Beda Mazhab

Si Papap ketawa ngakak begitu melihat hasil saya nyalon. Kata Papap, saya mirip Polwan, atau Kowad, atau Kowal, atau Wara. Gak ada bedanya sih. Kata saya malah saya mirip Yang Terhormat Ibu Menteri Sri Mulyani.

Awalnya Jumat sore itu sepulang kantor saya harus menunggu Papap pulang kantor karena saya tidak bawa kunci rumah. Sembari menunggu lewatnya mobil Papap, dan daripada saya menunggu di pinggir jalan selama 2 jam, saya memutuskan untuk masuk ke mall. Tapi, 2 jam di mall, sendirian, mau ngapain?! Saya kan bukan model cewek doyan shopping atau kelebihan duit (2 hal itu berkolerasi). Akhirnya saya memutuskan untuk nyalon.

Ada 3 salon disitu tapi yang 2 ada embel-embel 'Salon and Training Center'. Saya melakukan hal yang saya pikir pintar: pergi ke salon ketiga daripada saya jadi korban Training Center.
Di salon ketiga, hairstylistnya bertanya tentang preference saya. Walau rada kaget, saya bilang saya normal. Masih cinta laki-laki. Masih doyan Keanu Reeves (persoalan kata orang Keanu Reeves itu gay, bukan masalah. Itu karena dia belum ketemu gue aja...).
Ternyata, maksud si hairstylist itu saya mau dipotong model apa.... Ya ampun!
Karena sadar salon itu bukan salon langganan saya, saya minta dipotong model yang aman: dirapihkan aja! Gak dipotong pendek, gak pake jigrik, gak perlu jadi kreatif, gak butuh imajinasi. But, you know what she said?
"Mbak, kalau rambut dari pendek mau dipanjangin, jangan dipotong shaggy begini. Nanti jadinya malah berantakan. Mencuat-cuat kesegala arah. Harusnya rambut mbak dipotong sama rata aja."

Waktu itu, saya pikir, "wow, that's definitely new!"
Di salon langganan saya, Mas Herman (hairstylist saya itu) punya paham begini: "Mbak, secara nih ya rambut embak itu berombak, eh, tapinya nih mau dipanjanggggiiin, kita harus potong shaggy. Ka-reee-na potongan shaggy bikin rambut gak keliatan kempes. Trus, shaggy juga bikin rambut gak keliatan berantakan. Kan kesannya sengaja shaggy, begitu. Sengaja diacak-acak..."
Selama lebih dari setengah tahun saya percaya Mas Herman. Kemarin, saya pasrah dengan si mbak pemotong rambut baru itu. Memang sih dengan si Mas Herman saya juga gak jadi lebih mirip Luna Maya. Tapi rasanya saya lebih belum siap jadi Ibu Sri Mulyani...

Perbedaan mazhab di jaman modern begini buat saya mengherankan dan jelas menimbulkan korban! Bila perkara soal teknik memotong rambut aja bisa memakan korban, apalagi soal politik, agama, dan soal berat-berat lainnya. Korbannya bukan cuma bisa terlihat gak keren, tapi bisa mati sekalian kan?! Gimana caranya untuk bisa meminimalkan jatuhnya korban?
Saya memilih si hairstylist untuk bisa memperlihatkan -atau setidaknya menggambarkan- hasil akhir dari mazhab yang dianutnya. Kalau dia bilang saya harus potong shaggy, dia harus bisa kasih lihat tampang saya nantinya. Kalau seorang politikus mengajak saya untuk mempercayai partai politiknya berdasarkan mazhab yang dia anut, dia harus bisa memberi gambaran kepada saya akan jadi bagaimana saya nantinya kalau saya setuju dengan dia. Whether I'll end up being rich or in jail. Kalau seorang guru agama menyarankan saya untuk percaya dengan mazhab yang dia anut... nah... umm.... dia juga harus bisa menjelaskan tentang mazhab yang lain...
Saya berhenti disini dulu deh....

Eh, pesan moral saya kali ini: you'd better stick with the hairstylist whom you are familiar with. If you look ugly still, at least you know just how ugly you'll get.

Ini Jawabannya...

Mungkin karena sudah bawaan seorang guru, setiap kali saya menulis (fiksi) saya selalu menyelipkan sepotong dua potong pesan moral. Cerita-cerita saya biasanya juga berkembang dari potongan pesan moral itu. Sepertinya hal kayak begini tidak terlalu baik untuk dicontoh: you'll end up feeling older and looking older than you wish you were not.

Begitu juga dengan Hair-quake.

Ada pesan moral saya disitu yang saya yakin bisa bikin para laki-laki manyun. Papap salah satunya. Pesan moral saya hanya satu, eh, lima kata.

Laki-laki (itu) gak penting!

Buat yang udah baca (yang belom baca silahkan mengejar ketinggalan kalian), yok kita balik ke Andita. Lewat Andita, saya ingin menggugat suatu konsep kebahagiaan perempuan yang katanya hanya ada di dalam hubungan dengan laki-laki. Sebenarnya, kalau saya boleh lebih jujur dan kasar lagi, saya ingin menggugat kata-kata seorang teman perempuan saya yang mengatakan prestasi tertinggi seorang perempuan adalah dengan mendapatkan pendamping dan menikah. Kenapa saya jadi inget pembantu saya yang ijin pulang kampung setahun lalu ya? Jadi, ketika Andita dipaparkan pada kenyataan kehilangan (dalam bahasa Santi 'kaburnya') seorang laki-laki yang dia cintai, peristiwa itu tidak harus jadi akhir sebuah cerita (baca: novel). Buat saya, ending terbaik adalah Andita dapat beasiswa ke Amerika, bo! Masa bodoh dia mau dapat pacar atau enggak. Hidup tidak berakhir pada kepergian (atau kehilangan, atau kaburnya) seorang laki-laki. Hidup baru berakhir ketika diri sendiri memutuskan hidup itu harus berakhir. Begitu juga dengan kebahagiaan. One can decide where s/he wants to start.

Itu pesan moral saya hari ini. Juga jawaban saya atas janji yang molor. Juga pemaparan teori saya bahwa penemuan sepotong pesan moral berarti satu tambahan garis kerutan di wajah. You'll end up feeling and looking older.

What's for the anniversary?

Teman : Hei, De', happy anniversary ya.
Saya : Thanks.
Teman : Candle light dinner dong?
Saya : Nope.
Teman : Terus? Dirayain?
Saya : Nope.
Teman : Terus? Ngapain dong elu?
Saya : Ngasih kartu.
Teman : Elu ngasih kartu ke si Babe?
Saya : Iya.
Teman : So sweeeeeeeeett....
Saya : Hm.
Teman : Isinya apa tuuuuh?
Saya : "Selamat tanggal 14. Semoga tahun ini menjadi tahun terakhir kamu lupa tanggal 14."

A Player or Not A Player

"There is something sexy about men and musical instruments."
My girl friend said that some 20 years ago. And we were like thirteen something years old wearing a white-and-blue uniform.
This girl and I were at our school festival and she was staring at 5 seniors who were doing their band perfomance on the stage.

My friend discovered sexy and mEn at the age of 13. I found out about sexy and mAn about 10 years later when I watched Val Kilmer in The Saint. Please noted that I met Papap earlier before watching Val Kilmer...

I separated from my girl friend a year or more later, but her words have stayed with me ever since. Not because she was right, but because she was deadly right.
Whenever there is a band performance, girls scream out loud and go nuts for the band players. Mind you, the players are not always (hardly ever always) handsome. Yet, girls don't seem to mind. It looks like a musical instrument could suddenly increase the level of sexiness to whoever (read: men) touches it. That girl friend I was talking about eventually went out with the drummer because she thought he looked cute when he held the sticks. (I'm wondering if chopsticks have the same effect...)
The sad part is I still cannot see the truth of my friend's wisdom. So, in this world of girls-loving-band players, I am blind. If a man is a band player and he is not sexy (or Val Kilmer, or Keanu Reeves look-alike), then hitting a drum or strumming a guitar won't make him suddenly become sexy on my eyes. The fact that I think Sting is sexy is purely because he was born sexy. I bet he was sexy too when he was still a teacher (which makes him even sound sexier).

Papap, I think, knows this phenomenon -I mean me being not affected by men holding musical instruments. That's why he never tried to win me by a guitar, which is the only musical instrument he can play a little. But, I know once upon a time he had won some admiration from some girls only by holding a guitar (he didn't necessarily need to play it, trust me).

A week ago, Papap went home with a CD of Indonesian Top 40 songs. He played the songs over and over again in his discman and watched the music channel. I almost got a mental breakdown when one day he tried to make me listen to the songs. When I couldn't handle it again I screamed.
Papap laughed. He just loved it when he saw me cracking.
"I'm practicing Top 40 songs."
"It's been awhile since I keep track on the Top 40."
"And there is this band at the office..."
"And I am in."
He stopped and watched my face. I know that Papap could (some 15-20 years ago) played a guitar, but I also know that he doesn't sing. I don't have to tell you how terrible his voice is so you just have to trust me. Papap trusts me on this too.
"You mean you are applying to be in the band?"
"No, I am in the band. I am the lead vocalist."
"You what?!"
Papap belly-laughed.
"Why would they do that?"
"Because there is nobody else."
"And I have to keep practicing the songs."
"Why? To make your voice sound nicer?"
"No. To make me remember the songs. Sometimes when the band plays a song, I have no idea which song they are playing."
At this point I had to laugh.
"So..." Papap eyed me. "Can I have a guitar for my birthday present?"
Papap has never asked for or wished for a birthday present ever. When he mentioned the guitar, I knew it was serious.
"Well, sure, but why?"
"May be I can sing and play the guitar too."
Suddenly the voice of my 20-something-years-ago girl friend rang in my ears.
"You know who is the sexiest, De'? The lead vocalist who plays instrument."

Happy Birthday, Papap! I'll buy you the guitar but you have to drop the singing. One cannot have everything in this world, people say.

God is in the office

My life has been like a roller coaster.
Healthy to being Sick
Happy to become Sad
Having some jobs to jobless to having more than I can handle
Having no money to having some, then no money again
Getting more friends to quarelling with a few
After that, people love to tell me how life is like a wheel.
Once you are up, the next time you are down there.
I never think of life that way.
My roller-coaster life is just a proof that God is in the office.
And He is in charge.
And he never takes a leave. Even on holidays.

Happy Eid Mubarak, friends.
Let's renew our faith.
Stronger as years go by...

Maaf, Kami Bukan TPA


TPA
Tempat Penampungan Anak
Tempat Pembuangan Anak
Tempat Penitipan Anak

Sudah sebulan lebih pembantu kami uring-uringan. Rasa uring-uringannya dia masih ditambah dengan rasa deg-degan. Sekujur tubuhnya stress kalau jam sudah menunjukkan angka 2 siang, jamnya Hikari pulang sekolah.
Jangan salah dulu. Dia stress bukan karena Hikari. Pembantu kami itu stress justru karena ulah teman lama saya.

Semenjak Hikari masuk SD, Hikari berkenalan dengan teman satu perumahan tapi lain blok. Anak ini ternyata berada di sekolah yang sama dengan Hikari. Bukan itu saja. Mamanya si anak ini ternyata adalah teman sekolah saya yang baru saja pindah rumah ke perumahan kami.
Awalnya saya senang dengan pertemanan Hikari yang baru, selain juga saya senang ketemu teman lama. Lama-lama...

Mulanya, si Ibu sering mampir ke rumah saya. Alasannya sambil lewat, atau untuk ngobrol (dengan saya) atau ngajak main anaknya. Lama-kelamaan, si Ibu sambil lewat -entah ke pasar, ke mall, ke pengajian, kemana lah- sekalian menurunkan anaknya di rumah saya. Kalau tadinya frekuensi berkisar antara seminggu sekali, lama-lama jadi seminggu... 6 kali. Kalau tadinya si anak ditinggal hanya selama 30 menit, lama-lama jadi 3 jam. Lebih.

Lalu, sebulan lalu, pembantu si Ibu pulang kampung. Sejak itu setiap pulang sekolah si anak ditinggal di rumah saya untuk menghabiskan waktu bermain dengan Hikari. Sejak itu kelimpungan lah pembantu saya di rumah gara-gara Hikari gak mau tidur siang, Hikari loncat-loncat lari-lari kesana kemari, Hikari (dan temannya itu) membuat rumah jadi kapal pecah, dan seterusnya-dan seterusnya.

Awalnya, saya masih bisa menentramkan hati pembantu saya itu dengan beralasan kerepotan yang mungkin dialami si Ibu karena tidak ada pembantu di rumahnya. Memasak sambil ngangon anak sekaligus membereskan rumah (yang sebesar itu!) kan pekerjaan yang luar biasa menghabiskan energi dan pikiran.
Sampai seminggu yang lalu...

Hari Sabtu pagi saya, Papap dan Hikari masih leha-leha di tempat tidur. Malas bangun -apalagi mandi- kalau belum Adzan Dhuhur. Tiba-tiba mobil si Ibu berhenti di depan rumah kami. Keluar lah tiga pasang anggota keluarga itu: Ayah, Ibu, dan Anak mereka. Saya dan Papap blingsatan secara kami belum mandi walau saya bisa jamin kami saya gak sampai bau bantal. Si Ibu dan Anaknya masuk ke dalam rumah kami dengan santai.
"Anak gue mau main disini katanya."
"Elu mau kemana?" tanya saya dengan muka ngantuk dan senep.
"Gue mau belanja dulu. Titip yak!"
Lalu dia pun melenggang pergi bersama suaminya.
Pembantu saya merengut.
"Saya mau pulang kampung buat Lebaran minggu depan!"
Saya dan Papap liat-liatan.

Pertanyaan moral saya kali ini: Pilih Teman atau Pembantu?

Hayo tebak!

Setelah sekian lama, masih saja ada orang yang menanyakan: "Kenapa Andita gak jadi pacaran dengan Prasta?!"
(Herannya gak ada yang tanya kenapa Andita gak jadi pacaran dengan Ricky???)

Iya, saya lagi ngomongin novel Hair-quake saya itu yang endingnya... ehem... ternyata bikin orang patah hati.
Terus terang, maksud saya tadinya bukan itu. Bukan untuk mematahkan hati siapapun.
Gini deh. Kita main tebak-tebakan aja yuk. Terutama untuk yang udah baca. Yang belum baca, silahkan baca. Hehehe...

Pertanyaannya: Kenapa sih saya tidak mengakhiri cerita itu dengan membuat si tokoh utama pacaran dengan salah satu cowok disitu?

Jawaban saya ditunggu seminggu lagi yak. Moga-moga pada hari Selasa minggu depan, internet kantor nyala dan boss gak nyuruh meeting lagi meeting lagi! Hehehe...

Not my kind...

Apa yang membuat anda membenci tidak menyukai sebuah buku?
1. Judulnya?
2. Cover-nya?
3. Penulisnya?
4. Sinopsisnya?
5. Ceritanya secara keseluruhan?
6. Nilai-nilai yang disisipkan di dalamnya?
7. Editing-nya?
8. Harganya?

I love reading.
Tidak seperti film, saya tidak pernah menghakimi sebuah buku dari nilai-nilai yang dianut penulisnya. Atau sinopsisnya. Atau penulisnya. Atau malah covernya. Apalagi judulnya.
Beberapa kali saya berhenti membaca satu buku tanpa selesai. Itu biasanya karena:
a. Otak saya ternyata nggak nyampe dalam menelan isi buku.
b. Tanpa menyelesaikan membaca, saya sudah tahu kesimpulan buku itu.
c. Itu buku matematika. Atau aritmatika. Atau statistika. Atau apapun yang berbau tika-tika...
Tapi, saya tidak pernah berhenti membaca satu buku karena saya benci cerita di buku itu.

Hal yang sama terjadi kemarin ketika saya membeli sebuah buku yang berkaitan dengan satu hukum agama setebal kurang dari 100 halaman. Judulnya anggap saja sama seperti "Apakah kita boleh makan menggunakan sendok?"
Sampai halaman 55, si penulis masih berputar-putar dengan cerita 'Sendok adalah... dan Gunanya Sendok adalah..." Perkara Apakahnya belum juga disentuh. Eeh, belakangan, perkara apakah saya boleh makan menggunakan sendok hanya dibahas kurang dari 5 halaman. Itupun tidak ada kesimpulan yang dimulai dengan kata "Jadi...".
Kecewa dengan buku itu? Jelas. Tapi benci? Nggak tuh.

Selama ini saya tidak pernah membenci satu buku dengan alasan jelas. I love reading. Bahkan koran gurem yang dari kertasnya aja sudah gak enak di mata, tetap saya baca, tak peduli beritanya juga cuma yang gurem-gurem aja. Saya tetap membaca semata-mata untuk memuaskan mata saya.

Tapi beberapa waktu lalu saya membeli sebuah novel. Covernya keren. Judulnya modern. Ceritanya tentang kehidupan perempuan cantik yang sibuk dan mandiri yang tinggal di kota besar. Seharusnya saya merasa 'gue banget gitu loh' (terutama yang bagian cantik dan mandiri tinggal di kota besar haha!).
Nyatanya... Tidak sama sekali!
Dan itu bukan karena jalan ceritanya, bahasanya, editingnya, etc.
Ada satu hal di buku itu yang membuat saya -sebagai seorang yang senang membaca- menjadi tersedih-sedih bukan main. Satu hal itu adalah kesan. Cerita di buku itu memberi kesan yang sama ketika seseorang mengelompokkan manusia berdasarkan kasta: the haves, the so-so, atau the neither-one. Membaca novel itu membuat saya seakan-akan masuk ke sebuah kelompok eksklusif dimana saya tidak diundang tapi dengan nggak tau dirinya malah nongol di pertemuan kelompok itu. Lalu, untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya membenci sebuah buku.

Kalau anda, apa yang membuat anda membenci sebuah buku?

Our Mother's Signature

Nama perempuan itu Jeng DJ. Usianya di pertengahan 30-an tahun. Kata perfeksionis dan idealis sepertinya diciptakan khusus untuk dia saat dia lahir.

Saya sebenarnya lebih suka memanggil di Jeng TOA as in TOA mesjid. Ini bukan penghinaan. Hanya sekedar menyamakan deskripsi karakter dan bawaan orok dengan sebuah nama panggilan. Lagipula, TOA nya bukan sembarang TOA. TOA yang satu ini seringkali menyuarakan gema sebuah bom yang meledak. Meledaknya gak tanggung-tanggung: di kantor, di antara para pejabat tinggi, di tengah-tengah orang berhati lemah.

Saat ini -seperti juga saat-saat yang lalu- Jeng DJ sedang stress berat. Bawaannya (dikutip sesuai dengan kalimat aslinya) PENGEN NELEN ORANG. Ini akibat dia ditimpuki kerjaan yang gak tanggung-tanggung banyaknya dan jelas gak sesuai dengan nominal gaji.
Menurut saya pribadi sih, Jeng DJ pengen nelen orang bukan karena kerjaannya yang ngebludak. Dia sampai gahar begitu karena orang-orang yang harus dia kerja-samai mempunyai deskripsi 'sudah bego, goblok lagi'. Dan anehnya mereka selalu naik pangkat...

Coba sekarang kita bayangkan si Jeng DJ ini. Di tenggelamkan oleh kerjaan, di gaji rendah (haha!), di kerjain para kolega dengan menyuruhnya ikut panitia ini itu, dianggap terlalu idealis, dan yang paling menggelikan (buat saya) dia diiklankan sebagai berkepribadian tidak dewasa.

Lalu apa yang dilakukan oleh Jeng DJ?
Jelas apa yang selalu dilakukan oleh dia.
Ngamuk. Ngomel. Maksa orang untuk bekerja bener.
Does it work?
Jelas tidak.
Sebagai akibatnya, Jeng DJ jadi pengen nelen orang lagi.

Apa hubungannya Jeng DJ dengan saya?
Jeng DJ itu sosok yang menentramkan buat saya. Jelas bukan menentramkan dengan feeling yang sama seperti mendengarkan Pak Quraish Shihab berceramah tentang kemurnian hati. Feeling menentramkannya adalah seperti, "Oooooh, ternyata ada orang yang hidupnya lebih sial lagi dari gue!"
Tapi, applause should be given to her. Setelah selesai nelen orang, Jeng DJ biasanya sanggup tertawa-tawa lepas menertawakan hidupnya yang lebih sial dari saya.
Bawaan orok Jeng DJ yang terakhir (tertawa-tawa lepas menertawakan hidupnya yang lebih sial dari saya) itu lah yang menjadi persamaan antara saya dan dia.

Terakhir kali saya bercakap-cakap dengan Jeng DJ, kami berkesimpulan bahwa kemampuan kami menertawakan kepahitan (hayah!) hidup ini berkat didikan ibu-ibu kami.
Perlu diketahui, walaupun ibu-ibu kami itu tidak saling mengenal, mereka sepertinya lulusan dari perguruan silat yang sama: Kejemnya gak kira-kira! Dan terutama, mereka selalu sanggup menaikkan dagu pasang tampang sekokoh batu walaupun cobaan hidup mereka luar biasa beratnya (having us as daughters, that is!).
Maka, selagi kami memperingati dan mengenang karakter Raja Tega mereka (yang terutama ditujukan kepada kami yang anak perempuan satu-satunya), kami mendapat satu kesimpulan. Satu pencerahan.
"Kalau emak-emak kita itu gak raja tega sama kita, yang ada sedikit-sedikit susah kita bakal mewek mulu kali ya?" kata saya berfilosofi.
"Iya, itu emang begitu itu mereka ngedidik kita."

Jadi, itu lah signature dari para ibu kami.
Pesan moral kali ini: what is your mother's signature on you?

REZAH

"Namanya Re-zah, Mama. Harus pake huruf H dibelakangnya. Mama harus sebut pelan-pelan. Reeee---zaaahhhh. Kalau pelan-pelan, namanya jadi merdu, Ma."

Rezah.
Itu panggilan Hikari untuk calon adiknya. Saya dan Papap hanya bisa tertawa mendengar rencana-rencana dia untuk adiknya.

"Mama jadi punya dua anak kesayangan, ya?"
"Adiknya perempuan atau laki-laki?"
"Kok perut Mama belum besar juga?"

Pertanyaan demi pertanyaan Hikari lontarkan tak sabar.
Sembilan hari yang lalu, pertanyaan itu berubah menjadi...
"Kenapa adik sakit, Ma?"
"Kenapa adik harus dikeluarkan sekarang?"
Dan saya tak punya jawabannya.
Yang saya tahu, life had been hard for this little one. Dia harus berjuang keras sekali sejak awal. Lalu Dia berkehendak Rezah hanya hadir untuk 12 minggu.

Blogger Templates by Blog Forum