Kartini itu Perempuan
Thursday, April 20, 2006 by Mariskova
Waktu itu saya kelas 4 SD. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, sekolah saya selalu memperingati Hari Kartini dengan cara menyuruh murid-muridnya memakai baju daerah. Entah kenapa, semua murid perempuan selalu memakai kebaya Jawa sementara semua murid laki-laki memakai pakaian tentara...
Biasanya, saya hanya memakai kebaya katun sederhana dan kain batik yang lebih menyerupai sarung daripada kain. Tapi, tahun itu, Mama membeli kain beludru hitam dan meminta Eyang Putri untuk menjahitkan baju Kartini buat saya.
Pagi-pagi, Papa mengantar saya ke sekolah. Saya memakai kebaya baru berwarna hitam dari kain beludru, berenda kuning keemasan dan kain batik baru. Saya juga bersanggul (yang membuat saya harus bangun subuh-subuh untuk berdandan), dan berselop beludru hitam. Harusnya saya terlihat sedikit lebih cantik...
Seperti biasa, sebelum kelas dimulai, ada upacara peringatan terlebih dahulu. Ada upacara bendera, ada pidato, ada baris-berbaris. Seperti biasa pula saya baris di paling belakang karena barisan belakang adalah zona aman saya untuk ngobrol dan main-main. Selagi saya asyik ngobrol, main tendang-tendangan dengan teman-teman cowok, menggoyangkan badan ke kanan dan kiri, saya mendadak melihat guru saya yang paling galak, Ibu Atiek. Beliau berdiri di depan sambil memegang kertas dan pulpen. Matanya menjurus ke arah saya. Kemudian beliau membisikkan sesuatu ke guru yang lain yang juga segera memperhatikan saya.
Sekejap saya berdiri mematung. Diam seperti tersiram es. Saya yakin guru-guru saya itu sedang menuliskan nama saya di daftar anak nakal. Dan sampai upacara hampir berakhir, saya tak bergerak seinci pun. Saya juga tak yakin kalau saat itu saya berani bernapas.
Sebelum upacara berakhir, Pak Kepala Sekolah membuat pengumuman. Kata beliau, kira-kira, sekolah akan memberikan hadiah kepada pemenang lomba Kartini hari itu. Saya belum pulih dari rasa takut, jadi saya tidak bereaksi. Lagipula, memang ada lomba apa gitu loh?
Kemudian, Ibu Atiek, maju ke depan corong mikropon dan berkata, "Juara ketiga hari Kartini adalah... beliau menyebutkan nama kakak kelas 6. Juara kedua adalah... beliau menyebutkan nama... SAYA!
Hah?! Saya syok. Saya maju karena didorong-dorong teman-teman. Singkatnya, hari itu saya juara dua lomba Kartini, walaupun entah, lombanya apa?! Juara pertamanya juga kakak kelas 5. Hari itu saya mendapat hadiah saputangan indah 3 helai. Hari itu sepanjang jalan pulang teman-teman saya yang sama-sama berdandan lenong ribut berteriak-teriak kepada setiap orang di jalan, "Om, temen saya menang Kartinian, Om!"
Duh!
Sore itu dirumah, sepulang orang tua saya dari kantor, saya bercerita tentang kemenangan saya. Seingat saya, Mama tersenyum-senyum saja. Sementara Papa saya yang selalu jaim hanya berdehem. Tapi ada satu hal yang menggelitik hati dan saya menanyakannya pada Mama. Menurut pikiran saya yang masih SD kelas 4, harusnya saya yang menang juara satu! Alasannya remeh: kalau lomba itu lomba mirip Kartini, maka sayalah yang paling mirip. Si juara 1 berkulit putih bertampang Maudy Koesnaedy tapi agak bule. Si juara 3 malah setengah bule. Sementara saya, berkulit hitam, berhidung pesek, berjidat jenong, mirip sekali dengan RA Kartini. Bukankah harusnya saya pemenang pertamanya? Kecuali kalau itu lomba Ratu Ayu, si Juara 1 dan 3 sudah pasti layak menang!
Saya lupa jawaban pastinya Mama. Hanya kira-kira Mama menjawab sesuatu tentang hari perempuan. Terus terang, saya masih tidak puas, bahkan hingga sekarang. Kalau hari Kartini adalah hari yang didedikasikan untuk perempuan, mengapa tak disebut saja sebagai Hari Perempuan Indonesia? (catatan: Indonesia sampai sekarang tak punya hari perempuan) Bukankah Cut Nyak Dien, Dewi Sartika dan Dewi-Cut lainnya sama-sama perempuan berjasa? Namun, saya pernah membaca (dan saya lupa dimana) alasan Kartini lebih terkenal dibanding pahlawan perempuan lainnya adalah karena Kartini menulis! Hmmm... ya memang susah sih bagi Cut Nyak Dien untuk menulis diantara kegiatannya berperang di hutan...
Saya tak mau berpanjang-panjang berkomentar tentang emansipasi dan semacamnya. Pasti ada blog dan blogger yang lebih kompeten membahas soal itu. Disini saya hanya ingin menyuarakan kericuhan jiwa perempuan saya yang telah saya alami sejak kelas 4 SD itu. Walau saya tahu seorang Kartini juga perempuan, tapi Hari Perempuan terlalu sempit artinya bila dimasukkan pada sosok Kartini (itu kalau memang Hari Kartini adalah hari perempuan. Beri pencerahan, plis?). Lagipula, perempuan Indonesia tidak semua bersosok Kartini. Bagaimana nasib saya yang bukan orang Jawa tulen? Bagaimana nasib anak saya (bila dia perempuan) yang hanya sedikit berdarah Jawa? Bagaimana nasib keponakan saya yang sama sekali bukan orang Jawa? Apakah tak ada tempat untuk mereka di tanggal 21 April ini?
catatan: tulisan ini didedikasikan untuk Mama yang sudah mengajari saya tentang menjadi perempuan. Karena Mama, saya tak perlu sosok seorang Kartini untuk menjadi perempuan yang bangga karena dirinya perempuan.
Biasanya, saya hanya memakai kebaya katun sederhana dan kain batik yang lebih menyerupai sarung daripada kain. Tapi, tahun itu, Mama membeli kain beludru hitam dan meminta Eyang Putri untuk menjahitkan baju Kartini buat saya.
Pagi-pagi, Papa mengantar saya ke sekolah. Saya memakai kebaya baru berwarna hitam dari kain beludru, berenda kuning keemasan dan kain batik baru. Saya juga bersanggul (yang membuat saya harus bangun subuh-subuh untuk berdandan), dan berselop beludru hitam. Harusnya saya terlihat sedikit lebih cantik...
Seperti biasa, sebelum kelas dimulai, ada upacara peringatan terlebih dahulu. Ada upacara bendera, ada pidato, ada baris-berbaris. Seperti biasa pula saya baris di paling belakang karena barisan belakang adalah zona aman saya untuk ngobrol dan main-main. Selagi saya asyik ngobrol, main tendang-tendangan dengan teman-teman cowok, menggoyangkan badan ke kanan dan kiri, saya mendadak melihat guru saya yang paling galak, Ibu Atiek. Beliau berdiri di depan sambil memegang kertas dan pulpen. Matanya menjurus ke arah saya. Kemudian beliau membisikkan sesuatu ke guru yang lain yang juga segera memperhatikan saya.
Sekejap saya berdiri mematung. Diam seperti tersiram es. Saya yakin guru-guru saya itu sedang menuliskan nama saya di daftar anak nakal. Dan sampai upacara hampir berakhir, saya tak bergerak seinci pun. Saya juga tak yakin kalau saat itu saya berani bernapas.
Sebelum upacara berakhir, Pak Kepala Sekolah membuat pengumuman. Kata beliau, kira-kira, sekolah akan memberikan hadiah kepada pemenang lomba Kartini hari itu. Saya belum pulih dari rasa takut, jadi saya tidak bereaksi. Lagipula, memang ada lomba apa gitu loh?
Kemudian, Ibu Atiek, maju ke depan corong mikropon dan berkata, "Juara ketiga hari Kartini adalah... beliau menyebutkan nama kakak kelas 6. Juara kedua adalah... beliau menyebutkan nama... SAYA!
Hah?! Saya syok. Saya maju karena didorong-dorong teman-teman. Singkatnya, hari itu saya juara dua lomba Kartini, walaupun entah, lombanya apa?! Juara pertamanya juga kakak kelas 5. Hari itu saya mendapat hadiah saputangan indah 3 helai. Hari itu sepanjang jalan pulang teman-teman saya yang sama-sama berdandan lenong ribut berteriak-teriak kepada setiap orang di jalan, "Om, temen saya menang Kartinian, Om!"
Duh!
Sore itu dirumah, sepulang orang tua saya dari kantor, saya bercerita tentang kemenangan saya. Seingat saya, Mama tersenyum-senyum saja. Sementara Papa saya yang selalu jaim hanya berdehem. Tapi ada satu hal yang menggelitik hati dan saya menanyakannya pada Mama. Menurut pikiran saya yang masih SD kelas 4, harusnya saya yang menang juara satu! Alasannya remeh: kalau lomba itu lomba mirip Kartini, maka sayalah yang paling mirip. Si juara 1 berkulit putih bertampang Maudy Koesnaedy tapi agak bule. Si juara 3 malah setengah bule. Sementara saya, berkulit hitam, berhidung pesek, berjidat jenong, mirip sekali dengan RA Kartini. Bukankah harusnya saya pemenang pertamanya? Kecuali kalau itu lomba Ratu Ayu, si Juara 1 dan 3 sudah pasti layak menang!
Saya lupa jawaban pastinya Mama. Hanya kira-kira Mama menjawab sesuatu tentang hari perempuan. Terus terang, saya masih tidak puas, bahkan hingga sekarang. Kalau hari Kartini adalah hari yang didedikasikan untuk perempuan, mengapa tak disebut saja sebagai Hari Perempuan Indonesia? (catatan: Indonesia sampai sekarang tak punya hari perempuan) Bukankah Cut Nyak Dien, Dewi Sartika dan Dewi-Cut lainnya sama-sama perempuan berjasa? Namun, saya pernah membaca (dan saya lupa dimana) alasan Kartini lebih terkenal dibanding pahlawan perempuan lainnya adalah karena Kartini menulis! Hmmm... ya memang susah sih bagi Cut Nyak Dien untuk menulis diantara kegiatannya berperang di hutan...
Saya tak mau berpanjang-panjang berkomentar tentang emansipasi dan semacamnya. Pasti ada blog dan blogger yang lebih kompeten membahas soal itu. Disini saya hanya ingin menyuarakan kericuhan jiwa perempuan saya yang telah saya alami sejak kelas 4 SD itu. Walau saya tahu seorang Kartini juga perempuan, tapi Hari Perempuan terlalu sempit artinya bila dimasukkan pada sosok Kartini (itu kalau memang Hari Kartini adalah hari perempuan. Beri pencerahan, plis?). Lagipula, perempuan Indonesia tidak semua bersosok Kartini. Bagaimana nasib saya yang bukan orang Jawa tulen? Bagaimana nasib anak saya (bila dia perempuan) yang hanya sedikit berdarah Jawa? Bagaimana nasib keponakan saya yang sama sekali bukan orang Jawa? Apakah tak ada tempat untuk mereka di tanggal 21 April ini?
catatan: tulisan ini didedikasikan untuk Mama yang sudah mengajari saya tentang menjadi perempuan. Karena Mama, saya tak perlu sosok seorang Kartini untuk menjadi perempuan yang bangga karena dirinya perempuan.