Somebody Else's Happiness

Dering handphone milik seorang bapak setengah baya yang duduk di sebelah saya membuyarkan acara saya melamun di bis hari itu. Si bapak yang agak gempal sehat itu bergegas merogoh-rogoh hp di kantong celananya. Kegiatan yang membuat saya semakin terdesak karena duduk di tengah-tengah dua orang sehat.

Dering itu akhirnya berhenti disertai seruan Halo! yang cukup keras.
"Ya?"
"Di bis."
"Iya."
"Apa?!"
"Hah?!"
"Antony?!"
"Astagfirullah!"
"Kapan?"
"Baru saja?"
"Astagfirullah! Inna lillahi."
"Ya, ya, saya telpon si abang ya."
"Ya, wa alaikum salam..."

Tat tit tut tat tit tut...
"Assalamualaikum, Bang."
"Iya, ini saya..."
"Iya, Bang. Dimana, Bang?"
"Oh, di DPR..."
"Ini, Bang, mau tanya... katanya Anthony meninggal tadi pagi?"
"Apa?"
"Bukan Anthony?"
"Oh, kakaknya?"
"Alhamdulillah..."
"Oh, yang perempuan?"
"Ohh... bagus deh kalau begitu..."
"Iya, Bang, Alhamdulillah..." tutupnya dengan nada tak berdosa.

Someone's misery can be somebody else's happiness.

Harry Potter and Yesterday

Melihat iklan akan (atau sudah?) diterbitkannya Harry Potter 7 versi Bahasa Indonesia, saya jadi terkenang masa seminggu penuh emosi dan debaran jantung di pantai Carita saat saya berjuang membaca edisi terakhir Harry.

Secara itu novel terakhir, rasa penasaran ingin menghabiskan cerita bercampur dengan rasa sayang gak akan ketemu si Harry lagi seumur hidupkuh (hayah). Dan -ini dia!- ketika saya sampai di bagian akhir, saya merasa... kalau pake bahasa Nenek ini... ejakulasi dini: tiba-tiba saya harus berhadapan dengan Harry yang sudah married dan punya anak 3!

Rasanya seperti ketemu lagi dengan temen SD yang tiba-tiba berubah jadi guanteng luar biasa, lalu pas pertemuan terakhir dia bilang, "liat deh foto istri dan anak-anak gue!"
Ngaruh banget endingnya terutama kalau kita berstatus jomblo.

Gak rela! Gak rela!
Teriak saya waktu itu ke sesama pembaca Harry yang saya kenal.
That's not Harry that I know!
That's not Harry that I've come to love!
That's not Harry that I grew up with!

"People change, De'!" kata seorang teman yang melihat saya uring-uringan atas perubahan si Harry.
"Not that instant!" jawab saya waktu itu dengan ndableknya.
"Well, sometimes it is. Look at you! You've become more insane in just a week!"

Harusnya saya mendengarkan nasihat sang teman tadi. Karena bila saja hati ini mau mendengarkan, saya tidak akan sesedih belakangan ini. Saya tidak akan memakai kaca mata yang sama dengan tiga tahun lalu saat memandangi teman-teman yang berdiri dihadapan saya sekarang.

Pesan moral saya kali ini adalah ganti kacamata anda setidaknya dua kali setahun. If one month is 30 days, you'll never know what can happen to a person in a year.

gambar dari sini

Terancam

Saya sedang memperhatikan Hikari yang sedang asyik bermain dengan temannya Z. Seru sekali permainan yang buat saya kelihatan sederhana itu: beberapa mobil dan beberapa mini dino disulap menjadi sebuah taman Jurassic lengkap dengan landscape terdiri dari bantal kursi dan sendal Eyang kakung.

Setelah beberapa lama mereka bermain, datang Y, anak gemuk menggemaskan yang tinggal di dekat rumah. Hikari tambah antusias karena itu berarti skenario Jurassic Park miliknya tambah ramai. Sayangnya, baru lima menit bermain, timbul masalah. Si Z membuat ulah. Dari beralasan bosan dengan main dino, mengajak Hikari main yang lain (sambil berbisik supaya si Y tidak perlu diajak), ngambek, sampai terang-terangan menyuruh si Y pulang.

Bocah kecil itu, si Z, merasa terancam dengan kehadiran Y. Dia lalu merusak suasana bermain, dan hari itu ada tiga anak kecil yang sorenya berubah menjadi kelabu.

Saya pernah menjadi si Z. Atau si Y, bila dilihat dari sisi yang berbeda.

Saya bersahabat dengan A selama sekitar sepuluh tahun, ketika kami berkenalan dengan B. Tidak lama kemudian selalu ada B kemana pun kami pergi. Setelah itu hari-hari kami persis seperti deskripsi Lady Diana ketika berucap, "there were three of us in this marriage, so it was a bit crowded."

Saya merasa terancam, terutama ketika saya tak lagi diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan yang biasanya saya dan A lakukan bersama. Pelan-pelan saya menyingkir, karena saya tak punya cukup hati untuk mempertahankan persahabatan kami. Sampai hari ini yang saya lakukan adalah memandangi B merajut persahabatan dengan A.


"People do foolish things when they feel threatened," ucap teman saya, si C, yang lulusan fakultas psikologi terkenal di Jakarta.
"You are even more foolish," tambahnya. "You didn't do anything!"

Saya hanya tertawa mendengarnya. Mungkin C benar. Mungkin dia salah. Tapi belakangan ini, ucapan C seperti mendapat pembenaran. People do foolish things when they feel threatened.

Sebut saja D, seorang perempuan karir dengan setumpuk tanggung jawab. Saking bertumpuk tanggung jawabnya, boss si D memberinya orang tambahan untuk membantunya. Si Junior kebetulan baru saja kembali dari bermukim selama beberapa tahun di luar negeri. Si Junior juga kebetulan punya pengalaman karir yang lumayan impressive. Logikanya, D seharusnya merasa senang. Pekerjaannya akan berkurang dan ia akan dibantu oleh orang yang sudah jadi. Setidaknya, logika Junior berkata begitu.

Dua bulan lewat. Si Junior dibiarkan meraba-raba dalam gelap. Tidak ada satupun pekerjaan yang dialihkan kepadanya. D menutup rapat akses ke pekerjaan yang harusnya dibantu Junior. Boss meminta Junior untuk bersabar.
"D perlu waktu," kata Boss.
"Mungkin dia merasa terancam dengan kualifikasi anda," kata Senior lainnya.
Junior bersabar. Dia tidak mengerti, tapi dia bersabar.

Dua bulan lewat. Si Junior yang baru menjejakkan kaki masuk ke ruangannya disapa oleh salah satu stafnya.
"D masuk rumah sakit."
"Hah?!"
"Dokter bilang dia depresi berat."

Ternyata kawan saya si C benar.
People do foolish things when they feel threatened.
Tapi satu hal yang pasti.
Semua orang merasakan hari yang kelabu.

picture: from google image

Soul

Eventually, I heard the whispers.
What's happening with my blogging frequency?

Ten days passed. I didn't have anything to share in my blog.
It hurts me.

Busy?
Well, aren't we all?
No idea?
Not really. The truth is I have more than four writings that I don't or won't publish.

But, why?
I am losing a soul. The soul to blog.

While I'm struggling to recuperate, I have one zen reading for you, because it would be impolite of me to give you nothing back while you've made the effort to visit.

Do you want to understand?
The whole world is one of your eyes, the body produced by your parents is a
cataract. All ordinary people ignore the indestructible, marvelously unclear,
unfailingly mirroring eye, and cling fast to the dust cataract produced by the
relationship of their father and mother. Therefore they take illusions for
realities, and grasp at reflections as the physical forms themselves.
Eye and Cataract: Zen by P'u-an.

See you later. Hopefully soon.

No Non-Sense Discipline


Saya cinta sekali dengan acara ini. NANNY 911.

Mami saya berkomentar, "Ya jelas! Kamu kan salah satunya!"
I took that as a compliment.

Favorit saya terutama adalah Nanny Deb, dengan motonya: No Non-Sense Discipline.
It's so me.

Bisa jadi si Mami saya benar 100% sewaktu beliau bilang I fit in perfectly in those Nanny things. Beliau pasti teringat masa-masa kamp konsentrasi saya dipenuhi pelanggan...

Sebelum saya menikah -dan punya anak, setiap kali ada anak yang misbehave di keluarga besar si Mami, maka tante-tante atau om-om, bahkan para sepupu saya, akan memperingati anak-anaknya yang bandel dengan, "kalau kamu gak bisa dikasih tau mama/papa, kamu mama/papa kirim ke rumah mbak De!"
Ada juga yang masih gak percayaan dan dengan sukses dikirim ke rumah kami.

Setiap kali ada acara keluarga dan pada satu titik acara itu menjadi chaotic akibat jumlah anak-anak yang berlarian dan berteriak melebihi jumlah orang tua yang ada (satu pasang orang tua punya lebih dari 2 anak), saya akan didaulat untuk menghadirkan ketenangan kembali.
Caranya:
1. Tangkap anak yang menjadi ketua gang.
2. Suruh dia berdiri dalam posisi baris di hadapan kita.
3. Suruh yang lain berbaris mengikuti di belakang si ketua gang.
4. Sebutkan daftar Don'ts dan May, sekaligus sebutkan juga daftar konsekuensi What Ifs...

Kesuksesan saya menangani para anak-anak aktif itu mungkin karena rasa kasih sayang saya pada anak kecil sangat rendah kadarnya. I just didn't (still don't sometimes) like kids. Saya selalu memperlakukan anak-anak seperti orang dewasa: ada action, ada consequence. Mungkin karena itu saya bisa menjadi raja tega dalam mendisiplinkan anak-anak. Or maybe I was just born with it. Or nurtured with it...

Pelajaran yang bisa saya dapat dengan menjadi kepala kamp konsentrasi adalah:
1. Kids are actually adults in mini size. (so you can actually TALK to them)
2. If kids are taught to behave well, the world can actually be a better world.
Tapi ada satu pelajaran yang selalu saya ingat hingga akhirnya saya menjadi seorang orang tua; Pelajaran Nomor Tiga:
3. Kalau kita tidak bisa mengajari anak kita untuk well-behaving, jangan sakit hati (dan menyalahkan) kalau ada orang lain (satpam, orang tua lain, orang dewasa lain, anak kecil lain, guru, sampai polisi) yang akhirnya mengajari anak kita.

Pesan moral saya kali ini: baca nomer 3 di atas. Or you can call Nanny 911. At least it's a friendlier approach than having people call the police...

foto dari sini

Blogger Templates by Blog Forum