Fasilitas

Kata orang, manusia yang kreatif itu adalah manusia yang kalau diberi kesempitan fasilitas akan berusaha sedemikian rupa menggunakan akalnya sehingga fasilitas yang terbatas tidak menjadi penghalang kreatifitasnya.

Sekarang, please do tell me...
Kalau fasilitas koneksi internetnya dodol n bloon, kita harus kreatif ngeblog seperti apa ya?
Mengirim surat berperangko ke blogger dot com yang berisi postingan terbaru kita setiap kali kita mau update?

Yeah, right!

Grrrhhhh.........!!!

Apa yang pertama kali dilakukan perempuan-perempuan Indonesia (oke deh, dan beberapa laki-lakinya) yang bermukim di luar negeri ketika sedang kembali ke tanah air? Cari makanan khas Indonesia? Ah, udah basi kali je. Perempuan sekarang kan banyak yang pinter masak, terutama yang bermukim di luar negeri. Ini bukan pujian, tapi kenyataan. Lah, kalo gak memaksakan diri untuk pinter masak di negeri orang, sapa yang mau masakin toh?
Eh, jadi ngelantur. Oke, pertanyaan di atas tadi, apakah sudah bisa dijawab oleh para hadirin sekalian?
Blum?
Duh!
Jawabannya itu hanya satu: POTONG RAMBUT!
Kok?
Potong rambut di luar negeri itu banyak bikin miris hati, karena. Pertama, tentu saja, karena harganya muahaalll. Tapi, buat saya, bukan itu yang jadi soal. Kalau kasus saya, potong rambut di negeri nyang itu sungguh melelahkan dan membuat sport jantung. Gimana gak sport jantung? Saya dan si pemotong rambut tak pernah bisa sebahasa dan sepaham. Ujung-ujungnya, potong rambut di situ entu malah bikin capek karena kudu jungkir balik menggerakkan segala badan menirukan bahasa Tarzan. Belum pernah tuh saya dipotong rambut sesuai dengan yang saya pesan. Segitunya saya sudah pernah nekat menyimpan rasa malu dengan meminta tolong teman lokal untuk menuliskan instruksi-instruksi pemotongan rambut saya. Satu-satunya yang menjadi penghibur hati saat potong rambut disana adalah pelayanan plus penyambutan yang 100% memuaskan ditambah dengan kursi cuci rambut yang gak pernah bikin leher patah tulang…

Naaah, sekarang saya kembali ke tanah air tercinta. Harusnya tak ada lagi masalah potong memotong rambut toh? Well, guess what?
Sebulan setelah saya beredar di kampung halaman, rambut ini sudah mulai bikin gerah. Potong aaaahhh, pikir saya. Maka pergilah saya dan si rambut ke suatu mall ngetop yang jaraknya selemparan sepatu dengan Cikeas itu. Kaki ini pun mantap rasanya melangkah ke gerai potong rambut yang franchise-nya ada dimana-mana. Setelah memastikan kalau gerai yang saya tuju benar-benar tempat pemotong rambut profesional (dan bukannya sekolah pemotong rambut yang isinya para pemotong rambut pemula sedang memotong rambut korbannya), saya dengan PD-nya melaporkan diri ke resepsionis.
“Mbak, saya mau potong rambut.”
Si Embak melirik. “Duduk dulu deh, Mbak.”
Oke lah, batin saya. Gak pake senyum manis dan penyambutan sempurna pun tak apa. Saya cuma perlu potong rambutnya.
“Berapa orang lagi, Mbak?” tanya saya.
“Satu.”
Asiiiikkkkkk, sorak saya dalam hati.
Lima belas menit kemudian saya masih menunggu di seberang meja resepsionis yang maha tinggi dan lebar itu.
Setengah jam…
Empat puluh lima menit…
……………..
Kok gak ada pergantian pelanggan? Mana yang menunggu (selain saya)? Dua orang pemotong rambut sudah selesai dengan pelanggan mereka…
Tiba-tiba seorang cewek berambut pirang panjang (bukan bule), berbaju baby doll, bercelana legging masuk. Si Mbak resepsionis langsung menyambut. Mau creambath dan potong, kata si cewek itu. Silahkan cuci rambut, balas si Mbak Resep.
Lho kok? LHO? LHO KOK?

Saya pun berdiri menghampiri resepsionis (telat banget gak seeh?!).
“Mbak! Saya mau potong rambut MASIH LAMA?!!!”
Si mbak terbelalak. “OOOOOhhh… ya ampun… saya lupa kalau ada Embak…”
Cerita setelah kejadian ini saya hilangkan secara sengaja.

Proses selanjutnya, saya dilayani oleh (sepertinya) laki-laki muda berambut ikal dicat pirang yang penampilannya sungguh fashionable. Saya jadi menyesal datang dengan celana pendek dan kaos belel. Tanpa dandan pula.
Si Mas pirang itu membolak-balik helai rambut saya dengan dua jarinya sambil melirik tak tertarik.
Waduh, nih orang sepertinya kok bete banget liat gue sih?!
“Kamu gak mau dicreambath?” tanyanya.
Ealaaahh… dia ber-kamu-kamu. Disangka anak SMP kali gue ini je?
“Gak. Saya mau pergi lagi.”
Mulutnya membentuk huruf O.
“Rambut kamu tipis ya…”
“Iya…” Duh.
“Halus banget sih.”
“…..”
“Jidat kamu juga lebar ya.”
“???”
“Supaya gak kelihatan tipis dan bisa nutupin jidat kamu yang lebar, dipotong model Yuni Shara aja lah….”
“….”

Orang itu membuat saya dekat dengan Tuhan. Dia berhasil membuat saya Istigfar sepanjang masa. GUE GITU LOH YANG BAYAR ELU. KENAPA JADI GUE YANG DIHINA-HINA??????!!!!!!!!!!!!!!!!!

Aaarrrgghhh!

As the personification of Idefix, Obelix’s cute little dog in Asterix and Obelix, I am furious slash angry slash mad slash enraged slash infuriated slash upset to read the news about the preparation set by the government to welcome His Majesty George W. Bush. I don’t care about the: why he is coming, where he is coming or when, how he is coming, who is going to meet, whom is going to see him, what mission he is carrying, which party is going to protest against him, bla bla bla… I don’t care. Besides, those things don’t matter. What we will do about those things- that matters.
However, I am, really, am FURIOUS when I learned where he will be getting off!!! That man is going to get off his big-bad helicopter in BOGOR BOTANICAL (and historical) GARDEN, next to a pond filled with beautiful lotus flowers, among thousand collections of hundred-years-of-age plants, and at the same time, sacrificing the green grass. Dear God, whhhyyyy thereeeeeeee? This is so worth protesting!

Handphone, si Mami, dan Kacamata

Saat di Jepang dulu (hmm… sepertinya saya sekarang selalu memulai tulisan dengan kalimat begini? *mikir*), ada sebuah iklan handphone untuk para manula. Di negeri yang segala apa bisa dikerjakan dari handphone (termasuk bayar belanjaan dan beli karcis kereta), handphone buat manula sepertinya dan seharusnya bukan suatu hal yang aneh.

Ah, ternyata tidak begitu.

Pada kenyataannya, bagi orang-orang tua generasi perang dunia kedua (apalagi pertama!), handphone itu musuh, bukan kawan. Memakai handphone itu seperti memakai mesin ATM (apalagi kalo mesinnya super canggih dan menggunakan kanji); dipencet tombolnya, malah nanya melulu, gak dipencet, uang gak keluar. Buat Sensei-sensei saya dan para kerabat serta teman sesama manula, handphone bukan barang bawaan. Apalagi barang pakai-an. Maka, ketika ketika iklan hp buat manula itu muncul, saya pun tersenyum geli (sementara sensei saya tersenyum kecut).

Di iklan itu digambarkan dua orang kakek-kakek beruban (yang masih gagah berkumis memakai yukata lengkap) sedang membicarakan hp milik kakek A. Si kakek B terlihat agak alergi dan ngeri begitu kakek A mengeluarkan hpnya. Kata si kakek A, “hohoho… hp ini manula-friendly looh. Liat niiiiyyy…” Lalu, si kakek A pun memencet sebuah tombol dan segera saja suara cucunya terdengar dari seberang sono. Dan ketika ia selesai bicara, kakek A hanya perlu memencet tombol yang sama. Mudah toh? Maka kakek A dan B pun tertawa bersama.
Iklan itu keburu selesai sebelum saya sempat bertanya: kalau mau nelpon ke nomor lain, gimana caranya?

Sesampainya saya di Jakarta, si Mami yang baik hati merelakan nomer hp plus pulsanya dan tentu saja beserta tempat SIM cardnya (baca: handphonenya) untuk saya. No worries, kata si Mami. Ternyata beliau punya 4 nomor dan 3 hp! Haiyyyaah!!!

Soal hp, manula pemakai hp disini ternyata jauh lebih canggih dari negeri yang tadi saya ceritakan itu karena disini gak ada hp untuk manula. Si Mami yang juga sudah nenek-nenek itu (bow, udah punya cucu kan…) ternyata hp-hpnya selalu super canggih. Mami bisa pakai Bluetooth, bisa pake fasilitas denger-denger musik, bisa ini itu. Kebalikannya, si Babeh –yang ahli radar n satelit itu- malah gatek berat kalo soal hp. Tiap kali si Babeh mau pake hpnya (yang hanya untuk nelpon saya, adek-adek saya, atau si Mami), pasti minta pencetin kita sehingga dia hanya tinggal mangap doang. Balik lagi ke si Mami, dari datang sampai sekarang ini saya sering ternganga-nganga ngeliat Mami mamerin kebolehan hpnya. Saya nganga bukan liat hpnya; saya nganga liat gaya Mami. Nenek-nenek, gitu looh. Saya jadi berasa dinosaurus banget.

Tapi kecanggihan hp sini dan pemakai manulanya terbentur satu masalah.
Suatu kali, saat sedang memamerkan kebolehan hpnya –dan dirinya, tentu saja- hp si Mami berbunyi. Panggilan masuk. Si Mami memegang hp itu sekitar selengan jauhnya. Matanya mengernyit-ngernyit.
Kita: Gak dijawab, Mam?
Mami: hmm? (sambil bolak-balik merhatiin si hp)
Panggilan masuk itu pun berhenti.
Eh, nyala lagi!
Si Mami kembali mengernyit-ngernyit melihat si hp.
Kita: WOI! Gak dijawab? (maksudnya: brisik, euy!)
Mami: Ngggg… kacamata Mama mana ya?
Panggilan masuk kedua tadi berhenti lagi.
Sedetik kemudian, hp bunyi lagi!
Kita: MAAAAAAAAAKKK, itu hp mau dijawab gak seeehhh?!
Mama: lagi nyari kacamata dulu.
Kita: ngapain juga nyari kacamata dulu?
Mama: kan mau lihat siapa yang nelpon. (dengan nada kalem-kalem aja. Pada saat ini si hp udah bunyi untuk yang keempat kalinya)
Kita: emangnya kalau gak kenal sama nomer telponnya trus gak dijawab?
Mami: ya, dijawab juga dong.
Lhaaa????

Sekarang saya gak heran lagi kalau lihat orang-orang seumur emak saya yang hanya diam memandangi hpnya sementara si hp menjerit-jerit digenggamannya. Ini bukan karena para manula negeri ini pada gatek. Tuh orang pasti lagi gak bawa kacamata.

Mudik

Saya bukan orang Jakarta asli tak perduli bahwa saya lahir-besar-hidup di Jakarta. Emak Babe pun bukan orang Jakarta walau sebagian besar hidup mereka dihabiskan di Jakarta. Tapi ketika sebagian besar penghuni Jakarta –baik yang ngontrak maupun beli putus- berduyun-duyun meninggalkan Jakarta untuk pulang ke kampung masing-masing di hari-hari Lebaran begini, saya sekeluarga tetap setia dengan kota ini. Keluarga saya tak punya tradisi mudik –entah ini adalah suatu berkah atau musibah- karena kami tak punya kampung yang bisa diaku sebagai halaman kami. Kok bisa? Yaaa…. Begimana lagi? Alasan pertama: kedua orang tua saya itu berbeda kampung beda propinsi beda bahasa beda kelakuan. Jadi, menentukan kampung halaman buat keluarga saya agak susah juga. Kedua: Eyang saya yang kampung halamannya sudah jelas bukan di Jakarta, tiap Lebaran malah mudik ke Jakarta karena semua anak-anak, cucu-cucu (dan cicitnya yaitu Hikari), keponakan-keponakan, dsb dll, ada di Jakarta. Ketiga: Nenek-Kakek saya sudah meninggal dunia sebelum saya sempat kenal mereka yang membuat kata ‘kampung halaman’ menjadi kata-kata tanpa makna. Singkatnya, tidak ada hal sekecil apapun yang bisa memberikan alasan kepada saya untuk berkata, “saya mau mudik Lebaran ini.”

Kalau saya bukan orang Jakarta, sebaliknya si Papap itu malah aseli yang punya Jakarta, walau logat bicara saya lebih Betawi daripada si Papap. Menikah dengan orang Betawi berkonsekuensi pada semakin bertambahnya alasan untuk tidak bisa mudik, atau sekedar pergi ke kampung orang. Maka dulu itu ketika kami harus berlebaran di negeri orang, tidak ada kerinduan-kepanikan-kericuhan-keinginan-keterpaksaan untuk pulang kampung. Perasaan ini biasa saja. Lebaran disini disitu disana, ya, sama saja. Hanya minus orang tua dan saudara kandung saja. Apa gak kangen orang tua dan saudara? Ya, kangen lah, tapi kan ada internet plus webcam, ada telpon, ada pak pos. Kami malah merasa sengsara lahir batin gara-gara satu hal: gak ada makanan khas Lebaran…

Tapi, terus terang saja. Kelakuan kami yang ini jangan ditiru. Akibat kecuekan kami pada tradisi mudik ini kami pun sukses diomelin oleh orang se-Jakarta yang punya hubungan darah dengan kami. Menurut mereka, kami tak punya rasa kasihan dan hormat pada orang tua dan saudara kandung yang ber-Lebaran tanpa kami. Lucunya, orang yang dikasihani mereka justru cuek abis aja dan malah sibuk melarang-larang kami pulang karena, “tiket pesawat mahal kan? Mending beliin kita oleh-oleh aja.”
Yyyeeeeeeeeeeyyyyyyyyy…………..

Menonton berita Lebaran di tivi membuat saya penasaran. Seperti apa sih rasanya harus mudik?

Eniwei, selamat kembali mudik ya teman-teman. Semoga mudik kemarin membawa rahmat lahir batin dunia akhirat.

HAPPY EID EL FITR
TO ALL OF YOU


Bantal dan Guling

Dulu, ketika pertama kali datang ke Jepang, waktu tidur adalah saat yang menderitakan. Kami memang tidak (mau) pakai perlengkapan tidur ala Jepang, semisal: futon, sejenis ‘tempat tidur’ khas Jepang yang sebenarnya hanya berupa beberapa buah ‘kasur’ tipis yang disarungi, dan ‘bantal’ yang gak beda jauh sama bakiak itu. Perlengkapan tidur kami, standar saja: kasur biasa plus bantal. Nah, disini lah masalah bermula.

Kasur dan bantal ternyata belum cukup menambah kenyamanan tidur. Kalau gak ada Guling, kok, rasanya belum mantafff… Kaki ini jadinya menyepak kesana kemari mencari posisi yang enak karena ketiadaan guling. Untuk mengakalinya, saya pun membeli dua buah bantal mungil berbentuk tabung pendek yang saya jahit, eh, Papap jahit menjadi satu. Walau rasanya gak se-pol pakai guling beneran, masalah pun untuk sementara teratasi.

Kemarin itu, sewaktu kita kembali ke tanah air tercinta, masalah guling tentunya tak jadi masalah. Mau tempat tidur isinya guling semua pun bisa. Beragam pula pilihan gulingnya. Dari yang empuk yang isinya kapuk berumur 100 tahun sampai yang keras yang isinya kapuk fresh from the tree campur bijinya. Tapi, seminggu setelah mendapat kenyamanan berguling, masalah baru muncul.

Ketika saat pergantian seprai terjadi, saya pun mulai ‘nggratak’ koleksi seprai emak. Apalagi si emak mempersilahkan saya memakai seprai manapun sesuka saya. Eh, ada seprai bunga-bunga nih. Ih, ada yang bulan bintang. Aduuuh, ada yang gambarnya abstrak gini. Ceilee, si emak, ada yang motif pink heart looh (yang disahutin oleh emak dengan “itu kan seprai kawinan kamu dulu!”)… Serunya ngelebihin sale baju Lebaran deh!

Akhirnya setelah se-jam-an saya memilih-milih, saya mengambil satu seprai berwarna biru polos…. Tapi… loh kok…???
“Miiiii, seprai yang ini kok sarung gulingnya hanya satu?”
“Emang.”

Hah, udah susyeh-susyeh! Ya sud, yang ini aja kalow begitu… Tapi, loh, loh…
“Miiii, yang ini kok sarung gulingnya juga hanya satu?”
“Emang.”

Loh!? Yang itu juga?! Yang ini juga kok?! Loh? LOH?! KOK SEMUANYA HANYA ADA SATU SARUNG GULING?
“Miiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii! Masa’ semuanya cuma punya satu sarung guling? Guling ogut kan ada duaaaaaaa!!!”
Si emak pun nongol di kamar, “emang dari sononya begituuuuu.”

Wah! Ini diskriminasi terselubung namanya! Kalau sarung guling hanya diberi satu dari pabriknya itu berarti kan guling di tempat tidur pun hanya boleh satu. Lalu, siapa dong yang berhak mendapat guling berharga itu? Sang suami? Sang istri?
Apakah ini dimaksudkan untuk mengetes siapa yang lebih sayang dan tidak egois diantara pasangan suami istri? Kalau si suami memberi si guling kepada si istri, itu berarti sang suami sayang banget sama istrinya? Kalau si istri menyerahkan kepemilikan guling kepada suami, apakah itu berarti si istri sangat setia dan hormat kepada suaminya?

Hayaaaaaahhhhh…. Kok susah banget!!!

“Maaaamiiiiiiiii!”
“Apa SIH?!”
“Laen kali kita bikin seprai sendiri aja lah!”
“Kenapa memangnya?”
“Untuk mengajarkan Hikari arti equality, egalitarianism, fairness….”


“Niiihh, gulingnya buat kamu aja,” kata Papap sambil ngeloyor ke luar kamar.

A Mother's Privilege

A-h, this is so classic. A working-out-of-home mother feels guilty because she cannot be with her children 24-7. I know for sure there are so many blogs that have discussed this, scientifically or personally. I don’t know which category mine belongs to. I don’t care. I just want to tell you that no matter how classic it is, the problem never seems to cease.

I thought after having a ‘long vacation’ from work would free me from the guilty feeling, but I was wrong. So wrong.

One week after I started working (and it is only four days a week, four hours a day plus 3 hours on the road), Hikari also began his long-gone-long-cured tantrums. Then he wouldn’t let me out of his sight for a sec. He also started to ask me do thing for him like putting on his clothes, feeding him, etc. I don’t mind, really, except for his new-be-dependent habit. I mean I’d missed him too. As soon as I stepped in the house and saw his longing face, I forgot being exhausted and worn out. I think a mother doesn’t have the privilege to feel exhausted, sad, worn out, drained, sleepy, anyting except being happy and cheerful all the time. The second week I worked, he fell sick. His flu and cold that he got two days after arriving in Jakarta haven’t cured yet, now he is throwing up, having an abdominal pain, and minor diarrhea. As if his sickness hadn’t made me felt guiltier and more panicky, everyone around blames me for what is happening. Now, I say this is really a mother’s privilege!

While working (now, out of home) is still something that I MUST do for survival, I haven’t been able to put aside the guilty feeling. At the same time, I know I am not alone because there are million of mothers all over the planet feel the same way, still it doesn’t cheer me up.

I’m just wondering if fathers are also blessed with this kind of feeling…

Sembalap

2 tahun kurang hidup di Jepun membuat insting sembalap saya menguap. Di negeri itu jangankan punya mobil atawa nyetir mobil, bisa numpak mobil beroda empat –termasuk taksi- adalah suatu kemewahan. Alasannya bukan hanya karena gak boleh melakukan kegiatan nyetir menyetir kendaraan bermotor oleh agen pemberi beasiswa si Papap, tapi juga karena…… MAHASISWA PANJERAN, gitu loh. Mana myungkiiiinnn punya duit lebih buat bermewah-mewah. Lagipula, misalkan –misalkan- disana saya bisa menyetir pun, saya pasti akan menyetir dengan baik dan benar (baca: tak bisa nyalip, tak bisa ngebut). Hilang juga lah insting sembalap saya itu. Dulu itu, jarak Halim-Pramuka bisa saya tempuh kurang dari 15 menit, kalau perlu (sayangnya, setiap hari, ya, perlu melulu).

Ketika balik ke kampung halaman tercinta yang selalu saya grundelin melulu, mau gak mau saya harus balik menyetir. Alasannya hanya satu: angkot yang beredar di perumahan sini tidak user-friendly.

Sayangnyaaaaaa…. (hmm… sekarang soundtrack suara sapa yang bisa saya pake ya? Bang Rhoma?), jalanan di dunia bagian sini ternyata juga sudah menjadi tidak user-friendly. Pertama, jalanan sekarang sudah dipenuhi oleh laler-laler kamikaze yang nyali bunuh dirinya (atau bunuh orang laennya) lebih serem dari pasukan Jepun jaman dulu itu. Motor-motor berani mati ini gila-gilaan maen serempetannya. Paling ngeri kalau lampu lalin sudah berubah jadi ijo karena deru suara ribuan laler ini yang saling berlomba dulu-duluan. Wong, lampu belum ijo aja mereka sudah maju duluan. Lalu kenapa saya gak ikut balapan dengan mereka? Nggilani. Walau saya sudah kawin, saya juga masih betah hidup. Lagipula jumlah mereka itu tak terhingga. Beraninya main keroyokan lagi. Alhasil mimpi lama saya muncul lagi. Dulu itu saya sempat bermimpi untuk membuat body mobil saya dialiri aliran listrik, sehingga kalau ada motor yang coba-coba mepet sejarak setengah meter motor itu akan terpentul-pentul. Jahat ya? Abis keki berat sih! Papap jelas tidak setuju dengan ide saya ini. Dia kan naek motor juga…

Alasan kedua yang membuat insting sembalap saya keder setelah laler kamikaze adalah jalanan akses dari rumah (emak) saya ke kantor yang hanya selebar tali jemuran. Hanya bisa dua setengah mobil, dua arah pulak! Kalo soal hanya bisa dua mobil, tidak begitu menjadi masalah. Tapi kalo jalanan selebar (para pesimis menyebutnya dengan: sesempit) itu juga dipake oleh pejalan kaki, motor slow-kagak-ngebut-kagak, tukang somay dan gerobaknya, tukang mangga dan motor olengnya, truk-truk nyasar salah jalan, anak kecil maen sepeda, dan anak balita maen gundu, sapa yang sanggup balapan???

Mau saya tuh, biar saja jalanan mobil hanya untuk dua setengah mobil, tapiiii di samping jalanan mobil ada jalanan khusus motor, lalu ada jalanan khusus pejalan kaki dan sepeda, lalu ada tanah kosong sedikit buat anak-anak maen gundu (maen layangan juga boleh lah). Dengan begitu kan saya tak perlu mengandalkan insting sembalap saya untuk bisa sampai kantor tepat waktu tanpa harus berangkat sedetik setelah shubuh….

Kenapa, Pap? Ngimpi?
Loh, kata orang bijak kan, I dream therefore many things exist toh???

Blogging never dies...

Koneksi internet yang lebih menyiksa daripada puasa di hari panas terus di depan kita ada orang minum segelas gede es kelapa muda ini sudah sukses mematikan hampir semua jiwa ngeblog saya. Buktinya? Saya kehilangan kata-kata untuk melaporkan:
1. Papap ulang tahun tanggal 2 kemarin.
2. Kita ulang tahun pernikahan kelima tanggal 14 ini.
3. Hikari ngambek keluar rumah untuk urusan apapun dengan alasan OKAASAN, ATSUI DA YO (Mak, panas neh!) sambil menjerit 10 oktaf.
4. Saya dipaksa masuk kantor lebih cepat tiga bulan dari rencana. Kata dipaksa harap digaris bawahi, ditebalkan, dimiringkan, dikasih koma atas, lalu diketok mati.
5. Pembantu pulang kampung lebih awal dan meninggalkan pesan, “kalau kita mau balik kesini, nanti kita telpon deh.”
6. Sudah 20 hari saya gak kepingin motret-motret apapun. Kehilangan jiwa narsis merupakan tanda-tanda speechless yang akut.
7. Papap memonopoli laptop satu-satunya walaupun pernah bersumpe-sumpe kalo dia kagak mau nyentuh laptop ini.
8. Kemanapun kaki melangkah, saya diberondong dengan pertanyaan basi, “kapan punya anak lagi?”
9. Silaturahmi ke seluruh penjuru dunia yang menghabiskan tenaga dan ide karena tiap kali ditanya: Satu, disana ada salju ya? Dua, disana makan apa? Tiga, disana gak ada rumah makan padang?
10. Ternyata(!) papan pengumuman di depan calon sekolah anak saya bertuliskan ‘Kawasan Berbusana Muslim’.

Mau diceritain yang mana?

Alien at Home

Versi: NORAK

Satu-satunya orang di dunia ini yang mengatakan kalau saya ini orangnya kalem dan pendiam adalah (hanya!) penguji psikotes saya di suatu hari 3 tahun lalu. Kalau menurut teman-teman saya yang lain, asumsi si penguji itu –tentu saja- salah besar. Teman-teman saya bahkan sampai meminta nama lengkap si penguji untuk memastikan mereka tidak akan pernah mau diuji oleh beliau, berdasarkan diagnosis beliau atas saya. Walau rada-rada dongkol karena teman-teman saya tak mau percaya diagnosis seorang ahli atas kepribadian saya, saya diam-diam setuju juga sih sama mereka itu. Wong saya aja kontan cekikikan tak terkontrol begitu si penguji mengutarakan diagnosisnya…
Tapi kenyataan berbicara lain.

Sejak saya mendarat kembali ke tanah air tercinta tumpah darahku, saya mendadak sontak jadi pendiam. Bukan, bukan karena saya berubah kepribadian. Saya jadi pendiam karena saya t-a-k-u-t kalau saya memangapkan mulut ini maka seluruh imej C-O-O-L saya langsung hancur lebur… Gimana enggak, setiap kali mulut ini hendak mangap yang akan keluar adalah rentetan pertanyaan ini itu begini begitu.
“Loh, kok, disini udah ada mall?”
“He? Disini ada plaza juga?”
“Hoh? Ada Square apa tuh disitu?”
Dan menyemburlah cemooh dari mulut adik saya. “Nanya mulu lo. Kayak tamu.”

Kenorakan saya belum berhenti disitu. Begitu saya selesai sungkeman di kantor dan kemudian pulang bersama dengan teman-teman kantor yang lain, rentetan pertanyaan saya pun mulai lagi.
“Jadi, kalau dari rumah emak saya ke kantor itu saya mendingan naik apa?”
“Trus, nyambung bis apa?”
“Bayarnya berapa?”
“Pool bisnya dimana?”
“Apa tadi nama angkotnya?”
“Naiknya dari mana tadi?”
“Eh, bayarnya berapa tadi?”
Weleh… kalau bagian yang ini, saya bukan hanya norak tapi juga lemot.

Setelah beberapa kali sempat mangap tanpa sengaja, saya pun berusaha mengerem kenorakan saya. Takut juga kalau saya disambit karena mulut mangap saya berkata,
“Jakarta panas banget yak?!”
“Gile, tempat ini masih macet aja.”
“Duh, servisnya lama amat sih.”
“Naro tas disini aman gak ya?”
“Internet ini BISA LEBIH CEPET GAAAAKKKK?!”

Dan adek saya pun berkomentar, “kirain orang kampung aja yang bisa norak kalo dateng ke Jakarta...”
Yang dibales oleh saya, “kapan elu pergi keluar kota lagi? Gak sekarang aja?”

Blogger Templates by Blog Forum