Showing posts with label Englightenment. Show all posts
Showing posts with label Englightenment. Show all posts

And then we get inspired...

Kali ini saya ingin bicara soal jenis-jenis manusia yang bisa menginspirasi orang lain. Biasanya orang baik dan hebat (baca: pintar, pemberani, saint-like heart) memang dapat dengan mudah membuat orang lain terinspirasi: Mother Theresa, Pak Budiono, Barrack Obama, sampai para hollywood superhero di tivi. Lalu ada orang-orang hebat lainnya seperti Bung Karno, bahkan Pak Harto, lalu Hitler, sampai Einstein.
Sayangnya, kebanyakan dari kita dilahirkan jadi manusia biasa yang masuk kategori lagu 'rocker juga manusia'. We get angry, we curse, we swear, we fight, we kick the dustbin... Lalu kapankah giliran kita untuk menjadi inspirasi orang lain?

"Yeah, right, De'. Menginspirasi orang lain? Menginspirasi diri sendiri aja susah!"
Pernah nonton Sue Sylvester di Glee?

There's not much of a difference between a stadium full of cheering fans and an angry crowd screaming abuse at you. They're both just making a lot of noise. How you take it is up to you. Convince yourself they're cheering for you. You do that, and some day they will. And that's how Sue C's it. (Sue Sylvester)


Saya sedang keranjingan nonton Glee. Bukan untuk mendengarkan lagu-lagu lawas yang dinyanyikan lagi di seri itu, tapi untuk menonton seorang Sue Sylvester, pelatih klub cheerleaders yang sangar, kasar, dan menyebalkan. Menonton karakter Sue, saya melihat betapa seorang yang menyebalkan dan jelas bukan saint-like bisa sangat menginspirasi.

Menginspirasi?
Kok bisa seorang manusia menyebalkan seperti dia menginspirasi orang lain saya?
Buat saya, sosok Sue disitu melambangkan kebenaran yang seringkali pahit. Life sucks, reality bites, but that's a fact. What you are going to do about it is what matters.
Sue juga melambangkan keteguhan hati dan kekuatan mental. Saat dia bilang, "Never let anything distract you from winning. Ever." Sue sedang mengajarkan bahwa being a winner requires an attitude. Winning is an attitude, itself.

Menurut saya, seseorang yang mampu untuk menginspirasi orang lain adalah seseorang yang mampu berpikir, bertindak, mempunyai visi, lebih besar dari dirinya sendiri. Buat Sue, winning is everything. Walaupun motifnya untuk menang bisa jadi menyebalkan dan self-centered, kemenangan itu toh kemenangan seluruh sekolah. Menjadi orang yang menyebalkan itu gampang. Menjadi orang yang menyebalkan tapi bisa membuat satu sekolah menang, itu menginspirasi.
Setelah itu, seseorang yang mampu untuk menginspirasi orang lain adalah seseorang yang, seperti kata Simon Cowell, berbeda. Visinya berbeda, caranya bertindak berbeda, caranya berpikir berbeda. Seorang penyanyi bisa saja punya suara bagus tampang cantik, tapi ada ribuan orang lain dengan suara bagus dan tampang cantik. Distinguished, different, unique, one of a kind, kata Simon Cowell.

Jadi, kesimpulan sementara saya, karena saya bukan Bung Karno dan bukan Mother Theresa apalagi Einstein, apabila saya ingin jadi orang yang bisa menginspirasi orang lain, saya harus punya visi yang lebih besar dari diri saya sendiri. Selain itu, saya juga harus unik, beda, gak biasa. Karena kalau tidak unik dan hanya biasa saja, semua orang juga bisa. Bukan begitu?

catatan: tentu saja tulisan ini hanya teori. Prakteknya saya malah belum pernah menginspirasi orang lain... *tersenyum kecut*

Look Who's Talking

Hujan dari semalam di pagi ini belum juga reda. And I thought I could have a nice comfortable sleep from the sound of the rain.
Jam 6 pagi, hujan masih mengguyur tapi saya sudah harus bangun dan mandi. Kepala yang nyut-nyut karena migrain dan bayangan akan jalanan yang pasti macet berat membuat persiapan saya ke kantor tidak ikhlas. Tidak sepenuh hati. Tapi saya harus bangun karena kewajiban mengantar Hikari ke sekolah.

Jam 7 pagi, saya selesai bersiap dan Hikari selesai makan pagi. Mungkin karena dingin dan kurang tidur, Hikari juga terlihat lesu. Toh dia masih sempat menarik saya segera berangkat karena takut terlambat. Dia masuk jam 7:30. Diantara kelesuannya, dia masih terlihat ikhlas akan kewajiban masuk sekolah.

Keluar dari komplek, saya lihat antrian di jalan Alternatif Cibubur sudah mengular. Sekali lagi saya mengeluh. Saya sudah bisa membayangkan jalanan yang hanya 5 kilometer ke sekolah Hikari pasti juga macet. Apalagi, para polisi senang sekali menutup belokan ke kanan ke arah Cikeas sehingga saya harus menyetir dua kilometer lebih jauh hanya untuk U-turn.

Mendengar saya menghela napas berkali-kali, Hikari bertanya. "Mama kenapa?"
Jawaban saya singkat, "sakit kepala, Nak. Macet lagi."
Hikari diam lagi dan sibuk dengan coretan-coretan gambar dinosaurusnya.

Beberapa ratus meter mendekati belokan ke Cikeas yang ditutup palang, jalanan sudah tersendat. Padahal U-turn masih 4 kilometer lagi. Diseberang belokan, saya bisa melihat seorang polantas mengatur jalan. Tiga mobil di depan saya mendekati belokan Cikeas, polantas itu berjalan menyebrang ke arah palang jalan. Mata saya terpincing ke arahnya tidak bergerak. Hati saya berdebar keras.
Dua mobil di depan saya mendekati belokan Cikeas, polantas itu dalam gerakan lambat menarik palang-palang dari belokan. Saya spontan melambatkan mobil yang sudah lambat karena harus mengantri.
Satu mobil di depan saya, dalam satu sentakan, polantas itu membuka belokan dari palang-palang penghalang! Saya memberi sen kanan dan Pak Polantas yang melihat sen saya melambaikan tangan untuk menyuruh saya berbelok.
Alhamdulillah!
Alhamdulillah!
Alhamdulillah!

Mendengar saya terus-terusan berkata Alhamdulillah, Hikari menegakkan tubuhnya melihat ke depan mobil dan bertanya ke saya.
"Kenapa, Ma?"
"Kita bisa belok, Nak. Alhamdulillah."
"Kenapa? Pak Presiden mau lewat?"
(Ya, biasanya belokan dibuka bila Presiden akan pulang ke rumahnya)
"Enggak, Nak. Pak Polisi itu baik hati. Kita dibolehkan lewat."
"Kenapa boleh?"
Saya tersenyum dan tanpa sadar mengeluarkan ceramah khas emak-emak.
"Karena Hikari ikhlas mau sekolah. Kita dibantu Allah. Kalau kita ikhlas, Allah akan bantu."
Hikari menoleh ke arah saya lama.
"Kenapa, Nak?"
"Mama juga ke kantor harus ikhlas..."

Astagfirullah....

Apa Arti Celana Dalam Anda?

Kirimkan lah celana dalam perempuan, syukur-syukur ditambah dengan bra sekalian, kepada sekelompok laki-laki. Apa yang akan terjadi?
Kemungkinan besar kelompok itu akan marah karena kumpulan perasaan yang timbul akibat kiriman tersebut: Rasa malu, rasa dihina, rasa dipermalukan, rasa dianggap banci, rasa dianggap penakut (atau malah pengecut?), rasa dianggap cengeng... apa lagi?

Lalu, buat eksperimen kedua.
Kirimkan lah celana dalam laki-laki, nggak perlu pakai kaos dalamnya, kepada sekelompok perempuan. Apa yang akan terjadi?
Karena saya merasa otak perempuan sangat kompleks, kemungkinan yang terjadi bisa ribuan: potret bareng dengan si celana dalam dan menaruh fotonya di fesbuk dan/atau di blog, mungkin menjual celana dalam itu, memberinya pada suami atau pacar, mem-pigura celana dalam itu untuk kenang-kenangan, bengong lebih dari satu menit dihadapan si pemberi sambil membatin apa maksudnya.

Apa maksudnya memberi celana dalam laki-laki kepada sekumpulan perempuan? Pasti bukan untuk menimbulkan rasa malu, rasa dipermalukan, rasa dianggap banci/cengeng/penakut/pengecut. Seperti juga rokok, stelan jas (yang dipakai perempuan), saya anggap celana dalam laki-laki dianggap sebagi simbol keberanian, ke-macho-an, kehebatan, kekuatan.
Dengan menggunakan analogi tersebut, saya anggap pemberian celana dalam laki-laki kepada sekelompok perempuan adalah simbol pujian. Perempuan-perempuan hebat yang kuat, mungkin begitu maksudnya. Jadi, sebaliknya memberi celana dalam perempuan kepada sekelompok laki-laki berarti simbol penghinaan. Bukan begitu?

Tidak logis? Mengada-ada? Mencari-cari korelasi? Dibuat-buat? Dihubung-hubungkan?
Terserah.
Toh saya punya contoh. Baca lah berita tentang sejumlah LSM yang memberikan bra dan G-string merah untuk pansus Century DPR. Apa maksud mereka? Apa persepsi anda terhadap benda-benda yang dijadikan simbol itu? Apakah pemberian bra dan G-string itu dimaksudkan sebagai penghargaan atas keberanian para pansus Century?

Membaca komentar ini, saya yakin bra dan G-string bukan sebuah simbol positif:
"Idrus Marham sebagai Ketua Pansus tidak boleh diintervensi. Kalau sampai diintervensi, pakai saja bra dan celana dalam ini," ujar aktivis Kapak, Hendri Tri. -Kompas.com

Bingung.
Apa hubungannya bra dan celana dalam dengan intervensi? Jangan-jangan para pemberi hadiah itu ingin meniru Soe Hok Gie yang memberi hadiah lipstik, cermin, dan beberapa barang kewanitaan lainnya untuk teman-temannya di DPR.

Pada 12 Desember 1969, Hok Gie bekerja sama dengan teman-temannya mengirim paket "Lebaran-Natal" kepada 13 perwakilan mahasiswa yang duduk di DPR-GR. Paket itu berisi lipstik, cermin, jarum, dan benang, disertai surat kumpulan tanda tangan dengan pesan, "Bersama surat ini kami kirimkan kepada anda hadiah kecil kosmetik dan sebuah cermin kecil sehingga anda, saudara kami yang terhormat, dapat membuat diri kalian lebih menarik di mata penguasa dan rekan-rekan sejawat anda di DPR-GR. Bekerjalah dengan baik, hidup Orde baru! Nikmatilah kursi anda—tidurlah nyenyak! Teman-teman mahasiswa anda di Jakarta dan exdemonstran '66" (halaman 364).


Well, saya pikir para pemberi celana dalam perempuan itu masih harus belajar banyak dari Soe Hok Gie. Bukan itu saja, saya pikir mereka juga harus belajar lagi tentang arti penghormatan dan penghargaan terhadap jender perempuan. Coba, mau enggak mereka mengirimkan jenis dan merk celana dalam dan bra yang sama dengan yang dipakai oleh ibu mereka ke anggota pansus? Apakah mereka akan berkomentar sama dengan yang mereka katakan kepada Pak Idrus Marham?
"Pakai saja bra dan celana dalam ibu saya ini, Pak."

-tulisan ini dibuat karena kesal setelah membaca status FM di fesbuk. I agree with you, Nek. Stupid is what a stupid does (Forrest Gump)-

Hot, Food, Cook

Generasi Mami saya mungkin tidak pernah membayangkan seorang perempuan, cantik, seksi, mungkin pintar, seperti saya Farah Quinn bisa menjadi presenter acara masak-memasak di tivi. Sejak munculnya stasiun tivi swasta di Indonesia, presenter acara masak-memasak yang punya tugas untuk mengajari ibu-ibu di rumah memasak biasanya berbentuk seorang ibu-ibu yang -maaf- agak overweight dan dari cara megang sendok aja sudah kelihatan dia tukang masak andal. Lalu setelah era ibu-ibu itu, muncul presenter masak berbentuk laki-laki berotot dan berjari lihai yang selalu menyapa pemirsa dengan kenes, "Halooo, ibu-ibu..." seakan-akan hanya ibu-ibu saja yang menonton acaranya. Saya kan juga nonton dan saya bukan ibu-ibu. Waktu itu.

Setelah presenter macam Farah Quinn muncul di layar tivi, berbondong-bondong orang mulai manteng di depan tivi hanya untuk melihat si Farah muncul.
Yang seumur si Mami biasanya mengomentari gaya grogi Farah saat memotong cabe atau mengaduk adonan sehingga menimbulkan prasangka: "Bisa masak beneran gak sih? Kok megang pisaunya takut-takut gitu?"
Yang seumur saya ikut nonton juga sambil komentar soal penampilan makanan yang seringkali tidak aduhai menggemaskan sambil berbaik sangka dengan berkomentar itu adalah kesalahan cameraman-nya atau malah cameranya yang tidak food-friendly.
Yang laki-laki pun ikut nonton tentu sambil berkomentar soal-soal lain yang tidak ada hubungannya dengan makanan.
Acara masak-memasak di tivi bukan lagi jadi acara tempelan sejak kehadiran celebrity chef itu.

Menurut saya, kondisi seperti itu sih sah-sah saja. Kalau saya dan para perempuan lain menggemari penampilan Jamie Oliver the Naked Chef yang menurut saya seksi saat memasak beserta penampilan masakan Jamie, kenapa para laki-laki tidak boleh menggemari Farah Quinn? Seperti para laki-laki itu, saya toh juga tidak perduli pada tujuan utama acara tersebut: supaya bisa memasak. Hitung-hitung hiburan. Daripada menonton acara masak yang tukang masaknya wajib pakai kostum sesuai negara asal masakannya? Apa enggak lebih konyol?

Yang saya kuatirkan sebenarnya adalah sifat latah orang-orang tivi di Indonesia. Saya curiga setelah Farah Quinn akan ada acara masak lain yang tukang masaknya asal perempuan, asal cakep, asal seksi, dan asal masak. Atau, lebih parah lagi, malah mungkin yang akan muncul adalah sosok perempuan cakep seksi ngetop yang enggak bisa masak sama sekali lalu disuruh untuk mejeng di sebelah tukang masak sebenarnya. Kalau suatu saat saya masuk kategori cakep, seksi, ngetop lalu muncul di tivi untuk jadi presenter tempelan acara masak seperti itu, tolong sodorkan postingan ini sama saya ya.

Selain soal latah-melatah, saya juga melihat fenomena lain di jagat acara masak-memasak, yaitu pengkotak-kotakan umat. Umat apa? Umat penonton tivi. Sewaktu saya sedang membahas acaranya Farah Quinn, seseorang menegur saya sambil bilang, "mendingan nonton acara masaknya Dapur Aisyah aja. Setting-an dia itu untuk keluarga, ada bapaknya, ada anaknya dua." Langsung illfeel
Saya kok enggak melihat memasak itu ada hubungannya dengan status KTP seseorang ya? Kalau single dan cosmo-minded, nonton Farah. Kalau family-oriented, nonton Dapur Aisyah. Gitu? Do convince me.

Acara masak-memasak yang saya gemari di tivi itu sendiri adalah acara yang menggabungkan teknik memasak dan penampilan masakan. Tekniknya harus luar biasa. Cara masukin cabe ke penggorengan harus beda sama cara orang biasa saya. Penampilan masakannya juga harus membuat air liur tumpah. Lah kan lewat layar tivi! Karena harum masakannya tidak bisa terasa, ya penampilan masakannya yang harus menggairahkan. Acara-acara masak favorit saya seperti Nigella Express yang memberikan tip dan teknik cara memasak makanan saat kepepet (seperti baru bangun tidur sementara anak-anak sudah minta makan), French Food at Home-nya Laura Calder yang memperlihatkan betapa memasak itu menyenangkan (speak for yourself, kata saya selalu), dan tentu saja Jamie Oliver yang teknik tangan belepotannya malah membuatnya terlihat seksi dan sedap. Saya paling tidak suka melihat acara masak yang presenternya kebanyakan ngomong, atau yang presenternya pakai kostum, atau yang presenternya pakai kostum lalu banyak omong...

Mengingat masakan Indonesia sangat beragam dan uenak-uenak, saya seringkali mengharapkan acara masak di stasiun-stasiun tivi negeri ini bisa sekelas Nigella, Laura, atau Jamie. Apakah Farah Quinn atau Aisyah bisa melakukan itu? Hanya mereka yang bisa jawab. Pada akhirnya, apakah acara itu bisa sukses atau tidak, lama masa tayang atau tidak, ya kembali pada kemampuan si tukang masak. Juru kamera atau kamera secanggih apapun yang bisa membuat penampakan masakan sangat menggairahkan atau membuat presenter seseksi apapun tidak akan bisa menipu indera-indera perasa pemberian Tuhan. Kan katanya cinta itu datangnya dari perut, bukan dari mata. *sambil mikir betapa berbahayanya kalimat itu bila diketahui Papap*


catatan:
-Foto Farah Quinn dari sini dan foto Jamie dari sini.
-Khatam menonton acara memasak bukan berarti anda akan langsung bisa memasak. Korelasi logis seperti itu sayang sekali tidak terjadi di dunia ini. Entah di dunia lain.

YTIE series: 3) Blogging Before Your Bosses

The internet connection seemed friendly tonight. I used it wisely to open my 4-year-old google reader that I had abandoned and forgotten (the password) for 3 years. Surprise, surprise, I found the blogs I used to visit a long time ago when I could open a site in a blink.

One of those old blogs I used to visit is the wannabegirl. I used to love her pictures and smile at her words. Then tonight I read her post: blogging under pressure. And I felt relieved knowing that I am not alone.

Blogging used to be easy when I knew that only strangers read this crap. Now I’m always worried I’d offend anyone I know if I spoke my mind. -wannabegirl-


Months ago, one of my superiors approached me in a gathering. I rarely talked to him at the office besides we didn't share the same office building. He came to me and said those black-magic words, "You have a very nice blog."

Instead of feeling proud, I felt so discombobulated. Since then, I have been worried too much every time I want to blog about my office life. Crap! Why is it when the office cannot provide you with stress-related insurance, they kill your blogging mood? It's just not fair.

But, enough is enough. I refuse to be intimidated by rank or position or connection or politically correct blogging topics. Starting from today, I will blog selfishly, emotionally (if I have to), ignorantly, mindlessly! And you (pointing my finger to him)! Go get yourself another blogger to mood-kill!

Die Like Everyone Else

How difficult is it to handle 5000 cows in your farm?
How difficult is it to herd the 5000 cows in a vast land to grass?
How difficult is it to sit on the back of a jumping horse in a rodeo?

It turns out it is not as difficult as trying to wear pants with your koteka on.

I just watched a new program called Meet the Natives: USA aired at the National Geographic channel. From the program ad, I'm sure everyone could imagine how interesting this program is. Five tribespeople from Tanna island in South Pacific (Vanuatu) are sent to the USA to taste the life in that superpower country (they claim). I was laughing right from the start of the program to the end. What else should I have reacted when those five people (two of them are the village chief and the medicine man) got confused on how to wear clothes. When they had to wear the pants, they complained because they couldn't insert their koteka-like equipment to the pants. I'm sure you'd have a very difficult time doing it too! Oh, and don't think of taking it off!

These five Tanna men went to Montana first to live with a family of 5. The family own a big land for their 5000 cows. The Tanna men called them Cowboy people.
First, the Tanna men asked, "why do you want to keep 5000 cows for yourself?"
Second, they asked, "why don't you let the cows eat fresh grass instead?"
After that, they asked, "why don't they keep other animals too? Like chickens, or pigs, or goats?"
Then, they asked, "why do you insert drugs (vitamin) to the cows and their food? Won't that make the meat unhealthy to eat?"
On and on they asked questions unthinkable to the farm owner.

When they were given cigarettes to smoke, they asked if it is good to smoke.
The man said it was probably not. He already had cancer once and got chemotherapy for a year.
The Tanna men stared at the lighted cigarette in their hand with worries and incomprehension on their face.
"Why do you keep smoking, then?"
Good question left unanswered.

One Tanna-man asked his chief whether it is better to keep one kind of animals instead of some like what they do in their village.
The chief, a man with no formal education only wisdom, answered the village don't need too many. They should only keep what they need. And they don't need many.

After 5 days in Montana, it was their time to go. The chief was standing at the fence of the big farm looking at the cows and everything.
He said, "A man with a lot of cows, a big land, and a lot of money should now find out the way to live forever. It is such a shame to have a lot of cows, a great farm, and a thick wallet if he dies like everyone else."



Die Like Everyone Else

Forget about God, heaven, or hell. Everybody must die one day. Presidents, kings, queens, celebrities, the riches, and the poors. There is no exception.
We can have all the money in the world, yet we still have to die someday.
We can be in the list of 100 beautiful people in the world for 10 consecutive years, still we will find our heart stop beating someday.
We can be the Nobel-prize-winning head of state, but then we cannot make a deal with the death to make you an exception.

So, by the end of the day, after everything is said and done, we are trully insignificant except for our good deeds.

photo: http://www.ngcasia.com/

Bawa Pertemananmu ke Tempat Lain Saja

Pernah dengar iklan kampanye bayar pajak? Yang bunyinya kira-kira begini...

"Tok tok tok..."
"Hai, Wan!" (nama disamarkan)
"Hai, Ton!"
"Wah, sudah lama kita tidak berjumpa ya?"
"Iya. Gimana kabarmu, Ton?"
"Aaah, ini loh. Perusahaanku ditagih pajaknya."
"Ooooh." (sambil tertawa terpaksa)
"Ternyata besar juga ya?"
Benar-benar tertawa terpaksa.
"Untung aku punya teman disini." (sepertinya pakai kedip-kedip mata) "Bantu lah aku. Jangan kuatir deh. Nanti aku kasih ehem ehem buat kamu."
"Wah. Maaf, teman. Aku tidak bisa. Aku sudah bersumpah kepada negara... bla bla bla..."
"Ah! Kamu kan temanku! Sok suci kamu!"
Gubrak! (Banting pintu)
"Ada apa, Pak? Ada apa, Pak?" (suara anak buah panik)
(Tersenyum bijak) "Tidak ada apa-apa. Hanya orang yang mencoba untuk membujuk saya berbuat yang tidak benar."
(Suara hati bicara) "Ternyata kamu yang bukan teman sejatiku. Kamu memaksaku berbuat yang tak sesuai dengan hati nurani bla bla bla..."

Basi banget, kan?
Yet, it sticks in my head like... forever.

Coba baca lagi kalimat terakhir si tokoh baik budi ini.
"Ternyata kamu bukan teman sejatiku."
Mirip dengan kalimat pada iklan anti narkoba.
"Teman sejati tidak akan membuatmu mati."
Yang sepertinya cocok juga dipakai untuk iklan anti teroris.

Saya membayangkan diri saya sebagai petugas pajak itu.
Terjepit antara kewajiban untuk berbuat jujur dan kewajiban untuk menjaga nilai pertemanan.
Saya membayangkan diri saya sebagai si korban narkoba itu.
Terjepit antara keinginan untuk lepas dari obat laknat itu dan keinginan untuk menyenangkan teman.
Karena saya bukan petugas pajak dan bukan korban narkoba, dan bukan pula petugas pajak yang terkena narkoba, saya mudah sekali bilang, "ya, jangan mau berteman dengan dia! Teman kok menjerumuskan begitu!"
Tapi kalau anda pernah berada pada posisi dimana nilai kesetiaan anda diuji oleh teman anda dari kesediaan anda mengikuti apa mau si teman.... ehem... ternyata tidak mudah ya.

Di luar kemasan iklan yang basi itu, saya mendapati suatu pesan bijak -yang entah sengaja atau malah tidak sengaja keluar dari iklan itu- akan nilai pertemanan.
Kamu kan temanku. Kenapa kamu tidak mau menolongku?"
"Katanya kamu kan temanku. Kok tega kamu membiarkanku begini?"
"Apa artinya kamu jadi temanku kalau kamu tidak mau mengikuti mauku?"

Dia yang berpikir temannya seharusnya mau menolong dia dengan cara mematikan hati nurani sesungguhnya tak pantas kita jadikan teman.
Seorang teman tidak akan pernah menaruh diri kita pada posisi dimana kita harus membutakan mata keadilan dan membisukan hati nurani hanya demi dirinya seorang.
Bawa pertemananmu ke tempat lain saja.

Pencerahan yang tiada akhir...

Alhamdulillah untuk kehidupan,
untuk jiwa yang tidak pernah tersesat,
untuk pencerahan yang tiada akhir,
dan untuk hidup yang penuh makna.
Alhamdulillah.


Puitisnya kalimat-kalimat di atas menusuk-nusuk hati saya. Kalimat itu bukan buatan saya, melainkan buatan dia. Kalimat itu bukan untuk saya, tapi untuk dia. Tetapi saya ikut terpekur menyadari kenyataan bahwa saya mungkin lupa berterima kasih untuk apapun yang saya punya di hidup saya. Bagaimana dengan anda?

Alhamdulillah untuk kesempatan memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan sepanjang hidup.

In Friends We Trust

To modern people like you and I, a friend means a lot more than just someone we meet on the street, at work, in KRL Jakarta-Bogor, etc. One Facebook's fortune cookie even mentions that one's greatest fortune is the large number of friends one has.

A friend oftentimes has more impact on us than our parents or siblings do. When we you get dumped, the first person you share the story with is your friend. Not your mom, especially not your father. When our office life is like hell, the one you share the details with is your friend. Not your brother or sister. When you are caught cheating on your boy/girlfriend, the one who finds it out first is your friend. Not your family members. We hardly share important-emotionally challenging issues in our life with our mother/father/brother/sister. When we talk to them, it is usually when we get promoted, when we get promoted, or when we get promoted.

Without disrespecting our parents and siblings, there are tons of reasons why we don't share our day-to-day stories with them.
1. There is always a speech following the storytelling session. I don't know about you, but I'm really not a good speech audience. And mind you, the speech can last more than a week.
2. This can come with the speech, or separately: the accusation. You are the problem, not the problem itself.
3. The insults, especially from your siblings. How could you be stupid like that?
4. There is this need to act like a good child in the eyes of our parents, even if you have to fake it.
5. There is this need to act like we are smarter than the rest of the world population in the eyes of our parents, therefore we never make mistakes.
6. ..................... (fill in yourself).

Friends, on the other hand, seem to always be there and do the right things when we have problems. Besides...
1. Our encounter with them is always meaningful (in the office handling difficult jobs from difficult boss).
2. Our encounter with them is always in the 'quality time'. From 8 to 5, Monday through Friday. The time when we meet our parents and siblings is usually before sunrise and after sunset.
3. Friends don't give us speech. If they do, they would never be our friends in the first place.
4. Friends don't insult our stupid action in front of us.
5. Friends give us applicable solution, no matter how silly the solution will seem to be in the future.
6. We don't need to be somebody else when we are with our friends. There is no demand to be the most perfect one. Friends don't do perfect.

Disagree?
Sure, you may argue that friends are not that all-angelic. You may argue that blood is thicker than teh botol you share with your friends. Well, you may not confide with some friends, but you do keep a short list of friends in the innerside of your heart. Don't you?

Then, what if that one friend you keep in your very very very short list hurts you?
Probably you would reconsider the definition of friend. You'd change the friend term in wikipedia if you could. You'd check if what that person does can be considered a crime and so it can justify you to send that person to jail. You might spam on Facebook bad-mouthing that person, or you'd close your Facebook account all together. Or, you'd just remove that person from your Facebook friend's list...

I, myself, have to admit that I don't really have that many friends out there. It's not because I am choosy. It's actually -well- embarassingly because those people can't stand me. And when some people can stand me, they usually fill my list of friends easily. And when they are in my extremely very short list, I usually regard them highly. I usually trust them without doubts.

But, again, as you may argue, even the friends in our very short list might hurt us, intentionally. I know. I have been there. And I should say the 'forgive but don't forget' thing is bull****. You can't forget, let alone forgive. No matter how hard you try. Trust me, I had tried really really really hard. The trying hard to forgive and forget is really exhausting. When it is not successful, it is not only exhausting but also frustrating. My heart is drained.

On the eve of this year's Eid El Fitr, I was in the car to visit some relatives. The sound of incoming sms filled the car continously. My friends sent me Eid Mubarak's greetings. Some sent me similar message, some sent me sms with greetings so beautiful that I kept them in a separate box. You might say that those people sending the sms might not really mean what they sent. You might argue that Eid Mubarak sms is just a trend, not a sincere request.

I don't care.
The fact that someone is willing to spend some Rupiah to send the greetings is touching.

Then, it was my turn to return the sms and to send some to others. I wrote the Eid Mubarak's message and started to check in the names. I started with the As. The name list in my cell phone went down, and down, and down... and I stopped. My used-to-be friend's name was still there. I hadn't delete it. And that moment, I froze. Really froze.

Let me tell you how it felt when I froze. I felt cold, and pain, and anger, and sadness, and anger, and more pain. I was staring at the monitor half the trip with memories filling inside my head. I could have skipped the name, you know. But, somehow, I couldn't do it as spontaneously as I wanted to.

Minutes passed. I knew I had to release my pain. It had been too long and I didn't want it to occupy my heart anymore. Enough is enough.
I looked down to my cellphone. My right thumb moved. I checked in that name and... SENT.

This year's Eid El Fitr taught me that some friends may not deserve our trust. But, I will always make sure I deserve my friends' trust. Do you?

Happy Eid Mubarak.
May you have an englightening Ramadhan this year.

Bosan juga Manusiawi

Si Mami bilang saya pembosan.
Jelas saya protes!
Saya bilang pada Mami kalau saya ini pembosan nggak mungkin lah saya pacaran dengan Papap sampai 10 tahun dan masih tahan menikah dengannya sampai 7 tahun kemudian. Eh, ternyata kata Mami, dia tidak sedang membicarakan saya dan Papap, melainkan beragam merek pelembab muka yang berjejer nganggur di meja rias saya...

Di luar soal pelembab muka yang memang berjejer nganggur di rumah, saya bisa pastikan saya ini bukan jenis manusia pembosan. Ambil contoh soal pacar. Saya nggak bosan punya pacar Papap sampai 10 tahun. Urusan dia ternyata bosan sama saya, ya, masalah dia toh? Lalu, bagaimana mungkin saya ini pembosan kalau saya masih memakai baju yang saya beli 7 tahun lalu? Ya, kan? Atau sepatu? Saya jarang ganti sepatu selain karena sepatu saya rusak. Karena saya selalu memakai sepatu jenis boots, ya, biasanya lebih dulu sepatu itu berubah warna daripada rusak beneran. Alasan lain, sampai sekarang saya masih bekerja di perusahaan yang sama sejak 11 tahun lalu. Yah, walaupun soal yang terakhir ini mengandung unsur kebodohan sekaligus sentimentil dari pihak saya, fakta terakhir ini jelas mengukuhkan karakter saya yang bukan pembosan.

Bicara soal bosan, si Mami pernah hampir batal puasanya tahun lalu gara-gara pembantu rumah tangganya. Ceritanya si pembantu minta ijin pulang kampung jauh-jauh hari sebelum Lebaran dan bilang ke Mami kalau dia tidak akan balik lagi. Pertanyaan Mami kenapa mau pulang cepat dan nggak balik lagi dijawab singkat oleh si Embak.
"Bosen, Bu."
Kejadian setelah itu lebih baik tidak saya ceritakan demi terciptanya perdamaian dunia. World Peace.

Sekarang, saya mau pindahkan setting si embak tadi ke kantor kita (Iya, kita! Elu juga!). Salah satu alasan kenapa kita berniat pindah kerja adalah karena kebosanan itu. Bosan dengan pekerjaan yang itu-itu aja. Bosan dengan kolega yang itu-itu aja. Bosan dengan model berantem yang itu-itu aja seperti pada pengalaman pribadi saya. Bosan dengan bos yang itu-itu aja (Bos itu pasti gak pernah dipromosiin). Bosan dengan gaji yang segitu-gitu aja. Bosan dengan lokasi kantor yang enggak pernah pindah ke Bali. Bosan dengan makanan kantin yang dari Senin sampai Jumat nggak pernah berubah menunya. Pokoknya bosan! Pengen ada tantangan! Well, if boredom is human, so is challenge.

Sekarang saya mau menanyakan pertanyaan 1 juta dollar (karena biaya saya berobat setelah dikeroyok anda rame-rame mungkin bisa mencapai sejumlah itu).
Pertanyaannya: Apakah kebosanan itu sendiri etis dijadikan alasan untuk pindah kerja?
Memang ente tahu di kantor baru ente nggak bakal kena penyakit bosan juga?
Memang ente yakin tantangan di kantor baru akan membuat ente jauh lebih berasa hidup?
Atau jangan-jangan kebosanan itu sendiri sebenarnya adalah wujud ketidak mampuan kita untuk mencari tantangan di pekerjaan kita yang sekarang?
Apakah kita bisa mencari tantangan di pekerjaan yang baru?

Jawabannya jelas balik lagi ke motivasi kita masing-masing saat memutuskan untuk pindah kerja. Bosan nggak bosan, tantangan ada atau enggak, yang penting gaji lebih gede. Misalnya. Bosan nggak bosan, kantor sekarang lebih dekat rumah. Bosan nggak bosan, yang penting gue nggak ketemu muka lu lagi! Dan seterusnya. Semuanya alasan yang manusiawi seaneh apapun motivasinya. Hanya saja, call me old-fashioned, but I value someone based on his/her motive shown by his/her reasoning. Seperti juga si Mami yang langsung me-black list pembantunya itu (yang 2 bulan kemudian minta balik lagi ke si Mami) yang menilai karakter si embak dari alasan yang diucapkannya. Karakter kita pasti akan dinilai orang saat alasan-alasan keluar dari mulut kita.

Balik lagi ke soal bosan. Terkadang kata bosan keluar hanya untuk mencari jalan tersingkat untuk menyediakan alasan. Sementara alasan bahkan masalah yang sebenarnya malah tidak terselesaikan. Bukan begitu?

.... adalah Hak Setiap Bangsa

Kemerdekaan adalah Hak Setiap Bangsa


Suara laki-laki kecil itu lantang menembus udara pagi yang masih basah dengan embun. Dia mungkin tidak menyadari bila satu kalimat yang telah dia ucapkan telah membuat kami terdiam dalam suatu kesadaran yang mungkin baru datang setelah waktu lewat lebih dari hitungan belasan tahun.

Pagi tanggal 17 Agustus itu saya mendapat tugas mengantar Hikari ke sekolah untuk upacara sementara Papap harus menghadiri upacaranya sendiri. Ini upacara tujuhbelasan pertama yang akan dihadiri oleh Hikari. Konsep upacara pun masih tak jelas untuk seorang Hikari.

"Ma, upacara itu apa sih?" Itu pertanyaan Hikari di perjalanan menuju sekolah. Jawaban standar saya yang hanya menjelaskan soal-soal teknis tentang arti upacara tidak memuaskan Hikari.
"Kenapa harus upacara?" tuntut Hikari.
Kenapa? Kenapa?
Karena kita merayakan kemerdekaan kita?
Ah, terlalu dangkal. Kita bisa juga merayakan kemerdekaan dengan menyanyi-nyanyi kan? Atau ikut tarik-tambang? Atau ikut panjat pinang? Atau ikut pengajian syukuran kita sudah merdeka? Atau sekedar sujud syukur di pagi buta untuk tidur lagi kemudian?
Kenapa?
Karena kebiasaan?
Jawaban bunuh diri itu namanya.
Akhirnya saya memilih diam. Dan pertanyaan itu belum terjawab oleh saya. Sampai sekarang. Entah kenapa, Hikari juga memilih diam. Tidak menuntut jawaban seperti yang biasanya dia lakukan.

Kami sampai di sekolah bersamaan dengan datangnya anak-anak lain. Mereka semua riang-riang. Tidak ada yang merengut karena harus bangun pagi hanya untuk upacara. Murid-murid kemudian berkumpul di lapangan bersama dengan guru-guru mereka. Murid-murid berbaris rapi di lapangan. Tidak ada raut wajah terpaksa atau tegang. Guru mereka berdiri di belakang barisan dengan muka yang ramah. Petugas-petugas upacara cilik menempati posisi mereka dengan riang. Lalu, entah bagaimana awalnya, para orang tua ikut serta berdiri bersemangat mengikuti jalannya upacara walau dari pinggir lapangan.

Upacara dimulai. Mula-mula inspektur upacara, laki-laki kecil yang bertubuh besar berusia 9 tahunan, masuk ke tengah lapangan dengan sikap tegap. Tangan kanannya mengayun bersamaan dengan kaki tangannya. Lalu tangan kiri diayun berbarengan dengan kaki kirinya. Kami, para orang tua, tersenyum geli, tapi manusia-manusia Indonesia cilik di tengah lapangan itu tidak ada yang tertawa mengejek.

Kemudian, tiga orang petugas pembawa bendera cilik mendapat giliran untuk berjalan. Berbeda dengan para Paskibraka yang menjalankan tugas mereka di Istana Negara dengan segala gerakan yang telah diatur dengan cermat, petugas-petugas cilik ini berjalan dengan langkah percaya diri walau tanpa keteraturan tangan dan kaki. Ketika mereka akhirnya sampai di depan tiang bendera, para orang tua menahan napas. Apakah anak-anak kami itu mampu menjalankan tugasnya? Menaikkan bendera tanpa terbalik? Buat para orang tua yang jaman sekolah dulu kenyang dengan urusan baris berbaris menaikkan bendera ala militer, melihat para petugas cilik itu begitu percaya diri sekaligus tanpa beban membuat kami bergidik. Bukankah bendera begitu sakral? Kalau sampai terbalik, apakah ada yang akan dihukum push-up?

Lima belas menit kami semua menunggu. Lima belas menit! Menunggu tangan-tangan kecil mereka menalikan bendera ke talinya. Menunggu tangan-tangan kecil itu siap menaikkan bendera di tiangnya. Saya memandangi para peserta upacara. Suasana tetap khidmat. Tak ada ketegangan seperti upacara-upacara bendera yang kami tahu, tapi tetap khidmat. Tidak ada yang ribut dan berulah hanya karena harus menunggu bendera disiapkan selama lima belas menit. Kamera dan handycam telah lama disiapkan para orang tua untuk mengabadikan momen terpenting itu. Lima belas menit lewat, sebuah teriakan tegas terdengar dari mulut kecil seorang petugas.

"Bendera, siap!"
Kami, para orang tua, didikan jaman suatu orde dimana upacara dianggap lambang nasionalisme menahan napas. Dan ketika bendera terbentang sempurna dari jari-jari cilik para petugas, dada kami menggembung bangga. Ah, tapi para guru mereka sepertinya tak terpengaruh. Wajah mereka tetap wajah penuh kebanggaan kepada anak didik mereka sejak upacara dimulai hingga detik ini.
Inspektur upacara cilik lalu meneriakkan perintah memberi hormat. Dirijen cilik lantang menyanyikan bait awal lagu Indonesia Raya. Seluruh peserta upacara memberi hormat dan mulai menyanyi. Entah siapa yang memulai, kami, para orang tua yang berdiri berjajar tegap di pinggir lapangan memberi hormat pada bendera, dan menyanyi. Kami bernyanyi Indonesia Raya!



Belasan atau mungkin puluhan tahun telah lewat sejak upacara terakhir kami di sekolah. Mungkin juga sudah belasan atau puluhan tahun telah lewat sejak hati kami merasa tergetar saat mendengar lagu Indonesia Raya. Hari itu, kami ikhlas menyanyikan lagu Indonesia Raya, menghormat kepada bendera Merah Putih, mendengarkan Pancasila dan Pembukaan UUD 45 dikumandangkan tanpa sedikitpun berharap upacara segera berakhir. Walau tanpa pakaian putih gagah milik anggota Paskibraka dan tanpa gerakan baris-berbaris penuh perhitungan milik para anggota militer, upacara kali itu begitu penuh perasaan. Dan kebanggaan! Rasanya seperti kami menurunkan suatu warisan kepada anak-anak kami. Anak-anak yang menjadi masa depan negara kami!

Sebelum masuk ke mobil untuk pulang ke rumah, seorang ibu berkomentar.
"Apa tahun depan anak-anak perlu dilatih baris-berbaris ya? Supaya lebih rapi?" tanyanya ragu.
Orang tua lain tak langsung menjawab. Kami saling menatap. Tanpa dikomando kami menggeleng. Termasuk ibu yang bertanya tadi.
"Biarin aja lah bagaimana anak-anak itu. Toh benderanya terbuka dan naik juga."
"Iya. Biar aja model upacaranya seperti ini. Gak bikin nasionalisme berkurang juga kan?"

Kami pulang dengan puas. Dengan kesadaran baru bahwa nasionalisme tidak diukur dari berapa derajat kaki petugas upacara harus dinaikkan. Tidak diukur dari tinggi badan seorang petugas paskibra. Ketika kemerdekaan adalah hak setiap bangsa, seharusnya kita bisa merdeka juga dalam mengekspresikan rasa nasionalime kan?

Is it too difficult to appreciate others?

If you guys read my previous post, you probably remember that just recently I was busy with a project. Actually right now, I am in the state of enjoying the end of that project's frenzy. I am vacationing my thinking and emotional organs and in the middle of considering taking a week off. Now, let's go back to Saturday.

Saturday morning, the same like you guys, I also watched the news about our police trying to capture the number 1 terrorist in Indonesia. I knew about the whole drama quite later than perhaps most of you. Although I was quite confused on why it took 18 hours to get 1 guy, I was glad they got him anyway. It's like... it's about time!

Then, the second news shocked me more when I learned that the police seized a hundred something kilos of bomb from Jatiasih. Jatiasih? It's like our front yard!
You see, Jatiasih is really near to my house. My parents also live in one part of Jatiasih. And the fact that those people were planning to do Mr. President's house is very terrifying to me. My son goes to the school which is in the same compound as Mr. President's house! I don't care how many soldiers they have put at my son's school. I won't be able to sleep well until the police catch them all! So it won't be difficult to guess my reaction when I learned that the police were able to kill two suspects and capture one.

Saturday evening. The news evolved. Now, the media told us the police caught the wrong guy in Temanggung. He is not the famous Mr. N. He is just Mr. N's accomplice. Soon enough the cheering became sneering. Suddenly, the police's success of uncovering some bomb plots went sour. Nobody cares about the other people captured. And it just doesn't make sense to me. Are they not terrorist enough?! It's like Mr. N or not Mr. N. Even Mr. N's accomplice is not enough for appreciation. What?! An accomplice captured doesn't need a tap on the shoulder and a well-done note?

Just a couple of days before Saturday I also experienced the same thing. Remember the project at my office I was talking about? Remember the hardwork I told you my friends and I had done for the project? Nevertheless, the result was not satisfying due to reasons we didn't quite comprehend yet. The evening before the D day, the most important person in the whole organization told us in the face that WE simply hadn't done our best for the project. Suddenly all of our hardwork was unimportant.

So, guys, how do you usually appreciate other people's work?
Do you appreciate the work only if the result satisfies you? Or do you appreciate the work done well regardless of the result?
Are you one of those people who fancy saying, "I know you have done your best, but your best is not good enough?"
Let me ask you, what is best? Whose standard do you use to define the word best?
I would love to hear that the guy captured Temanggung is really Mr. N as much as you would. However, I appreciate all the hardwork done by the authorities, Mr. N or not Mr. N as long as he is indeed a terrorist. Who are we to judge the police haven't done their best? Unless we have tried to do their job before...

Confidence is...

Confidence is what you have before you understand the problem. -Woody Allen


I found this saying above by Woody Allen a few months back and I giggled. I liked what he said and couldn't help myself agree with him. At that time, I didn't realize I would meet a situation so true like the saying.

Just a few days ago, the staff and I were in the middle of a panicky-and-chaotic situation. We were going to hold a big event, but something went unexpectedly wrong: nobody seemed to be interested in signing up. The staff were having butterflies in their stomach. I didn't have butterflies. I had bees.

To tell you the truth, the event was actually not our project. We were not even a committee. At least, I know I wasn't. Our name was not on any paper or proposal, except for flyers (*blaming the boss*). The event suddenly became our project only because it was held in our office. What a nice modus operandi! We became so emotionally-physically-mentally attached to the event because of our feeling of responsibility. If things screwed up, our office would take the blame. Nobody out there would even bother to read the proposal to find out who is the committee and who is not. So, there we were. Doing the job of other people. Couldn't even complain about it.

It was rather funny (in a sillier way) actually when I remember how confident most of us were in the beginning. And one person was even more confident than the rest of us. He-who-must-not-be-named was everything but humble. He thought he had orchestrated a very beautiful symphony with players eager to do what he commanded. He was so proud about it and couldn't let us have peace without him telling us how great his performance was. I was bored to death but people say murder is a crime so I restrained myself from the urge to kill him. Trust me, I was that close.

Then things started to fall apart. He found himself confronted with the ugly situation. He understood... and soon enough his confidence dropped.

I learned something about people that very second. When people are confronted with an ugly situation, they usually would react in two predictable ways: blame others or deny. He-who-must-not-be-named was rather outstanding. He did both: He blamed others for not playing the role he put upon them and then denied that there was a problem. Rather contradictory, don't you think?

At the end of the day, I think we have to do it the other way around. Instead of being confident at first and comprehending later, we might want to understand all the facts first then build our confidence step by step. It is a safer journey.

Antara Merci dan Blackberry

Sewaktu harga bensin naik di tahun 2007, efeknya langsung terasa di kehidupan rumah tangga kami. Begini lah nasib pegawai tanggung. Harga bensin naik sedikit, menu makanan di rumah langsung berubah drastis. Bila sebelumnya masih mampu bawa mobil ke kantor setiap hari tanpa berkeluh kesah, setelah harga bensin naik saya mulai menjadwalkan naik bis beberapa hari dalam seminggu demi kesehatan jantung dan terpeliharanya amalan dari dosa keluh kesah. Semua jalan pengetatan bujet dilakukan demi terselenggaranya kehidupan rumah tangga yang bebas hutang dan jauh dari kebangkrutan.
Tapi kok kenaikan harga bensin sepertinya hanya berpengaruh pada kami? Serius ini! Bukan karena kami terlalu sensitip. Lah, pemandangan di jalan raya saja seperti menyetujui asumsi kami. Mobil-mobil mewah tetap berseliweran dan jumlahnya malah rasanya semakin banyak.

Logikanya nih, kalau sudah mampu beli mobil mewah, bensin pasti sudah tidak lagi menjadi faktor penting dalam pembukuan keuangan rumah tangga kan? Setidaknya begitu itu rumusannya menurut teori brand image. Untuk orang-orang ini, bensin pasti lah masuk ke bagian paling dasar dari piramidnya Maslow, bergabung dengan kebutuhan dasar lainnya seperti sandang, pangan, dan papan (dan mungkin koneksi internet). Sementara itu, posisi orang-orang ini di piramid Maslow pasti sudah ada di paling atas: yang dicari sudah self-actualization, bukan duit recehan untuk bayar bensin seperti saya.

Setuju?

Pada suatu siang yang panas, saya sedang bersenda gurau dengan teman-teman. Obrolan terhangat di siang panas itu adalah fesbuk.
Udah nge-add siapa, lu?
Di add siapa, lu?
Si bos elu add gak?
Nggak dong. Sori ye.
Udah di remove sama sapa, lu?
Ouch!
Di tengah hangatnya topik fesbuk, seorang teman lalu mengeluarkan Blackberrynya. Siang di hari itu Blackberry masih jarang dimiliki orang. Mengeluarkan Blackberry di masanya belum jaman jelas menandakan keunggulan ekonomi yang berbuntut pada keunggulan self-image. Sialnya, kami saya malah membenarkan keunggulan si teman dengan komentar yang agak norak,
"Wih!"
"Cieee!"
"Aw!"
"Busyet!"
"Punya lo?"
(Pertanyaan terakhir -bukan milik saya- dijawab dengan dampratan pemilik)
Kami, eh, saya yang segera tersadar dengan kenorakan tadi segera mengubah strategi dengan pura-pura bertanya tentang fasilitas Bbnya.
"Bisa email ya?"
"Bisa fesbukan?"
"Bisa internetan?"
Ternyata pertanyaannya tetep norak.
Si teman pemilik Bb mulai beraksi menjelaskan kecanggihan gadget baru itu. Kalimat pamungkas dari dia adalah, "kerja jadi efisien. Udah kayak kantor berjalan. Gue gak perlu buka-buka laptop lagi. Semua bisa gue kerjain dari sini. Nelpon, ngimel, sampe maen fesbuk! Hehehe..."
Kami manggut-manggut.
Begini memang seharusnya tampilan manusia sukses. Gadget kecil aja bisa bikin kerja efisien. Apa gak tiap bulan dapat promosi jabatan dia?!

Selagi kami melanjutkan obrolan yang masih berkutat pada fesbuk dan Bb, suara telpon terdengar berdering. Semua orang spontan mencari henponnya masing-masing. Ternyata suara itu bersumber dari tas si pemilik Bb.
Teman saya itu mengeluarkan henponnya. Henpon cdma kecil. Dia segera sibuk menjawab telpon yang ternyata dari kantornya. Semenit kemudian, dia selesai bicara dan mendapati kami sedang menatapnya.
"Kenapa?" tanyanya polos.
"Kata lo Blackberry bisa dipake nelpon..." tanya teman saya yang satu juga dengan polos.
"Emang bisa. Terus?" tanya si pemilik Bb lagi.
"Bukannya lebih efisien kalo elu make Bb buat semua-mua termasuk nelpon?"
"Ooooh... ya, emang," kata si pemilik Bb dengan santai. "Tapi kan pulsanya lebih murah kalo gue pake telpon yang cdma."
"Huahahahahahahaaaaa..."
Spontan saya tertawa ngakak.

Pesan moral kali ini:
1. Tahan tawa anda bila anda berada dalam kondisi seperti saya, kalau anda masih ingin dianggap teman. Akibat tawa spontan saya, sampai hari ini, si teman masih ngambek sama saya.
2. Terkadang, teori -secanggih apapun- pasti ada deviasinya.
3. Berlaku hemat (baca: sesuai isi kantong) katanya sebagian dari iman. Saya sendiri masih harus mengulang-ulang kalimat ini supaya nyantol di perbuatan saya.

My life begins at...

I don't know if it's busy-ness, boredom, or simply mindless-ness (if such thing ever exists). I do know, however, it's been circulating like virus. First, Pak Dhe went MIA, then Nenek went AWOL, and finally I just couldn't find the right words to write in my blog. Gosh, it was so easy to follow their lead and just forget about this blog.

Naturally, when s**t happens, people I'm busy to find something to blame. Or someone. Or both. In my case, it's easier to blame my work load and the people behind it. I'm just a human being after all.

Lately, my work has been draining my positive energy. I have learned that I should not write anything, or even be near any writing tools (paper, notebook, notebook, tabletop...) when my positive energy level is low. I have learned, though, that kick-boxing-kind of aerobics IS the best place to be when my positive energy level needs recharging.

Then there was this day when I was so fed up with something, and then someone, and then both, but I couldn't get my trainer to give me a private kick-boxing session. Eventually I wrote 'My Life Doesn't Begin At Work' for my FB status. In no time, people gave comments. How nice.
One friend wrote '... it just ends there', which was quite amusingly catchy if I was in a different mood. Another friend put '... but it revolves there', which was also amusing but of course I would never admit that to him. I will admit, though, that my life is indeed kind of revolving around my work. And I hate that very much. I also know the only thing that can stop my work from ruining my life is to turn off my cell phone. Period.

Period?
There was this movie about a daughter who felt burdened by her father's certain expectations on her. The daughter wanted to go on with her life but she couldn't because she felt it would be like betraying her dear father. That would be what would happen if I turned off my cell phone. It would be like betraying my friends while they were in a combat field. Then I remembered what an old lady said to this miserable daughter. The old lady took the daughter's cell phone and turned it off. She then said, "sometimes what you need is simply to turn off the phone".
I don't have an old lady who can grab my phone and turn it off for me.
So, I decided to do it myself.

Message of the day: when you feel that the world gives you too much pressure, you can always turn off the phone. PHONE! Do not turn off the internet connection you use for blogging!

Efek American Idol

Saya paling sebal sakit flu. Sebal karena sakit flu itu sakit setengah-setengah. Dibilang sakit, tapi enggak cukup sakit untuk bisa minta surat dokter. Dibilang gak sakit, tapi badan meriang kepala nyut-nyutan dan hidung meler terus. Bikin urusan kantor jadi gak sedap karena badan gak sedap.

Gara-gara nonton American Idol sambil sibuk buang ingus, saya jadi bisa berempati pada juri-juri AI, terutama kepada si Simon Cowell. Simon yang paling dibenci tapi komentarnya paling ditunggu itu selalu terlihat kesal setiap kali peserta AI tampil setengah-setengah. Saya rasa dia kesal karena pengen mendepak mereka, tapi mereka punya suara bagus, enggak didepak tapi penampilannya gitu-gitu aja. Peserta AI itu selalu bilang kalau "I have done my best" dan selalu ditimpali pandangan "But your best is not enough" oleh Simon.

Bukan cuma Simon Cowell yang sebal dengan peserta setengah-setengah itu. Saya juga kesal dengan yang setengah-setengah.
Kerja setengah-setengah.
Janji setengah-setengah.
Niat setengah-setengah.
Mikir setengah-setengah.
Ngomong setengah-setengah.
Ada gak setengah orang?

Karena falsafah anti setengah-setengah itu saya lalu menghentikan pekerjaan saya: menulis novel ketiga.
Daripada hasilnya setengah jelek, lebih baik saya tunda dulu.
Iya kan?

-berganti ke posisi yoga dan mulai... tidur-

Catch me, or else...

Did your office ever hold an outbound program for its employees?

Mine did, a couple of years ago. All of us were gathered from all of the branches all over Indonesia.
There was this game in that program that I remember vividly until now. It's called "Catch Me, Don't Let Me Fall. (Or I'll surely kill you!)". Playing it is actually simple. All you've got to do is to stand on a higher platform with your back facing your friends (or your team members).
After that, you have to let yourself fall backward so your friends can catch you.

The key of this game is to LET yourself fall without having doubts. When you have to fall backward, you have to TRUST your friends that they will CATCH you. The moral lessons of this game are 1) it's a bravery test, 2) it's a trust test. Personally, I think, without Trust, you won't feel Brave. At all.

At that time, some of my team members were hysterical or very cautious, which is understandable because which fool wanted to trust his/her life in the hands of a bunch of people that s/he just met yesterday?
When it was my turn to fall, I did it mindlessly. I wasn't worried a bit that those guys wouldn't catch me. To tell you the truth, though, my lack of worries was not because I knew they cared about me so much that they wouldn't let me fall to the ground. It was simply because (I knew) nobody was stupid enough to willingly take the position of a murderer in front of so many eye witnesses. It's just a basic human psychology. It has nothing to do with Caring.

That knowledge leaves me with a feeling of relief. For me, it shows that even strangers will watch your back although their motive is probably only to keep them off trouble.

Now, put that story in another context. Your office. And your colleagues are your team members. If I may borrow Simon Cowell's voice, my question would be...
"Do you honestly believe that those guys you share the office room with are willing to catch you when you fall?!"

When the answer is no, my suggestion is you start googling for a vacancy.

Oh, eh, you can look at the bright side of the story: when you cannot trust your colleagues, may be you can trust a bunch of strangers.

Those people you hurt the most...

Some people say enlightenment can come from anyone, anywhere. I do believe that.
I also believe enlightenment might not always taste sweet, like we prefer it would be. In fact, most enlightenment appears in front of us when it is given or demonstrated by the people we hate the most, the people whom Gede Prama calls Guru Kehidupan, the Teacher of Life.

About a week ago, I was driving home after work when out of the ordinary the radio station that I'm used to listening to aired Gede Prama telling a story about Guru Kehidupan. Out of the ordinary too, I didn't switch the channel (when driving home from work I choose to relax by listening to the music, not by listening to a preach). In his story, Gede Prama said that we had to be grateful when we met difficult people -those who are emotionally challenging. At that time I was thinking "wow, you guys have to be grateful when you meet me!"
The reason for this gratitude is these difficult people teach us to be a better person. When you meet someone who is emotional and easily angry, then you learn to be calm. When you meet someone who is impatient, then you learn to be patient. And the story went on. Before ending his story, Gede Prama asked a question, intriguing to me. "Did you meet Guru Kehidupan today?" At that time, I couldn't help but smirking, "don't we meet them everyday?"

A week after that, I did meet one Guru Kehidupan and that Guru really taught me well.
How do I know the Guru taught me well?
Because the teaching hurts like hell.

Worst, it stings through my heart and I'm not sure it can heal.
I was shocked or I am still shocked. I grouped around to make sure I didn't stumble. Or if I did stumble, I could try to stand up. But for sometime I couldn't stand up. I couldn't even feel where my feet were.

At that moment, I knew I had to find my head. To think. And since I was not sure where it was -because it was full of black clouds and thunders- I picked up a phone call to someone I always knew had her head and conscience clear for me all the time. I called my best friend, Barb.

Between my crying and shouting, she just listened, like I expected her to do. And my question for her was 'tell me what did I do wrong?'
I didn't do anything wrong. She said.
But why this hurt like hell? I asked.
Because it came from someone close to you. She answered.

Barb calmed my shocked mental state (I never knew I could have one but there is always a first time for everything) and she taught me something I should have figured out myself.

The people that hurt you the most are always the ones who are closest to you.


So, guys, I beg you. If you decide to be Guru Kehidupan for somebody else, please please don't be one for your loved ones, your significant ones, and of course, your best friends. Why? Because once you become their Guru Kehidupan, you will hurt them and nothing you can do to take it back will make a difference.

Kesadaran Tahun Baru

Hari-hari menjelang pergantian tahun selalu memberikan kesibukan yang sama pada saya. Kesibukan yang itu-itu saja. Bukan kesibukan membersihkan rumah, mengecat dinding, mendekorasi ruangan (oh, I wish!), membuat resolusi, atau pun memikirkan tulisan 'dalam-rangka-tahun-baru' untuk dipasang di blog. Kesibukan saya adalah mencari-cari agenda baru, persis seperti cerita saya setahun lalu.

Tahun ini pun saya konsisten dengan kesibukan saya. Hanya saja bukan untuk mencari agenda baru atau malah menggantinya dengan PDA (oh, I wish!). Agenda yang saya pakai masih tetap agenda setahun lalu yang masih layak pamer, tapi tentu saja isinya harus diganti. Jadi, berkelilinglah saya ke sejumlah toko buku untuk mencari isi agenda yang paling kinclong.

Setelah mendapatkan hasil dari kegiatan berkeliling toko buku, hari-hari saya mulai menjadi cerah seiring dengan pergantian tahun. Sibuuuuk, saya di kamar mencopot isi agenda lama penuh coretan dan catatan dan menggantinya dengan lembaran-lembaran baru yang masih bersih, kinclong, bebas coretan, dan tanpa noda. Rasanya seperti mempunyai fase hidup yang baru, seperti membalik lembaran lama menjadi ke lembaran yang lebih bersih, seperti habis mandi, seperti habis ganti baju... kira-kira seperti itulah. Sehari dua hari hati saya masih berbunga-bunga karena misi sudah terlaksana. Hari ketiga, bencana mulai terjadi.

Hari kelima di awal tahun baru, hari pertama masuk kantor, saya termangu-mangu di meja saya di kantor. Menyadari ketololan saya. Bagaimana caranya gue kerja kalo semua catatan ada di agenda lamaaaa?! So much for having a new phase of life.

Jadi, pesan moral saya yang pertama di tahun baru 2009 adalah jangan keluarkan setengah tahun terakhir isi agenda lama anda. Gabung setengah tahun terakhir isi agenda lama anda dengan setengah tahun pertama isi agenda baru. Selain dapat menghindarkan anda dari kebodohan yang saya buat karena kehilangan banyak catatan penting, anda juga akan mendapat pencerahan baru bahwa kita tidak akan bisa merengkuh, menyongsong, melangkah ke masa depan tanpa membawa pelajaran dari masa lalu...

Selamat Tahun Baru Masehi 2009 dan Tahun Baru Islam, teman-teman!

Di tahun baru ini, saya juga akan muncul berkoar-koar tentang novel kedua saya di Woman Radio FM94.3 pada hari Jumat, 9 Januari 2009 jam 12-13 siang. Tapi, jangan tanya bagaimana caranya anda bisa mendapatkan rekaman koar-koar saya itu di youtube karena... sumpah, gue juga gak tau gimana caranya bisa masukkin rekaman semacam itu ke youtube!

Plan B

Dalam satu wawancara, perempuan manis salah satu anggota AB Three ini pernah bilang kalau dia tidak pernah bisa keluar rumah tanpa membawa pinsil alis. Kalau sampai si pinsil alis ini ketinggalan, mood-nya bisa kacau seharian. Suatu obsesi yang aneh atas pensil alis, menurut saya. Tapi toh saya tidak bisa menghinanya karena saya sendiri punya obsesi yang aneh pada sisir.

Saya cuma punya satu sisir. Warnanya oranye. Sisir itu sisir plastik bergigi. Bukan jenis brush atau sikat. Dan sama sekali tidak kinclong mengilap mahal. Tapi kalau menyisir rambut saya... Wuiiiih, hebat sekali. Saya langsung merasa cakep! Tidak ada satu sisir lain pun yang bisa menandingi kehebatan sisir oranye itu!
Saya mencuri sisir itu dari si Kumendan, bapak saya, sewaktu saya masih SMP. Si Kumendan yang punya obsessive compulsive berlebihan terhadap barang-barang miliknya, jelas (waktu itu) terlihat ingin ngamuk. Tapi demi melihat mata saya yang berbinar dan kerelaan saya mencuci dan menyimpan sisir itu, si Kumendan mengalah. Dari SMP sampai sekarang si sisir masih saya simpan dan pakai. Waktu kami pindah ke Jepang pun saya bawa-bawa itu sisir. Sewaktu minggu lalu si Mami melihat saya mengeluarkan sisir dari tas saya, si Mami serta merta menjerit syok.
"Ya Alllllllaaaaaaaaaaa, itu sisir butut jelek masih disimpan-simpan aja! Buang!"
Jelas, saya tidak menuruti kata-kata beliau. What else is new, right?

Sisir itu memang sudah butut. Walau warnanya masih oranye, giginya sudah hilang 5. Bayangkan! Bayangkan apa yang dipikirkan orang kalau saya nekat menyisir rambut di tempat umum (toilet umum, bis, kereta, pesawat...) dengan sisir oranye itu! Gile nih cewek, tasnya sih kulit buaya, gayanya sih kosmopolitan, ngomongnya sih cas cis cus bahasa Inggris, tapi liat dong sisirnyaaa...

Sisir itu sudah berkali-kali hilang. Tapi selalu ketemu lagi. Emang jodoh kayaknya. Pengalaman sisir oranye itu hilang yang paling dramatis adalah sewaktu kami masih tinggal di rumah tua di Halim. Sisir yang saya jelas-jelas letakkan di meja rias tiba-tiba raib. Habis lah saya puas menuduh semua orang yang ada di rumah, termasuk Hikari yang masih berumur bulanan. Tidak ada yang mengaku. Malah semua orang menyukuri hilangnya sisir oranye butut itu. It was about time I healed myself, kata mereka. Si Mami malah jelas-jelas tersenyum puas. Saya meradang. Lalu saya ingat. Penghuni rumah itu bukan cuma kami sekeluarga. Ada penghuni lain yang tak terlihat yang sering menyembunyikan barang-barang di rumah kami. Dan dia itu bukan tikus! So, you want to know what I did?
Di kamar, di dekat meja rias itu, saya berteriak mengancam!
"Woooiiiii, jin sialan! Kembaliin sisir gueeeee! Gue butuh sisir itu sekarang! Kalo sampe besok pagi sisir gue gak balik, awas lu!"
Ajaib sisir saya balik sebelum 24 jam!
Mau mencoba?

Nah, sekarang kita ke pokok masalah sebenarnya.
Kalau si penyanyi tadi tidak bisa meninggalkan rumah tanpa pinsil alis, saya tidak bisa meninggalkan rumah tanpa sisir satu itu. Kemana-mana, sisir itu saya bawa. Terutama jelas, kalau saya mau ke kantor. Alasannya bukan karena emotional attachment saya pada si sisir. Ini lebih kepada bencana yang bakal terjadi kalau saya sampai ketinggalan sisir. Alasannya adalah kebiasaan buruk saya.
Setiap hari, setiap mandi pagi, saya selalu keramas. Naaaaaaah, saya punya kebiasaan tidak pernah menyisir rambut basah saya. Saya selalu membiarkan rambut saya kering sendiri. Jadi, bayangkan apa yang terjadi seandainya sisir itu ketinggalan namun saya sudah meloncat ke dalam mobil, memacu mobil kencang-kencang ke kantor, dan sesampainya di kantor, sesaat sebelum membuka pintu mobil dan sesaat setelah melirik spion, saya baru menyadari kalau saya belum sisiran?!
Kejadian begitu terjadi bukan cuma sekali.

Pesan moral saya hari ini adalah harus selalu punya Plan B dalam hidup ini. Segimana pun pahitnya Plan B itu (karena untuk orang perfectionist dan penderita obsessive compulsive, saat mendapatkan Plan A tidak berjalan sempurna seketika itu juga hati ini jadi hancur berkeping-keping dan depresi melanda). Ketika saya lupa membawa sisir sementara rambut saya bertebaran ke seluruh penjuru mata angin, saya harus punya Plan B! Plan B saya adalah masuk ke gedung kantor lewat pintu belakang dan menghilang dari gegap gempita kantor hari itu dengan alasan sibuk. Coba kalau saya tak punya Plan B, anda pasti sudah enek membaca posting saya yang lagi-lagi soal rambut...

Blogger Templates by Blog Forum