kali aja...
Hikari lalu berdoa kencang-kencang. Dia yang cuma hapal 3 ayat pendek mengulang-ulang doanya. Serasa ada pengajian di mobil mogok kami. Eeeeehhh, ajaib! Tidak lama kemudian, suhu radiator turun dan Papap bisa melipir ke kiri masuk ke dalam pompa bensin! Bahkan kami bisa pulang sampai di rumah dengan selamat tanpa di derek!
Sejak itu, saya kenyang dengan
radiator yang demam terus. Bolak-balik bengkel, bolak-balik mogok juga. Rute dari Rawamangun sampai Cibubur sudah pernah saya mogok-i. Terakhir, seminggu lalu, radiator saya demam lagi pas sedang macet-macetnya menjelang gerbang tol TMII pas saya punya janji dengan klien! Saya melipir ke kiri tol, mematikan mesin, dan menyalakan lampu sen kembar itu. Mobil di belakang saya spontan mengklakson galak yang saya balas klakson lagi. Kalo cuma modal klakson, gue juga bisa! Saya segera telpon si Papap di kantor yang langsung memberi instruksi.
"Buka kap mobil."
Saya buka.
"Kamu keluar dulu."
"Aku keluar?"
"Ya iyalah. Ngeliat rusaknya gimana kalau gak keluar?"
Saya keluar dengan enggan. Benar saja. Dari balik kaca-kaca mobil yang lewat, saya bisa merasakan tatapan mata orang-orang. Gue pake kemeja ungu mengilat harus ngebuka kap mobil warna ijo ngejreng gitu loh! Seorang laki-laki penumpang di mobil Terios membuka kacanya setengah dan memperhatikan saya. Spontan saya melotot.
"Apa liat-liat, Pak?!"
Dia langsung menaikkan kaca mobilnya. Tapi saya lupa. Kan jalanan lagi macet. Jadi mobil itu gak bisa kemana-mana juga selain manteng di sebelah saya....
Begitu kap mobil dibuka, Papap langsung bertanya lewat hp.
"Ada yang kebakar?"
"Gak."
"Kipasnya nyala?"
"Gak."
"Mesin nyala gak?"
"Gak."
"Iya makanya kipasnya gak nyala."
"Lah?!"
"Coba cabut sekringnya yang itu."
Saya cabut.
"Liat kaki-kakinya. Meleleh?"
"Iya. Sedikit." Padahal sumpah! Saya gak tau yang namanya sekring meleleh tuh harus kayak gimana.
"Ganti aja. Ambil di bla bla bla..."
Saya ganti sekringnya.
"Nyalain mesin deh."
Saya nyalain mesin.
"Nyala kipasnya?"
"Gak."
"Coba tekan-tekan si sekring."
Saya tekan-tekan. "Gak nyala."
"Tekan yang keras."
Saya tekan keras-keras. "Gak nyala."
"Pukul-pukul."
"Gak nyala."
"Kamu udah pukul-pukul belum?"
"Udah."
"Pukul lagi."
"UDAH! Mau sapa lagi yang aku pukul sini?!"
Singkat cerita, mobil saya harus didorong dua petugas tol sampai ke luar tol TMII. Begitu mereka selesai mendorong, saya kasih mereka uang 70ribu perak. Pas saya cerita ke Papap, dia menjerit.
"70 RIBUUUU?! BANYAAAAKKK bangeeeet!!! Kasih 20 aja buat berdua!"
"Orangnya udah jalan, Babe! Masa mau aku panggil lagi trus suruh ngasih kembalian?!"
Untuk balas dendam, cerita saya ngasih petugas tol 70 ribu diulang-ulang Papap di depan khalayak ramai yang semuanya kontan berteriak, "begoooooo banget sih loooo!"
Kalau anda pikir cerita mogok yang itu sudah klimaks, saya kasih cerita mogok sebelumnya.
Pulang kantor jam 5an sore juga, saya berdua teman kantor, perempuan, lagi sibuk ngegosip sewaktu sudut mata saya melihat jarum penanda suhu radiator bergerak naik. Saat itu macet memang dan saya sedang ada di jalur kanan di lampu merah Penas-Halim. Seorang Polantas sedang sibuk mengatur mobil di lampu merah supaya tidak saling serobot. Saya jelas langsung menyerobot ke kiri.
Baru saja sampai di kiri setelah belokan arah Kalimalang ke Cawang, asap keluar dari bawah kap mobil. Mesin saya matikan, sen kembar dinyalakan, dan saya duduk bengong berdua teman saya. Segera saja perempatan yang sudah macet, jadi tambah macet. Mungkin anda salah satu dari orang-orang yang sore itu kena efek macet akibat mobil mogok saya...
Belum 5 menit duduk di dalam mobil dengan kaca ditutup seluruhnya. Seorang preman mendatangi saya. Dari luar sisi teman saya, dia berteriak-teriak.
"Mogok ya? Mogok ya?"
Teman saya bergidik ketakutan. Saya belum sempat bereaksi begitu dia tiba-tiba berseru, "ada polisi!" Lalu kabur.
Mendengar kata polisi, saya dan teman saya jelas gembira. Tapi kok 5 menit lewat, si polisi gak datang-datang....
Agak lama kemudian, seorang polantas datang dari arah depan. Saya senaaaaang luar biasa. Begitu berada di dekat mobil, saya melongokkan kepala, polantas itu menggerak-gerakkan tanganya menyuruh saya maju. Heh?
"Maju, Bu!"
Maju? Wah, dodol juga nih!
"Mogok, Pak!"
"Mogok?"
"Iya."
"Oh." Lalu si bapak pergi begitu aja.
Sialaaaaaaaaaaannnnnnnnnnnn....!!!
Kami menunggu lagi. Agak lama.
Tiba-tiba jendela teman saya diketuk. Polantas yang berbeda melongok disitu. Saya sudah hilang girangnya.
"Bu, jangan parkir disini. Ini kan pas belokan."
Saya menarik napas panjang. Panjaaaaaaang.
"Paaaaak, kalau mobil saya enggak mogok, SAYA KAN GAK BAKAL PARKIR DISINI!"
"Tapi ini macet."
"Pak, saya juga tahu ini macet! Mobil ini mogok! Radiator saya kepanasan."
"Tapi mohon pengertiannya, Bu. Yang dimarahin orang-orang bukan Ibu. Tapi saya."
"ASTAGA SI BAPAK! Saya juga minta pengertian Bapak dong! Memangnya saya mau mogok? Siapa sih yang mau mogok?"
Setelah beberapa kalimat naik darah berikutnya....
"Kalau memang mogok, saya panggilkan derek."
Hah? Jadi dari tadi si bapak gak percaya kalau saya mogok?!
"Saya lagi nunggu bengkel saya datang. Tapi kalau Bapak mau panggil derek, silahkan."
Dia manyun. Lalu berjalan ke arah lapo-lapo di pinggir jalan arah terowongan Cawang. Dia memanggil beberapa pemuda tanggung.
"Tolong dorong itu!"
Ya ampuuuuuuuun, kenapa gak dari tadi sih?!
Mobil saya pun di dorong ke pinggir. Ada tempat kecil yang cukup untuk parkir di depan tumpukan sampah. Di kiri saya ada warung minuman kecil, di kanan saya ada warung lapo. Saya langsung mengirim sms ke Papap dan kedua adik saya mengenai lokasi parkir saya yang baru. Sms itu ditambahi embel-embel: Buruan! Banyak preman disini!
Baru sedetik disitu, seorang preman besar, item, dengan kaos merah buntung dan celana pendek, dan udel yang kemana-mana mendekati kaca saya.
"Woi! Parkir jangan disini! Ini tempat angkot. Parkir tempat lain!"
Kali ini darah saya benar-benar mendidih. Jendela saya buka...
"MOBIL GUE MOGOK! BUKAN PARKIR! KALO MAU PROTES GUE BERHENTI DISINI, PROTES TUH SAMA POLISI YANG ITU!"
"TAPI INI BUKAN TEMPAT PARKIR!" balas dia.
"KALO GITU, SITU DORONG INI MOBIL SAMPAI KE POM BENSIN ANGKATAN DARAT DI DEPAN! SEKALIAN PANGGILIN PROVOSTNYA! ATAU SEKALIAN DORONG KE HALIM BIAR GUE LANGSUNG PULANG!"
Teman saya memegangi tangan saya kencang-kencang.
Si preman memelototi saya. Saya pelototi lagi. Sambil ngomel pakai bahasa daerah, dia pergi. Teman saya merepet panjang pendek. Dia menunjuk-nunjuk sekumpulan pemuda tanggung di dekat situ yang sedang memperhatikan saya ngamuk-ngamuk. Saya sudah keburu panas. Saya keluar dari mobil, membuka kap mobil, sambil pasang tampang melotot ke orang-orang disitu.
Kap mobil terbuka dan saya yang jelas-jelas gak ngerti soal mobil berniat membuka tutup radiator. Belum sempat tangan saya membuka tutup radiator, seorang laki-laki tua melarang saya.
"Jangan, Mbak! Jangan! Nanti muncrat!" katanya dengan logat Jawa medok.
"Sini Mbak saya bukain." Dia langsung menyuruh preman-preman tanggung yang dari tadi memperhatikan saya untuk mengambil lap dan air mineral dari warung.
"Nanti muncrat, Mbak."
Dengan baik hati, dia membuka tutup radiator, mengisi tempat coolant dengan air, dan panjang pendek menasihati saya akan bahayanya radiator yang panas. Tanpa aba-aba, pemuda-pemuda tanggung yang tadi bergerombol di depan warung, ikut memeriksa mobil. Kelihatan sekali, Pak Tua itu adalah komandan mereka.
"Maaf, Pak," kata saya. "Saya jadi parkir disini."
"Ah, ndak apa-apa, mbak. Wong mogok'e."
"Ya saya kan enggak enak. Tadi orang sebelah udah marah-marah begitu."
"Dia?!" kata Pak Tua menunjuk si Preman buluk tadi.
"Saya ini Arema, Mbak! Dia ndak berani macem-macem, Mbak! Mbaknya ndak usah takut! Mbaknya asal mana?"
Saya sebutkan daerah Ibu saya yang sudah ratusan tahun tidak pernah saya singgahi.
"OOOhhh, kita saudara, Mbak!"
Darimana saudaranya juga saya enggak paham. Jaraknya aja bisa beda halaman peta sendiri. Tanpa ragu, Pak Tua itu langsung nyerocos dalam bahasa Jawa kepada saya.
Mati gue! Saya cuma cengar-cengir.
"Nama saya Mangunlaksono, Mbak. Kalau ada apa-apa disini, sebut nama saya saja."
Saya menangguk-angguk.
Tiba-tiba saya mendengar suara motor di rem. Sesosok laki-laki berhelm, jangkung, menghentikan motornya tepat di dekat mobil dan bergegas melompat dari motornya.
"HEI, MINGGIR SEMUA! GAK USAH DEKAT-DEKAT MOBIL. MINGGIR SEMUA. MINGGGGIIIRR!"
Saya bengong sedetik. Laki-laki itu membuka helmnya.
"PERGI SEMUA! MACEM-MACEM LO YA!"
Saya berkacak pinggang di hadapan dia.
"DODOOOOOLLLLL!" kata saya ke adik saya. "Premannya bukan yang iniiiiiiiiii!"