Anaknya Sepupunya Temannya Tetangganya

"Gue kenal tuh, sama anak yang pamannya kawin sama sepupu ipar dari pamannya anak angkat dari temen ibu gue." -Jomblo, hal. 41, Adhitya Mulya)



Si Papap bertanya gimana kabar keramaian pesta kemarin dulu itu. Papap memang gak ikut ke sana karena harus ngangon si Kunyil. Sungguh Bapak yang baik...

Jawaban saya standar: ada 500-an orang ngumpul, kalo gak rame ya bo'ong ajah. Papap ngangguk-ngangguk.

"Trus, kamu ngapain disana?" tanya si Papap, masih kurang yakin kalo saya bener-bener diundang ke acara besar itu. Wong Papap tau banget kalo saya gak pernah laku bahkan untuk acara sekelas RT.
"Nonton orang dialog-dialog gitu."
"Siapa yang dialog?"
"Ya, banyak. Ada menteri, ada Wimar Witoelar..."
Papap menyembunyikan wajah gak percayanya. Teteup gak percaya kalau saya bener-bener diundang.
"Ada si ini, si itu, si dia, si entu..."
Kali ini Papap gak bisa menyembunyikan wajah gak pahamnya. Iyah, si Papap ini walau ngeblog tapi buta blogwalking. Apalagi seleblog.
"Temen-temen dateng?" tanya Papap. Ini pasti maksudnya si Pak Dhe dan Permaisuri secara Papap cuma kenal segitu-segitunya. Entah kenapa si Papap kok pake pluralisme di kata temen-temen.
"Dateng lah. Bliow kan jadi pembicara."
"Oh ya?"
"Iya. Aku bukannya udah cerita kemaren itu?! Itu loh tentang Ndoro Ndobos Inc." mulai kesel. Nih orang kebanyakan gak pahamnya.
"Wah, Pak Dhe ngetop banget yah!" katanya penuh surprised bahwa orang yang pernah nongkrong kedinginan bareng di taman Shinjuku itu ternyata seleblog.
"Ya ampuuunnnnn... Males banget deh, Pap, jawabnya!"
"Trus..." kata Papap dengan raut wajah berubah lagi, "kita jadinya kenal dengan orang-orang ngetop dong ya?"

Pap, ada untungnya juga ente gak ikutan ke pesta kemaren itu...

to FM in NY from pb2007

In the middle of the crowd,
In the middle of the most wanted session, Ndoro Ndobos Inc.

I wish you were
here with us...

Much Love for You from Us..

The celebrity was giving his moment for you...

Tiada kesan tanpa kehadiranmu:D

pb2007

Heaven's Watching over Me

I was lying half awake half fainted.
My head felt like it was twirling around and, yes, it hurt like hell.
The red-and-white pills I got from the doctor didn't help.
My head wasn't feeling better.
I wasn't feeling better.
And I couldn't make myself sleep either.
I felt like throwing up for the hundreth times.
No matter how smelly I had already been.

I was thinking what I needed was a sleeping pill.
But at that time, a shotgun would be welcome too.

The wind brought high-pitched noise from the front of our house.
Children, one is mine, were playing cheerfully.
Remember the song: 'why does the sun go on shining?'
I guessed at that moment I could understand how the writer felt when s/he wrote that song.

Then the noise became so unbearable.
Before that, the light became so unbearable.
So much to sacrifice for the peace of a head.

I raked the bookshelf for my discman.
I needed something to soothe me.
Obviously the pills couldn't.
And I didn't have a shotgun.

I got the discman.
Didn't really care what cd was inside it.
Didn't really have the energy left to think about it.
I plugged the earphone, and pushed the play button.
John Legend was on.


I realize as I lay down to sleep
We haven't spoken in weeks
So many things that I'd like to know
Come have a talk with me
I need a sign, something I can see
Why all the mystery?

Geez... God really works in a mysterious way!
Especially when John came to this part...


Maybe we'll talk
Some other night
Right now I'll take it easy
Won't spend my time
Waiting to die
Enjoy the life I'm living

Dear God,
about the shotgun,
and the curses I said,
I was just joking.
What else can you expect from someone who's suffering from a migraine?
Peace?

note: see the Coffee Break on the left for the complete lyric.

Detik Ini Saja

Belakangan migren saya semakin menjadi-jadi. Kalau setahunan yang lalu, si migren akan datang dengan jadwal keperempuanan saya, sekarang tidak lagi. Dia datang sesukanya. Pacar saya dulu ajah gak gitu-gitu amat.

Lalu seorang teman menyarankan saya untuk introspeksi diri. Cara ngomong dia itu bikin saya menyesal luar biasa. Seakan-akan saya habis melakukan suatu dosa besar, bukan cuma habis didera migren. Eh, migren saya makin akut gara-gara dongkol sama dia...

Kalau kata si mami, saya kebanyakan mikir. Kata bliow, saya ketiban stress.
Gara-gara dibilang begitu, saya malah jadi mikir keras. Nah kan?!

Okeh lah, saya instrospeksi ajah sekalian. Toh istirahat di musholla kantor pun tidak menyelesaikan masalah migren ini. Saya juga gak bisa sekalian tidur disitu karena ditendangi makhluk-makhluk tak beradab yang iri karena tempat ternyaman di musholla sudah saya ambil duluan.

Dipikir-pikir, saya kok kurang setuju dengan diagnosa si mami. Terlalu banyak yang dipikirin?
Saya gak merasa sedang memikirkan banyak hal. Saya juga gak merasa sedang stress. Kapasitas otak saya ini masih berlebih. Mirip dengan orang Indonesia yang mau jual otaknya lalu dapat harga tinggi karena ternyata otaknya belum pernah dipake itu. Lagipula saya pernah berada di posisi terlalu banyak mikir, jadi saya tahu sekali kondisinya berbeda dengan sekarang.

Saya jadi tambah mikir. Kalau diagnosa si mami kurang tepat, lalu saya harus mikir diagnosa yang mana lagi ya? Kepikir diagnosa, jadi inget diagnosa si dokter buat keponakan kecil saya. Eh, iya, si Ari lagi apa ya sekarang? Moga-moga si Mbak gak lupa nyuruh dia tidur jam 2. Kalau dia tidur lebih dari jam 2, dia bisa melek semalaman. Wah, ntar malem harus bikin latihan soal buat anak-anak. Eeeh, bujet untuk acara minggu depan belum diketik! Do-oh, harus tanya si boss dulu nih tentang si bujet. Besok si boss datang jam berapa yak? Oh iya, besok harus ngajar kelas itu. Schedule belom dibikin nih. Schedule kelas yang itu juga belum di konfirmasi. Gurunya si Ari juga belom balas sms nih. Harus konfirmasi lagi. Besok pelajarannya apa ya disekolah Ari? Si Eyang jadi ngajarin Iqra gak tadi? Kayaknya harus bikin Iqra bergambar nih biar si Ari gak bosen. Kayaknya anak-anak SMP itu juga bosen sama materi yang itu...

Migren saya kumat lagi.

Sudah ah.
Saya mau mikir untuk detik ini saja.

"De, what's your plan for our project next week?"
"Well... I... can't say... You see, I can only think about what's happening at this very moment."

Trust

Bagi saya, Trust itu adalah...

... ketika saya menelpon seorang teman,
lalu terdengar nada sambung,
namun sedetik kemudian nada sambung itu berhenti,
karena si penerima menekan tombol Reject,
kemudian saya berpikir bahwa:
"Dia pasti sedang dalam kondisi yang benar-benar tidak bisa diganggu sehingga terpaksa me-reject telpon saya. Dan dia pasti akan menelpon saya balik."

Trust sesama teman, bagi saya, tidak lah terlalu sulit untuk dijabarkan,
apalagi dihitung kadarnya.
Sederhana.
Trust tak berkadar.
It's just there.
Trust tidak punya tempat untuk prasangka.

Ada banyak orang yang mengajari saya tentang Trust. Ada lebih banyak orang lagi yang mengajari saya tentang Distrust.
Dia mengajari saya tentang Trust yang tak berkadar. Sederhananya: tak berprasangka.

Ketika datang satu badai besar dimana nilai pertemanan-kejujuran-niat baik dipertanyakan, Dia memperlihatkan kepada saya tentang arti sesungguhnya sebuah Trust. Dan saya selamanya berhutang padanya atas pelajaran hidup yang ia berikan.

Bro, selamat ulang tahun.
You are trust itself.

Eyes Opener


It's 2 in the morning and I'm still sitting in front of the computer. Stupidly waiting for some inspirations to pour down on me so I can finish what I'm doing and return to my bed. How I wish I could just go to bed without caring about this thing.

I can't. Even the bed cannot bring peace to my mind.

My eyes are heavy. And, my coffee cup has been empty for some time.

The thought of coffee made me remember my four tumblers. Three of them I bought in Japan: two in Kyoto and one in Tokyo.

We were in Kyoto at that time for Spring holiday. While walking around the Gion area, we decided to take a rest in a nearby Starbucks cafe. When I was making an order, I saw a really cute tumbler featuring Sakura. I bought the tumbler and got the coffee for free. Papap was as excited as I was when he saw the tumbler. As a true collector of unidentified objects, he knew that the tumbler was worth collecting.

Without realizing it, we became so obsessed of finding other kinds of tumbler's pictures. We bought another one with the word Kyoto all over the tumbler. Not as pretty as the first one but it was worth collecting too. Unfortunately, the city -at that time- only had those two kinds of pictures.

Another time, we bought the third tumbler in Tokyo. Here, they only had two kinds of pictures. The first one featured Tokyo Tower on its body. The second one featured some electric lights which made me dizzy whenever I looked at it. I bought the first one and tried to ignore the second one for health reason. Again, if we buy the tumbler, whatever size, the coffee will be free of charge. The prize of one tumbler, if I'm not mistaken, was 1,000 Yen.

We only had a chance to collect three tumblers. In Jakarta, I don't collect Starbucks tumbler anymore because Jakarta's stores don't have featured tumblers. Only the white plain one with Starbucks logo on it. So boring. Besides, if I buy a tumbler here, I don't get the coffee for free. So annoying.

My friend, Barb, became so addicted with Starbucks tumbler too when I showed her the featured tumblers. Both of us have been coffee addicts. Now we're tumbler addicts. She bought two featured tumblers when she was in Japan. Kyoto tumbler had changed pictures since the last time I bought. I believe the pictures on the tumblers are seasonal, although the guys at Starbucks stores in Japan always answered 'all year long edition'. Once Barb brought me a featured tumbler from Hongkong. Then, Papap broke its bottom. He said that the quality was bad. Japanese tumblers were better. Yeah, right.

Back to how I'm now, minutes ago, I could smell coffee right from the computer screen. Or maybe from my used cup. So, I clicked Starbucks Japan and.....

Now, I'm feeling terrible that I had clicked it.
Now, I can only dream of these tumblers without knowing how I can get them. Sucks!

photos: Starbucks Japan

Beda Sedikit

Hari Lebaran, saban sepuluh menit Hikari akan menyodorkan dompet transparannya ke Eyang Kakung, Eyang Uti, dan kedua Omnya. Baru tahun ini Hikari mengerti bahwa Lebaran identik dengan angpau buat para anak kecil. Walau belum bisa menikmati arti uang, dia toh tetap menyodorkan dompetnya. Tiap sepuluh menit.

Tiap sepuluh menit ditodong dompet membuat Eyang dan Om memakai taktik baru: todongan berikutnya akan menghasilkan nilai rupiah yang lebih rendah. Tidak apa-apa, toh dua kali todongan pertama sudah menghasilkan ratusan ribu rupiah....

Pada putaran todongan kesekian, Eyang Kakung mulai sewot.
"Udah dong, Ri! Kalau minta angpau itu hanya sekali."
Hikari bermental persistent. Dia tetap menyodorkan dompetnya, dengan embel-embel, "nanti Hikari cium tangan lagi deh."

Todongan berikutnya, Eyang Kakung melancarkan strategi baru.
"Ri, anak yang dapat uang banyak itu anak yang ikut puasa. Kamu kan gak ikut puasa?!"
"Hikari kan masih TK B. Kalau sudah sebesar Papa, baru Ari puasa..."
Eyang Kung gak mau kalah, "Anak TK puasa juga lah!"
Hikari menjawab, "Apakah kau sudah gila?!"

Satu rumah langsung terdiam dan kompak tertawa ngakak. Papap ikut tertawa walau sempat kesedak mendengar seruan Hikari.

Naluri guru-penjaga-moral-bangsa saya muncul. Anak saya tidak boleh kurang ajar pada orang tua.
"Ri, tidak boleh bicara begitu. Tidak sopan. Lagipula, Kau itu dipakai untuk teman-teman Hikari saja. Untuk orang yang lebih tua, Hikari bilang 'Anda'."

Hikari diam. Keningnya berkerut. Dia sedang berpikir.
Sedetik kemudian, tangannya teracung ke arah Eyang Kung lagi.
"Apakah ANDA sudah gila?!"

Tema Lebaran 2007

Seorang sepupu setiap tahunnya menghindari jam-jam setelah sholat Ied untuk datang ke acara sungkeman Lebaran di rumah Eyang kami. Dia pasti datang saat hari sudah sore dan keluarga besar kami sudah pergi dari rumah Eyang.

Saya maklum atas kelakuan sekaligus alasannya.
Saya juga pasti akan mules kalau tiap tahun ditanya: Kapan Kawin?

Bila diingat-ingat lagi, sepertinya tema obrolan lebaran tiap tahunnya gak banyak berubah.
Yang belum kawin, pasti ditanya 'Kapan Kawin?'
Yang belum punya pacar, pasti ditanya 'Pacarnya gak diajak?'
Yang belum punya kerja, pasti ditanya 'Kerja dimana tahun ini?'
Yang belum punya anak, pasti ditanya 'Masih KB?'
Yang anaknya belum disekolahkan, pasti ditanya 'Kapan si kecil sekolah?'
Pertanyaan seperti ini biasanya akan dijawab, "4 tahun lagi. Yaa... kira-kira pas dia umur 4 tahun, gitu..."

Katanya Idul Fitri adalah hari dimulainya lembaran baru....?

Pada Lebaran tahun ini, tema yang terhangat adalah:
"Kapan mamanya Hikari hamil lagi?"

Sungguh suatu kado ulang tahun perkawinan ke-enam yang mengesankan. Apalagi ditambah dengan kenyataan bahwa Papap lupa tentang hari ini....

Besok atau Lusa


Besok atau Lusa.
Buat kami, bukan wacana.

Kita semua bersaudara,
dan besok atau lusa tak perlu menjadi masalah.

Selamat berlebaran besok hari.
Selamat berlebaran esok lusa.

MAAF LAHIR BATIN
MAAF ATAS SEGALA KEKHILAFAN

"HAPPY EID MUBARAK!"

Polos

Empat orang sekawan sedang mengobrol seru. Topik hari itu: Dosa terbesar apa yang pernah mereka lakukan?

A: Gue pernah berdosa banget sama adek gue. Gue nuduh dia penyokin mobil gue. Sambil marah-marah banget. Padahal mobil keserempet waktu dibawa bokap gue...

B: Kalo gue tuh pernah negative thinking sama Ibu Mertua gue. Eh, taunya dia malah yang sabar banget ngerawat gue waktu gue sakit dan dirawat di rumah sakit.

C: Dosa besar gue tuh waktu gue marah besar sama anak gue. Gue dapet laporan kalau anak gue ngambil barang temannya. Gue bukannya nanya baik-baik, malah langsung nuduh dia dan marahin dia sepedas-pedasnya. Anak gue diam saja. Eh, seminggu kemudian, gurunya ngasih tau kalau bukan anak gue yang ngambil barang temannya itu! Gue minta maaf sambil nangis-nangis.

D: Kalo dosa gue tuh yang paling kepikiran sama gue waktu gue kuliah. Gue ngiyain aja waktu cowok gue ngajak check-in di hotel. Gak cuma sekali lagi. Abis gue sayang banget sih sama dia. Tiga tahun kita jalan bareng, ya, tiga tahun juga gue ML sama dia...

Glek
A, B, dan C sontak terdiam.
Mereka saling lirik.

Kebisuan dipecahkan oleh B.
"Elu itu polos atau bego sih? Nobody expected you to be that honest!"

8:23

8:23 malam.
Masih berada di belakang kemudi.
Di jalan desa selebar dua mobil.
Badan rontok setelah bekerja 10 jam.
Tulang belulang bergemerutuk setelah terjebak macet pulang-pergi, masing-masing 2 jam.
Mata sepet, bukan karena tidak ada laki-laki di sebelah saya.
Perut lapar, akibat buka puasa seadanya.

Mobil Vantrend hijau di depan berjalan pelan sekali.
Sesekali zig-zag.

Saya kasih lampu dim sedikit.
Dua orang di mobil Vantrend masih cuek.

Saya klakson lembut.
Mereka masih cuek.

Saya kasih sen kanan, hendak menyalip.
Mereka malah berjalan zig zag.

Saya kesal.
Saya gemas.
Saya naik darah.
Aaaaarrrrrggggghhhhhhhh.........!!!

Saya nyalakan lampu besar sekalian. Menyorot mobil di depan saya yang hanya berjarak beberapa senti.

.....................................

Saya matikan lagi lampu besarnya.
Malu.

Mereka sedang ciuman.

Menatap Setan

Pak Ustadz di tempat saya belajar ngaji saat saya masih ke sekolah memakai rok merah pernah berkata kalau 'pada bulan Ramadhan, semua setan dibelenggu oleh Tuhan'. Entah kenapa kalimat ini menjadi sangat sakti.

Setiap kali bulan Ramadhan tiba, kegiatan anak-anak berseragam merah putih di komplek saya akan diisi dengan:
1. Naik sepeda keliling komplek setelah Sholat Subuh.
2. Nonton film horor di siang hari.
3. Cerita peristiwa-peristiwa seram sesudah Sholat Isya.
4. Begadang.

Kalau ada anak yang nolak ikut naik sepeda saat hari masih gelap (di komplek yang masih hutan semua), nolak ikut nonton film horor, terkencing-kencing saat sesi Ghost Story, atau ngasih sejuta alasan biar gak ikut begadang, pasti akan diceramahi, "Setannya gak ada! Kan dipenjara semua sama Alloh!"

Karena ceramah Pak Ustadz itu, kita jadi berasa punya kesaktian: Kebal Setan!

Setelah saya agak besar sedikit, kata setan pada ceramah Ustadz sudah bergeser artinya. Tidak lagi literal. Setiap kali mendengar kalimat sakti tadi itu, yang terbayang dibenak saya bukan lagi sosok setan berwarna merah bertanduk bertombak yang sedang menangis bombay di penjara yang panas. Kali ini sosok setan berubah menjadi sosok tak terlihat yang kerjanya ngikutin saya dan ngomporin saya supaya berbuat bandel. Setannya pasti hebat sekali karena kebandelan saya rasanya kok gak habis-habis... Lalu setiap bulan Ramadhan, saya berasa enteng dan suci, karena gak ada setan yang nggondeli. Stupid is stupid does.

Semakin tua, sosok setan ini kok munculnya gak liat-liat bulan. Bahkan di bulan Ramadhan pun saya tidak lagi merasa enteng dan suci. Bahkan di bulan Ramadhan pun saya seperti masih bisa mendengar bisikan-bisikan halus yang merayu saya untuk kehilangan kesabaran, berbohong berkedok white lies, tersenyum dalam hati memaki, menutup hati untuk memberi maaf, dan beribu dosa kecil tapi berderet seperti domino.

Kenangan masa kecil saya pun menggugat.
Katanya setan-setan dibelenggu?!

Pada suatu siang bulan Ramadhan, ketika muka sedang tertekuk sebagai cerminan hati yang masam, saya berdiri di depan cermin.

Kalimat sakti yang terpatri bertahun-tahun di kepala saya kembali menggugat.
Bila setan-setan itu terbelenggu, mengapa hati saya masih rusuh?

Saat berdiri menatap cermin, saya tiba-tiba tahu jawabannya!

Blogger Templates by Blog Forum