Showing posts with label Other soul. Show all posts
Showing posts with label Other soul. Show all posts

Look Who's Talking

Hujan dari semalam di pagi ini belum juga reda. And I thought I could have a nice comfortable sleep from the sound of the rain.
Jam 6 pagi, hujan masih mengguyur tapi saya sudah harus bangun dan mandi. Kepala yang nyut-nyut karena migrain dan bayangan akan jalanan yang pasti macet berat membuat persiapan saya ke kantor tidak ikhlas. Tidak sepenuh hati. Tapi saya harus bangun karena kewajiban mengantar Hikari ke sekolah.

Jam 7 pagi, saya selesai bersiap dan Hikari selesai makan pagi. Mungkin karena dingin dan kurang tidur, Hikari juga terlihat lesu. Toh dia masih sempat menarik saya segera berangkat karena takut terlambat. Dia masuk jam 7:30. Diantara kelesuannya, dia masih terlihat ikhlas akan kewajiban masuk sekolah.

Keluar dari komplek, saya lihat antrian di jalan Alternatif Cibubur sudah mengular. Sekali lagi saya mengeluh. Saya sudah bisa membayangkan jalanan yang hanya 5 kilometer ke sekolah Hikari pasti juga macet. Apalagi, para polisi senang sekali menutup belokan ke kanan ke arah Cikeas sehingga saya harus menyetir dua kilometer lebih jauh hanya untuk U-turn.

Mendengar saya menghela napas berkali-kali, Hikari bertanya. "Mama kenapa?"
Jawaban saya singkat, "sakit kepala, Nak. Macet lagi."
Hikari diam lagi dan sibuk dengan coretan-coretan gambar dinosaurusnya.

Beberapa ratus meter mendekati belokan ke Cikeas yang ditutup palang, jalanan sudah tersendat. Padahal U-turn masih 4 kilometer lagi. Diseberang belokan, saya bisa melihat seorang polantas mengatur jalan. Tiga mobil di depan saya mendekati belokan Cikeas, polantas itu berjalan menyebrang ke arah palang jalan. Mata saya terpincing ke arahnya tidak bergerak. Hati saya berdebar keras.
Dua mobil di depan saya mendekati belokan Cikeas, polantas itu dalam gerakan lambat menarik palang-palang dari belokan. Saya spontan melambatkan mobil yang sudah lambat karena harus mengantri.
Satu mobil di depan saya, dalam satu sentakan, polantas itu membuka belokan dari palang-palang penghalang! Saya memberi sen kanan dan Pak Polantas yang melihat sen saya melambaikan tangan untuk menyuruh saya berbelok.
Alhamdulillah!
Alhamdulillah!
Alhamdulillah!

Mendengar saya terus-terusan berkata Alhamdulillah, Hikari menegakkan tubuhnya melihat ke depan mobil dan bertanya ke saya.
"Kenapa, Ma?"
"Kita bisa belok, Nak. Alhamdulillah."
"Kenapa? Pak Presiden mau lewat?"
(Ya, biasanya belokan dibuka bila Presiden akan pulang ke rumahnya)
"Enggak, Nak. Pak Polisi itu baik hati. Kita dibolehkan lewat."
"Kenapa boleh?"
Saya tersenyum dan tanpa sadar mengeluarkan ceramah khas emak-emak.
"Karena Hikari ikhlas mau sekolah. Kita dibantu Allah. Kalau kita ikhlas, Allah akan bantu."
Hikari menoleh ke arah saya lama.
"Kenapa, Nak?"
"Mama juga ke kantor harus ikhlas..."

Astagfirullah....

MY(!) McGyver

Sewaktu baru menikah, mama mertua saya pernah mewanti-wanti saya di depan anaknya, si Papap. Kata beliau, jangan pernah sekali-kali membiarkan si Papap bereksperimen dengan peralatan di rumah. Akibatnya bisa saya harus keluar duit untuk beli alat yang baru.
Alaminya, wanti-wanti mama mertua saya tidak digubris Papap. Ibarat ulat bulu yang ijo melihat dedaunan dan bunga-bunga Adenium saya, Papap juga selalu ijo liat mur, tang, dan gagdet rusak. Dari senter sampai mobil, semua dibongkar. Papi saya, si Kumendan, sempat stress liat kelakuan mantunya. Kenapa stress? Pak Dhe Mbilung bisa menjelaskan dengan singkat tepat dan padat: setiap mbongkar, lalu memasang kembali, selalu surplus mur satu.

Korban parah terakhir Papap adalah pipa air untuk shower di rumah kami.
Ceritanya pada suatu hari, Papap ingin memasang hanger untuk shower yang posisinya di atas kepala. Jauh-jauh hari, Papap sudah mengkomunikasikan keinginannya ini pada saya. Saya, seperti yang sudah-sudah, cuma bereaksi kalem: diam saja. Papap ternyata pantang mundur maju tak gentar. Dibelinya seperangkat alat shower lengkap, tanpa ijab kabul. Lalu dia pun mulai menukang. Seperti yang sudah-sudah, saya juga mencoba untuk berbicara kepadanya. Beberapa kali.
Gak panggil tukang? Gak panggil tukang aja? Pap, gak panggil tukang ajaaa?!
Jawaban Papap selalu standar: Ah, gak perlu. Gue juga bisa.
Bayangkan kegaulauan hati saya!

Papap pun memilih hari baiknya dan mulai menukang. Dia mengambil bor dan mengambil ancang-ancang untuk membor dinding kamar mandi pas di garis di atas shower yang pendek. Tidak sampai semenit kemudian yang saya takutkan terjadi: AIR MUNCRAT DARI DALAM DINDING! Papap dengan sukses membor pipa air yang tersembunyi di balik dinding kamar mandi.
Kejadian setelah itu sangat logis. Air merembes ke ruangan dibaliknya yang kebetulan kamar kami. Pipa air bolong susah ditambal. Dan pompa air harus dimatikan yang mengakibatkan kami krisis air mandi. Anda tahu apa yang Papap lakukan setelah melihat bornya menembus pipa? Papap berseru-seru pada saya, "Lihat! Lihat! Ternyata bolongnya disitu!"
Coba tebak reaksi saya...

Setelah kejadian itu, Papap yang memang terbukti sebagai laki-laki bertanggung jawab segera melesat ke toko bangunan. Setelah dia selesai mengganti pipa bangunan, saya mendapat pemandangan dinding kamar mandi yang bolong berhias pipa air. Permintaan saya untuk memanggil tukang untuk menyemen dinding jelas ditolak lagi oleh Papap. Dia menyemen sendiri dinding kamar mandi kami. Dan sekarang saya mendapat hadiah dinding kamar mandi yang bocel-bocel keramiknya.

Kamar mandi dengan keramik bocel, raket nyamuk yang beralih fungsi menjadi mainan Hikari, handphone Nokia yang kameranya jadi tidak fungsi setelah dibongkar, mini dvd player yang tidak bisa muter lagi karena sparepartnya dicabut-pasang, power window mobil yang bunyinya jadi mirip timba sumur... adalah contoh kreatifitas Papap. Kreatifitas yang hasilnya saya rasakan selama delapan tahun ini. Kreatifitas yang seringkali membuat darah tinggi saya kumat.

Hari senin lalu, Jakarta rupanya sedang merayakan Hari Macet Sedunia. Saat pergi ke kantor saya sudah dihadang macet 2 jam. Senja hari saat pulang kantor saya terkena antrian di pintu gerbang tol yang sudah ratusan meter panjangnya. Saat sedang mengantri, jantung saya hampir copot karena temperatur mobil tiba-tiba naik, naik, naik, naiiiiikkkk.... Saya langsung kasih sen kanan, banting setir, memotong jalan orang, dan keluar dari antrian masuk tol. Berdasarkan pengalaman, saya tahu saya hanya punya waktu beberapa menit saja untuk menepi sebelum radiator saya meledak. Kejadian yang pernah saya alami 5 tahun lalu.
Saya berhasil minggir dan mematikan mobil, tanpa peduli klakson mobil dan motor yang merasa terganggu karena celah jalannya dihalangi oleh saya. Semenit saya duduk di mobil tanpa tahu harus melakukan apa. Saya bukan perempuan bengkel. Saya jenis pengendara mobil yang bisa berpikir perubahan pada posisi spion mobil bisa membuat mobil mogok. Yang kemudian saya lakukan adalah menelpon Papap. Dan ketika telpon itu tidak dijawab -karena Papap pasti sedang memacu motornya di jalan pulang juga- saya hanya bisa pasrah mengetik sms sambil berharap si Papap tidak mengaktifkan silent mode di handphonenya.

Pap, temperatur mobil naik. Aku mogok di pinggir jalan di Pedati.

Setelah itu, saya bengong selama sepuluh menit di pinggir jalan diantara kemacetan dengan kaca jendela tertutup dan tanpa ac.
Tiba-tiba, handphone saya berbunyi. Nada dering yang saya pasang khusus untuk Papap. I could kiss him right there right then just to know that he called. Tigapuluh menit kemudian, Papap muncul di depan saya dan saya memandangnya seperti ksatria baja hitam yang datang menyelamatkan saya. I couldn't care less about Keanu Reeves at that time. Of course, unless Keanu could save me from my broken car.
Masih dengan jaket motor lengkap beserta sarung tangannya, Papap langsung membuka kap mobil. Handphone dipakai untuk senter, pisau swiss armynya dipakai untuk membuka mur di sana sini, beberapa botol yang saya tidak jelas isinya dikeluarkan dari bagasi. Papap langsung beraksi di pinggir jalan yang ramai. Dua puluh menit kemudian, temperatur mobil sudah distabilkan dan Papap pun memberi instruksi pada saya.
"Jalan aja. Aku ngikutin kamu dari belakang."
Mendengar kalimatnya, semua rasa takut dan khawatir saya hilang. Saya menyetir mobil dengan hati ringan. Walau jalannya mobil belum mulus, saya tak kuatir. Bayangan Papap di motornya di belakang mobil yang saya stir, sudah cukup untuk membuat hati saya tenang.

Lima belas kilometer perjalanan saya pulang ke rumah hanya satu yang saya pikirkan. Kejadian tadi membuat saya mengingat kembali kenapa saya bersedia menikah dengannya delapan tahun lalu. Betapapun Papap sering menguji level darah tinggi saya, saya selalu tahu satu hal tentang dia. He won't let anything bad happen to me.

Papap tersayang, selamat ulang tahun perkawinan yang kedelapan. I love you. I love you.

ps: terima kasih untuk mawar (pertama setelah 8 tahun pernikahan)nya. Aku akan pura-pura tidak tahu kalau kamu membeli itu di Kalimalang saat naik motor pulang ke rumah.

Love it while you can...

I've been very suspicious about this.
He is like glued to me.
Wherever I go, whatever I do, whenever...
It's not like he demands to go with me when I want to do some errands. Oh, I have no objection to let him come with me to those places where I go.
Instead, it's on those times when I have deadlines to finish, work to do, reports to make, WHEN I CANNOT MOVE AWAY FROM THE COMPUTER that he always puts himself around me, calling me, asking for my attention, calling me, calling me, calling me...

"Mama, look here!"
"Mama, hold this!"
"Mama, watch me do this!"
"Mama, why...?"
"Mama, how...?"
"Mama, what...?"
"Mama, mama, mama, mama!"

And HIS DAD is just a few meters away DOING NOTHING!

Right now, above my pressured feelings and rushed adrenalin, I'm taking a deeeeeep breath, holding his face between my hands, looking directly at his eyes, forcing the sweetest smile I have, and hearing myself saying, "tell me again about Monster Lochness?"

He is getting older fast and I cannot waste time by looking away.

Just Because You Are What You Are


First, it was her friendly comments.
Then, it was her intelligently witty responds.
After that, it was her caring words.
Finally, it was her heart all over
that makes me
wait for her
at the other end of the connection.

Happy Birthday, Fitri Mohan!
You deserve a great birthday full with a lot of loving wishes.
Just because you are what you are.
With you,
Chemistry has a whole lot different meanings!

-me-
still waiting at the corner of that street

REZAH

"Namanya Re-zah, Mama. Harus pake huruf H dibelakangnya. Mama harus sebut pelan-pelan. Reeee---zaaahhhh. Kalau pelan-pelan, namanya jadi merdu, Ma."

Rezah.
Itu panggilan Hikari untuk calon adiknya. Saya dan Papap hanya bisa tertawa mendengar rencana-rencana dia untuk adiknya.

"Mama jadi punya dua anak kesayangan, ya?"
"Adiknya perempuan atau laki-laki?"
"Kok perut Mama belum besar juga?"

Pertanyaan demi pertanyaan Hikari lontarkan tak sabar.
Sembilan hari yang lalu, pertanyaan itu berubah menjadi...
"Kenapa adik sakit, Ma?"
"Kenapa adik harus dikeluarkan sekarang?"
Dan saya tak punya jawabannya.
Yang saya tahu, life had been hard for this little one. Dia harus berjuang keras sekali sejak awal. Lalu Dia berkehendak Rezah hanya hadir untuk 12 minggu.

Mari Bicara dengan Teh

Entah kenapa saya tidak bisa melupakan iklan satu ini (ada dua scene): sepasang suami istri saling ngambek karena komunikasi yang gak nyambung. Si istri kemudian berpikir, 'Well, gue musti gimana ya?' Setengah detik kemudian si istri balik lagi dengan secangkir teh hangat. Suami yang sedang memble langsung cerah ceria dan hubungan mereka jadi harmonis lagi deh.

Apa yang bikin saya ingat iklan itu terus sih?
Apakah...
1. Buset. Selalu istrinya yang berpikir lebih dulu. (haha!)
atau, 2. Yang bikin masalah, di dua scene itu, selalu suaminya. (huahaha!)

Bukan, bukan dua hal itu yang membuat saya tak bisa melupakan pasangan itu. Saya justru membayangkan bagaimana kalau kejadian tulalit mereka terjadi pada saya dan Papap. Apakah secangkir teh bisa mengembalikan sambungan komunikasi menjadi lancar kembali?

Jawabnya...
Ya, enggak.
Karena, tentu saja, satu: Papap gak suka teh. Dua: Papap gak suka teh.
Got what I mean?

Percuma saya menyiapkan sejuta teh hangat merek apapun buat si Papap untuk melancarkan sambungan komunikasi. Yang ada saya malah bakal tambah sakit hati karena si Papap bisa dengan polosnya berkata, "ngapain kamu bikinin aku teh? Aku kan gak suka teh." (Yang di telinga saya bisa terdengar, "udah kawin sejuta tahun masih gak tau kalo gue gak minum teh?!")

Lalu, kalau komunikasi kami berdua sedang konslet, apa yang harus kami lakukan?
Ya, diam saja.
Dalam diam biasanya kami menata hati. Dalam diam biasanya kami mampu memundurkan bibir yang tadinya memble menjadi sesenti lebih tidak memble. Dalam diam biasanya kami mampu memikirkan ulang kalimat yang akan keluar dari mulut ("Dari tadi aku kasih tau masih gak ngerti juga?!" menjadi "Oh, belum paham ya sayang?"). Dalam diam biasanya kami bisa tidur dengan pulas...

Lalu, sampai berapa lama kami bisa saling diam? Kenapa gak pake secangkir teh yang bisa mengurai kabel komunikasi kurang dari semenit?
Seperti yang saya bilang tadi: teh bukan jawaban yang tepat atas solusi kami. Maka sampai berapa lama kami bisa saling diam itu tergantung. Tergantung siapa yang mau mulai menyapa, "Sayang..."

Biasanya sih Papap duluan...

Brain Dominance

Want to know which part of your brain is more dominant? See here!

Blogger Templates by Blog Forum