Showing posts with label One of those days. Show all posts
Showing posts with label One of those days. Show all posts

Karena Istri adalah Perempuan

Di tengah keriuhan itu, tebersit keharuan saat Antasari memeluk kedua putrinya. Tidak jauh dari sana, Ida Laksmiwati, istri Antasari, melayani pertanyaan wartawan. Tidak ada air mata di matanya. Ia tampak tegar menjawab setiap pertanyaan yang diajukan para wartawan. 'Kompas'


Bu Ida berbeda dengan Bu Nova. Dengan air mata berurai, suara lantang Bu Nova terdengar ke seluruh penjuru ruangan saat wartawan mewawancarainya. Bu Nova bilang dia tidak mengatakan suaminya tidak bersalah, tapi dia yakin bersumpah suaminya bukan pembunuh.

Siapa sih istri yang bisa menerima suaminya seorang pembunuh? Apalagi bila suami yang dikenalnya adalah seorang laki-laki biasa, bukan laki-laki mengerikan yang terlihat bisa menebar teror. Tapi, bila pun suaminya itu ternyata benar-benar membunuh, rasa syok seorang istri mungkin berangsur-angsur akan hilang setelah mengetahui kenapa suaminya sanggup membunuh. Kenapa, itu kata kuncinya.

Sekarang,
siapa sih istri yang bisa menerima suaminya seorang peselingkuh? Apalagi bila perselingkuhan itu bisa dibuktikan dan bisa ia dengarkan sendiri detilnya. Apalagi bila ternyata dia menjadi orang terakhir yang tahu tentang perselingkuhan itu. Apalagi bila ternyata dia harus mendengarkan cerita tentang perselingkuhan itu sembari ditonton orang banyak.
Apakah rasa syok seorang istri bisa berangsur hilang?
Tidak.
Sampai mati pun, kata kunci kenapa tidak akan pernah menyembuhkan rasa sakit hati seorang istri.

Orang-orang Yang Teraniaya (Panjang nih!)

Ceramah ustadz saya yang paling berkesan buat saya adalah soal doanya orang-orang teraniaya. Kata Pak Ustadz, "doanya orang-orang yang teraniaya itu makbul. Dikabulkan Tuhan."
Sampai gede, becandaan saya dengan teman-teman adalah, "Coy, aniaya gue dong. Gue lagi butuh rejeki berlimpah nih."
Atau kalau hidup serius lagi susah dan saya benar-benar sedang dianiaya orang (atau orang-orang), kalimat penyemangat saya nomor wahid jelas adalah, "Gue ikhlas kok teraniaya begini. Mudah-mudahan doa gue mau keliling dunia terkabul."

Belakangan ini, kalau teman-teman saya bikin saya emosi sedikit, saya bilang ke mereka. "Eh, elo-elo pada udah menganiaya gue tau! Moga-moga doa gue terkabul."
"Doa apa elu?" tanya teman-teman saya.
"Doa mau beli mobil baru."
Herannya, setelah itu mereka langsung baik sama saya. Enggak mau menganiaya saya lagi.

Tapi benar. Saya memang butuh doa beli mobil baru itu terkabul. Ini rekor mobil mogok saya sudah melebihi batas kenormalan sebuah mobil doyan mogok sekalipun. Hmmm... sebenarnya, mogok bukan kata yang tepat. Meleduk! Itu baru kata yang tepat.

Mobil sedan hijau jijay jreng metalik buatan Korea tahun 2006 itu sebenarnya masih kinclong dan mulus lus lus lus. Catnya pun baru. Tapi, penyakitnya adalah gampang panas. Radiator pun jadi mendidih dan... Bleduk! Atau kalau tidak langsung bleduk, biasanya ada suara seperti orang kentut panjang dan kencang lalu dari balik kap mobil keluar asap putih tebal... ppppsssssshhhhhh....

Pertama kali radiator saya meleduk itu tahun 2004 akhir. Rumah saya masih di Halim dan saat itu jam pulang kantor saya lewat di Kebon Nanas. Jalanan macet total. Saya masuk ke jalur lambat yang cuma cukup satu mobil. Tiba-tiba di depan kantor kementrian hidup, ada suara PPPSSSSSSSHHHHHHHHH kencang. Lalu BLEDUK! Kap saya terangkat ke atas. Untung... masih untung kap itu terkait jadi gak langsung njeplak.
Kontan mesin mati. Dan selama hampir semenit kemudian, saya yang tidak pernah mengalami mogok mobil cuma bisa bengong bego. Tidak lama, supir taksi Blue Bird di belakang saya keluar dari taksinya dan tanpa diminta mendorong mobil saya ke dalam halaman kantor Departemen PU dan meninggalkan saya disitu. Teman saya yang diceritain langsung memuji si supir.
"Duh, untung dia baik ya. Gak pamrih gitu."
"Ya, iyalah. Kalo dia gak ngedorong, dia juga gak bisa lewat kali!" kata saya sewot.
Moral of the story: satu kebaikan seringkali ada motif pribadinya juga.

Setelah itu, saya meninggalkan si ijo kinclong itu di Jakarta selama 2 tahun. Pulang dari Jepang, si ijo yang sudah tidak kinclong di cat baru dan didandani rapi lagi. Tapi, penyakit dia belum mau hilang juga.
Pada suatu malam, si ijo panas lagi di antara kemacetan parah di depan Plangi. Papap buru-buru mematikan mobil dan dalam sekejap kami jadi bahan caci maki orang se-Jakarta. Hikari segera terkena panick attack. Dia langsung rewel dan menangis. Si Papap yang sudah gerah diomelin orang, makin naik pitam mendengar tangisan Hikari. Saya lalu memeluk Hikari dan bilang, "Hikari berdoa dulu ya. Supaya di dengar Allah. Dan mobilnya bisa jalan lagi."
Bukannya sok agamis. Saat itu saya juga sedang men-sugesti diri sendiri. Kali aja...
Hikari lalu berdoa kencang-kencang. Dia yang cuma hapal 3 ayat pendek mengulang-ulang doanya. Serasa ada pengajian di mobil mogok kami. Eeeeehhh, ajaib! Tidak lama kemudian, suhu radiator turun dan Papap bisa melipir ke kiri masuk ke dalam pompa bensin! Bahkan kami bisa pulang sampai di rumah dengan selamat tanpa di derek!

Sejak itu, saya kenyang dengan radiator yang demam terus. Bolak-balik bengkel, bolak-balik mogok juga. Rute dari Rawamangun sampai Cibubur sudah pernah saya mogok-i. Terakhir, seminggu lalu, radiator saya demam lagi pas sedang macet-macetnya menjelang gerbang tol TMII pas saya punya janji dengan klien! Saya melipir ke kiri tol, mematikan mesin, dan menyalakan lampu sen kembar itu. Mobil di belakang saya spontan mengklakson galak yang saya balas klakson lagi. Kalo cuma modal klakson, gue juga bisa! Saya segera telpon si Papap di kantor yang langsung memberi instruksi.
"Buka kap mobil."
Saya buka.
"Kamu keluar dulu."
"Aku keluar?"
"Ya iyalah. Ngeliat rusaknya gimana kalau gak keluar?"
Saya keluar dengan enggan. Benar saja. Dari balik kaca-kaca mobil yang lewat, saya bisa merasakan tatapan mata orang-orang. Gue pake kemeja ungu mengilat harus ngebuka kap mobil warna ijo ngejreng gitu loh! Seorang laki-laki penumpang di mobil Terios membuka kacanya setengah dan memperhatikan saya. Spontan saya melotot.
"Apa liat-liat, Pak?!"
Dia langsung menaikkan kaca mobilnya. Tapi saya lupa. Kan jalanan lagi macet. Jadi mobil itu gak bisa kemana-mana juga selain manteng di sebelah saya....

Begitu kap mobil dibuka, Papap langsung bertanya lewat hp.
"Ada yang kebakar?"
"Gak."
"Kipasnya nyala?"
"Gak."
"Mesin nyala gak?"
"Gak."
"Iya makanya kipasnya gak nyala."
"Lah?!"
"Coba cabut sekringnya yang itu."
Saya cabut.
"Liat kaki-kakinya. Meleleh?"
"Iya. Sedikit." Padahal sumpah! Saya gak tau yang namanya sekring meleleh tuh harus kayak gimana.
"Ganti aja. Ambil di bla bla bla..."
Saya ganti sekringnya.
"Nyalain mesin deh."
Saya nyalain mesin.
"Nyala kipasnya?"
"Gak."
"Coba tekan-tekan si sekring."
Saya tekan-tekan. "Gak nyala."
"Tekan yang keras."
Saya tekan keras-keras. "Gak nyala."
"Pukul-pukul."
"Gak nyala."
"Kamu udah pukul-pukul belum?"
"Udah."
"Pukul lagi."
"UDAH! Mau sapa lagi yang aku pukul sini?!"
Singkat cerita, mobil saya harus didorong dua petugas tol sampai ke luar tol TMII. Begitu mereka selesai mendorong, saya kasih mereka uang 70ribu perak. Pas saya cerita ke Papap, dia menjerit.
"70 RIBUUUU?! BANYAAAAKKK bangeeeet!!! Kasih 20 aja buat berdua!"
"Orangnya udah jalan, Babe! Masa mau aku panggil lagi trus suruh ngasih kembalian?!"
Untuk balas dendam, cerita saya ngasih petugas tol 70 ribu diulang-ulang Papap di depan khalayak ramai yang semuanya kontan berteriak, "begoooooo banget sih loooo!"

Kalau anda pikir cerita mogok yang itu sudah klimaks, saya kasih cerita mogok sebelumnya.
Pulang kantor jam 5an sore juga, saya berdua teman kantor, perempuan, lagi sibuk ngegosip sewaktu sudut mata saya melihat jarum penanda suhu radiator bergerak naik. Saat itu macet memang dan saya sedang ada di jalur kanan di lampu merah Penas-Halim. Seorang Polantas sedang sibuk mengatur mobil di lampu merah supaya tidak saling serobot. Saya jelas langsung menyerobot ke kiri.
Baru saja sampai di kiri setelah belokan arah Kalimalang ke Cawang, asap keluar dari bawah kap mobil. Mesin saya matikan, sen kembar dinyalakan, dan saya duduk bengong berdua teman saya. Segera saja perempatan yang sudah macet, jadi tambah macet. Mungkin anda salah satu dari orang-orang yang sore itu kena efek macet akibat mobil mogok saya...

Belum 5 menit duduk di dalam mobil dengan kaca ditutup seluruhnya. Seorang preman mendatangi saya. Dari luar sisi teman saya, dia berteriak-teriak.
"Mogok ya? Mogok ya?"
Teman saya bergidik ketakutan. Saya belum sempat bereaksi begitu dia tiba-tiba berseru, "ada polisi!" Lalu kabur.
Mendengar kata polisi, saya dan teman saya jelas gembira. Tapi kok 5 menit lewat, si polisi gak datang-datang....

Agak lama kemudian, seorang polantas datang dari arah depan. Saya senaaaaang luar biasa. Begitu berada di dekat mobil, saya melongokkan kepala, polantas itu menggerak-gerakkan tanganya menyuruh saya maju. Heh?
"Maju, Bu!"
Maju? Wah, dodol juga nih!
"Mogok, Pak!"
"Mogok?"
"Iya."
"Oh." Lalu si bapak pergi begitu aja.
Sialaaaaaaaaaaannnnnnnnnnnn....!!!

Kami menunggu lagi. Agak lama.
Tiba-tiba jendela teman saya diketuk. Polantas yang berbeda melongok disitu. Saya sudah hilang girangnya.
"Bu, jangan parkir disini. Ini kan pas belokan."
Saya menarik napas panjang. Panjaaaaaaang.
"Paaaaak, kalau mobil saya enggak mogok, SAYA KAN GAK BAKAL PARKIR DISINI!"
"Tapi ini macet."
"Pak, saya juga tahu ini macet! Mobil ini mogok! Radiator saya kepanasan."
"Tapi mohon pengertiannya, Bu. Yang dimarahin orang-orang bukan Ibu. Tapi saya."
"ASTAGA SI BAPAK! Saya juga minta pengertian Bapak dong! Memangnya saya mau mogok? Siapa sih yang mau mogok?"
Setelah beberapa kalimat naik darah berikutnya....
"Kalau memang mogok, saya panggilkan derek."
Hah? Jadi dari tadi si bapak gak percaya kalau saya mogok?!
"Saya lagi nunggu bengkel saya datang. Tapi kalau Bapak mau panggil derek, silahkan."
Dia manyun. Lalu berjalan ke arah lapo-lapo di pinggir jalan arah terowongan Cawang. Dia memanggil beberapa pemuda tanggung.
"Tolong dorong itu!"
Ya ampuuuuuuuun, kenapa gak dari tadi sih?!

Mobil saya pun di dorong ke pinggir. Ada tempat kecil yang cukup untuk parkir di depan tumpukan sampah. Di kiri saya ada warung minuman kecil, di kanan saya ada warung lapo. Saya langsung mengirim sms ke Papap dan kedua adik saya mengenai lokasi parkir saya yang baru. Sms itu ditambahi embel-embel: Buruan! Banyak preman disini!
Baru sedetik disitu, seorang preman besar, item, dengan kaos merah buntung dan celana pendek, dan udel yang kemana-mana mendekati kaca saya.
"Woi! Parkir jangan disini! Ini tempat angkot. Parkir tempat lain!"
Kali ini darah saya benar-benar mendidih. Jendela saya buka...
"MOBIL GUE MOGOK! BUKAN PARKIR! KALO MAU PROTES GUE BERHENTI DISINI, PROTES TUH SAMA POLISI YANG ITU!"
"TAPI INI BUKAN TEMPAT PARKIR!" balas dia.
"KALO GITU, SITU DORONG INI MOBIL SAMPAI KE POM BENSIN ANGKATAN DARAT DI DEPAN! SEKALIAN PANGGILIN PROVOSTNYA! ATAU SEKALIAN DORONG KE HALIM BIAR GUE LANGSUNG PULANG!"
Teman saya memegangi tangan saya kencang-kencang.
Si preman memelototi saya. Saya pelototi lagi. Sambil ngomel pakai bahasa daerah, dia pergi. Teman saya merepet panjang pendek. Dia menunjuk-nunjuk sekumpulan pemuda tanggung di dekat situ yang sedang memperhatikan saya ngamuk-ngamuk. Saya sudah keburu panas. Saya keluar dari mobil, membuka kap mobil, sambil pasang tampang melotot ke orang-orang disitu.

Kap mobil terbuka dan saya yang jelas-jelas gak ngerti soal mobil berniat membuka tutup radiator. Belum sempat tangan saya membuka tutup radiator, seorang laki-laki tua melarang saya.
"Jangan, Mbak! Jangan! Nanti muncrat!" katanya dengan logat Jawa medok.
"Sini Mbak saya bukain." Dia langsung menyuruh preman-preman tanggung yang dari tadi memperhatikan saya untuk mengambil lap dan air mineral dari warung.
"Nanti muncrat, Mbak."
Dengan baik hati, dia membuka tutup radiator, mengisi tempat coolant dengan air, dan panjang pendek menasihati saya akan bahayanya radiator yang panas. Tanpa aba-aba, pemuda-pemuda tanggung yang tadi bergerombol di depan warung, ikut memeriksa mobil. Kelihatan sekali, Pak Tua itu adalah komandan mereka.
"Maaf, Pak," kata saya. "Saya jadi parkir disini."
"Ah, ndak apa-apa, mbak. Wong mogok'e."
"Ya saya kan enggak enak. Tadi orang sebelah udah marah-marah begitu."
"Dia?!" kata Pak Tua menunjuk si Preman buluk tadi.
"Saya ini Arema, Mbak! Dia ndak berani macem-macem, Mbak! Mbaknya ndak usah takut! Mbaknya asal mana?"
Saya sebutkan daerah Ibu saya yang sudah ratusan tahun tidak pernah saya singgahi.
"OOOhhh, kita saudara, Mbak!"
Darimana saudaranya juga saya enggak paham. Jaraknya aja bisa beda halaman peta sendiri. Tanpa ragu, Pak Tua itu langsung nyerocos dalam bahasa Jawa kepada saya.
Mati gue! Saya cuma cengar-cengir.
"Nama saya Mangunlaksono, Mbak. Kalau ada apa-apa disini, sebut nama saya saja."
Saya menangguk-angguk.

Tiba-tiba saya mendengar suara motor di rem. Sesosok laki-laki berhelm, jangkung, menghentikan motornya tepat di dekat mobil dan bergegas melompat dari motornya.
"HEI, MINGGIR SEMUA! GAK USAH DEKAT-DEKAT MOBIL. MINGGIR SEMUA. MINGGGGIIIRR!"

Saya bengong sedetik. Laki-laki itu membuka helmnya.
"PERGI SEMUA! MACEM-MACEM LO YA!"
Saya berkacak pinggang di hadapan dia.
"DODOOOOOLLLLL!" kata saya ke adik saya. "Premannya bukan yang iniiiiiiiiii!"

Look Who's Talking

Hujan dari semalam di pagi ini belum juga reda. And I thought I could have a nice comfortable sleep from the sound of the rain.
Jam 6 pagi, hujan masih mengguyur tapi saya sudah harus bangun dan mandi. Kepala yang nyut-nyut karena migrain dan bayangan akan jalanan yang pasti macet berat membuat persiapan saya ke kantor tidak ikhlas. Tidak sepenuh hati. Tapi saya harus bangun karena kewajiban mengantar Hikari ke sekolah.

Jam 7 pagi, saya selesai bersiap dan Hikari selesai makan pagi. Mungkin karena dingin dan kurang tidur, Hikari juga terlihat lesu. Toh dia masih sempat menarik saya segera berangkat karena takut terlambat. Dia masuk jam 7:30. Diantara kelesuannya, dia masih terlihat ikhlas akan kewajiban masuk sekolah.

Keluar dari komplek, saya lihat antrian di jalan Alternatif Cibubur sudah mengular. Sekali lagi saya mengeluh. Saya sudah bisa membayangkan jalanan yang hanya 5 kilometer ke sekolah Hikari pasti juga macet. Apalagi, para polisi senang sekali menutup belokan ke kanan ke arah Cikeas sehingga saya harus menyetir dua kilometer lebih jauh hanya untuk U-turn.

Mendengar saya menghela napas berkali-kali, Hikari bertanya. "Mama kenapa?"
Jawaban saya singkat, "sakit kepala, Nak. Macet lagi."
Hikari diam lagi dan sibuk dengan coretan-coretan gambar dinosaurusnya.

Beberapa ratus meter mendekati belokan ke Cikeas yang ditutup palang, jalanan sudah tersendat. Padahal U-turn masih 4 kilometer lagi. Diseberang belokan, saya bisa melihat seorang polantas mengatur jalan. Tiga mobil di depan saya mendekati belokan Cikeas, polantas itu berjalan menyebrang ke arah palang jalan. Mata saya terpincing ke arahnya tidak bergerak. Hati saya berdebar keras.
Dua mobil di depan saya mendekati belokan Cikeas, polantas itu dalam gerakan lambat menarik palang-palang dari belokan. Saya spontan melambatkan mobil yang sudah lambat karena harus mengantri.
Satu mobil di depan saya, dalam satu sentakan, polantas itu membuka belokan dari palang-palang penghalang! Saya memberi sen kanan dan Pak Polantas yang melihat sen saya melambaikan tangan untuk menyuruh saya berbelok.
Alhamdulillah!
Alhamdulillah!
Alhamdulillah!

Mendengar saya terus-terusan berkata Alhamdulillah, Hikari menegakkan tubuhnya melihat ke depan mobil dan bertanya ke saya.
"Kenapa, Ma?"
"Kita bisa belok, Nak. Alhamdulillah."
"Kenapa? Pak Presiden mau lewat?"
(Ya, biasanya belokan dibuka bila Presiden akan pulang ke rumahnya)
"Enggak, Nak. Pak Polisi itu baik hati. Kita dibolehkan lewat."
"Kenapa boleh?"
Saya tersenyum dan tanpa sadar mengeluarkan ceramah khas emak-emak.
"Karena Hikari ikhlas mau sekolah. Kita dibantu Allah. Kalau kita ikhlas, Allah akan bantu."
Hikari menoleh ke arah saya lama.
"Kenapa, Nak?"
"Mama juga ke kantor harus ikhlas..."

Astagfirullah....

Mohon Kebijaksanaannya

Hari ini, setelah bertahun-tahun hidup di negeri ini, saya menyadari bahwa orang-orang Indonesia lebih banyak yang bijak daripada yang tidak. Apa buktinya? Dalam jangka waktu dua minggu saja, saya bisa mendengar kata kebijaksanaan disebut berkali-kali...

"Nilai saya kan hanya kurang satu poin saja. Minta kebijaksanaannya lah. Jangan kaku begitu."
"Anak saya kan hanya lupa bawa persyaratannya saja. Minta kebijaksanaannya supaya bisa ikut ujian."
"Mohon kebijaksanaannya. Saya mau anak saya belajar disini aja. Jangan di cabang lain."
"Minta kebijaksanaannya, Bu. Masa' cuma gara-gara telat melakukan pembayaran, kursi anak saya hilang?"
"Kalau poin saya kurang dari segitu, saya gak naik pangkat. Tolong kebijaksanaannya dong."
"...kebijaksanaannya..."
"...kebijaksanaannya..."

Be careful with what you wish for. Saya hampir tidak tahan untuk tidak menjawab, "Pak, Bu, Dek, Mbak, Mas, karena saya bijaksana makanya saya harus menolak semua permintaan anda!"


Mbok ya kalau minta orang lain bijaksana itu, tengok diri sendiri dulu. Sudah bijaksana belum permintaannya?

Mau Bikin Resolusi Apa Lo?

Siang hari bolong tanpa petir, teman saya menanyakan posting saya yang baru.
Saya jawab, "Posting baru? Belum ada yang baru kok."
Dia merespon, "Emang belom ada yang baru."
Saya nyureng, "Udah tau kok pake nanya?"
Dia bilang, "Disindir kok gak ngerti?!"
Lah?

Dia lalu bertanya lagi kenapa saya belum juga nulis soal resolusi tahun baru seperti banyak beberapa blogger yang dia kenal. Bukannya njawab, saya malah curiga.
"Ngapain lo pengen tau resolusi gue segala?!"
Gantian dia yang nyureng.

Sebenarnya dia gak salah sih bertanya soal resolusi saya. Yang salah sebenarnya timing pada saat dia tanya. Saya sedang... eh, gak jadi deh.
Menulis resolusi di blog menurut saya banyak bagusnya. Salah satunya adalah sebagai alat pembuat malu (malu tanpa awalan dan imbuhan!) sekaligus alat pecut seorang blogger. Kenapa? Karena kalau sudah go public punya resolusi satu sampai seratus lalu gak ada yang tercapai kan malu. Jadi resolusi di blog itu memecut seorang blogger untuk bekerja keras memeras keringat membanting tulang untuk mencapai semua resolusinya.
Tolong dicatat saya menulis begini tanpa pernah menepatinya.

Balik ke pertanyaan buat saya: apa resolusi saya di tahun 2010?
Jawabannya adalah: gak ada.
Tapi jangan salah. Walau saya gak bikin resolusi, saya punya resolusi yang dibebankan pada saya oleh khalayak ramai.
Si Mami bilang begini, "Kamu harus punya anak lagi di tahun 2010."
Teman nebeng saya bilang begini, "Lu kudu beli mobil baru." (karena di tahun 2009 ini record mobil mogok saya sudah mencapai 5 kali)
Lalu Papi saya bilang begini, "Harus mulai hidup sehat kamu itu!"
Si...mmm... seseorang bilang begini, "Mudah-mudahan tanah kavling kosong di sebelah rumah bisa dibeli ya."
Bos saya bilang begini, "Next year, you have to start creating bla bla bla bla..."
Ada juga si Anu yang bilang begini, "Tahun depan kamu harus punya reksadana begini begitu begono." (Yang saya timpali, 'bayarin ya.')
Tante saya bilang begini, "Kamu harus ngurusin badan mulai sekarang. Jaga makanan."
Lalu ada yang bilang begini, "Tahun depan novelnya keluar tiap bulan ya?"

Wajar dong kalau saya merasa saya tidak perlu membuat resolusi lagi? Everything has been taken care of. Terutama soal kesehatan. Sepertinya tahun depan resolusi kesehatan untuk saya sudah mendekati angka seratus. Dan pada saat orang keseratus satu menyumbangkan resolusi kesehatan untuk saya, saya sudah menyiapkan jawaban.
"Elo tau kan apa yang terjadi pada orang terakhir yang ngomong begitu sama gue?!"

Eniwei, diluar urusan apakah saya akan mengikuti resolusi yang dibikin orang lain untuk saya, saya berharap orang-orang baik hati tersebut mendapatkan balasan yang indah dari Tuhan karena telah membantu saya menunjukkan jalan di tahun 2010. Lurus atau tidak, urusan lain. Namun, saya juga berharap Tuhan akan selalu mengingatkan mereka untuk menepati resolusi mereka sebelum mereka memaksa saya menepati resolusi mereka.
Kan?

Apa Arti Celana Dalam Anda?

Kirimkan lah celana dalam perempuan, syukur-syukur ditambah dengan bra sekalian, kepada sekelompok laki-laki. Apa yang akan terjadi?
Kemungkinan besar kelompok itu akan marah karena kumpulan perasaan yang timbul akibat kiriman tersebut: Rasa malu, rasa dihina, rasa dipermalukan, rasa dianggap banci, rasa dianggap penakut (atau malah pengecut?), rasa dianggap cengeng... apa lagi?

Lalu, buat eksperimen kedua.
Kirimkan lah celana dalam laki-laki, nggak perlu pakai kaos dalamnya, kepada sekelompok perempuan. Apa yang akan terjadi?
Karena saya merasa otak perempuan sangat kompleks, kemungkinan yang terjadi bisa ribuan: potret bareng dengan si celana dalam dan menaruh fotonya di fesbuk dan/atau di blog, mungkin menjual celana dalam itu, memberinya pada suami atau pacar, mem-pigura celana dalam itu untuk kenang-kenangan, bengong lebih dari satu menit dihadapan si pemberi sambil membatin apa maksudnya.

Apa maksudnya memberi celana dalam laki-laki kepada sekumpulan perempuan? Pasti bukan untuk menimbulkan rasa malu, rasa dipermalukan, rasa dianggap banci/cengeng/penakut/pengecut. Seperti juga rokok, stelan jas (yang dipakai perempuan), saya anggap celana dalam laki-laki dianggap sebagi simbol keberanian, ke-macho-an, kehebatan, kekuatan.
Dengan menggunakan analogi tersebut, saya anggap pemberian celana dalam laki-laki kepada sekelompok perempuan adalah simbol pujian. Perempuan-perempuan hebat yang kuat, mungkin begitu maksudnya. Jadi, sebaliknya memberi celana dalam perempuan kepada sekelompok laki-laki berarti simbol penghinaan. Bukan begitu?

Tidak logis? Mengada-ada? Mencari-cari korelasi? Dibuat-buat? Dihubung-hubungkan?
Terserah.
Toh saya punya contoh. Baca lah berita tentang sejumlah LSM yang memberikan bra dan G-string merah untuk pansus Century DPR. Apa maksud mereka? Apa persepsi anda terhadap benda-benda yang dijadikan simbol itu? Apakah pemberian bra dan G-string itu dimaksudkan sebagai penghargaan atas keberanian para pansus Century?

Membaca komentar ini, saya yakin bra dan G-string bukan sebuah simbol positif:
"Idrus Marham sebagai Ketua Pansus tidak boleh diintervensi. Kalau sampai diintervensi, pakai saja bra dan celana dalam ini," ujar aktivis Kapak, Hendri Tri. -Kompas.com

Bingung.
Apa hubungannya bra dan celana dalam dengan intervensi? Jangan-jangan para pemberi hadiah itu ingin meniru Soe Hok Gie yang memberi hadiah lipstik, cermin, dan beberapa barang kewanitaan lainnya untuk teman-temannya di DPR.

Pada 12 Desember 1969, Hok Gie bekerja sama dengan teman-temannya mengirim paket "Lebaran-Natal" kepada 13 perwakilan mahasiswa yang duduk di DPR-GR. Paket itu berisi lipstik, cermin, jarum, dan benang, disertai surat kumpulan tanda tangan dengan pesan, "Bersama surat ini kami kirimkan kepada anda hadiah kecil kosmetik dan sebuah cermin kecil sehingga anda, saudara kami yang terhormat, dapat membuat diri kalian lebih menarik di mata penguasa dan rekan-rekan sejawat anda di DPR-GR. Bekerjalah dengan baik, hidup Orde baru! Nikmatilah kursi anda—tidurlah nyenyak! Teman-teman mahasiswa anda di Jakarta dan exdemonstran '66" (halaman 364).


Well, saya pikir para pemberi celana dalam perempuan itu masih harus belajar banyak dari Soe Hok Gie. Bukan itu saja, saya pikir mereka juga harus belajar lagi tentang arti penghormatan dan penghargaan terhadap jender perempuan. Coba, mau enggak mereka mengirimkan jenis dan merk celana dalam dan bra yang sama dengan yang dipakai oleh ibu mereka ke anggota pansus? Apakah mereka akan berkomentar sama dengan yang mereka katakan kepada Pak Idrus Marham?
"Pakai saja bra dan celana dalam ibu saya ini, Pak."

-tulisan ini dibuat karena kesal setelah membaca status FM di fesbuk. I agree with you, Nek. Stupid is what a stupid does (Forrest Gump)-

Hot, Food, Cook

Generasi Mami saya mungkin tidak pernah membayangkan seorang perempuan, cantik, seksi, mungkin pintar, seperti saya Farah Quinn bisa menjadi presenter acara masak-memasak di tivi. Sejak munculnya stasiun tivi swasta di Indonesia, presenter acara masak-memasak yang punya tugas untuk mengajari ibu-ibu di rumah memasak biasanya berbentuk seorang ibu-ibu yang -maaf- agak overweight dan dari cara megang sendok aja sudah kelihatan dia tukang masak andal. Lalu setelah era ibu-ibu itu, muncul presenter masak berbentuk laki-laki berotot dan berjari lihai yang selalu menyapa pemirsa dengan kenes, "Halooo, ibu-ibu..." seakan-akan hanya ibu-ibu saja yang menonton acaranya. Saya kan juga nonton dan saya bukan ibu-ibu. Waktu itu.

Setelah presenter macam Farah Quinn muncul di layar tivi, berbondong-bondong orang mulai manteng di depan tivi hanya untuk melihat si Farah muncul.
Yang seumur si Mami biasanya mengomentari gaya grogi Farah saat memotong cabe atau mengaduk adonan sehingga menimbulkan prasangka: "Bisa masak beneran gak sih? Kok megang pisaunya takut-takut gitu?"
Yang seumur saya ikut nonton juga sambil komentar soal penampilan makanan yang seringkali tidak aduhai menggemaskan sambil berbaik sangka dengan berkomentar itu adalah kesalahan cameraman-nya atau malah cameranya yang tidak food-friendly.
Yang laki-laki pun ikut nonton tentu sambil berkomentar soal-soal lain yang tidak ada hubungannya dengan makanan.
Acara masak-memasak di tivi bukan lagi jadi acara tempelan sejak kehadiran celebrity chef itu.

Menurut saya, kondisi seperti itu sih sah-sah saja. Kalau saya dan para perempuan lain menggemari penampilan Jamie Oliver the Naked Chef yang menurut saya seksi saat memasak beserta penampilan masakan Jamie, kenapa para laki-laki tidak boleh menggemari Farah Quinn? Seperti para laki-laki itu, saya toh juga tidak perduli pada tujuan utama acara tersebut: supaya bisa memasak. Hitung-hitung hiburan. Daripada menonton acara masak yang tukang masaknya wajib pakai kostum sesuai negara asal masakannya? Apa enggak lebih konyol?

Yang saya kuatirkan sebenarnya adalah sifat latah orang-orang tivi di Indonesia. Saya curiga setelah Farah Quinn akan ada acara masak lain yang tukang masaknya asal perempuan, asal cakep, asal seksi, dan asal masak. Atau, lebih parah lagi, malah mungkin yang akan muncul adalah sosok perempuan cakep seksi ngetop yang enggak bisa masak sama sekali lalu disuruh untuk mejeng di sebelah tukang masak sebenarnya. Kalau suatu saat saya masuk kategori cakep, seksi, ngetop lalu muncul di tivi untuk jadi presenter tempelan acara masak seperti itu, tolong sodorkan postingan ini sama saya ya.

Selain soal latah-melatah, saya juga melihat fenomena lain di jagat acara masak-memasak, yaitu pengkotak-kotakan umat. Umat apa? Umat penonton tivi. Sewaktu saya sedang membahas acaranya Farah Quinn, seseorang menegur saya sambil bilang, "mendingan nonton acara masaknya Dapur Aisyah aja. Setting-an dia itu untuk keluarga, ada bapaknya, ada anaknya dua." Langsung illfeel
Saya kok enggak melihat memasak itu ada hubungannya dengan status KTP seseorang ya? Kalau single dan cosmo-minded, nonton Farah. Kalau family-oriented, nonton Dapur Aisyah. Gitu? Do convince me.

Acara masak-memasak yang saya gemari di tivi itu sendiri adalah acara yang menggabungkan teknik memasak dan penampilan masakan. Tekniknya harus luar biasa. Cara masukin cabe ke penggorengan harus beda sama cara orang biasa saya. Penampilan masakannya juga harus membuat air liur tumpah. Lah kan lewat layar tivi! Karena harum masakannya tidak bisa terasa, ya penampilan masakannya yang harus menggairahkan. Acara-acara masak favorit saya seperti Nigella Express yang memberikan tip dan teknik cara memasak makanan saat kepepet (seperti baru bangun tidur sementara anak-anak sudah minta makan), French Food at Home-nya Laura Calder yang memperlihatkan betapa memasak itu menyenangkan (speak for yourself, kata saya selalu), dan tentu saja Jamie Oliver yang teknik tangan belepotannya malah membuatnya terlihat seksi dan sedap. Saya paling tidak suka melihat acara masak yang presenternya kebanyakan ngomong, atau yang presenternya pakai kostum, atau yang presenternya pakai kostum lalu banyak omong...

Mengingat masakan Indonesia sangat beragam dan uenak-uenak, saya seringkali mengharapkan acara masak di stasiun-stasiun tivi negeri ini bisa sekelas Nigella, Laura, atau Jamie. Apakah Farah Quinn atau Aisyah bisa melakukan itu? Hanya mereka yang bisa jawab. Pada akhirnya, apakah acara itu bisa sukses atau tidak, lama masa tayang atau tidak, ya kembali pada kemampuan si tukang masak. Juru kamera atau kamera secanggih apapun yang bisa membuat penampakan masakan sangat menggairahkan atau membuat presenter seseksi apapun tidak akan bisa menipu indera-indera perasa pemberian Tuhan. Kan katanya cinta itu datangnya dari perut, bukan dari mata. *sambil mikir betapa berbahayanya kalimat itu bila diketahui Papap*


catatan:
-Foto Farah Quinn dari sini dan foto Jamie dari sini.
-Khatam menonton acara memasak bukan berarti anda akan langsung bisa memasak. Korelasi logis seperti itu sayang sekali tidak terjadi di dunia ini. Entah di dunia lain.

YTIE series: 3) Blogging Before Your Bosses

The internet connection seemed friendly tonight. I used it wisely to open my 4-year-old google reader that I had abandoned and forgotten (the password) for 3 years. Surprise, surprise, I found the blogs I used to visit a long time ago when I could open a site in a blink.

One of those old blogs I used to visit is the wannabegirl. I used to love her pictures and smile at her words. Then tonight I read her post: blogging under pressure. And I felt relieved knowing that I am not alone.

Blogging used to be easy when I knew that only strangers read this crap. Now I’m always worried I’d offend anyone I know if I spoke my mind. -wannabegirl-


Months ago, one of my superiors approached me in a gathering. I rarely talked to him at the office besides we didn't share the same office building. He came to me and said those black-magic words, "You have a very nice blog."

Instead of feeling proud, I felt so discombobulated. Since then, I have been worried too much every time I want to blog about my office life. Crap! Why is it when the office cannot provide you with stress-related insurance, they kill your blogging mood? It's just not fair.

But, enough is enough. I refuse to be intimidated by rank or position or connection or politically correct blogging topics. Starting from today, I will blog selfishly, emotionally (if I have to), ignorantly, mindlessly! And you (pointing my finger to him)! Go get yourself another blogger to mood-kill!

Biar Kuganti Dulu Kacamataku

Wajah teman lama saya dalam bingkai foto muncul di layar komputer beberapa bulan yang lalu. Sejak itu setiap hari saya selalu ditemani wajahnya tak peduli apakah saya sedang ingin ditemani atau tidak.
Hari ini dia berpose seperti ini. Hari lain posenya berbeda.
Hari ini dia tersenyum di Jakarta. Hari lain dia tersenyum di Singapura.
Hari ini dia menjadi penghuni dunia dugem. Hari lain dia menjadi penghuni ruangan licin seorang eksekutif.
Hari ini dia adalah seorang perempuan single yang gembira. Hari lain dia menjadi perempuan keibuan dengan seorang anak lucu di sebelahnya.
Bersama dirinya saya mengelana dari acara ke acara, dari kota ke kota, dari mood ke mood, melalui bingkai foto.
Sayangnya, saya tak pernah sempat membuka album fotonya yang sepertinya lengkap mengingat jumlahnya sudah ratusan.
Atau mungkin saya tidak berani membukanya.

Perempuan dalam ratusan foto itu seperti bukan orang yang saya kenal bertahun-tahun lalu.
Dalam kekaguman saya akan keceriaan tawanya di foto, kesuksesan penampilannya di foto, keanggunan gayanya di foto, saya merasa ditarik menjauh darinya. Atau dia menjauh dari saya. Saya tidak tahu. Dan saya sedih.

Malam ini saya melihat wajahnya lagi. Lengkap dengan dandanan dan rasa percaya diri yang tidak pernah saya kenal sebelumnya. Tiba-tiba perasaan itu hadir lagi. Dia menjadi sesuatu yang asing. I just cannot see the person I knew a long time ago.

No. Wait.

Biar saya balik dulu keadaannya.
Bertahun-tahun lewat dan pada satu hari wajah saya muncul di layar komputernya.
Lalu dia melihat saya lewat bingkai foto-foto.
Hari ini saya di Jepang. Hari lain saya di Bandung.
Hari ini saya memeluk Hikari. Hari lain saya memeluk Keanu.
Hari ini saya tertawa tergelak. Hari lain saya bergeming mencoba serius.
Hari ini saya berkaos. Hari lain saya berbatik resmi.
Apakah dia masih mengenali saya?

Bertahun-tahun lewat. Saya harus mengganti kacamata saat saya melihat wajahnya nanti.

Die Like Everyone Else

How difficult is it to handle 5000 cows in your farm?
How difficult is it to herd the 5000 cows in a vast land to grass?
How difficult is it to sit on the back of a jumping horse in a rodeo?

It turns out it is not as difficult as trying to wear pants with your koteka on.

I just watched a new program called Meet the Natives: USA aired at the National Geographic channel. From the program ad, I'm sure everyone could imagine how interesting this program is. Five tribespeople from Tanna island in South Pacific (Vanuatu) are sent to the USA to taste the life in that superpower country (they claim). I was laughing right from the start of the program to the end. What else should I have reacted when those five people (two of them are the village chief and the medicine man) got confused on how to wear clothes. When they had to wear the pants, they complained because they couldn't insert their koteka-like equipment to the pants. I'm sure you'd have a very difficult time doing it too! Oh, and don't think of taking it off!

These five Tanna men went to Montana first to live with a family of 5. The family own a big land for their 5000 cows. The Tanna men called them Cowboy people.
First, the Tanna men asked, "why do you want to keep 5000 cows for yourself?"
Second, they asked, "why don't you let the cows eat fresh grass instead?"
After that, they asked, "why don't they keep other animals too? Like chickens, or pigs, or goats?"
Then, they asked, "why do you insert drugs (vitamin) to the cows and their food? Won't that make the meat unhealthy to eat?"
On and on they asked questions unthinkable to the farm owner.

When they were given cigarettes to smoke, they asked if it is good to smoke.
The man said it was probably not. He already had cancer once and got chemotherapy for a year.
The Tanna men stared at the lighted cigarette in their hand with worries and incomprehension on their face.
"Why do you keep smoking, then?"
Good question left unanswered.

One Tanna-man asked his chief whether it is better to keep one kind of animals instead of some like what they do in their village.
The chief, a man with no formal education only wisdom, answered the village don't need too many. They should only keep what they need. And they don't need many.

After 5 days in Montana, it was their time to go. The chief was standing at the fence of the big farm looking at the cows and everything.
He said, "A man with a lot of cows, a big land, and a lot of money should now find out the way to live forever. It is such a shame to have a lot of cows, a great farm, and a thick wallet if he dies like everyone else."



Die Like Everyone Else

Forget about God, heaven, or hell. Everybody must die one day. Presidents, kings, queens, celebrities, the riches, and the poors. There is no exception.
We can have all the money in the world, yet we still have to die someday.
We can be in the list of 100 beautiful people in the world for 10 consecutive years, still we will find our heart stop beating someday.
We can be the Nobel-prize-winning head of state, but then we cannot make a deal with the death to make you an exception.

So, by the end of the day, after everything is said and done, we are trully insignificant except for our good deeds.

photo: http://www.ngcasia.com/

Aren't you glad we are not Japanese?

Rame-rame para pengurus negeri belum selesai juga. Bukannya menonton dengan seksama, saya memilih tidur. Pesimistis? Trauma? Apatis?
Gak. Capek aja setelah seharian kerja jujur.

Kalau saya boleh menggunakan gaya saya dalam mengatasi keruwetan negeri ini, saya mungkin akan menghabiskan satu generasi untuk memunculkan pembaharuan. Mirip-mirip dengan teknik menghilangkan bekas jerawat dan bolong-bolong di wajah lah. Kan harus dikelupas dulu kulit paling luar wajah kita itu supaya bisa mendapatkan kulit wajah baru yang segar, muda, dan sehalus pantat bayi. Caranya bisa dengan diolesi obat kimia yang ampuh sekelas air keras atau disinari laser. Walaupun hal ini juga tergantung dari seberapa tebal lapisan kulit wajah kita, seperti juga tergantung dari seberapa tebal lapisan generasi negeri ini yang bopeng-bopeng.

Bila mengelupaskan satu generasi terlalu sadis, mungkin bisa melakukan seppuku? Bunuh diri model Jepang yang caranya adalah dengan menyayat perut sampai usus terburai lalu mati? Mungkin karena Jepang hanya menjajah negeri ini sesingkat 3.5 tahun, mati gaya usus terburai tidak menjadi tren bagi para pengurus negeri ini. Tapi, coba bayangkan apa yang terjadi seandainya seppuku menjadi tradisi di negeri ini juga...
1. Hari-hari belakangan jumlah orang bunuh diri gaya usus terburai mendadak meningkat tajam.
2. Rumah sakit -terutama bagian kamar mayatnya- penuh.
3. Polisi kehabisan tenaga untuk menyidik.
4. Petugas medis dan ambulan kehabisan napas mengambil pelaku bunuh diri dari tempat kejadian ke rumah sakit.
5. Lokasi-lokasi pemakaman tertentu padat manusia.
6. Karena lokasi-lokasi tertentu mendadak padat, macet muncul dimana-mana.
7. Pengurus negeri yang tersisa harus ngelayat kesana kemari.
8. Karena pengurus negeri yang tersisa harus ngelayat, negeri yang diurus mereka pun terbengkalai.
9. Karena negeri terbengkalai, rakyat miskin bertambah banyak.
10. Karena banyak yang mati bunuh diri, para pemuka agama ramai-ramai mengutuk mati gaya baru ini.
11. Karena pemuka agama mulai main kutuk-mengutuk, rakyat kesal dan melakukan demo.
12. Ketika rakyat kesal, fesbuk penuh dengan acara dukung mendukung.
13. Jumlah dukung mendukung di fesbuk menjadi meningkat membuat media massa belingsatan karena bad news is good news.
14. Media massa keranjingan menayangkan urusan bunuh diri sampai urusan dukung mendukung di fesbuk.
15. Karena media massa keranjingan menayangkan urusan-urusan yang dimulai dari para pengurus negeri, film kesayangan saya CSI tidak ditayangkan sampai waktu yang tidak ditentukan.

*mikir*

Ganti teknik lain aja ya?

Bawa Pertemananmu ke Tempat Lain Saja

Pernah dengar iklan kampanye bayar pajak? Yang bunyinya kira-kira begini...

"Tok tok tok..."
"Hai, Wan!" (nama disamarkan)
"Hai, Ton!"
"Wah, sudah lama kita tidak berjumpa ya?"
"Iya. Gimana kabarmu, Ton?"
"Aaah, ini loh. Perusahaanku ditagih pajaknya."
"Ooooh." (sambil tertawa terpaksa)
"Ternyata besar juga ya?"
Benar-benar tertawa terpaksa.
"Untung aku punya teman disini." (sepertinya pakai kedip-kedip mata) "Bantu lah aku. Jangan kuatir deh. Nanti aku kasih ehem ehem buat kamu."
"Wah. Maaf, teman. Aku tidak bisa. Aku sudah bersumpah kepada negara... bla bla bla..."
"Ah! Kamu kan temanku! Sok suci kamu!"
Gubrak! (Banting pintu)
"Ada apa, Pak? Ada apa, Pak?" (suara anak buah panik)
(Tersenyum bijak) "Tidak ada apa-apa. Hanya orang yang mencoba untuk membujuk saya berbuat yang tidak benar."
(Suara hati bicara) "Ternyata kamu yang bukan teman sejatiku. Kamu memaksaku berbuat yang tak sesuai dengan hati nurani bla bla bla..."

Basi banget, kan?
Yet, it sticks in my head like... forever.

Coba baca lagi kalimat terakhir si tokoh baik budi ini.
"Ternyata kamu bukan teman sejatiku."
Mirip dengan kalimat pada iklan anti narkoba.
"Teman sejati tidak akan membuatmu mati."
Yang sepertinya cocok juga dipakai untuk iklan anti teroris.

Saya membayangkan diri saya sebagai petugas pajak itu.
Terjepit antara kewajiban untuk berbuat jujur dan kewajiban untuk menjaga nilai pertemanan.
Saya membayangkan diri saya sebagai si korban narkoba itu.
Terjepit antara keinginan untuk lepas dari obat laknat itu dan keinginan untuk menyenangkan teman.
Karena saya bukan petugas pajak dan bukan korban narkoba, dan bukan pula petugas pajak yang terkena narkoba, saya mudah sekali bilang, "ya, jangan mau berteman dengan dia! Teman kok menjerumuskan begitu!"
Tapi kalau anda pernah berada pada posisi dimana nilai kesetiaan anda diuji oleh teman anda dari kesediaan anda mengikuti apa mau si teman.... ehem... ternyata tidak mudah ya.

Di luar kemasan iklan yang basi itu, saya mendapati suatu pesan bijak -yang entah sengaja atau malah tidak sengaja keluar dari iklan itu- akan nilai pertemanan.
Kamu kan temanku. Kenapa kamu tidak mau menolongku?"
"Katanya kamu kan temanku. Kok tega kamu membiarkanku begini?"
"Apa artinya kamu jadi temanku kalau kamu tidak mau mengikuti mauku?"

Dia yang berpikir temannya seharusnya mau menolong dia dengan cara mematikan hati nurani sesungguhnya tak pantas kita jadikan teman.
Seorang teman tidak akan pernah menaruh diri kita pada posisi dimana kita harus membutakan mata keadilan dan membisukan hati nurani hanya demi dirinya seorang.
Bawa pertemananmu ke tempat lain saja.

Not a Contest. It's a Sharing.

Tengah malam sebelum pagi hari Sabtu datang, saya berusaha membuka yahoo account saya. Berusaha dengan susah payah karena koneksi internet di rumah saya dodolnya gak ketulungan. Setelah bolak-balik refill kopi, kelar dua slide presentasi, ngutak-ngatik status FB, barulah inbox saya terbuka.

OHO? Ada email dari panitia Pesta Blogger 2009. Apa nih?! Saya klik email itu dan... saya harus menunggu seabad kemudian untuk melihat isi emailnya...

Beberapa saat kemudian...
Penantian saya berbuah manis. Sebuah surat undangan terpampang indah di depan mata saya.

Kepada Yth.
Ibu D Mariskova
Pemenang Lomba Menulis Pesta Blogger 2009
di tempat



Saya jingkrak-jingkrak joget-joget ketawa-tiwi sendirian dan dalam silent mode karena si Papap dan Hikari sedang tidur nyenyak. Alhaaamdulillaaaahhh.... Dan hari Sabtu kemarin, saya dipanggil ke panggung di PB09 untuk menerima hadiah sebagai pemenang kedua! Alhamdulillah!

Walau klise, saya terus terang tidak menyangka akan menang. Selain karena pesertanya seratusan orang, tulisan Pemenang itu saya tulis bukan untuk ikut lomba PB09. Tulisan itu saya tulis karena terinspirasi dengan upacara bendera di sekolah Hikari. Dan ketika saya lihat Writing Contest PB09 mempunyai tema yang sama, saya kemudian mengikut sertakan tulisan itu. Gak pernah saya mimpi bisa mendapat perhatian dari Arswendo Atmowiloto dan Ndorokakung!

Eniwei, satu hal yang membuat saya terharu menjadi pemenang lomba itu adalah perasaan bahwa saya bisa share sesuatu kepada manusia sejagad raya internet yang bisa Bahasa Indonesia. Bahwa sharing saya itu dibaca orang lain, dan mungkin (mungkin) menginspirasi orang lain. That's what blogging is about, for me. You write, share, and inspire.

Terima kasih kepada panitia, juri, dan teman-teman yang sudah memberi komentar di post tersebut. Juga kepada Daffodil, Je, dan Sanjaya_ken yang kebahagiaan mereka melihat saya bahagia terasa lebih besar dibanding kebahagiaan saya sendiri. Terima kasih kepada teman-teman yang selalu menyemangati saya menulis. Dan terutama, terima kasih kepada para siswa teman-teman Hikari, anak-anak Indonesia yang ikut upacara bendera waktu itu. Kalian telah mengajarkan saya arti nasionalisme dan pluralisme sesungguhnya dalam wujud yang paling bening.

photo source: pestablogger 09

Don't Mess With Me lah!

Beberapa bulan lalu saat sedang makan siang nikmat dengan teman di kantin yang panas membara HP saya berbunyi. Nomor tidak dikenal tapi dimulai dengan 0818.
"Halo?" kata saya.
Suara laki-laki berlogat bukan Jawa, bukan Betawi, bukan Sunda, terdengar di seberang sana.
"Selamat siang, Ibu. Saya dari XL dan ingin mengabarkan kabar gembira...." kalimatnya digantung.
"Ya?" jawab saya. "Seberapa gembira?"
Suara orang menelan ludah terdengar disana.
"Dalam rangka ulang tahun XL yang ke... (saya lupa secara saya enggak pernah inget angka), XL bekerja sama dengan TransTV mengadakan undian berhadiah. Daaan.... ibu salah satu pemenangnya..."
"..........."
"Bu? Bu?"
"Iya. Trus kenapa?"
Suara laki-laki menahan kesal.
"Ibu mendapat hadiah."
"Hadiah apa?"
"Uang sejumlah tiga juta."
"Cuma tiga juta?"
Suara laki-laki berusaha keras menahan kesal.
"Tolong Ibu catat nomor registrasi pemenangnya ya."
"Sebentar. Saya gak punya pulpen."
"Sudah, Bu?"
"Sebentar!"
"Nomornya...3f8e1c1d1a..."
"..........."
"Bu?"
"Ya?!"
"Bu, untuk mentransfer hadiahnya, kami memerlukan nomor rekening Ibu. Sekarang."
"Gak bisa."
"Kenapa?"
"Saya lagi nyupir."
"Bisa diambil kartu ATM nya aja untuk dilihat nomor rekeningnya?"
"Saya lagi nyupir. Bapak mau saya kecelakaan?!"
"Kalau gitu Ibu segera ke ATM terdekat aja."
"Gak bisa."
"Kenapa?"
"Saya lagi nyupir di jalan tol!"
Suara laki-laki tidak sabar.
"Kapan Ibu bisa segera ke ATM?"
"Sejam lagi. Biar saya aja yang telpon Bapak. Nama Bapak siapa?"
"Ibrahim Saleh."
"Oke."
Tuuuuuuuuuut. Telpon saya matikan sambil tertawa ngakak.

Sabtu siang, nomor telpon 0818906023 menghubungi saya. Suara laki-laki berlogat (lagi-lagi) bukan Jawa, bukan Sunda, bukan Betawi, terdengar.
"Selamat siang, Ibu. Saya dari XL ingin memberi tahu kabar gembira."
Saya menghela napas. "Lagi?!"
"Maksudnya?"
"Kabar gembira apa?"
"Dalam rangka ulang tahun XL kelima, kami memberikan hadiah kepada pelanggan XL."
"Terus?"
"Ibu salah satu pemenangnya."
"Terus?"
"Ya, Ibu menang."
"Ya, terus kenapa?"
"Ibu akan mendapat hadiah."
"Terus?"
"............." laki-laki itu diam.
"Ya? Terus kenapa kalau mendapat hadiah?!"
"Ah, sudah lah. Tak jadi lah, Bu!"
Dia langsung mematikan telpon.
Sialan! Harusnya juga gue yang matiin telpon duluan!

In Friends We Trust

To modern people like you and I, a friend means a lot more than just someone we meet on the street, at work, in KRL Jakarta-Bogor, etc. One Facebook's fortune cookie even mentions that one's greatest fortune is the large number of friends one has.

A friend oftentimes has more impact on us than our parents or siblings do. When we you get dumped, the first person you share the story with is your friend. Not your mom, especially not your father. When our office life is like hell, the one you share the details with is your friend. Not your brother or sister. When you are caught cheating on your boy/girlfriend, the one who finds it out first is your friend. Not your family members. We hardly share important-emotionally challenging issues in our life with our mother/father/brother/sister. When we talk to them, it is usually when we get promoted, when we get promoted, or when we get promoted.

Without disrespecting our parents and siblings, there are tons of reasons why we don't share our day-to-day stories with them.
1. There is always a speech following the storytelling session. I don't know about you, but I'm really not a good speech audience. And mind you, the speech can last more than a week.
2. This can come with the speech, or separately: the accusation. You are the problem, not the problem itself.
3. The insults, especially from your siblings. How could you be stupid like that?
4. There is this need to act like a good child in the eyes of our parents, even if you have to fake it.
5. There is this need to act like we are smarter than the rest of the world population in the eyes of our parents, therefore we never make mistakes.
6. ..................... (fill in yourself).

Friends, on the other hand, seem to always be there and do the right things when we have problems. Besides...
1. Our encounter with them is always meaningful (in the office handling difficult jobs from difficult boss).
2. Our encounter with them is always in the 'quality time'. From 8 to 5, Monday through Friday. The time when we meet our parents and siblings is usually before sunrise and after sunset.
3. Friends don't give us speech. If they do, they would never be our friends in the first place.
4. Friends don't insult our stupid action in front of us.
5. Friends give us applicable solution, no matter how silly the solution will seem to be in the future.
6. We don't need to be somebody else when we are with our friends. There is no demand to be the most perfect one. Friends don't do perfect.

Disagree?
Sure, you may argue that friends are not that all-angelic. You may argue that blood is thicker than teh botol you share with your friends. Well, you may not confide with some friends, but you do keep a short list of friends in the innerside of your heart. Don't you?

Then, what if that one friend you keep in your very very very short list hurts you?
Probably you would reconsider the definition of friend. You'd change the friend term in wikipedia if you could. You'd check if what that person does can be considered a crime and so it can justify you to send that person to jail. You might spam on Facebook bad-mouthing that person, or you'd close your Facebook account all together. Or, you'd just remove that person from your Facebook friend's list...

I, myself, have to admit that I don't really have that many friends out there. It's not because I am choosy. It's actually -well- embarassingly because those people can't stand me. And when some people can stand me, they usually fill my list of friends easily. And when they are in my extremely very short list, I usually regard them highly. I usually trust them without doubts.

But, again, as you may argue, even the friends in our very short list might hurt us, intentionally. I know. I have been there. And I should say the 'forgive but don't forget' thing is bull****. You can't forget, let alone forgive. No matter how hard you try. Trust me, I had tried really really really hard. The trying hard to forgive and forget is really exhausting. When it is not successful, it is not only exhausting but also frustrating. My heart is drained.

On the eve of this year's Eid El Fitr, I was in the car to visit some relatives. The sound of incoming sms filled the car continously. My friends sent me Eid Mubarak's greetings. Some sent me similar message, some sent me sms with greetings so beautiful that I kept them in a separate box. You might say that those people sending the sms might not really mean what they sent. You might argue that Eid Mubarak sms is just a trend, not a sincere request.

I don't care.
The fact that someone is willing to spend some Rupiah to send the greetings is touching.

Then, it was my turn to return the sms and to send some to others. I wrote the Eid Mubarak's message and started to check in the names. I started with the As. The name list in my cell phone went down, and down, and down... and I stopped. My used-to-be friend's name was still there. I hadn't delete it. And that moment, I froze. Really froze.

Let me tell you how it felt when I froze. I felt cold, and pain, and anger, and sadness, and anger, and more pain. I was staring at the monitor half the trip with memories filling inside my head. I could have skipped the name, you know. But, somehow, I couldn't do it as spontaneously as I wanted to.

Minutes passed. I knew I had to release my pain. It had been too long and I didn't want it to occupy my heart anymore. Enough is enough.
I looked down to my cellphone. My right thumb moved. I checked in that name and... SENT.

This year's Eid El Fitr taught me that some friends may not deserve our trust. But, I will always make sure I deserve my friends' trust. Do you?

Happy Eid Mubarak.
May you have an englightening Ramadhan this year.

Confidence is...

Confidence is what you have before you understand the problem. -Woody Allen


I found this saying above by Woody Allen a few months back and I giggled. I liked what he said and couldn't help myself agree with him. At that time, I didn't realize I would meet a situation so true like the saying.

Just a few days ago, the staff and I were in the middle of a panicky-and-chaotic situation. We were going to hold a big event, but something went unexpectedly wrong: nobody seemed to be interested in signing up. The staff were having butterflies in their stomach. I didn't have butterflies. I had bees.

To tell you the truth, the event was actually not our project. We were not even a committee. At least, I know I wasn't. Our name was not on any paper or proposal, except for flyers (*blaming the boss*). The event suddenly became our project only because it was held in our office. What a nice modus operandi! We became so emotionally-physically-mentally attached to the event because of our feeling of responsibility. If things screwed up, our office would take the blame. Nobody out there would even bother to read the proposal to find out who is the committee and who is not. So, there we were. Doing the job of other people. Couldn't even complain about it.

It was rather funny (in a sillier way) actually when I remember how confident most of us were in the beginning. And one person was even more confident than the rest of us. He-who-must-not-be-named was everything but humble. He thought he had orchestrated a very beautiful symphony with players eager to do what he commanded. He was so proud about it and couldn't let us have peace without him telling us how great his performance was. I was bored to death but people say murder is a crime so I restrained myself from the urge to kill him. Trust me, I was that close.

Then things started to fall apart. He found himself confronted with the ugly situation. He understood... and soon enough his confidence dropped.

I learned something about people that very second. When people are confronted with an ugly situation, they usually would react in two predictable ways: blame others or deny. He-who-must-not-be-named was rather outstanding. He did both: He blamed others for not playing the role he put upon them and then denied that there was a problem. Rather contradictory, don't you think?

At the end of the day, I think we have to do it the other way around. Instead of being confident at first and comprehending later, we might want to understand all the facts first then build our confidence step by step. It is a safer journey.

Antara Merci dan Blackberry

Sewaktu harga bensin naik di tahun 2007, efeknya langsung terasa di kehidupan rumah tangga kami. Begini lah nasib pegawai tanggung. Harga bensin naik sedikit, menu makanan di rumah langsung berubah drastis. Bila sebelumnya masih mampu bawa mobil ke kantor setiap hari tanpa berkeluh kesah, setelah harga bensin naik saya mulai menjadwalkan naik bis beberapa hari dalam seminggu demi kesehatan jantung dan terpeliharanya amalan dari dosa keluh kesah. Semua jalan pengetatan bujet dilakukan demi terselenggaranya kehidupan rumah tangga yang bebas hutang dan jauh dari kebangkrutan.
Tapi kok kenaikan harga bensin sepertinya hanya berpengaruh pada kami? Serius ini! Bukan karena kami terlalu sensitip. Lah, pemandangan di jalan raya saja seperti menyetujui asumsi kami. Mobil-mobil mewah tetap berseliweran dan jumlahnya malah rasanya semakin banyak.

Logikanya nih, kalau sudah mampu beli mobil mewah, bensin pasti sudah tidak lagi menjadi faktor penting dalam pembukuan keuangan rumah tangga kan? Setidaknya begitu itu rumusannya menurut teori brand image. Untuk orang-orang ini, bensin pasti lah masuk ke bagian paling dasar dari piramidnya Maslow, bergabung dengan kebutuhan dasar lainnya seperti sandang, pangan, dan papan (dan mungkin koneksi internet). Sementara itu, posisi orang-orang ini di piramid Maslow pasti sudah ada di paling atas: yang dicari sudah self-actualization, bukan duit recehan untuk bayar bensin seperti saya.

Setuju?

Pada suatu siang yang panas, saya sedang bersenda gurau dengan teman-teman. Obrolan terhangat di siang panas itu adalah fesbuk.
Udah nge-add siapa, lu?
Di add siapa, lu?
Si bos elu add gak?
Nggak dong. Sori ye.
Udah di remove sama sapa, lu?
Ouch!
Di tengah hangatnya topik fesbuk, seorang teman lalu mengeluarkan Blackberrynya. Siang di hari itu Blackberry masih jarang dimiliki orang. Mengeluarkan Blackberry di masanya belum jaman jelas menandakan keunggulan ekonomi yang berbuntut pada keunggulan self-image. Sialnya, kami saya malah membenarkan keunggulan si teman dengan komentar yang agak norak,
"Wih!"
"Cieee!"
"Aw!"
"Busyet!"
"Punya lo?"
(Pertanyaan terakhir -bukan milik saya- dijawab dengan dampratan pemilik)
Kami, eh, saya yang segera tersadar dengan kenorakan tadi segera mengubah strategi dengan pura-pura bertanya tentang fasilitas Bbnya.
"Bisa email ya?"
"Bisa fesbukan?"
"Bisa internetan?"
Ternyata pertanyaannya tetep norak.
Si teman pemilik Bb mulai beraksi menjelaskan kecanggihan gadget baru itu. Kalimat pamungkas dari dia adalah, "kerja jadi efisien. Udah kayak kantor berjalan. Gue gak perlu buka-buka laptop lagi. Semua bisa gue kerjain dari sini. Nelpon, ngimel, sampe maen fesbuk! Hehehe..."
Kami manggut-manggut.
Begini memang seharusnya tampilan manusia sukses. Gadget kecil aja bisa bikin kerja efisien. Apa gak tiap bulan dapat promosi jabatan dia?!

Selagi kami melanjutkan obrolan yang masih berkutat pada fesbuk dan Bb, suara telpon terdengar berdering. Semua orang spontan mencari henponnya masing-masing. Ternyata suara itu bersumber dari tas si pemilik Bb.
Teman saya itu mengeluarkan henponnya. Henpon cdma kecil. Dia segera sibuk menjawab telpon yang ternyata dari kantornya. Semenit kemudian, dia selesai bicara dan mendapati kami sedang menatapnya.
"Kenapa?" tanyanya polos.
"Kata lo Blackberry bisa dipake nelpon..." tanya teman saya yang satu juga dengan polos.
"Emang bisa. Terus?" tanya si pemilik Bb lagi.
"Bukannya lebih efisien kalo elu make Bb buat semua-mua termasuk nelpon?"
"Ooooh... ya, emang," kata si pemilik Bb dengan santai. "Tapi kan pulsanya lebih murah kalo gue pake telpon yang cdma."
"Huahahahahahahaaaaa..."
Spontan saya tertawa ngakak.

Pesan moral kali ini:
1. Tahan tawa anda bila anda berada dalam kondisi seperti saya, kalau anda masih ingin dianggap teman. Akibat tawa spontan saya, sampai hari ini, si teman masih ngambek sama saya.
2. Terkadang, teori -secanggih apapun- pasti ada deviasinya.
3. Berlaku hemat (baca: sesuai isi kantong) katanya sebagian dari iman. Saya sendiri masih harus mengulang-ulang kalimat ini supaya nyantol di perbuatan saya.

First TV Interview

A friend gave my name to SUN TV station when the station was looking for a female figure with certain profiles to be interviewed for their woman program, Aksen. He meant it as a surprise but it was soon discovered that he was no good in keeping secrets. Soon, he informed me about it and the first thing I did was... laughing. Laughing like when you hear something really funny and your first reaction is 'Aw! Get outta here!'

A few weeks after, he called me when I was on my way home from work. Between talking and giggling (you'll never know if a male creature can giggle like he does), he told me somebody from the tv station would call me later. I laughed (again) and said OK. What could they possibly want from me anyway? And then, long story short, they did call. Long story short, I found myself doing an interview for them...

During the filming (being interviewed, walking here and there, posing like this and that), I was grinning all the time. I almost failed to hide my laughs. If I were fair-skinned, I was sure my cheeks were glowing red. And there were my colleagues, other employees, people I didn't know. Oooh, it would take a year to make them forget about it. For me, it was like... 'GOSH, now I know I wasn't born for this'. No wonder life made me a teacher and not an actress, no matter what some experts said that teaching is 90% acting and 10% skills.

Then, the program was aired on Sunday, 28 June, at 4 PM. Just in case you ask, I didn't record the program, but Papap took some pictures (of the tv monitor!). From now on, I will give some respects to those actors who can do things in front of the camera without even a little urge to grin.

Never Ordinary

Gara-gara mengalami susahnya nyari parkir di UI Salemba, siang tadi saya membujuk teman saya si Je untuk mengojeki saya ke Salemba. Sebelumnya saya pernah ditolak dia juga. Katanya, "Naik taksi dong, Dep. Jangan sok susah deh." Tadi siang, saya ditolak lagi sama dia. Dari yang beralasan harus meeting di kantor pusat lah, lalu baru sampe kantor lah, trus harus ngerjain ini itu lah. Kalau bukan karena saya butuh motornya, sudah saya *tuuuuuuut* dia!

Berbekal rasa tak tahu malu, saya kembali memaksa dia mengojeki saya saat saya bertemu dia di kantin pas makan siang tadi. Tentu saja dia sok nolak lagi.
"Gile lu, gue baru sampe kantor nih!"
"Ntar gue dicariin!" (sapa sih yang mau nyariin elu, Je?)
"Gue harus ngerjain sesuatu."
Tentu saja saya tetap bersikap tak tahu malu. Terus memaksa. (Ha!)
Akhirnya, dia menyerah juga.
"Sekarang ya?!"
"Sekarang jam makan siang. Disono juga tutup kalee!"
"Elu tuh emang paling-paling deh! Udah minta tolong tapi pake minta syarat lagi!"
Dia cuma bisa menggerutu.

Setelah dia selesai makan -dan saya BELUM-, dia bilang dia akan menunggu saya di lobi. Saya selesai makan setengah jam kemudian...
Setengah jam kemudian, saya berlari ke ruangan saya di lantai 4 untuk mengambil perabotan lenong yang mau dibawa. Sambil berjalan turun tangga (lagi), saya menelpon dia.
"Ya udah, gue turun," katanya singkat.
Eh, ternyata perabotan saya ketinggalan satu. Saya balik naik lagi ke lantai 4.
Dari kaca-kaca gedung, saya bisa lihat teman saya ini sudah sampai di lapangan parkir. Saya juga lihat dia berjalan menuju parkiran motor yang berseberangan dengan pintu lobi.

Sesampainya saya di parkiran, dia berteriak-teriak sambil berjalan cepat menuju saya. Di tangannya ada kunci motor.
"Dep! Dep! Motor gue.... ilang! Motor gue.... ilang!"
Beberapa karyawan menjadi saksi kepanikannya.
"Apaan sih, lu?"
"Gue pikir motor gue ilang!"
"Hah?"
"Gue kan gak bawa motor hari ini!"
"Jadi motor elu ilang atau apa sih?"
"Gue tadi ke parkiran. Gue nyariin motor gue kok gak ada. Gue pikir motor gue ilang."
"Jadi motor elu ilang?"
"Gak! Hari ini gue gak bawa motor! Huahahahaha..."
Pemirsa, kalo ada orang yang bisa menertawakan ke*tuuuut*an sendiri, Je lah orangnya.
"Naek mobil lo aja deh!"
"Emangnya elu bisa markirin?!" semprot saya. "Gue ngajak elu karena butuh motor lu!"
"Emangnya parkir butuh skills sendiri ya?" semprot dia balik.
"Dodol! Elu kan gak bisa nyupir! Ntar kalo gue kudu turun, mobil gue mo ditaro mana?!"
"Ya udah, kita naek bajaj aja!"
Sambil ketawa-tawa dia ngajak saya naik ojek. Saya mengikuti dia sambil mikir. Kayaknya ada yang aneh nih.

Sebelum dia sempat memanggil bajaj, saya memberi pengakuan.
"Je, gue gak bisa nawar. Elu aja yang nawar ya!"
"Elu tuh ibu-ibu gak bisa nawar!"
"Sembarangan lu ngomong gue ibu-ibu!"
"Nih, lu liat orang Arab nawar."
Kayak penting banget gitu nunjukin ras pas kondisi begitu?!

Hebatnya, dia berhasil menawar si tukang bajaj untuk mengantar kita ke Salemba dari kantor di Pramuka seharga 8000 saja! Laen kali gue bawa ke tukang sayur gue ya, Je!
Di dalam bajaj saya masih berasa ada yang aneh.
"Elu tadi naek apa ke kantor?"
"Jalan. Eh, elu lama gak entar?"
"Gak," jawab saya.
Si Je menyolek tukang bajaj, "Bang, entar tungguin kita ya. Kita cuma bentar."
Si abang ngangguk aja.
"Je, si bajaj mau dibawa masuk?"
"Iya."
"Terus ini bajaj parkir dimana pas gue turun?"
"Nggg...."
"Lagian elu ngapain ikut gue ke Salemba? Gue kan cuma butuh motor lu."
"Hiahahahaha.... Bego banget ya, gue?!"
Saya gak komen.
"Terus tadi gue pake belagak nolak diajak lagi! Huahahaha...."
Saking kesiannya, saya janji padanya untuk tidak menghina dia hari ini, while I have a very good reason to do it!
"Terus motor lu ditaro mana?"
"Di kos."
"Kenapa bajaj ini gak nganter kita ke kosan elu aja terus kita naik motor?"
Wajah si Je seperti mendapat pencerahan. Singkat cerita, dia nyolek si abang lagi untuk berhenti sebelum pintu kereta api Pramuka.
"Sini aja, Bang! Ini duitnya, Bang! Berapa tadi? 8 ribu?!"
Udah gitu, pemirsa, dia juga yang bayar bajajnya! Dia yang bayar!

Singkat cerita lagi, kami berhasil mengambil motor Je dari kosannya. Sebelum jalan, dia memberi saya sepotong(!) helm yang saya gak yakin ada fungsinya selain untuk mengusir Polisi.
"Je, elu jangan jatoh ya!"
"Je, elu punya SIM kan?"
"Please, deh, Dep. Udah jalan bgini elu baru nanya SIM?!"
"Je, elu nyupirnya model supir metromini naek motor ya?"
"Je, ini kok anginnya banyak banget sih?"
Bukannya menenangkan saya, dia malah sibuk cerita. Kepalanya ditolehkan ke kiri untuk bercerita sepanjang jalan. Sepanjang jalan!!!
"Je, elu itu satu-satunya orang yang nyupir motor sambil ngobrol, tau gaaaaak?!"
Jawaban dia singkat aja.
"Dep, kalo kita sampe ke kantor dengan selamat, elu kudu beramal artinya!"
O-MY-GOD!

Je, my friend, this is my way of saying thank you. With you, a day is never ordinary. Tapi teteup, gue masih pengen idup!!!

Pesan moral saya kali ini adalah try to have an extraordinary day once in awhile. Leave your comfort zone -in my case riding a motor bike with this insanely crazy creature0 and have a blast. Don't forget your helmet, though. Safety always comes first even on the most extraordinary days.

My life begins at...

I don't know if it's busy-ness, boredom, or simply mindless-ness (if such thing ever exists). I do know, however, it's been circulating like virus. First, Pak Dhe went MIA, then Nenek went AWOL, and finally I just couldn't find the right words to write in my blog. Gosh, it was so easy to follow their lead and just forget about this blog.

Naturally, when s**t happens, people I'm busy to find something to blame. Or someone. Or both. In my case, it's easier to blame my work load and the people behind it. I'm just a human being after all.

Lately, my work has been draining my positive energy. I have learned that I should not write anything, or even be near any writing tools (paper, notebook, notebook, tabletop...) when my positive energy level is low. I have learned, though, that kick-boxing-kind of aerobics IS the best place to be when my positive energy level needs recharging.

Then there was this day when I was so fed up with something, and then someone, and then both, but I couldn't get my trainer to give me a private kick-boxing session. Eventually I wrote 'My Life Doesn't Begin At Work' for my FB status. In no time, people gave comments. How nice.
One friend wrote '... it just ends there', which was quite amusingly catchy if I was in a different mood. Another friend put '... but it revolves there', which was also amusing but of course I would never admit that to him. I will admit, though, that my life is indeed kind of revolving around my work. And I hate that very much. I also know the only thing that can stop my work from ruining my life is to turn off my cell phone. Period.

Period?
There was this movie about a daughter who felt burdened by her father's certain expectations on her. The daughter wanted to go on with her life but she couldn't because she felt it would be like betraying her dear father. That would be what would happen if I turned off my cell phone. It would be like betraying my friends while they were in a combat field. Then I remembered what an old lady said to this miserable daughter. The old lady took the daughter's cell phone and turned it off. She then said, "sometimes what you need is simply to turn off the phone".
I don't have an old lady who can grab my phone and turn it off for me.
So, I decided to do it myself.

Message of the day: when you feel that the world gives you too much pressure, you can always turn off the phone. PHONE! Do not turn off the internet connection you use for blogging!

Blogger Templates by Blog Forum