Setelah presenter macam Farah Quinn muncul di layar tivi, berbondong-bondong orang mulai manteng di depan tivi hanya untuk melihat si Farah muncul.
Yang seumur si Mami biasanya mengomentari gaya grogi Farah saat memotong cabe atau mengaduk adonan sehingga menimbulkan prasangka: "Bisa masak beneran gak sih? Kok megang pisaunya takut-takut gitu?"
Yang seumur saya ikut nonton juga sambil komentar soal penampilan makanan yang seringkali tidak aduhai menggemaskan sambil berbaik sangka dengan berkomentar itu adalah kesalahan cameraman-nya atau malah cameranya yang tidak food-friendly.
Yang laki-laki pun ikut nonton tentu sambil berkomentar soal-soal lain yang tidak ada hubungannya dengan makanan.
Acara masak-memasak di tivi bukan lagi jadi acara tempelan sejak kehadiran celebrity chef itu.
Menurut saya, kondisi seperti itu sih sah-sah saja. Kalau saya dan para perempuan lain menggemari penampilan Jamie Oliver the Naked Chef yang menurut saya seksi saat memasak beserta penampilan masakan Jamie, kenapa para laki-laki tidak boleh menggemari Farah Quinn? Seperti para laki-laki itu, saya toh juga tidak perduli pada tujuan utama acara tersebut: supaya bisa memasak. Hitung-hitung hiburan. Daripada menonton acara masak yang tukang masaknya wajib pakai kostum sesuai negara asal masakannya? Apa enggak lebih konyol?
Yang saya kuatirkan sebenarnya adalah sifat latah orang-orang tivi di Indonesia. Saya curiga setelah Farah Quinn akan ada acara masak lain yang tukang masaknya asal perempuan, asal cakep, asal seksi, dan asal masak. Atau, lebih parah lagi, malah mungkin yang akan muncul adalah sosok perempuan cakep seksi ngetop yang enggak bisa masak sama sekali lalu disuruh untuk mejeng di sebelah tukang masak sebenarnya. Kalau suatu saat saya masuk kategori cakep, seksi, ngetop lalu muncul di tivi untuk jadi presenter tempelan acara masak seperti itu, tolong sodorkan postingan ini sama saya ya.
Selain soal latah-melatah, saya juga melihat fenomena lain di jagat acara masak-memasak, yaitu pengkotak-kotakan umat. Umat apa? Umat penonton tivi. Sewaktu saya sedang membahas acaranya Farah Quinn, seseorang menegur saya sambil bilang, "mendingan nonton acara masaknya Dapur Aisyah aja. Setting-an dia itu untuk keluarga, ada bapaknya, ada anaknya dua."
Saya kok enggak melihat memasak itu ada hubungannya dengan status KTP seseorang ya? Kalau single dan cosmo-minded, nonton Farah. Kalau family-oriented, nonton Dapur Aisyah. Gitu? Do convince me.
Acara masak-memasak yang saya gemari di tivi itu sendiri adalah acara yang menggabungkan teknik memasak dan penampilan masakan. Tekniknya harus luar biasa. Cara masukin cabe ke penggorengan harus beda sama caraorang biasa saya. Penampilan masakannya juga harus membuat air liur tumpah. Lah kan lewat layar tivi! Karena harum masakannya tidak bisa terasa, ya penampilan masakannya yang harus menggairahkan. Acara-acara masak favorit saya seperti Nigella Express yang memberikan tip dan teknik cara memasak makanan saat kepepet (seperti baru bangun tidur sementara anak-anak sudah minta makan), French Food at Home-nya Laura Calder yang memperlihatkan betapa memasak itu menyenangkan (speak for yourself, kata saya selalu), dan tentu saja Jamie Oliver yang teknik tangan belepotannya malah membuatnya terlihat seksi dan sedap. Saya paling tidak suka melihat acara masak yang presenternya kebanyakan ngomong, atau yang presenternya pakai kostum, atau yang presenternya pakai kostum lalu banyak omong...
Mengingat masakan Indonesia sangat beragam dan uenak-uenak, saya seringkali mengharapkan acara masak di stasiun-stasiun tivi negeri ini bisa sekelas Nigella, Laura, atau Jamie. Apakah Farah Quinn atau Aisyah bisa melakukan itu? Hanya mereka yang bisa jawab. Pada akhirnya, apakah acara itu bisa sukses atau tidak, lama masa tayang atau tidak, ya kembali pada kemampuan si tukang masak. Juru kamera atau kamera secanggih apapun yang bisa membuat penampakan masakan sangat menggairahkan atau membuat presenter seseksi apapun tidak akan bisa menipu indera-indera perasa pemberian Tuhan. Kan katanya cinta itu datangnya dari perut, bukan dari mata. *sambil mikir betapa berbahayanya kalimat itu bila diketahui Papap*
Acara masak-memasak yang saya gemari di tivi itu sendiri adalah acara yang menggabungkan teknik memasak dan penampilan masakan. Tekniknya harus luar biasa. Cara masukin cabe ke penggorengan harus beda sama cara
Mengingat masakan Indonesia sangat beragam dan uenak-uenak, saya seringkali mengharapkan acara masak di stasiun-stasiun tivi negeri ini bisa sekelas Nigella, Laura, atau Jamie. Apakah Farah Quinn atau Aisyah bisa melakukan itu? Hanya mereka yang bisa jawab. Pada akhirnya, apakah acara itu bisa sukses atau tidak, lama masa tayang atau tidak, ya kembali pada kemampuan si tukang masak. Juru kamera atau kamera secanggih apapun yang bisa membuat penampakan masakan sangat menggairahkan atau membuat presenter seseksi apapun tidak akan bisa menipu indera-indera perasa pemberian Tuhan. Kan katanya cinta itu datangnya dari perut, bukan dari mata. *sambil mikir betapa berbahayanya kalimat itu bila diketahui Papap*
-Khatam menonton acara memasak bukan berarti anda akan langsung bisa memasak. Korelasi logis seperti itu sayang sekali tidak terjadi di dunia ini. Entah di dunia lain.