Maen Gamelan
Friday, June 22, 2007 by Mariskova
Sejak membaca tulisan si Mas ini, saya jadi terkenang-kenang masa beberapa tahun yang lalu: saat saya masih lebih muda dan hidup lebih kurang-sengsara.
Institusi tempat saya bekerja mempunyai perangkat gamelan lengkap. Perangkat gamelan ini bukan sekedar aksesoris. Pada jamannya, institusi ini punya tim gamelan lengkap -dari yang bagian ngetok-ngegong sampe yang bagian nyanyi. Ada bulenya pulak. Mereka bahkan punya pelatih, yang setia melatih dua kali seminggu, dua jam setiap sesinya. Tiap-tiap, mereka bahkan diundang pentas.
Itu jaman dulu. Tim gamelan ini sekarang sudah punah. Sejarah kepunahannya... nah ini... yang bikin saya punya perasaan bersalah...
Ceritanya, pada jaman 7-8 tahunan yang lalu, setiap kali saya dan Barb -sobat saya- selesai ngajar, kita selalu melewati tempat tim gamelan yang sedang berlatih. Sekali dua kali lewat, belum berasa ada getaran-getaran aneh. Belum adanya getaran aneh itu berlangsung selama... beberapa tahun, kayaknya, secara tim itu selalu latihan di tempat yang sama selama beberapa tahun. Apalagi saat-saat itu, saya lagi mabok cinta dengan Sting, sementara si Barb beraliran Bianca Castafiore.
Tetapi, suatu hari, ketika kami melewati ruang latihan itu, kami merasakan ada getaran-getaran aneh. Kami kepengen ngintip yang latihan.
Begitu kami melongok ke ruangan itu, spontan latihan berhenti.
Waduh!
Habis itu, para pemain histeris melambai-lambaikan tangannya dan memanggil-manggil kami supaya masuk. Yang sopan dengan ke-jaim-annya hanya Pak Pelatih saja.
Setelah dipersilahkan masuk, kami sempet menonton mereka latihan, basa-basi tanya ini-itu, iseng-iseng mukulin instrumen, sampai akhirnya mereka dengan suka cita mengajak kita ikut latihan gamelan. Kita udah ge-er aja melihat mereka seantusias itu. Ternyata mereka histeris ngajak kita ikut maen, karena tim itu isinya laki semua...
Singkatnya, kami berdua menjadi pemain terbaru di tim gamelan. Bukan cuma terbaru, tapi juga terbego! Si Barb dengan pintarnya langsung milih jadi pemukul Gong. Saya bilang pintar, karena... dari lagu sepanjang semenit, dia paling nge-gong cuma 5 kali. Sial!
Saya yang kurang pintar. Saya langsung ditarik jadi pemain Saron (tulung dikoreksi kalo ada pakar gamelan disini). Saron itu yang bentuknya seperti keyboard dengan beberapa nada. Cara mainnya, misal: pertama, tangan kanan pukul nada (misal) Do, kedua, pada saat tangan kanan yang sama memukul nada Re, tangan kiri pegang nada Do yang tadi supaya getarannya berhenti. Jadi, begitu tangan kanan mukul nada yang lain, tangan kiri harus siap megang nada yang dipukul tadi. Got it?!
Hasil dari satu kali latihan adalah...
1. Latihan dibubarkan.
2. Diganti dengan les privat Pak Pelatih untuk saya. (Si Barb ngobrol dengan yang lain)
3. Tangan kiri saya benjut-benjut kena pukul tangan kanan yang memegang pemukul Saron.
4. Saya stress. Pak Pelatihnya depresi.
Setelah latihan yang pertama, saya hampir mundur teratur tau diri. Apalagi, saya tuh gak hapal-hapal nama instrumen gamelannya, DAN gak hapal-hapal nada-nadanya.
Pelatih: "Sekarang saron main."
Saya diam.
"Ayo, saron!"
Saya tetap diam. Ngelirik kanan-kiri sambil ngedumel kenapa si saron gak maen-maen.
Barb ketawa ngakak. "DEV! It's YOURS!"
"Do-re-mi!" kata Pak Pelatih.
Saya pukul Do-sol-la-aduh. Aduh itu pas jari saya kepukul lagi untuk yang kesekian kalinya.
Begitulah.
Tapi, teman-teman yang lain terus menyemangati. Akhirnya, saya teruskan berlatih juga sih, walaupun setelah beberapa minggu, Pak Pelatih kelihatannya sudah gak perduli kalau saya memukul nada yang benar atau tidak...
Lalu, datang suatu masa ketika kami harus pentas.
Secara Pak Pelatihnya orang Jawa (ya, iyalaaahhh!), beliau kayaknya gak enak hati kalau tidak menyertakan saya dalam timnya. Jalan keluar yang beliau ambil: saya disuruh nyinden aja.
Barb udah histeris ketawanya.
Saya tak berkecil hati. Karena ternyata bukan hanya saya yang saking begonya jadi disuruh nyinden ajah. Ada satu orang Mas Satpam berbadan tinggi tegap hitam berkumis tebal yang juga disuruh jadi sinden. Lengkaplah tim jadi-jadian kami dengan pesinden yang satu rahwana perempuan, yang satu rahwana laki.
Tapi, ternyata Pak Pelatih gak kuat jantung. Beberapa minggu menjelang pentas, saya, Barb, dan Mas Satpam diberitahu baik-baik kalau posisi kami digantikan pemain cadangan. Kami malah lega.
Setelah pentas terakhir itu, Pak Pelatih gak pernah muncul lagi di kantor. Dan tim gamelan kami pun bubar. Sampai sekarang.
Gara-gara saya kayaknya...
Gambar saron (iya, yang diatas itu), diambil dari sini.
Institusi tempat saya bekerja mempunyai perangkat gamelan lengkap. Perangkat gamelan ini bukan sekedar aksesoris. Pada jamannya, institusi ini punya tim gamelan lengkap -dari yang bagian ngetok-ngegong sampe yang bagian nyanyi. Ada bulenya pulak. Mereka bahkan punya pelatih, yang setia melatih dua kali seminggu, dua jam setiap sesinya. Tiap-tiap, mereka bahkan diundang pentas.
Itu jaman dulu. Tim gamelan ini sekarang sudah punah. Sejarah kepunahannya... nah ini... yang bikin saya punya perasaan bersalah...
Ceritanya, pada jaman 7-8 tahunan yang lalu, setiap kali saya dan Barb -sobat saya- selesai ngajar, kita selalu melewati tempat tim gamelan yang sedang berlatih. Sekali dua kali lewat, belum berasa ada getaran-getaran aneh. Belum adanya getaran aneh itu berlangsung selama... beberapa tahun, kayaknya, secara tim itu selalu latihan di tempat yang sama selama beberapa tahun. Apalagi saat-saat itu, saya lagi mabok cinta dengan Sting, sementara si Barb beraliran Bianca Castafiore.
Tetapi, suatu hari, ketika kami melewati ruang latihan itu, kami merasakan ada getaran-getaran aneh. Kami kepengen ngintip yang latihan.
Begitu kami melongok ke ruangan itu, spontan latihan berhenti.
Waduh!
Habis itu, para pemain histeris melambai-lambaikan tangannya dan memanggil-manggil kami supaya masuk. Yang sopan dengan ke-jaim-annya hanya Pak Pelatih saja.
Setelah dipersilahkan masuk, kami sempet menonton mereka latihan, basa-basi tanya ini-itu, iseng-iseng mukulin instrumen, sampai akhirnya mereka dengan suka cita mengajak kita ikut latihan gamelan. Kita udah ge-er aja melihat mereka seantusias itu. Ternyata mereka histeris ngajak kita ikut maen, karena tim itu isinya laki semua...
Singkatnya, kami berdua menjadi pemain terbaru di tim gamelan. Bukan cuma terbaru, tapi juga terbego! Si Barb dengan pintarnya langsung milih jadi pemukul Gong. Saya bilang pintar, karena... dari lagu sepanjang semenit, dia paling nge-gong cuma 5 kali. Sial!
Saya yang kurang pintar. Saya langsung ditarik jadi pemain Saron (tulung dikoreksi kalo ada pakar gamelan disini). Saron itu yang bentuknya seperti keyboard dengan beberapa nada. Cara mainnya, misal: pertama, tangan kanan pukul nada (misal) Do, kedua, pada saat tangan kanan yang sama memukul nada Re, tangan kiri pegang nada Do yang tadi supaya getarannya berhenti. Jadi, begitu tangan kanan mukul nada yang lain, tangan kiri harus siap megang nada yang dipukul tadi. Got it?!
Hasil dari satu kali latihan adalah...
1. Latihan dibubarkan.
2. Diganti dengan les privat Pak Pelatih untuk saya. (Si Barb ngobrol dengan yang lain)
3. Tangan kiri saya benjut-benjut kena pukul tangan kanan yang memegang pemukul Saron.
4. Saya stress. Pak Pelatihnya depresi.
Setelah latihan yang pertama, saya hampir mundur teratur tau diri. Apalagi, saya tuh gak hapal-hapal nama instrumen gamelannya, DAN gak hapal-hapal nada-nadanya.
Pelatih: "Sekarang saron main."
Saya diam.
"Ayo, saron!"
Saya tetap diam. Ngelirik kanan-kiri sambil ngedumel kenapa si saron gak maen-maen.
Barb ketawa ngakak. "DEV! It's YOURS!"
"Do-re-mi!" kata Pak Pelatih.
Saya pukul Do-sol-la-aduh. Aduh itu pas jari saya kepukul lagi untuk yang kesekian kalinya.
Begitulah.
Tapi, teman-teman yang lain terus menyemangati. Akhirnya, saya teruskan berlatih juga sih, walaupun setelah beberapa minggu, Pak Pelatih kelihatannya sudah gak perduli kalau saya memukul nada yang benar atau tidak...
Lalu, datang suatu masa ketika kami harus pentas.
Secara Pak Pelatihnya orang Jawa (ya, iyalaaahhh!), beliau kayaknya gak enak hati kalau tidak menyertakan saya dalam timnya. Jalan keluar yang beliau ambil: saya disuruh nyinden aja.
Barb udah histeris ketawanya.
Saya tak berkecil hati. Karena ternyata bukan hanya saya yang saking begonya jadi disuruh nyinden ajah. Ada satu orang Mas Satpam berbadan tinggi tegap hitam berkumis tebal yang juga disuruh jadi sinden. Lengkaplah tim jadi-jadian kami dengan pesinden yang satu rahwana perempuan, yang satu rahwana laki.
Tapi, ternyata Pak Pelatih gak kuat jantung. Beberapa minggu menjelang pentas, saya, Barb, dan Mas Satpam diberitahu baik-baik kalau posisi kami digantikan pemain cadangan. Kami malah lega.
Setelah pentas terakhir itu, Pak Pelatih gak pernah muncul lagi di kantor. Dan tim gamelan kami pun bubar. Sampai sekarang.
Gara-gara saya kayaknya...
Gambar saron (iya, yang diatas itu), diambil dari sini.
guru drum saya kayaknya depresi juga. dia maunya saya ndengerin akira jimbo, saya senengnya murry koes plus, biar bisa cepet ngedrum sambil nyanyi ... begini naaaasib, tidak bujangan ...
terakhir kali menghayal bisa maen gitar adalah semalam .... ketika melakukan gaya memetik gitar pake raket tenis hahahahahaa
bwakakakkaka, **ngakak dulu bentar**
di tempat sekaranga ku dah ngalamin 2 tipe pelatih, yang pertama dulu streng abis dan perfeksionis dan kayaknya cocok buat didik anak sekolah ato sanggar karawitan, lha yang sekarang ini tipenya penikmat, dia ajarin gendhing-gendhing yang susah tapi enak didengerin, ga penting kita salah ato bener mukulnya yang penting kita bisa menikmati lagunya :D dan sepertinya ini cocok buat beginner macam saya ini :D
hyakakakaka ;D
ga tahan ninggalin catetan.
biasanya ngintip doang. lucu pol ini!
hebat ... ternyata sampeyan pernah pengen jadi gamelist yaa ... hihihi. Kayaknya daripada jadi pemain gamelan mending jadi sinden aja mbak
ngebayangin kalo itu ada penarinya, pasti udah pingsan duluan yak si penari...
Salam Mariskova,
Terima kasih kerana komen di post saya Expandable post summary for old classic Blogger template. Saya telah "respond" kepada komen anda.
Peter (Blog*Star 2006 and 2007)
Dummies Guide to Google Blogger
"online book" in progress
hahaha!.. .
koq mirip banged seh waktu gue smp, paduan suara buat ngisi di TVRI batal gara2 ada satu suara sumbang yaitu gue :D.. tapi akhirnya jadi mentas gamelan ajah.
Hahahah, kirain SARON nama si bulek