In Friends We Trust

To modern people like you and I, a friend means a lot more than just someone we meet on the street, at work, in KRL Jakarta-Bogor, etc. One Facebook's fortune cookie even mentions that one's greatest fortune is the large number of friends one has.

A friend oftentimes has more impact on us than our parents or siblings do. When we you get dumped, the first person you share the story with is your friend. Not your mom, especially not your father. When our office life is like hell, the one you share the details with is your friend. Not your brother or sister. When you are caught cheating on your boy/girlfriend, the one who finds it out first is your friend. Not your family members. We hardly share important-emotionally challenging issues in our life with our mother/father/brother/sister. When we talk to them, it is usually when we get promoted, when we get promoted, or when we get promoted.

Without disrespecting our parents and siblings, there are tons of reasons why we don't share our day-to-day stories with them.
1. There is always a speech following the storytelling session. I don't know about you, but I'm really not a good speech audience. And mind you, the speech can last more than a week.
2. This can come with the speech, or separately: the accusation. You are the problem, not the problem itself.
3. The insults, especially from your siblings. How could you be stupid like that?
4. There is this need to act like a good child in the eyes of our parents, even if you have to fake it.
5. There is this need to act like we are smarter than the rest of the world population in the eyes of our parents, therefore we never make mistakes.
6. ..................... (fill in yourself).

Friends, on the other hand, seem to always be there and do the right things when we have problems. Besides...
1. Our encounter with them is always meaningful (in the office handling difficult jobs from difficult boss).
2. Our encounter with them is always in the 'quality time'. From 8 to 5, Monday through Friday. The time when we meet our parents and siblings is usually before sunrise and after sunset.
3. Friends don't give us speech. If they do, they would never be our friends in the first place.
4. Friends don't insult our stupid action in front of us.
5. Friends give us applicable solution, no matter how silly the solution will seem to be in the future.
6. We don't need to be somebody else when we are with our friends. There is no demand to be the most perfect one. Friends don't do perfect.

Disagree?
Sure, you may argue that friends are not that all-angelic. You may argue that blood is thicker than teh botol you share with your friends. Well, you may not confide with some friends, but you do keep a short list of friends in the innerside of your heart. Don't you?

Then, what if that one friend you keep in your very very very short list hurts you?
Probably you would reconsider the definition of friend. You'd change the friend term in wikipedia if you could. You'd check if what that person does can be considered a crime and so it can justify you to send that person to jail. You might spam on Facebook bad-mouthing that person, or you'd close your Facebook account all together. Or, you'd just remove that person from your Facebook friend's list...

I, myself, have to admit that I don't really have that many friends out there. It's not because I am choosy. It's actually -well- embarassingly because those people can't stand me. And when some people can stand me, they usually fill my list of friends easily. And when they are in my extremely very short list, I usually regard them highly. I usually trust them without doubts.

But, again, as you may argue, even the friends in our very short list might hurt us, intentionally. I know. I have been there. And I should say the 'forgive but don't forget' thing is bull****. You can't forget, let alone forgive. No matter how hard you try. Trust me, I had tried really really really hard. The trying hard to forgive and forget is really exhausting. When it is not successful, it is not only exhausting but also frustrating. My heart is drained.

On the eve of this year's Eid El Fitr, I was in the car to visit some relatives. The sound of incoming sms filled the car continously. My friends sent me Eid Mubarak's greetings. Some sent me similar message, some sent me sms with greetings so beautiful that I kept them in a separate box. You might say that those people sending the sms might not really mean what they sent. You might argue that Eid Mubarak sms is just a trend, not a sincere request.

I don't care.
The fact that someone is willing to spend some Rupiah to send the greetings is touching.

Then, it was my turn to return the sms and to send some to others. I wrote the Eid Mubarak's message and started to check in the names. I started with the As. The name list in my cell phone went down, and down, and down... and I stopped. My used-to-be friend's name was still there. I hadn't delete it. And that moment, I froze. Really froze.

Let me tell you how it felt when I froze. I felt cold, and pain, and anger, and sadness, and anger, and more pain. I was staring at the monitor half the trip with memories filling inside my head. I could have skipped the name, you know. But, somehow, I couldn't do it as spontaneously as I wanted to.

Minutes passed. I knew I had to release my pain. It had been too long and I didn't want it to occupy my heart anymore. Enough is enough.
I looked down to my cellphone. My right thumb moved. I checked in that name and... SENT.

This year's Eid El Fitr taught me that some friends may not deserve our trust. But, I will always make sure I deserve my friends' trust. Do you?

Happy Eid Mubarak.
May you have an englightening Ramadhan this year.

A Letter Unsent

Jalan raya Alternatif Cibubur selalu mampu mengalirkan perasaan ngeri setiap kali.
Entah kenapa jalannya yang mulus dengan lebar yang melegakan serta panjang yang tak berujung itu tak mampu menularkan rasa perkasanya pada saya.
Yang ada hanya kengerian.

Mobil-mobil melaju kencang berbekal klakson dan lampu besar.
Motor-motor dengan pengendaranya yang sepertinya tak kenal dengan kata 'mati', seakan tak mau kalah memacu motornya.
Bis-bis, baik yang besar maupun yang sedang, seperti sedang kesetanan tanpa peduli dengan penumpang yang dibawanya.
Truk-truk tanah berwarna hijau lalu lalang tanpa beban seakan ukuran mereka tak beda dengan mobil sedan di sebelahnya.
Motor, mobil, truk militer hilir mudik tanpa pernah lupa mengeluarkan suara menyuruh kendaraan lain menyingkir sejauh mungkin.

Dan di titik itu, jalan besar yang lebar dan panjang itu menikung.

Setiap hari, setiap kali saya melewati titik menikung itu, hati saya selalu berjanji.
Saya berjanji untuk mengirim surat kepada penguasa jalan untuk beramah hati.
Dalam surat yang saya hapal betul isinya itu, saya akan menulis...

Penguasa jalan yang terhormat,
Sudi lah kiranya anda membuatkan kami
sebuah jembatan penyeberangan
yang akan menghubungkan satu sisi tikungan
dengan satu sisi tikungan yang lain.
Kasihani anak-anak sekolah
yang harus terlambat masuk sekolah setiap harinya
karena tak mampu bersaing cepat
dengan mobil, motor, bis, truk, dan kendaraan lainnya
yang melewati titik tikungan ini.
Kasihani para ibu-ibu dengan anak-anak digendongan,
orang-orang tua yang lamban,
para tukang jualan bergerobak
yang selalu berlemah hati
saat harus menghadapi jalan lebar di hadapan mereka.
Para penguasa jalan yang berkuasa,
semoga Tuhan mengetukkan hati anda
dan menggerakkan kaki anda
untuk mencoba menyeberang
di tempat kami kehilangan keberanian kami.



Berhari-hari lewat.
Berminggu-minggu lewat.
Berbulan-bulan sudah.
Saya tidak menepati janji saya.
Janji untuk membuat surat itu
dan mengirimkannya.

Lalu hari ini, saat saya lewat di titik tikungan itu,
keramaian sedang terjadi.
Mobil, motor, bis, truk, dan para manusia berhenti bergerak.
Mereka berkerumun di satu tempat.
Tempat seorang kakek tewas berlumur darah
karena tersambar truk
yang lewat kencang
di titik tempat jalan mulus yang lebar dan panjang itu menikung.

Bosan juga Manusiawi

Si Mami bilang saya pembosan.
Jelas saya protes!
Saya bilang pada Mami kalau saya ini pembosan nggak mungkin lah saya pacaran dengan Papap sampai 10 tahun dan masih tahan menikah dengannya sampai 7 tahun kemudian. Eh, ternyata kata Mami, dia tidak sedang membicarakan saya dan Papap, melainkan beragam merek pelembab muka yang berjejer nganggur di meja rias saya...

Di luar soal pelembab muka yang memang berjejer nganggur di rumah, saya bisa pastikan saya ini bukan jenis manusia pembosan. Ambil contoh soal pacar. Saya nggak bosan punya pacar Papap sampai 10 tahun. Urusan dia ternyata bosan sama saya, ya, masalah dia toh? Lalu, bagaimana mungkin saya ini pembosan kalau saya masih memakai baju yang saya beli 7 tahun lalu? Ya, kan? Atau sepatu? Saya jarang ganti sepatu selain karena sepatu saya rusak. Karena saya selalu memakai sepatu jenis boots, ya, biasanya lebih dulu sepatu itu berubah warna daripada rusak beneran. Alasan lain, sampai sekarang saya masih bekerja di perusahaan yang sama sejak 11 tahun lalu. Yah, walaupun soal yang terakhir ini mengandung unsur kebodohan sekaligus sentimentil dari pihak saya, fakta terakhir ini jelas mengukuhkan karakter saya yang bukan pembosan.

Bicara soal bosan, si Mami pernah hampir batal puasanya tahun lalu gara-gara pembantu rumah tangganya. Ceritanya si pembantu minta ijin pulang kampung jauh-jauh hari sebelum Lebaran dan bilang ke Mami kalau dia tidak akan balik lagi. Pertanyaan Mami kenapa mau pulang cepat dan nggak balik lagi dijawab singkat oleh si Embak.
"Bosen, Bu."
Kejadian setelah itu lebih baik tidak saya ceritakan demi terciptanya perdamaian dunia. World Peace.

Sekarang, saya mau pindahkan setting si embak tadi ke kantor kita (Iya, kita! Elu juga!). Salah satu alasan kenapa kita berniat pindah kerja adalah karena kebosanan itu. Bosan dengan pekerjaan yang itu-itu aja. Bosan dengan kolega yang itu-itu aja. Bosan dengan model berantem yang itu-itu aja seperti pada pengalaman pribadi saya. Bosan dengan bos yang itu-itu aja (Bos itu pasti gak pernah dipromosiin). Bosan dengan gaji yang segitu-gitu aja. Bosan dengan lokasi kantor yang enggak pernah pindah ke Bali. Bosan dengan makanan kantin yang dari Senin sampai Jumat nggak pernah berubah menunya. Pokoknya bosan! Pengen ada tantangan! Well, if boredom is human, so is challenge.

Sekarang saya mau menanyakan pertanyaan 1 juta dollar (karena biaya saya berobat setelah dikeroyok anda rame-rame mungkin bisa mencapai sejumlah itu).
Pertanyaannya: Apakah kebosanan itu sendiri etis dijadikan alasan untuk pindah kerja?
Memang ente tahu di kantor baru ente nggak bakal kena penyakit bosan juga?
Memang ente yakin tantangan di kantor baru akan membuat ente jauh lebih berasa hidup?
Atau jangan-jangan kebosanan itu sendiri sebenarnya adalah wujud ketidak mampuan kita untuk mencari tantangan di pekerjaan kita yang sekarang?
Apakah kita bisa mencari tantangan di pekerjaan yang baru?

Jawabannya jelas balik lagi ke motivasi kita masing-masing saat memutuskan untuk pindah kerja. Bosan nggak bosan, tantangan ada atau enggak, yang penting gaji lebih gede. Misalnya. Bosan nggak bosan, kantor sekarang lebih dekat rumah. Bosan nggak bosan, yang penting gue nggak ketemu muka lu lagi! Dan seterusnya. Semuanya alasan yang manusiawi seaneh apapun motivasinya. Hanya saja, call me old-fashioned, but I value someone based on his/her motive shown by his/her reasoning. Seperti juga si Mami yang langsung me-black list pembantunya itu (yang 2 bulan kemudian minta balik lagi ke si Mami) yang menilai karakter si embak dari alasan yang diucapkannya. Karakter kita pasti akan dinilai orang saat alasan-alasan keluar dari mulut kita.

Balik lagi ke soal bosan. Terkadang kata bosan keluar hanya untuk mencari jalan tersingkat untuk menyediakan alasan. Sementara alasan bahkan masalah yang sebenarnya malah tidak terselesaikan. Bukan begitu?

.... adalah Hak Setiap Bangsa

Kemerdekaan adalah Hak Setiap Bangsa


Suara laki-laki kecil itu lantang menembus udara pagi yang masih basah dengan embun. Dia mungkin tidak menyadari bila satu kalimat yang telah dia ucapkan telah membuat kami terdiam dalam suatu kesadaran yang mungkin baru datang setelah waktu lewat lebih dari hitungan belasan tahun.

Pagi tanggal 17 Agustus itu saya mendapat tugas mengantar Hikari ke sekolah untuk upacara sementara Papap harus menghadiri upacaranya sendiri. Ini upacara tujuhbelasan pertama yang akan dihadiri oleh Hikari. Konsep upacara pun masih tak jelas untuk seorang Hikari.

"Ma, upacara itu apa sih?" Itu pertanyaan Hikari di perjalanan menuju sekolah. Jawaban standar saya yang hanya menjelaskan soal-soal teknis tentang arti upacara tidak memuaskan Hikari.
"Kenapa harus upacara?" tuntut Hikari.
Kenapa? Kenapa?
Karena kita merayakan kemerdekaan kita?
Ah, terlalu dangkal. Kita bisa juga merayakan kemerdekaan dengan menyanyi-nyanyi kan? Atau ikut tarik-tambang? Atau ikut panjat pinang? Atau ikut pengajian syukuran kita sudah merdeka? Atau sekedar sujud syukur di pagi buta untuk tidur lagi kemudian?
Kenapa?
Karena kebiasaan?
Jawaban bunuh diri itu namanya.
Akhirnya saya memilih diam. Dan pertanyaan itu belum terjawab oleh saya. Sampai sekarang. Entah kenapa, Hikari juga memilih diam. Tidak menuntut jawaban seperti yang biasanya dia lakukan.

Kami sampai di sekolah bersamaan dengan datangnya anak-anak lain. Mereka semua riang-riang. Tidak ada yang merengut karena harus bangun pagi hanya untuk upacara. Murid-murid kemudian berkumpul di lapangan bersama dengan guru-guru mereka. Murid-murid berbaris rapi di lapangan. Tidak ada raut wajah terpaksa atau tegang. Guru mereka berdiri di belakang barisan dengan muka yang ramah. Petugas-petugas upacara cilik menempati posisi mereka dengan riang. Lalu, entah bagaimana awalnya, para orang tua ikut serta berdiri bersemangat mengikuti jalannya upacara walau dari pinggir lapangan.

Upacara dimulai. Mula-mula inspektur upacara, laki-laki kecil yang bertubuh besar berusia 9 tahunan, masuk ke tengah lapangan dengan sikap tegap. Tangan kanannya mengayun bersamaan dengan kaki tangannya. Lalu tangan kiri diayun berbarengan dengan kaki kirinya. Kami, para orang tua, tersenyum geli, tapi manusia-manusia Indonesia cilik di tengah lapangan itu tidak ada yang tertawa mengejek.

Kemudian, tiga orang petugas pembawa bendera cilik mendapat giliran untuk berjalan. Berbeda dengan para Paskibraka yang menjalankan tugas mereka di Istana Negara dengan segala gerakan yang telah diatur dengan cermat, petugas-petugas cilik ini berjalan dengan langkah percaya diri walau tanpa keteraturan tangan dan kaki. Ketika mereka akhirnya sampai di depan tiang bendera, para orang tua menahan napas. Apakah anak-anak kami itu mampu menjalankan tugasnya? Menaikkan bendera tanpa terbalik? Buat para orang tua yang jaman sekolah dulu kenyang dengan urusan baris berbaris menaikkan bendera ala militer, melihat para petugas cilik itu begitu percaya diri sekaligus tanpa beban membuat kami bergidik. Bukankah bendera begitu sakral? Kalau sampai terbalik, apakah ada yang akan dihukum push-up?

Lima belas menit kami semua menunggu. Lima belas menit! Menunggu tangan-tangan kecil mereka menalikan bendera ke talinya. Menunggu tangan-tangan kecil itu siap menaikkan bendera di tiangnya. Saya memandangi para peserta upacara. Suasana tetap khidmat. Tak ada ketegangan seperti upacara-upacara bendera yang kami tahu, tapi tetap khidmat. Tidak ada yang ribut dan berulah hanya karena harus menunggu bendera disiapkan selama lima belas menit. Kamera dan handycam telah lama disiapkan para orang tua untuk mengabadikan momen terpenting itu. Lima belas menit lewat, sebuah teriakan tegas terdengar dari mulut kecil seorang petugas.

"Bendera, siap!"
Kami, para orang tua, didikan jaman suatu orde dimana upacara dianggap lambang nasionalisme menahan napas. Dan ketika bendera terbentang sempurna dari jari-jari cilik para petugas, dada kami menggembung bangga. Ah, tapi para guru mereka sepertinya tak terpengaruh. Wajah mereka tetap wajah penuh kebanggaan kepada anak didik mereka sejak upacara dimulai hingga detik ini.
Inspektur upacara cilik lalu meneriakkan perintah memberi hormat. Dirijen cilik lantang menyanyikan bait awal lagu Indonesia Raya. Seluruh peserta upacara memberi hormat dan mulai menyanyi. Entah siapa yang memulai, kami, para orang tua yang berdiri berjajar tegap di pinggir lapangan memberi hormat pada bendera, dan menyanyi. Kami bernyanyi Indonesia Raya!



Belasan atau mungkin puluhan tahun telah lewat sejak upacara terakhir kami di sekolah. Mungkin juga sudah belasan atau puluhan tahun telah lewat sejak hati kami merasa tergetar saat mendengar lagu Indonesia Raya. Hari itu, kami ikhlas menyanyikan lagu Indonesia Raya, menghormat kepada bendera Merah Putih, mendengarkan Pancasila dan Pembukaan UUD 45 dikumandangkan tanpa sedikitpun berharap upacara segera berakhir. Walau tanpa pakaian putih gagah milik anggota Paskibraka dan tanpa gerakan baris-berbaris penuh perhitungan milik para anggota militer, upacara kali itu begitu penuh perasaan. Dan kebanggaan! Rasanya seperti kami menurunkan suatu warisan kepada anak-anak kami. Anak-anak yang menjadi masa depan negara kami!

Sebelum masuk ke mobil untuk pulang ke rumah, seorang ibu berkomentar.
"Apa tahun depan anak-anak perlu dilatih baris-berbaris ya? Supaya lebih rapi?" tanyanya ragu.
Orang tua lain tak langsung menjawab. Kami saling menatap. Tanpa dikomando kami menggeleng. Termasuk ibu yang bertanya tadi.
"Biarin aja lah bagaimana anak-anak itu. Toh benderanya terbuka dan naik juga."
"Iya. Biar aja model upacaranya seperti ini. Gak bikin nasionalisme berkurang juga kan?"

Kami pulang dengan puas. Dengan kesadaran baru bahwa nasionalisme tidak diukur dari berapa derajat kaki petugas upacara harus dinaikkan. Tidak diukur dari tinggi badan seorang petugas paskibra. Ketika kemerdekaan adalah hak setiap bangsa, seharusnya kita bisa merdeka juga dalam mengekspresikan rasa nasionalime kan?

Is it too difficult to appreciate others?

If you guys read my previous post, you probably remember that just recently I was busy with a project. Actually right now, I am in the state of enjoying the end of that project's frenzy. I am vacationing my thinking and emotional organs and in the middle of considering taking a week off. Now, let's go back to Saturday.

Saturday morning, the same like you guys, I also watched the news about our police trying to capture the number 1 terrorist in Indonesia. I knew about the whole drama quite later than perhaps most of you. Although I was quite confused on why it took 18 hours to get 1 guy, I was glad they got him anyway. It's like... it's about time!

Then, the second news shocked me more when I learned that the police seized a hundred something kilos of bomb from Jatiasih. Jatiasih? It's like our front yard!
You see, Jatiasih is really near to my house. My parents also live in one part of Jatiasih. And the fact that those people were planning to do Mr. President's house is very terrifying to me. My son goes to the school which is in the same compound as Mr. President's house! I don't care how many soldiers they have put at my son's school. I won't be able to sleep well until the police catch them all! So it won't be difficult to guess my reaction when I learned that the police were able to kill two suspects and capture one.

Saturday evening. The news evolved. Now, the media told us the police caught the wrong guy in Temanggung. He is not the famous Mr. N. He is just Mr. N's accomplice. Soon enough the cheering became sneering. Suddenly, the police's success of uncovering some bomb plots went sour. Nobody cares about the other people captured. And it just doesn't make sense to me. Are they not terrorist enough?! It's like Mr. N or not Mr. N. Even Mr. N's accomplice is not enough for appreciation. What?! An accomplice captured doesn't need a tap on the shoulder and a well-done note?

Just a couple of days before Saturday I also experienced the same thing. Remember the project at my office I was talking about? Remember the hardwork I told you my friends and I had done for the project? Nevertheless, the result was not satisfying due to reasons we didn't quite comprehend yet. The evening before the D day, the most important person in the whole organization told us in the face that WE simply hadn't done our best for the project. Suddenly all of our hardwork was unimportant.

So, guys, how do you usually appreciate other people's work?
Do you appreciate the work only if the result satisfies you? Or do you appreciate the work done well regardless of the result?
Are you one of those people who fancy saying, "I know you have done your best, but your best is not good enough?"
Let me ask you, what is best? Whose standard do you use to define the word best?
I would love to hear that the guy captured Temanggung is really Mr. N as much as you would. However, I appreciate all the hardwork done by the authorities, Mr. N or not Mr. N as long as he is indeed a terrorist. Who are we to judge the police haven't done their best? Unless we have tried to do their job before...

Confidence is...

Confidence is what you have before you understand the problem. -Woody Allen


I found this saying above by Woody Allen a few months back and I giggled. I liked what he said and couldn't help myself agree with him. At that time, I didn't realize I would meet a situation so true like the saying.

Just a few days ago, the staff and I were in the middle of a panicky-and-chaotic situation. We were going to hold a big event, but something went unexpectedly wrong: nobody seemed to be interested in signing up. The staff were having butterflies in their stomach. I didn't have butterflies. I had bees.

To tell you the truth, the event was actually not our project. We were not even a committee. At least, I know I wasn't. Our name was not on any paper or proposal, except for flyers (*blaming the boss*). The event suddenly became our project only because it was held in our office. What a nice modus operandi! We became so emotionally-physically-mentally attached to the event because of our feeling of responsibility. If things screwed up, our office would take the blame. Nobody out there would even bother to read the proposal to find out who is the committee and who is not. So, there we were. Doing the job of other people. Couldn't even complain about it.

It was rather funny (in a sillier way) actually when I remember how confident most of us were in the beginning. And one person was even more confident than the rest of us. He-who-must-not-be-named was everything but humble. He thought he had orchestrated a very beautiful symphony with players eager to do what he commanded. He was so proud about it and couldn't let us have peace without him telling us how great his performance was. I was bored to death but people say murder is a crime so I restrained myself from the urge to kill him. Trust me, I was that close.

Then things started to fall apart. He found himself confronted with the ugly situation. He understood... and soon enough his confidence dropped.

I learned something about people that very second. When people are confronted with an ugly situation, they usually would react in two predictable ways: blame others or deny. He-who-must-not-be-named was rather outstanding. He did both: He blamed others for not playing the role he put upon them and then denied that there was a problem. Rather contradictory, don't you think?

At the end of the day, I think we have to do it the other way around. Instead of being confident at first and comprehending later, we might want to understand all the facts first then build our confidence step by step. It is a safer journey.

My Great Treasure


The Alchemist by Paulo Coelho page 134:


When you posses great treasures within you, and try to tell others of them,
seldom are you believed.



Hikari,
Most mothers would agree with your mother.
That...
it takes a mother to see
that a stone
is not always
what it seems to appear.
It takes a mother to see
that a stone
is a jewel with its own colors.
It takes a mother to see
that a stone
is a treasure worth fighting.
And you are my treasure.

Happy seventh birthday, Hikari sayang.
You are the only reason why I deserve to be called a mother.

Antara Merci dan Blackberry

Sewaktu harga bensin naik di tahun 2007, efeknya langsung terasa di kehidupan rumah tangga kami. Begini lah nasib pegawai tanggung. Harga bensin naik sedikit, menu makanan di rumah langsung berubah drastis. Bila sebelumnya masih mampu bawa mobil ke kantor setiap hari tanpa berkeluh kesah, setelah harga bensin naik saya mulai menjadwalkan naik bis beberapa hari dalam seminggu demi kesehatan jantung dan terpeliharanya amalan dari dosa keluh kesah. Semua jalan pengetatan bujet dilakukan demi terselenggaranya kehidupan rumah tangga yang bebas hutang dan jauh dari kebangkrutan.
Tapi kok kenaikan harga bensin sepertinya hanya berpengaruh pada kami? Serius ini! Bukan karena kami terlalu sensitip. Lah, pemandangan di jalan raya saja seperti menyetujui asumsi kami. Mobil-mobil mewah tetap berseliweran dan jumlahnya malah rasanya semakin banyak.

Logikanya nih, kalau sudah mampu beli mobil mewah, bensin pasti sudah tidak lagi menjadi faktor penting dalam pembukuan keuangan rumah tangga kan? Setidaknya begitu itu rumusannya menurut teori brand image. Untuk orang-orang ini, bensin pasti lah masuk ke bagian paling dasar dari piramidnya Maslow, bergabung dengan kebutuhan dasar lainnya seperti sandang, pangan, dan papan (dan mungkin koneksi internet). Sementara itu, posisi orang-orang ini di piramid Maslow pasti sudah ada di paling atas: yang dicari sudah self-actualization, bukan duit recehan untuk bayar bensin seperti saya.

Setuju?

Pada suatu siang yang panas, saya sedang bersenda gurau dengan teman-teman. Obrolan terhangat di siang panas itu adalah fesbuk.
Udah nge-add siapa, lu?
Di add siapa, lu?
Si bos elu add gak?
Nggak dong. Sori ye.
Udah di remove sama sapa, lu?
Ouch!
Di tengah hangatnya topik fesbuk, seorang teman lalu mengeluarkan Blackberrynya. Siang di hari itu Blackberry masih jarang dimiliki orang. Mengeluarkan Blackberry di masanya belum jaman jelas menandakan keunggulan ekonomi yang berbuntut pada keunggulan self-image. Sialnya, kami saya malah membenarkan keunggulan si teman dengan komentar yang agak norak,
"Wih!"
"Cieee!"
"Aw!"
"Busyet!"
"Punya lo?"
(Pertanyaan terakhir -bukan milik saya- dijawab dengan dampratan pemilik)
Kami, eh, saya yang segera tersadar dengan kenorakan tadi segera mengubah strategi dengan pura-pura bertanya tentang fasilitas Bbnya.
"Bisa email ya?"
"Bisa fesbukan?"
"Bisa internetan?"
Ternyata pertanyaannya tetep norak.
Si teman pemilik Bb mulai beraksi menjelaskan kecanggihan gadget baru itu. Kalimat pamungkas dari dia adalah, "kerja jadi efisien. Udah kayak kantor berjalan. Gue gak perlu buka-buka laptop lagi. Semua bisa gue kerjain dari sini. Nelpon, ngimel, sampe maen fesbuk! Hehehe..."
Kami manggut-manggut.
Begini memang seharusnya tampilan manusia sukses. Gadget kecil aja bisa bikin kerja efisien. Apa gak tiap bulan dapat promosi jabatan dia?!

Selagi kami melanjutkan obrolan yang masih berkutat pada fesbuk dan Bb, suara telpon terdengar berdering. Semua orang spontan mencari henponnya masing-masing. Ternyata suara itu bersumber dari tas si pemilik Bb.
Teman saya itu mengeluarkan henponnya. Henpon cdma kecil. Dia segera sibuk menjawab telpon yang ternyata dari kantornya. Semenit kemudian, dia selesai bicara dan mendapati kami sedang menatapnya.
"Kenapa?" tanyanya polos.
"Kata lo Blackberry bisa dipake nelpon..." tanya teman saya yang satu juga dengan polos.
"Emang bisa. Terus?" tanya si pemilik Bb lagi.
"Bukannya lebih efisien kalo elu make Bb buat semua-mua termasuk nelpon?"
"Ooooh... ya, emang," kata si pemilik Bb dengan santai. "Tapi kan pulsanya lebih murah kalo gue pake telpon yang cdma."
"Huahahahahahahaaaaa..."
Spontan saya tertawa ngakak.

Pesan moral kali ini:
1. Tahan tawa anda bila anda berada dalam kondisi seperti saya, kalau anda masih ingin dianggap teman. Akibat tawa spontan saya, sampai hari ini, si teman masih ngambek sama saya.
2. Terkadang, teori -secanggih apapun- pasti ada deviasinya.
3. Berlaku hemat (baca: sesuai isi kantong) katanya sebagian dari iman. Saya sendiri masih harus mengulang-ulang kalimat ini supaya nyantol di perbuatan saya.

First TV Interview

A friend gave my name to SUN TV station when the station was looking for a female figure with certain profiles to be interviewed for their woman program, Aksen. He meant it as a surprise but it was soon discovered that he was no good in keeping secrets. Soon, he informed me about it and the first thing I did was... laughing. Laughing like when you hear something really funny and your first reaction is 'Aw! Get outta here!'

A few weeks after, he called me when I was on my way home from work. Between talking and giggling (you'll never know if a male creature can giggle like he does), he told me somebody from the tv station would call me later. I laughed (again) and said OK. What could they possibly want from me anyway? And then, long story short, they did call. Long story short, I found myself doing an interview for them...

During the filming (being interviewed, walking here and there, posing like this and that), I was grinning all the time. I almost failed to hide my laughs. If I were fair-skinned, I was sure my cheeks were glowing red. And there were my colleagues, other employees, people I didn't know. Oooh, it would take a year to make them forget about it. For me, it was like... 'GOSH, now I know I wasn't born for this'. No wonder life made me a teacher and not an actress, no matter what some experts said that teaching is 90% acting and 10% skills.

Then, the program was aired on Sunday, 28 June, at 4 PM. Just in case you ask, I didn't record the program, but Papap took some pictures (of the tv monitor!). From now on, I will give some respects to those actors who can do things in front of the camera without even a little urge to grin.

Never Ordinary

Gara-gara mengalami susahnya nyari parkir di UI Salemba, siang tadi saya membujuk teman saya si Je untuk mengojeki saya ke Salemba. Sebelumnya saya pernah ditolak dia juga. Katanya, "Naik taksi dong, Dep. Jangan sok susah deh." Tadi siang, saya ditolak lagi sama dia. Dari yang beralasan harus meeting di kantor pusat lah, lalu baru sampe kantor lah, trus harus ngerjain ini itu lah. Kalau bukan karena saya butuh motornya, sudah saya *tuuuuuuut* dia!

Berbekal rasa tak tahu malu, saya kembali memaksa dia mengojeki saya saat saya bertemu dia di kantin pas makan siang tadi. Tentu saja dia sok nolak lagi.
"Gile lu, gue baru sampe kantor nih!"
"Ntar gue dicariin!" (sapa sih yang mau nyariin elu, Je?)
"Gue harus ngerjain sesuatu."
Tentu saja saya tetap bersikap tak tahu malu. Terus memaksa. (Ha!)
Akhirnya, dia menyerah juga.
"Sekarang ya?!"
"Sekarang jam makan siang. Disono juga tutup kalee!"
"Elu tuh emang paling-paling deh! Udah minta tolong tapi pake minta syarat lagi!"
Dia cuma bisa menggerutu.

Setelah dia selesai makan -dan saya BELUM-, dia bilang dia akan menunggu saya di lobi. Saya selesai makan setengah jam kemudian...
Setengah jam kemudian, saya berlari ke ruangan saya di lantai 4 untuk mengambil perabotan lenong yang mau dibawa. Sambil berjalan turun tangga (lagi), saya menelpon dia.
"Ya udah, gue turun," katanya singkat.
Eh, ternyata perabotan saya ketinggalan satu. Saya balik naik lagi ke lantai 4.
Dari kaca-kaca gedung, saya bisa lihat teman saya ini sudah sampai di lapangan parkir. Saya juga lihat dia berjalan menuju parkiran motor yang berseberangan dengan pintu lobi.

Sesampainya saya di parkiran, dia berteriak-teriak sambil berjalan cepat menuju saya. Di tangannya ada kunci motor.
"Dep! Dep! Motor gue.... ilang! Motor gue.... ilang!"
Beberapa karyawan menjadi saksi kepanikannya.
"Apaan sih, lu?"
"Gue pikir motor gue ilang!"
"Hah?"
"Gue kan gak bawa motor hari ini!"
"Jadi motor elu ilang atau apa sih?"
"Gue tadi ke parkiran. Gue nyariin motor gue kok gak ada. Gue pikir motor gue ilang."
"Jadi motor elu ilang?"
"Gak! Hari ini gue gak bawa motor! Huahahahaha..."
Pemirsa, kalo ada orang yang bisa menertawakan ke*tuuuut*an sendiri, Je lah orangnya.
"Naek mobil lo aja deh!"
"Emangnya elu bisa markirin?!" semprot saya. "Gue ngajak elu karena butuh motor lu!"
"Emangnya parkir butuh skills sendiri ya?" semprot dia balik.
"Dodol! Elu kan gak bisa nyupir! Ntar kalo gue kudu turun, mobil gue mo ditaro mana?!"
"Ya udah, kita naek bajaj aja!"
Sambil ketawa-tawa dia ngajak saya naik ojek. Saya mengikuti dia sambil mikir. Kayaknya ada yang aneh nih.

Sebelum dia sempat memanggil bajaj, saya memberi pengakuan.
"Je, gue gak bisa nawar. Elu aja yang nawar ya!"
"Elu tuh ibu-ibu gak bisa nawar!"
"Sembarangan lu ngomong gue ibu-ibu!"
"Nih, lu liat orang Arab nawar."
Kayak penting banget gitu nunjukin ras pas kondisi begitu?!

Hebatnya, dia berhasil menawar si tukang bajaj untuk mengantar kita ke Salemba dari kantor di Pramuka seharga 8000 saja! Laen kali gue bawa ke tukang sayur gue ya, Je!
Di dalam bajaj saya masih berasa ada yang aneh.
"Elu tadi naek apa ke kantor?"
"Jalan. Eh, elu lama gak entar?"
"Gak," jawab saya.
Si Je menyolek tukang bajaj, "Bang, entar tungguin kita ya. Kita cuma bentar."
Si abang ngangguk aja.
"Je, si bajaj mau dibawa masuk?"
"Iya."
"Terus ini bajaj parkir dimana pas gue turun?"
"Nggg...."
"Lagian elu ngapain ikut gue ke Salemba? Gue kan cuma butuh motor lu."
"Hiahahahaha.... Bego banget ya, gue?!"
Saya gak komen.
"Terus tadi gue pake belagak nolak diajak lagi! Huahahaha...."
Saking kesiannya, saya janji padanya untuk tidak menghina dia hari ini, while I have a very good reason to do it!
"Terus motor lu ditaro mana?"
"Di kos."
"Kenapa bajaj ini gak nganter kita ke kosan elu aja terus kita naik motor?"
Wajah si Je seperti mendapat pencerahan. Singkat cerita, dia nyolek si abang lagi untuk berhenti sebelum pintu kereta api Pramuka.
"Sini aja, Bang! Ini duitnya, Bang! Berapa tadi? 8 ribu?!"
Udah gitu, pemirsa, dia juga yang bayar bajajnya! Dia yang bayar!

Singkat cerita lagi, kami berhasil mengambil motor Je dari kosannya. Sebelum jalan, dia memberi saya sepotong(!) helm yang saya gak yakin ada fungsinya selain untuk mengusir Polisi.
"Je, elu jangan jatoh ya!"
"Je, elu punya SIM kan?"
"Please, deh, Dep. Udah jalan bgini elu baru nanya SIM?!"
"Je, elu nyupirnya model supir metromini naek motor ya?"
"Je, ini kok anginnya banyak banget sih?"
Bukannya menenangkan saya, dia malah sibuk cerita. Kepalanya ditolehkan ke kiri untuk bercerita sepanjang jalan. Sepanjang jalan!!!
"Je, elu itu satu-satunya orang yang nyupir motor sambil ngobrol, tau gaaaaak?!"
Jawaban dia singkat aja.
"Dep, kalo kita sampe ke kantor dengan selamat, elu kudu beramal artinya!"
O-MY-GOD!

Je, my friend, this is my way of saying thank you. With you, a day is never ordinary. Tapi teteup, gue masih pengen idup!!!

Pesan moral saya kali ini adalah try to have an extraordinary day once in awhile. Leave your comfort zone -in my case riding a motor bike with this insanely crazy creature0 and have a blast. Don't forget your helmet, though. Safety always comes first even on the most extraordinary days.

Blogger Templates by Blog Forum