Imej
Tuesday, July 29, 2008 by Mariskova
Mungkin memang bukan salah anak-anak ketika setiap kali ditanya cita-citanya selalu menjawab PD, "jadi dokter!"
Dokter.
Di mata mereka (dan kita?), dokter itu hebat, tau segala-gala, bisa bikin penyakitnya hilang, tempat papa-mama bertanya (kadang-kadang pakai nangis juga), kelihatannya pintar, penampilannya necis, bla bla bla...
Setidaknya saya harus setuju tentang penampilannya necis. Berjubah putih pulak! Semua dokter yang saya lihat/kenal setidaknya memang necis. Hampir semua.
Saat itu saya sedang duduk di ruang tunggu RS menunggu giliran untuk dipanggil. Dokter yang saya tunggu belum datang juga. Saya sendiri belum pernah lihat tampang si dokter. Lalu, seorang laki-laki setengah baya dengan wajah kuyu berkulit gelap rambut acak-acakan, berkemeja lecek warna coklat luntur dan celana abu-abu muncul. Sembari lewat di depan para pasien -termasuk saya- dia menatap orang-orang yang sedang menunggu satu persatu. Begitu giliran saya, wajah butek saya (akibat kelamaan menunggu) langsung berkerut-kerut sembari melotot memberi pesan singkat, "apa lu liat-liat?!"
Laki-laki itu kemudian masuk ke ruang praktek dokter di depan saya. Belum sempat saya bereaksi, si suster memanggil nama saya untuk masuk.
"Silahkan, bu."
"Memang dokternya sudah dateng, sus?"
"Sudah."
"Kapan?"
"Barusan."
"Hah? Yang mana?"
"Yang baru aja masuk!" kata si suster heran.
Mampus gue!
Pesan moral saya kali ini: dokter belum tentu memakai jubahnya kemana-mana...
Dokter.
Di mata mereka (dan kita?), dokter itu hebat, tau segala-gala, bisa bikin penyakitnya hilang, tempat papa-mama bertanya (kadang-kadang pakai nangis juga), kelihatannya pintar, penampilannya necis, bla bla bla...
Setidaknya saya harus setuju tentang penampilannya necis. Berjubah putih pulak! Semua dokter yang saya lihat/kenal setidaknya memang necis. Hampir semua.
Saat itu saya sedang duduk di ruang tunggu RS menunggu giliran untuk dipanggil. Dokter yang saya tunggu belum datang juga. Saya sendiri belum pernah lihat tampang si dokter. Lalu, seorang laki-laki setengah baya dengan wajah kuyu berkulit gelap rambut acak-acakan, berkemeja lecek warna coklat luntur dan celana abu-abu muncul. Sembari lewat di depan para pasien -termasuk saya- dia menatap orang-orang yang sedang menunggu satu persatu. Begitu giliran saya, wajah butek saya (akibat kelamaan menunggu) langsung berkerut-kerut sembari melotot memberi pesan singkat, "apa lu liat-liat?!"
Laki-laki itu kemudian masuk ke ruang praktek dokter di depan saya. Belum sempat saya bereaksi, si suster memanggil nama saya untuk masuk.
"Silahkan, bu."
"Memang dokternya sudah dateng, sus?"
"Sudah."
"Kapan?"
"Barusan."
"Hah? Yang mana?"
"Yang baru aja masuk!" kata si suster heran.
Mampus gue!
Pesan moral saya kali ini: dokter belum tentu memakai jubahnya kemana-mana...