Saya terpekur membaca tulisan teman tersayang saya yang nun jauh disana. Kalau para hadirin sering berkunjung ke blog
nenek-cantik-berwajah-remaja itu (yang tak perlu lah saya tunjukkan jalannya karena saking ngetopnya), anda pasti telah membaca tulisannya tentang '
Kapan seseorang siap menjadi ibu?'
Nek, saya tak punya jawaban atas pertanyaan dirimu. Saya hanya pernah berada di sisi yang berbeda. So, please spare me a minute. I'll tell you a story...
Di kehidupan saya yang dulu, saya tak pernah suka anak kecil. Saya menghargai mereka sebagai individu, tapi tak pernah bisa melihat dimana lucunya seorang anak kecil.
Sama seperti saya tak bisa melihat dimana lucunya seekor puppy. Jadi, jangan suruh saya untuk menggembala keponakan-keponakan kecil, karena I'd just turn their day into a hell without realizing it. Bila seorang kolega membawa anaknya ke kantor dan teman-teman yang lain sibuk memuji kelucuan si anak, saya tak pernah ikut-ikutan. Saya bahkan pernah yakin seyakin-yakinnya kalau kelakuan seorang anak itu 95% akibat didikan orang tuanya. Akibatnya, ketika seorang anak kecil bertingkah 'bandel', saya tak bisa melihat kelucuan dari tingkahnya.
Let me tell you one of my darkest moment:
Suatu hari, di food court sebuah mall, saya dan teman-teman sedang duduk menikmati makanan. Seorang anak berusia 6 tahun mondar-mandir di dekat meja kami sambil membuat keributan: lari-lari, menyenggol meja kami, teriak-teriak, batuk dan menarik ingus di dekat kami, berdiri di samping kami yang sedang berdiskusi, dan lain-lain. Ibunya tak terlihat gerah walau saya rasanya sudah berasap. Ketika rasa sabar saya habis, saya memesan sebuah ice cream cone bertingkat dua yang terlihat sangat-sangat menggiurkan. Saya melihat bagaimana kedua bola mata anak itu hampir loncat keluar melihat es krim saya. Dan tahukah apa yang saya lakukan? Dengan sengaja saya menjilati es krim itu di depan pandangan matanya. Saya tahu dia sebelumnya dilarang minum es krim oleh ibunya...
Segitu teganya saya pada anak kecil.
Papap pun setali tiga uang. Ia -yang anak bungsu- juga tak punya empati rasa lucu pada seorang anak kecil. Maka, ketika kami akan menikah, kami berencana untuk menunda punya anak.
Rencana tinggal rencana. Saya langsung hamil setelah menikah. Kejadian ini membuat tante bungsu saya -yang usianya hanya lebih tua dua tahun dari saya- frustasi berat. Sebagai tante bungsu yang terkenal penyayang keponakan-keponakannya dan pengasuh bayi nomer wahid di keluarga kami, dia belum juga hamil setelah menikah dua tahun. Dia pun terisak 'Why me?'. Yang dia tak tahu, saya juga sedang terhenyak dan bertanya 'Why me?' untuk alasan yang berseberangan dari dirinya.
Teman-teman saya menjadi saksi betapa saya sering mengelak pertanyaan mereka tentang kehamilan saya. Saya tak mau berterus terang. Antara malu, tak percaya, tak siap, tak sanggup, dan berbagai macam alasan gila lainnya. Mother-and-child bond? Hell, saya tak merasakannya.
Mana itu perasaan penyayang yang dikatakan ibu-ibu hamil lainnya? Karena rasa tak percaya dan tak mau itu lah saya berlaku secuek saat saya tak hamil: jalan tergesa-gesa, lari naik turun tangga, mengejar bis, mengangkat beban berat, makan minum seenaknya... sampai beberapa teman laki-laki saya yang malah menjerit-jerit histeris. Dua bulan setelah saya hamil, saya mengalami pendarahan. Tell me crazy, tapi saya tak bisa merasa sedih atau menyesal. Tuhan Maha Besar, janin saya selamat. Yang kemudian membuat saya
berkewajiban untuk merawatnya adalah karena saya sadar ada Tuhan yang mengawasi saya. Saya bingung karena saya tak bisa merasakan rasa sayang, tapi saya berusaha tak membuat Tuhan marah.
Lalu hidup saya berubah ketika bayi itu lahir. Sejak saya melahirkan Hikari hingga detik ini, setiap kali saya melihat wajahnya, atau teringat tingkah polahnya, rasa bersalah selalu menyerang saya. Ya Tuhan, apa yang mungkin terjadi pada diri saya bila saya tak memiliki Hikari seperti sekarang? Bagaimana mungkin saya
bisa mengacuhkan dia dulu, kalau saya tahu betapa saya
bisa sangat menyayanginya sekarang? Mungkin karena rasa bersalah ini pula yang membuat saya setiap kali menggigil paranoid berlebihan setiap kali Hikari -yang memang rentan sakit- jatuh sakit. What if? Begitu setiap kali saya berderai air mata. Saya takut Tuhan menghukum saya...
Nek, tante saya pernah bertanya pada Tuhan 'why her and not me?'. Saya tak tahu jawabannya. Saya malah sempat bertanya 'why me and not her?' karena rasanya tak adil buat dirinya. Tapi, Nek,
untungnya saya yang kurang ajar begini -entah kenapa- selalu ingat pada kata-kataNya yang ini:
"
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. "
Saya lalu belajar ikhlas, walau untuk seorang saya, ikhlas itu susahnya minta ampun. Saya belajar bila kita ikhlas pada apapun ketentuanNya, kita bisa merasakan hidup ini lebih damai. I'm still learning...
With lots of love for you, Nek!