Senyummu Mahal

Sebagai pelanggan jalan tol Jagorawi terus ke tol Wiyoto Wiyono sampai mentok, saya hapal betul kelakuan ruas-ruas tol itu. Jarang cakepnya. Sampai-sampai para host di radio yang rajin menginformasikan kondisi jalan tol (mudah-mudahan amalan mereka diterima Tuhan!) cuma punya kosakata terbatas mulai dari 'antri, padat, padat-banget-percaya-deh-sama-gue'.

Kondisi ruas tol seperti itu ya wajar bila dilihat dari latar belakangnya: jumlah mobil yang luar biasa dan ketiadaan jalan arteri. Karena itulah saya tidak mengharapkan petugas loket tol yang setiap jamnya mengurusi pengguna ruas tol yang ribuan jumlahnya bisa-mampu-mau tersenyum pasa saya. Forget customer service 101. Masih bagus mereka gak asma kena asap hitam dari ribuan mobil yang lewat.

Saya pun maklum dengan ketiadaan senyum dan wajah lurus petugas loket yang tidak merespon ucapan terima kasih saya. Sampai saya menemukan senyum terhangat di gerbang tol Cimanggis.

Kalau anda pernah lewat gerbang tol Cimanggis dari Jakarta atau ke Jakarta, anda akan menemukan petugas-petugas loket penuh senyum dan rajin berucap terima kasih. Malah sapaan Selamat Pagi/Siang/Sore/Malam tidak pernah lupa diberikan. Suatu kehangatan yang seringkali membuat hari saya cerah. Thank you, you guys. Your smile has probably helped a lot of people survive another day.

Smile, and the world smiles with you.

Sent from my E71 Nokia phone

Mohon Kebijaksanaannya

Hari ini, setelah bertahun-tahun hidup di negeri ini, saya menyadari bahwa orang-orang Indonesia lebih banyak yang bijak daripada yang tidak. Apa buktinya? Dalam jangka waktu dua minggu saja, saya bisa mendengar kata kebijaksanaan disebut berkali-kali...

"Nilai saya kan hanya kurang satu poin saja. Minta kebijaksanaannya lah. Jangan kaku begitu."
"Anak saya kan hanya lupa bawa persyaratannya saja. Minta kebijaksanaannya supaya bisa ikut ujian."
"Mohon kebijaksanaannya. Saya mau anak saya belajar disini aja. Jangan di cabang lain."
"Minta kebijaksanaannya, Bu. Masa' cuma gara-gara telat melakukan pembayaran, kursi anak saya hilang?"
"Kalau poin saya kurang dari segitu, saya gak naik pangkat. Tolong kebijaksanaannya dong."
"...kebijaksanaannya..."
"...kebijaksanaannya..."

Be careful with what you wish for. Saya hampir tidak tahan untuk tidak menjawab, "Pak, Bu, Dek, Mbak, Mas, karena saya bijaksana makanya saya harus menolak semua permintaan anda!"


Mbok ya kalau minta orang lain bijaksana itu, tengok diri sendiri dulu. Sudah bijaksana belum permintaannya?

trying to be a gadget girl

Use a mobile feature. Hope it will work. Or else.

Sent from my E71 Nokia phone

Mau Bikin Resolusi Apa Lo?

Siang hari bolong tanpa petir, teman saya menanyakan posting saya yang baru.
Saya jawab, "Posting baru? Belum ada yang baru kok."
Dia merespon, "Emang belom ada yang baru."
Saya nyureng, "Udah tau kok pake nanya?"
Dia bilang, "Disindir kok gak ngerti?!"
Lah?

Dia lalu bertanya lagi kenapa saya belum juga nulis soal resolusi tahun baru seperti banyak beberapa blogger yang dia kenal. Bukannya njawab, saya malah curiga.
"Ngapain lo pengen tau resolusi gue segala?!"
Gantian dia yang nyureng.

Sebenarnya dia gak salah sih bertanya soal resolusi saya. Yang salah sebenarnya timing pada saat dia tanya. Saya sedang... eh, gak jadi deh.
Menulis resolusi di blog menurut saya banyak bagusnya. Salah satunya adalah sebagai alat pembuat malu (malu tanpa awalan dan imbuhan!) sekaligus alat pecut seorang blogger. Kenapa? Karena kalau sudah go public punya resolusi satu sampai seratus lalu gak ada yang tercapai kan malu. Jadi resolusi di blog itu memecut seorang blogger untuk bekerja keras memeras keringat membanting tulang untuk mencapai semua resolusinya.
Tolong dicatat saya menulis begini tanpa pernah menepatinya.

Balik ke pertanyaan buat saya: apa resolusi saya di tahun 2010?
Jawabannya adalah: gak ada.
Tapi jangan salah. Walau saya gak bikin resolusi, saya punya resolusi yang dibebankan pada saya oleh khalayak ramai.
Si Mami bilang begini, "Kamu harus punya anak lagi di tahun 2010."
Teman nebeng saya bilang begini, "Lu kudu beli mobil baru." (karena di tahun 2009 ini record mobil mogok saya sudah mencapai 5 kali)
Lalu Papi saya bilang begini, "Harus mulai hidup sehat kamu itu!"
Si...mmm... seseorang bilang begini, "Mudah-mudahan tanah kavling kosong di sebelah rumah bisa dibeli ya."
Bos saya bilang begini, "Next year, you have to start creating bla bla bla bla..."
Ada juga si Anu yang bilang begini, "Tahun depan kamu harus punya reksadana begini begitu begono." (Yang saya timpali, 'bayarin ya.')
Tante saya bilang begini, "Kamu harus ngurusin badan mulai sekarang. Jaga makanan."
Lalu ada yang bilang begini, "Tahun depan novelnya keluar tiap bulan ya?"

Wajar dong kalau saya merasa saya tidak perlu membuat resolusi lagi? Everything has been taken care of. Terutama soal kesehatan. Sepertinya tahun depan resolusi kesehatan untuk saya sudah mendekati angka seratus. Dan pada saat orang keseratus satu menyumbangkan resolusi kesehatan untuk saya, saya sudah menyiapkan jawaban.
"Elo tau kan apa yang terjadi pada orang terakhir yang ngomong begitu sama gue?!"

Eniwei, diluar urusan apakah saya akan mengikuti resolusi yang dibikin orang lain untuk saya, saya berharap orang-orang baik hati tersebut mendapatkan balasan yang indah dari Tuhan karena telah membantu saya menunjukkan jalan di tahun 2010. Lurus atau tidak, urusan lain. Namun, saya juga berharap Tuhan akan selalu mengingatkan mereka untuk menepati resolusi mereka sebelum mereka memaksa saya menepati resolusi mereka.
Kan?

Broken-hearted

Have you ever felt broken hearted?

Today I've learnt
it doesn't need love
to break my heart.

A whisper at the end of the phone.
A message on the phone.
A picture on facebook.
They are enough to break my heart.

Don't pity me, please.
Because this pain I've been feeling
is nothing
compared to the pain
they are feeling.

To them, I whisper strength.
To them, I whisper hope.
To myself, I wish I could keep this broken heart for myself.
And by the end of the day, I'd rather choose I didn't have to tell them
about strength and hope.

Apa Arti Celana Dalam Anda?

Kirimkan lah celana dalam perempuan, syukur-syukur ditambah dengan bra sekalian, kepada sekelompok laki-laki. Apa yang akan terjadi?
Kemungkinan besar kelompok itu akan marah karena kumpulan perasaan yang timbul akibat kiriman tersebut: Rasa malu, rasa dihina, rasa dipermalukan, rasa dianggap banci, rasa dianggap penakut (atau malah pengecut?), rasa dianggap cengeng... apa lagi?

Lalu, buat eksperimen kedua.
Kirimkan lah celana dalam laki-laki, nggak perlu pakai kaos dalamnya, kepada sekelompok perempuan. Apa yang akan terjadi?
Karena saya merasa otak perempuan sangat kompleks, kemungkinan yang terjadi bisa ribuan: potret bareng dengan si celana dalam dan menaruh fotonya di fesbuk dan/atau di blog, mungkin menjual celana dalam itu, memberinya pada suami atau pacar, mem-pigura celana dalam itu untuk kenang-kenangan, bengong lebih dari satu menit dihadapan si pemberi sambil membatin apa maksudnya.

Apa maksudnya memberi celana dalam laki-laki kepada sekumpulan perempuan? Pasti bukan untuk menimbulkan rasa malu, rasa dipermalukan, rasa dianggap banci/cengeng/penakut/pengecut. Seperti juga rokok, stelan jas (yang dipakai perempuan), saya anggap celana dalam laki-laki dianggap sebagi simbol keberanian, ke-macho-an, kehebatan, kekuatan.
Dengan menggunakan analogi tersebut, saya anggap pemberian celana dalam laki-laki kepada sekelompok perempuan adalah simbol pujian. Perempuan-perempuan hebat yang kuat, mungkin begitu maksudnya. Jadi, sebaliknya memberi celana dalam perempuan kepada sekelompok laki-laki berarti simbol penghinaan. Bukan begitu?

Tidak logis? Mengada-ada? Mencari-cari korelasi? Dibuat-buat? Dihubung-hubungkan?
Terserah.
Toh saya punya contoh. Baca lah berita tentang sejumlah LSM yang memberikan bra dan G-string merah untuk pansus Century DPR. Apa maksud mereka? Apa persepsi anda terhadap benda-benda yang dijadikan simbol itu? Apakah pemberian bra dan G-string itu dimaksudkan sebagai penghargaan atas keberanian para pansus Century?

Membaca komentar ini, saya yakin bra dan G-string bukan sebuah simbol positif:
"Idrus Marham sebagai Ketua Pansus tidak boleh diintervensi. Kalau sampai diintervensi, pakai saja bra dan celana dalam ini," ujar aktivis Kapak, Hendri Tri. -Kompas.com

Bingung.
Apa hubungannya bra dan celana dalam dengan intervensi? Jangan-jangan para pemberi hadiah itu ingin meniru Soe Hok Gie yang memberi hadiah lipstik, cermin, dan beberapa barang kewanitaan lainnya untuk teman-temannya di DPR.

Pada 12 Desember 1969, Hok Gie bekerja sama dengan teman-temannya mengirim paket "Lebaran-Natal" kepada 13 perwakilan mahasiswa yang duduk di DPR-GR. Paket itu berisi lipstik, cermin, jarum, dan benang, disertai surat kumpulan tanda tangan dengan pesan, "Bersama surat ini kami kirimkan kepada anda hadiah kecil kosmetik dan sebuah cermin kecil sehingga anda, saudara kami yang terhormat, dapat membuat diri kalian lebih menarik di mata penguasa dan rekan-rekan sejawat anda di DPR-GR. Bekerjalah dengan baik, hidup Orde baru! Nikmatilah kursi anda—tidurlah nyenyak! Teman-teman mahasiswa anda di Jakarta dan exdemonstran '66" (halaman 364).


Well, saya pikir para pemberi celana dalam perempuan itu masih harus belajar banyak dari Soe Hok Gie. Bukan itu saja, saya pikir mereka juga harus belajar lagi tentang arti penghormatan dan penghargaan terhadap jender perempuan. Coba, mau enggak mereka mengirimkan jenis dan merk celana dalam dan bra yang sama dengan yang dipakai oleh ibu mereka ke anggota pansus? Apakah mereka akan berkomentar sama dengan yang mereka katakan kepada Pak Idrus Marham?
"Pakai saja bra dan celana dalam ibu saya ini, Pak."

-tulisan ini dibuat karena kesal setelah membaca status FM di fesbuk. I agree with you, Nek. Stupid is what a stupid does (Forrest Gump)-

Meet Me at Green Festival!

Mari ketemu di Green Festival yuk!

Green Festival adalah kegiatan yang bertujuan untuk mengajak seluruh masyarakat untuk peduli terhadap perubahan iklim yang sedang terjadi di dunia saat ini. Dengan memberikan pengetahuan dan cara – cara yang dapat mencegah dan memelihara dilingkungan tempat kita tinggal sehari – hari. -Facebook Green Festival-


Hari Minggu, 6 Desember 2009, saya akan datang ke Green Festival. Saya mau belajar bagaimana caranya menjaga bumi yang cuma satu-satunya ini. Acaranya dari jam 7 pagi sampai jam 10 malam. Saya sih datang sekitar jam 10an, berdua Papap. Hikari? Hikari sudah disana dari jam 7 pagi. Dia kan jadi polisi kebersihan bersama teman-teman dari sekolahnya. Apa sih polisi kebersihan itu? Lihat disini aja ya.

Okay, then. See you there, guys!

Hot, Food, Cook

Generasi Mami saya mungkin tidak pernah membayangkan seorang perempuan, cantik, seksi, mungkin pintar, seperti saya Farah Quinn bisa menjadi presenter acara masak-memasak di tivi. Sejak munculnya stasiun tivi swasta di Indonesia, presenter acara masak-memasak yang punya tugas untuk mengajari ibu-ibu di rumah memasak biasanya berbentuk seorang ibu-ibu yang -maaf- agak overweight dan dari cara megang sendok aja sudah kelihatan dia tukang masak andal. Lalu setelah era ibu-ibu itu, muncul presenter masak berbentuk laki-laki berotot dan berjari lihai yang selalu menyapa pemirsa dengan kenes, "Halooo, ibu-ibu..." seakan-akan hanya ibu-ibu saja yang menonton acaranya. Saya kan juga nonton dan saya bukan ibu-ibu. Waktu itu.

Setelah presenter macam Farah Quinn muncul di layar tivi, berbondong-bondong orang mulai manteng di depan tivi hanya untuk melihat si Farah muncul.
Yang seumur si Mami biasanya mengomentari gaya grogi Farah saat memotong cabe atau mengaduk adonan sehingga menimbulkan prasangka: "Bisa masak beneran gak sih? Kok megang pisaunya takut-takut gitu?"
Yang seumur saya ikut nonton juga sambil komentar soal penampilan makanan yang seringkali tidak aduhai menggemaskan sambil berbaik sangka dengan berkomentar itu adalah kesalahan cameraman-nya atau malah cameranya yang tidak food-friendly.
Yang laki-laki pun ikut nonton tentu sambil berkomentar soal-soal lain yang tidak ada hubungannya dengan makanan.
Acara masak-memasak di tivi bukan lagi jadi acara tempelan sejak kehadiran celebrity chef itu.

Menurut saya, kondisi seperti itu sih sah-sah saja. Kalau saya dan para perempuan lain menggemari penampilan Jamie Oliver the Naked Chef yang menurut saya seksi saat memasak beserta penampilan masakan Jamie, kenapa para laki-laki tidak boleh menggemari Farah Quinn? Seperti para laki-laki itu, saya toh juga tidak perduli pada tujuan utama acara tersebut: supaya bisa memasak. Hitung-hitung hiburan. Daripada menonton acara masak yang tukang masaknya wajib pakai kostum sesuai negara asal masakannya? Apa enggak lebih konyol?

Yang saya kuatirkan sebenarnya adalah sifat latah orang-orang tivi di Indonesia. Saya curiga setelah Farah Quinn akan ada acara masak lain yang tukang masaknya asal perempuan, asal cakep, asal seksi, dan asal masak. Atau, lebih parah lagi, malah mungkin yang akan muncul adalah sosok perempuan cakep seksi ngetop yang enggak bisa masak sama sekali lalu disuruh untuk mejeng di sebelah tukang masak sebenarnya. Kalau suatu saat saya masuk kategori cakep, seksi, ngetop lalu muncul di tivi untuk jadi presenter tempelan acara masak seperti itu, tolong sodorkan postingan ini sama saya ya.

Selain soal latah-melatah, saya juga melihat fenomena lain di jagat acara masak-memasak, yaitu pengkotak-kotakan umat. Umat apa? Umat penonton tivi. Sewaktu saya sedang membahas acaranya Farah Quinn, seseorang menegur saya sambil bilang, "mendingan nonton acara masaknya Dapur Aisyah aja. Setting-an dia itu untuk keluarga, ada bapaknya, ada anaknya dua." Langsung illfeel
Saya kok enggak melihat memasak itu ada hubungannya dengan status KTP seseorang ya? Kalau single dan cosmo-minded, nonton Farah. Kalau family-oriented, nonton Dapur Aisyah. Gitu? Do convince me.

Acara masak-memasak yang saya gemari di tivi itu sendiri adalah acara yang menggabungkan teknik memasak dan penampilan masakan. Tekniknya harus luar biasa. Cara masukin cabe ke penggorengan harus beda sama cara orang biasa saya. Penampilan masakannya juga harus membuat air liur tumpah. Lah kan lewat layar tivi! Karena harum masakannya tidak bisa terasa, ya penampilan masakannya yang harus menggairahkan. Acara-acara masak favorit saya seperti Nigella Express yang memberikan tip dan teknik cara memasak makanan saat kepepet (seperti baru bangun tidur sementara anak-anak sudah minta makan), French Food at Home-nya Laura Calder yang memperlihatkan betapa memasak itu menyenangkan (speak for yourself, kata saya selalu), dan tentu saja Jamie Oliver yang teknik tangan belepotannya malah membuatnya terlihat seksi dan sedap. Saya paling tidak suka melihat acara masak yang presenternya kebanyakan ngomong, atau yang presenternya pakai kostum, atau yang presenternya pakai kostum lalu banyak omong...

Mengingat masakan Indonesia sangat beragam dan uenak-uenak, saya seringkali mengharapkan acara masak di stasiun-stasiun tivi negeri ini bisa sekelas Nigella, Laura, atau Jamie. Apakah Farah Quinn atau Aisyah bisa melakukan itu? Hanya mereka yang bisa jawab. Pada akhirnya, apakah acara itu bisa sukses atau tidak, lama masa tayang atau tidak, ya kembali pada kemampuan si tukang masak. Juru kamera atau kamera secanggih apapun yang bisa membuat penampakan masakan sangat menggairahkan atau membuat presenter seseksi apapun tidak akan bisa menipu indera-indera perasa pemberian Tuhan. Kan katanya cinta itu datangnya dari perut, bukan dari mata. *sambil mikir betapa berbahayanya kalimat itu bila diketahui Papap*


catatan:
-Foto Farah Quinn dari sini dan foto Jamie dari sini.
-Khatam menonton acara memasak bukan berarti anda akan langsung bisa memasak. Korelasi logis seperti itu sayang sekali tidak terjadi di dunia ini. Entah di dunia lain.

YTIE series: 4) Demolition Man

"Even by your standard, it's too harsh coming from you."


A couple of late afternoons ago a good friend of mine coming to my room and scolded me.
"I don't care how busy you are, right now you just have to listen to me!"
I looked up from the pile of paper on my table and the blank microsoft word on my monitor to comprehend him. At that time I just got back from business things I had to take care from morning and was finally able to sit my butt on my chair for less than ten minutes.
He must have seen my face because he then lowered down his tone when he made me listen to his long speech. When he finished, the only thing that could come out of my brain... and then my mouth was...
"What on earth are you talking about?"

There was this pause between us and then he finally realized I really honestly didn't know what he was talking about.
A couple of days ago, I wrote something for people. A message I thought conveying my point of view clearly. Clearly as in logically, unbiased-ly, a matter-of-factly, to-the-point-ly.
It turned out, for him, the message also contained the adjective: Harsh.
So, there is this guy, who has a personality trait as sweet as a candy even when he is truly mad, explained to me the definition of harsh.
"I was not being harsh." I said trying to show some human expressions.
"I didn't intend to hurt anyone's feeling."I explained.
"I didn't even feel anything when I wrote that." I confessed.
"It was just all... fact!"
"And I am so sorry that people can actually feel something other than what was stated."

He looked at me with that understanding face belonging to a man far older than he was and it made me remember one particular day when he was intensely raging against somebody. After his burst, I practically laughed in front of his face. I told him his anger was too sweet by my standard. Since then, he labeled me as not human for not being capable of showing some compassionate feelings. He stays being friend, good friend, to me, though.

This is not the first time people misunderstand me as being less human because I seem to have a problem of using my tone and choosing my words. My Javanese mother must have realized how un-Javanese I have become but then she couldn't do anything about it anymore. I guess I must have been born without that particular button containing with -particularly- sweetness. On some rare occasions -meetings, usually- where I use more logics and fewer empathy, I can actually feel that people sigh at my matter-of-fact explanations. Not many people like why most of the time I prefer to be logical than sweet.
Then somehow, along the years, the label sticks on me wherever I walk in the office.
Emotionally incapable of feelings.
My bad, I usually ignore the label and the image it causes. I am not Miss Universe so I'm not in for the good-image competition.

Another friend of mine once observed me like a psychologist observing a mental patient. She told me I must have chosen to be plain cold to people because it was easier to do. She said being mean is easier than being nice. I simply laughed at her at that time while making a mental note that I'd better stay away from her for the rest of her life. For her own sake. Because she said it was easier for me to be mean, if you can guess what I mean.

Well, if this can be a consolation for you, guys, it's not at all easier for me to be more direct than sweet. But being that way enables me to see things clearly in their correct proportion. I thought the world needed some balanced proportion, so correct me if I am wrong. It's not, never, about which one is easier and which one is not.

I'm a walking nightmare, an arsenal of doom
I kill conversation as I walk into the room
I'm a three line whip, I'm the sort of thing they ban
I'm a walking disaster, I'm a demolition man
Demolition, demolition
Demolition, demolition
-Sting, Demolition Man-




Ps to you: And I was not being harsh. Harsh is something that you do because you mean it. You'll know when I do mean it. Don't you always? *smile*

Been couple of days when I spotted a new flower collection at some street-vendor-ish plant nursery shop on the way home from work. It's Bunga Bulan December (Flower of December is the literal translation). I'm not sure its latin name or its official name. It's been years since I last spotted the flower let alone finding it at some nursery shop.

The sight of the flower suddenly brought memories back. It was on one of those rainy days when I asked my Dad about one red flower blooming in our garden. I was sitting behind a glass window watching the rain falling in our garden. It must have been some experience because I can still smell the rain, the wet soil, and I can still picture the wet green leaves and the shape of a red needle-like flower blooming. It's like taking a picture and saving it forever in my head. The only problem is remembering the picture gives me a feeling of longing for the past.

Seeing Bunga Bulan Desember reminds me of my childhood house that I have left but still miss. That house has too many memories -good and bad- that sometimes it's just painful to reminisce. A few years back, whenever I missed the house so much, I would have made an effort to drive past the house slowly. I never had the guts to stop in front of the house, though. I cannot imagine what the recent owners would feel when they see me. I stopped driving past the house after a couple of times. Not because the owners spotted me, but because the painful feelings grew stronger everytime I saw the house and its garden. It was not the house I left some years ago. I couldn't recognize the house and the garden anymore although the building stayed the same and the garden was there. There were just no green, no fresh leaves, no grass, no flowers. It was just bare and brown. I was broken-hearted. The past indeed belongs to the past.

The picture is taken from here and belongs to Januartha.

Blogger Templates by Blog Forum