Somebody Else's Happiness

Dering handphone milik seorang bapak setengah baya yang duduk di sebelah saya membuyarkan acara saya melamun di bis hari itu. Si bapak yang agak gempal sehat itu bergegas merogoh-rogoh hp di kantong celananya. Kegiatan yang membuat saya semakin terdesak karena duduk di tengah-tengah dua orang sehat.

Dering itu akhirnya berhenti disertai seruan Halo! yang cukup keras.
"Ya?"
"Di bis."
"Iya."
"Apa?!"
"Hah?!"
"Antony?!"
"Astagfirullah!"
"Kapan?"
"Baru saja?"
"Astagfirullah! Inna lillahi."
"Ya, ya, saya telpon si abang ya."
"Ya, wa alaikum salam..."

Tat tit tut tat tit tut...
"Assalamualaikum, Bang."
"Iya, ini saya..."
"Iya, Bang. Dimana, Bang?"
"Oh, di DPR..."
"Ini, Bang, mau tanya... katanya Anthony meninggal tadi pagi?"
"Apa?"
"Bukan Anthony?"
"Oh, kakaknya?"
"Alhamdulillah..."
"Oh, yang perempuan?"
"Ohh... bagus deh kalau begitu..."
"Iya, Bang, Alhamdulillah..." tutupnya dengan nada tak berdosa.

Someone's misery can be somebody else's happiness.

Harry Potter and Yesterday

Melihat iklan akan (atau sudah?) diterbitkannya Harry Potter 7 versi Bahasa Indonesia, saya jadi terkenang masa seminggu penuh emosi dan debaran jantung di pantai Carita saat saya berjuang membaca edisi terakhir Harry.

Secara itu novel terakhir, rasa penasaran ingin menghabiskan cerita bercampur dengan rasa sayang gak akan ketemu si Harry lagi seumur hidupkuh (hayah). Dan -ini dia!- ketika saya sampai di bagian akhir, saya merasa... kalau pake bahasa Nenek ini... ejakulasi dini: tiba-tiba saya harus berhadapan dengan Harry yang sudah married dan punya anak 3!

Rasanya seperti ketemu lagi dengan temen SD yang tiba-tiba berubah jadi guanteng luar biasa, lalu pas pertemuan terakhir dia bilang, "liat deh foto istri dan anak-anak gue!"
Ngaruh banget endingnya terutama kalau kita berstatus jomblo.

Gak rela! Gak rela!
Teriak saya waktu itu ke sesama pembaca Harry yang saya kenal.
That's not Harry that I know!
That's not Harry that I've come to love!
That's not Harry that I grew up with!

"People change, De'!" kata seorang teman yang melihat saya uring-uringan atas perubahan si Harry.
"Not that instant!" jawab saya waktu itu dengan ndableknya.
"Well, sometimes it is. Look at you! You've become more insane in just a week!"

Harusnya saya mendengarkan nasihat sang teman tadi. Karena bila saja hati ini mau mendengarkan, saya tidak akan sesedih belakangan ini. Saya tidak akan memakai kaca mata yang sama dengan tiga tahun lalu saat memandangi teman-teman yang berdiri dihadapan saya sekarang.

Pesan moral saya kali ini adalah ganti kacamata anda setidaknya dua kali setahun. If one month is 30 days, you'll never know what can happen to a person in a year.

gambar dari sini

Terancam

Saya sedang memperhatikan Hikari yang sedang asyik bermain dengan temannya Z. Seru sekali permainan yang buat saya kelihatan sederhana itu: beberapa mobil dan beberapa mini dino disulap menjadi sebuah taman Jurassic lengkap dengan landscape terdiri dari bantal kursi dan sendal Eyang kakung.

Setelah beberapa lama mereka bermain, datang Y, anak gemuk menggemaskan yang tinggal di dekat rumah. Hikari tambah antusias karena itu berarti skenario Jurassic Park miliknya tambah ramai. Sayangnya, baru lima menit bermain, timbul masalah. Si Z membuat ulah. Dari beralasan bosan dengan main dino, mengajak Hikari main yang lain (sambil berbisik supaya si Y tidak perlu diajak), ngambek, sampai terang-terangan menyuruh si Y pulang.

Bocah kecil itu, si Z, merasa terancam dengan kehadiran Y. Dia lalu merusak suasana bermain, dan hari itu ada tiga anak kecil yang sorenya berubah menjadi kelabu.

Saya pernah menjadi si Z. Atau si Y, bila dilihat dari sisi yang berbeda.

Saya bersahabat dengan A selama sekitar sepuluh tahun, ketika kami berkenalan dengan B. Tidak lama kemudian selalu ada B kemana pun kami pergi. Setelah itu hari-hari kami persis seperti deskripsi Lady Diana ketika berucap, "there were three of us in this marriage, so it was a bit crowded."

Saya merasa terancam, terutama ketika saya tak lagi diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan yang biasanya saya dan A lakukan bersama. Pelan-pelan saya menyingkir, karena saya tak punya cukup hati untuk mempertahankan persahabatan kami. Sampai hari ini yang saya lakukan adalah memandangi B merajut persahabatan dengan A.


"People do foolish things when they feel threatened," ucap teman saya, si C, yang lulusan fakultas psikologi terkenal di Jakarta.
"You are even more foolish," tambahnya. "You didn't do anything!"

Saya hanya tertawa mendengarnya. Mungkin C benar. Mungkin dia salah. Tapi belakangan ini, ucapan C seperti mendapat pembenaran. People do foolish things when they feel threatened.

Sebut saja D, seorang perempuan karir dengan setumpuk tanggung jawab. Saking bertumpuk tanggung jawabnya, boss si D memberinya orang tambahan untuk membantunya. Si Junior kebetulan baru saja kembali dari bermukim selama beberapa tahun di luar negeri. Si Junior juga kebetulan punya pengalaman karir yang lumayan impressive. Logikanya, D seharusnya merasa senang. Pekerjaannya akan berkurang dan ia akan dibantu oleh orang yang sudah jadi. Setidaknya, logika Junior berkata begitu.

Dua bulan lewat. Si Junior dibiarkan meraba-raba dalam gelap. Tidak ada satupun pekerjaan yang dialihkan kepadanya. D menutup rapat akses ke pekerjaan yang harusnya dibantu Junior. Boss meminta Junior untuk bersabar.
"D perlu waktu," kata Boss.
"Mungkin dia merasa terancam dengan kualifikasi anda," kata Senior lainnya.
Junior bersabar. Dia tidak mengerti, tapi dia bersabar.

Dua bulan lewat. Si Junior yang baru menjejakkan kaki masuk ke ruangannya disapa oleh salah satu stafnya.
"D masuk rumah sakit."
"Hah?!"
"Dokter bilang dia depresi berat."

Ternyata kawan saya si C benar.
People do foolish things when they feel threatened.
Tapi satu hal yang pasti.
Semua orang merasakan hari yang kelabu.

picture: from google image

Soul

Eventually, I heard the whispers.
What's happening with my blogging frequency?

Ten days passed. I didn't have anything to share in my blog.
It hurts me.

Busy?
Well, aren't we all?
No idea?
Not really. The truth is I have more than four writings that I don't or won't publish.

But, why?
I am losing a soul. The soul to blog.

While I'm struggling to recuperate, I have one zen reading for you, because it would be impolite of me to give you nothing back while you've made the effort to visit.

Do you want to understand?
The whole world is one of your eyes, the body produced by your parents is a
cataract. All ordinary people ignore the indestructible, marvelously unclear,
unfailingly mirroring eye, and cling fast to the dust cataract produced by the
relationship of their father and mother. Therefore they take illusions for
realities, and grasp at reflections as the physical forms themselves.
Eye and Cataract: Zen by P'u-an.

See you later. Hopefully soon.

No Non-Sense Discipline


Saya cinta sekali dengan acara ini. NANNY 911.

Mami saya berkomentar, "Ya jelas! Kamu kan salah satunya!"
I took that as a compliment.

Favorit saya terutama adalah Nanny Deb, dengan motonya: No Non-Sense Discipline.
It's so me.

Bisa jadi si Mami saya benar 100% sewaktu beliau bilang I fit in perfectly in those Nanny things. Beliau pasti teringat masa-masa kamp konsentrasi saya dipenuhi pelanggan...

Sebelum saya menikah -dan punya anak, setiap kali ada anak yang misbehave di keluarga besar si Mami, maka tante-tante atau om-om, bahkan para sepupu saya, akan memperingati anak-anaknya yang bandel dengan, "kalau kamu gak bisa dikasih tau mama/papa, kamu mama/papa kirim ke rumah mbak De!"
Ada juga yang masih gak percayaan dan dengan sukses dikirim ke rumah kami.

Setiap kali ada acara keluarga dan pada satu titik acara itu menjadi chaotic akibat jumlah anak-anak yang berlarian dan berteriak melebihi jumlah orang tua yang ada (satu pasang orang tua punya lebih dari 2 anak), saya akan didaulat untuk menghadirkan ketenangan kembali.
Caranya:
1. Tangkap anak yang menjadi ketua gang.
2. Suruh dia berdiri dalam posisi baris di hadapan kita.
3. Suruh yang lain berbaris mengikuti di belakang si ketua gang.
4. Sebutkan daftar Don'ts dan May, sekaligus sebutkan juga daftar konsekuensi What Ifs...

Kesuksesan saya menangani para anak-anak aktif itu mungkin karena rasa kasih sayang saya pada anak kecil sangat rendah kadarnya. I just didn't (still don't sometimes) like kids. Saya selalu memperlakukan anak-anak seperti orang dewasa: ada action, ada consequence. Mungkin karena itu saya bisa menjadi raja tega dalam mendisiplinkan anak-anak. Or maybe I was just born with it. Or nurtured with it...

Pelajaran yang bisa saya dapat dengan menjadi kepala kamp konsentrasi adalah:
1. Kids are actually adults in mini size. (so you can actually TALK to them)
2. If kids are taught to behave well, the world can actually be a better world.
Tapi ada satu pelajaran yang selalu saya ingat hingga akhirnya saya menjadi seorang orang tua; Pelajaran Nomor Tiga:
3. Kalau kita tidak bisa mengajari anak kita untuk well-behaving, jangan sakit hati (dan menyalahkan) kalau ada orang lain (satpam, orang tua lain, orang dewasa lain, anak kecil lain, guru, sampai polisi) yang akhirnya mengajari anak kita.

Pesan moral saya kali ini: baca nomer 3 di atas. Or you can call Nanny 911. At least it's a friendlier approach than having people call the police...

foto dari sini

Mencerdaskan Kehidupan Bangsa

Kawan karib saya suatu hari bertanya, "Dev, apakah elu termasuk guru yang penyabar?"
Jawaban saya, "tergantung."

Yup. Tergantung. Tergantung kasus mana yang harus saya hadapi.
Dalam kehidupan profesional saya (halah) sebagai seorang guru, ada dua hal yang selalu menjadi momok selain nilai nominal gaji yang gak pantes itu: slow learners dan bad attitude. Dua hal ini bisa bikin seorang guru kehilangan kesabaran dan mengidap darah tinggi.

Sebagai seorang guru, saya bisa sangat penyabar menghadapi murid-murid yang masuk golongan slow learners. Ini karena saya penganut paham 'Tidak ada murid bodoh'. Lagipula, dengan sedikit kesabaran dan perubahan cara mengajar, pasti ada lah setitik ilmu yang bisa dimengerti oleh anak itu.

Sebaliknya, sebagai seorang guru, saya bisa sangat mengerikan bila menghadapi murid-murid dengan attitude yang... tidak pantas! Tidak disiplin, tidak mengerjakan tugasnya, menjawab bila ditegur, marah bila diberi hukuman, mengomentari (dan mengatai?) guru atau teman-temannya dengan kata-kata tak pantas, menghina, membuat onar di kelas, mengancam guru dan teman-temannya...

Now think of this, saya ini hanya seorang guru kursus dengan jumlah murid satu kelas paling banyak 25 orang. Dari 25 orang ini, paling-paling hanya ada 1-3 orang anak yang harus ditangani khusus. Bayangkan apa yang harus dihadapi oleh seorang guru sekolah umum?! Di dalam kelas dengan jumlah murid 40 orang, ditambah dengan disiplin sekolah yang on/off, ada berapa anak yang harus ditanganinya?! Berapa kali dalam sehari guru itu harus mengelus dada, Istigfar, dan mengatupkan mulut menahan kesabaran?! Bayangkan! Sudah gaji kecil, harus jadi pahlawan tanpa tanda jasa pulak, eh, masih dibebani dengan kewajiban moral mengoreksi kelakuan para muridnya...

Jadi, pada Hari Guru tahun 2007 kali ini, gak usah lah kita muluk-muluk berwacana tentang kenaikan gaji guru, penambahan fasilitas, peningkatan perhatian pemerintah, bla bla bla. Dari tahun ke tahun toh hal-hal itu hanya berujung pada Blahs!. Dalam kenyataannya, ada hal yang kecil yang bisa kita semua lakukan. Mau tahu?

Pertama, mulai benahi attitude kita. Mulai benahi attitude orang-orang di sekitar kita. Terutama, mulai benahi atttitude anak-anak kita, sehingga ketika mereka masuk ke kelas, guru mereka bisa mendapatkan kenyamanan dalam mengajar, konsentrasi penuh pada pelajaran dan murid, dan kebahagian dalam bekerja.

Hal sekecil itu bisa menolong guru-guru yang ada di negeri ini. Hal sekecil itu bisa berdampak besar pada kualitas pendidikan anak-anak di negeri ini.
Itu juga kalau anda peduli...

Surat untuk Mama

Siang itu saya hampir kehabisan akal. Piring berisi nasi dan lauk pauk sudah sejam lebih tergeletak di atas meja. Belum habis juga isinya! Sementara itu, si pemilik piring sibuk berlarian kesana-kemari.

Setiap lima menit, selama sejam lebih, mulut saya sudah berbusa-busa meneriakkan perintah:
"Duduk diam!"
"Kunyah makanannya!"
"Makan yang benar!"
Satu jam berlalu, isi piring belum juga tandas.

Saking kesalnya, dan juga frustasi, plus bosan, ditambah gemas, saya tangkap Hikari yang sedang bergaya lincah menjadi SpongeBob. Saya pegang kedua bahunya, menurunkan mata saya se-level dengan matanya, lalu MELOTOT.

"Berhenti bermain! Duduk! Habiskan makanannya!"
Hikari cemberut.
"Dengar Mama?!"
Cemberutnya hilang. Dia tahu saya sedang murka.

Dengan patuh Hikari kembali ke meja makan dan menyantap makanannya dengan terpaksa. Satu jam kemudian baru selesai semua upacara menyebalkan ini.

Selesai makan, kami duduk menonton tivi. Hikari duduk di kursi terjauh dari saya. Ditangannya ada selembar kertas dan sebatang pensil. Semenit kemudian dia sibuk mengurek-urek kertasnya. Saya biarkan kesibukannya, dan sambil menenangkan esmosi saya mengalihkan konsentrasi ke film SpongeBob di tivi.

Sepuluh menit berlalu.
Saya menoleh ke Hikari yang sudah kembali berjalan mondar-mandir. Kami bertatapan sekilas. Dia lalu menghilang ke kamarnya. Tak lupa, ia menutup pintu kamarnya.

Lima menit kemudian.
Saya jadi merasa kehilangan si Kunyil satu itu. Saya bangkit dari kursi dan beranjak ke kamarnya. Saya ingin berdamai. Kaki ini pun melangkah ke kamarnya. Di depan pintu kamar, saya berhenti. Bukan karena pintu itu tertutup.

Ada sehelai surat di depan pintu.


Mau tahu isinya?


Mama TDA BL maras maras. KLO TDA BL maras maras, Mama BOLES MAASUK.
Terjemahan? Mama tidak boleh marah-marah. Kalau tidak (boleh) marah-marah, Mama boleh masuk.

Hari itu, saya habis ditertawakan Papap dan seisi rumah. Terutama Papap.

Siang bulan Oktober itu menjadi sungguh tidak terlupakan. Melihat surat Hikari itu, saya tidak menjadi marah. Mana mungkin saya bisa marah?! Saya malah terharu setengah mati.

Ini pertama kalinya Hikari menulis kalimat yang terangkai. Sebelumnya dia memang sudah sering menulis. Tapi hanya kata, seperti Dino, Dora, Hikari, Ari (yang kadang-kadang menjadi Air), Mama, Papa, dan lain sebagainya. Hari itu sungguh istimewa. Lebih istimewa lagi karena saya tidak pernah secara khusus mengajarinya menulis. Ternyata, kemampuannya menulis didasari dari kemampuannya membaca. Masih ingat metode membaca suku kata di badan ikan yang pernah saya tulis?

Sungguh saya tak menyangka metode itu akan memberikan dua hasil: kemampuan membaca dan menulis. Tapi nanti lah. Itu saya tulis di tempat yang lain saja. Sekarang ini, saya harus berkutat dengan surat-surat Hikari yang lain. Surat terakhirnya berbunyi begini, "Mama inget yaeh jangan marah marah. Klaw mama tida marah-marah, mama bolh mayn."

Pahit


What can kill your blogging spirit?

Gak usah mendelik dulu.
Jawabannya cuma: Your Office Life kok!

Belakangan ini saya kehilangan nyawa untuk ngeblog. Dan ini bukan karena kesibukan, kemalasan, atau kemarahan. Juga bukan karena saya gak punya ide untuk nulis. Ini gara-gara kehidupan kantor saya yang rasanya .... nano-nano. Ibarat lidah habis mengecap obat, makan atau minum apapun setelahnya akan berasa pahit aja. Begitu itu yang saya rasakan. Habis ngantor, lidah pahit. Semua ide di kepala tidak bisa turun ke jari-jari saya. Saya pun tak mampu mengetik. Padahal, syarat utama ngeblog kan... ya ngetik dulu hehehehe...

Kehidupan kantor saya sih hanya begitu-begitu saja. Hari ini sibuk, besoknya sibuk-sibuk, besoknya lagi sibuk-sibuk-sibuk. Begitu saja. Memang agak kurang inspiring, but one cannot have everything in the world kan?



dinosaurus si tiranosaurus dinosaurus si orodromeus dinosaurus si apatosaurus


archaeopteryx diplodocus baryonyx arkansassaurus


Baidewei, tulisan di atas ini adalah ketikannya Hikari. I let him write something to fill the space.
Ya, dia memang sudah bisa menulis. Tanpa saya ajari. Ini salah satu hasil positif dari metode membaca cara saya. Dia juga sudah bisa menulis surat. Lain kali saya pasang deh foto suratnya. Untuk sekarang, saya selesaikan sampai disini. Semakin banyak saya menulis, semakin menyebalkan buat kalian yang membaca.

Pesan moral saya untuk postingan kali ini adalah: terus lah menulis. Apapun yang terjadi.

Yeah. Right.

Misteri Tuhan

Honjo, Saitama, Jepang
10 Februari 2006,
Penghujung musim dingin.

Siang itu begitu dingin.
Langit biru cerah di atas sana tidak mampu mengabarkan kedatangan musim semi.
Saya berjalan sendirian,
ditemani kamera hitam,
menuruni bukit tempat dormitory kami berada,
ke kaki bukit yang menjadi puncak bukit kecil lainnya.

Hari itu hati saya..... damai?
Rasanya kosong, tidak ada beban.
Kosong,
mungkin itu kata yang lebih tepat.
Saya berjalan-jalan menyusuri jalan setapak
di siang hari yang beku
dengan hati kosong.
Sendirian.

Lalu saya sampai di kaki bukit,
yang merupakan puncak bukit lainnya.
Hanya ada satu pohon disana.
Diantara keringnya rumput musim dingin,
dan bekunya udara.

Saya terpaku memandang pohon itu.
Berdiri lama menatapnya dari kejauhan.
Dia sendirian.
Saya sendirian.

Hening diantara kami.
............................................

Ada satu hal yang tidak cocok disana.
Langit di atasnya terlalu biru, saya membatin.

Kebekuan,
Kesendirian,
Keheningan itu,
tidak cocok dengan birunya langit.

Hati saya tiba-tiba membuncah.
Saya memecahkan satu misteri Tuhan hari itu.

Setelah kesusahan, pasti ada kemudahan.
Dalam kebekuan, masih ada langit biru.

Saya tutup lensa kamera.
Kembali berjalan pulang menaiki bukit.

Dua tahun lewat sudah.
Pohon dan langit biru itu selalu ada di hati saya.
Setiap kali saya sedang menatap ke depan,
untuk mencari sedikit harapan.

........

Wajah Ember

Teman saya pernah membuat persamaan wajah saya dengan ember. Iya. Ember. Ini gara-gara saya komplen ke dia tentang orang-orang (termasuk dirinya) yang kalau ketemu saya selalu bawaannya pengen curhat. Obrolan apapun tentang sesuatu hal, selalu ujung-ujungnya penuh curhat.

"Bo, pinjem gelas dong. Di pantry kok kosong?"
"Nah, itu lah, De', yang bikin gue sebel. Itu kan tanggung jawab si itu, ehhhh... dia malah bla bla bla bla..."

"De' elu lagi ngapain?"
"Bikin laporan nih. Blum kelar yang kemaren udah ada yang baru."
"Emang De', si anu itu kalo ngasih kerjaan bla bla bla...."

Masih mending kalo curhat-an soal kantor. Saya masih bisa paham persoalan. Kadang-kadang soal rumah, soal suami, soal istri, soal anak, soal HRD di kantor yang nun jauh dimata, soal pembantu, soal busway, semua dicurhatin. Ke saya.

"Elu itu ibarat ember," kata teman saya itu. "Tiap liat muka lo, orang bawaannya kebelet pengen mengeluarkan seluruh isi hatinya. Elu harusnya bangga..."

Kenapa ya kok saya lebih teringat toilet daripada ember?

Eniwei, respon saya terhadap teman-teman butuh kasih sayang ini hampir selalu positif. Ya, saya ikut senyum-senyum menenangkan. Atau kalau bahasan curhat lagi hot, saya ikut ngegosip sedikit. Sedikit.

Tapi, respon positif ini juga frekuensinya hampir. Hampir selalu. Kadang-kadang saya dongkol juga. Dikata cuma situ doang gitu yang punya masalah?! Saat sedang dikejar deadline, ada aja yang mampir minta didengerin curhatannya. Saat sendirinya sedang gundah gulana, ada aja yang mampir minta dikosongin kesusahannya. Saat sendirinya sedang puyeng, ada aja yang mampir minta didukung. Lah, giliran saya kapan?! Sapa yang mau saya curhati? Sapa yang mau mendukung saya saat semangat sedang melorot? Sapa? Sapa?!

Kemarin itu, saat makan siang saya diinterupsi oleh seorang teman yang kemudian (tiba-tiba) bercerita panjang lebar selama 1 jam penuh tentang nasib buruknya di kantornya, saya merasa tertampar. Saya menyadari satu hal. Saya bersyukur saya berada di posisi yang dicurhati dan bukannya yang mencurhati.

Seringkali kita lupa kalau kita lebih beruntung dari orang lain dan berpikir kalau kita termasuk golongan orang-orang yang paling menderita sedunia. Menjadi tempat curhat teman-teman bisa membuat perspektif saya akan hidup yang kejam ini menjadi lebih seimbang...

Anaknya Sepupunya Temannya Tetangganya

"Gue kenal tuh, sama anak yang pamannya kawin sama sepupu ipar dari pamannya anak angkat dari temen ibu gue." -Jomblo, hal. 41, Adhitya Mulya)



Si Papap bertanya gimana kabar keramaian pesta kemarin dulu itu. Papap memang gak ikut ke sana karena harus ngangon si Kunyil. Sungguh Bapak yang baik...

Jawaban saya standar: ada 500-an orang ngumpul, kalo gak rame ya bo'ong ajah. Papap ngangguk-ngangguk.

"Trus, kamu ngapain disana?" tanya si Papap, masih kurang yakin kalo saya bener-bener diundang ke acara besar itu. Wong Papap tau banget kalo saya gak pernah laku bahkan untuk acara sekelas RT.
"Nonton orang dialog-dialog gitu."
"Siapa yang dialog?"
"Ya, banyak. Ada menteri, ada Wimar Witoelar..."
Papap menyembunyikan wajah gak percayanya. Teteup gak percaya kalau saya bener-bener diundang.
"Ada si ini, si itu, si dia, si entu..."
Kali ini Papap gak bisa menyembunyikan wajah gak pahamnya. Iyah, si Papap ini walau ngeblog tapi buta blogwalking. Apalagi seleblog.
"Temen-temen dateng?" tanya Papap. Ini pasti maksudnya si Pak Dhe dan Permaisuri secara Papap cuma kenal segitu-segitunya. Entah kenapa si Papap kok pake pluralisme di kata temen-temen.
"Dateng lah. Bliow kan jadi pembicara."
"Oh ya?"
"Iya. Aku bukannya udah cerita kemaren itu?! Itu loh tentang Ndoro Ndobos Inc." mulai kesel. Nih orang kebanyakan gak pahamnya.
"Wah, Pak Dhe ngetop banget yah!" katanya penuh surprised bahwa orang yang pernah nongkrong kedinginan bareng di taman Shinjuku itu ternyata seleblog.
"Ya ampuuunnnnn... Males banget deh, Pap, jawabnya!"
"Trus..." kata Papap dengan raut wajah berubah lagi, "kita jadinya kenal dengan orang-orang ngetop dong ya?"

Pap, ada untungnya juga ente gak ikutan ke pesta kemaren itu...

to FM in NY from pb2007

In the middle of the crowd,
In the middle of the most wanted session, Ndoro Ndobos Inc.

I wish you were
here with us...

Much Love for You from Us..

The celebrity was giving his moment for you...

Tiada kesan tanpa kehadiranmu:D

pb2007

Heaven's Watching over Me

I was lying half awake half fainted.
My head felt like it was twirling around and, yes, it hurt like hell.
The red-and-white pills I got from the doctor didn't help.
My head wasn't feeling better.
I wasn't feeling better.
And I couldn't make myself sleep either.
I felt like throwing up for the hundreth times.
No matter how smelly I had already been.

I was thinking what I needed was a sleeping pill.
But at that time, a shotgun would be welcome too.

The wind brought high-pitched noise from the front of our house.
Children, one is mine, were playing cheerfully.
Remember the song: 'why does the sun go on shining?'
I guessed at that moment I could understand how the writer felt when s/he wrote that song.

Then the noise became so unbearable.
Before that, the light became so unbearable.
So much to sacrifice for the peace of a head.

I raked the bookshelf for my discman.
I needed something to soothe me.
Obviously the pills couldn't.
And I didn't have a shotgun.

I got the discman.
Didn't really care what cd was inside it.
Didn't really have the energy left to think about it.
I plugged the earphone, and pushed the play button.
John Legend was on.


I realize as I lay down to sleep
We haven't spoken in weeks
So many things that I'd like to know
Come have a talk with me
I need a sign, something I can see
Why all the mystery?

Geez... God really works in a mysterious way!
Especially when John came to this part...


Maybe we'll talk
Some other night
Right now I'll take it easy
Won't spend my time
Waiting to die
Enjoy the life I'm living

Dear God,
about the shotgun,
and the curses I said,
I was just joking.
What else can you expect from someone who's suffering from a migraine?
Peace?

note: see the Coffee Break on the left for the complete lyric.

Detik Ini Saja

Belakangan migren saya semakin menjadi-jadi. Kalau setahunan yang lalu, si migren akan datang dengan jadwal keperempuanan saya, sekarang tidak lagi. Dia datang sesukanya. Pacar saya dulu ajah gak gitu-gitu amat.

Lalu seorang teman menyarankan saya untuk introspeksi diri. Cara ngomong dia itu bikin saya menyesal luar biasa. Seakan-akan saya habis melakukan suatu dosa besar, bukan cuma habis didera migren. Eh, migren saya makin akut gara-gara dongkol sama dia...

Kalau kata si mami, saya kebanyakan mikir. Kata bliow, saya ketiban stress.
Gara-gara dibilang begitu, saya malah jadi mikir keras. Nah kan?!

Okeh lah, saya instrospeksi ajah sekalian. Toh istirahat di musholla kantor pun tidak menyelesaikan masalah migren ini. Saya juga gak bisa sekalian tidur disitu karena ditendangi makhluk-makhluk tak beradab yang iri karena tempat ternyaman di musholla sudah saya ambil duluan.

Dipikir-pikir, saya kok kurang setuju dengan diagnosa si mami. Terlalu banyak yang dipikirin?
Saya gak merasa sedang memikirkan banyak hal. Saya juga gak merasa sedang stress. Kapasitas otak saya ini masih berlebih. Mirip dengan orang Indonesia yang mau jual otaknya lalu dapat harga tinggi karena ternyata otaknya belum pernah dipake itu. Lagipula saya pernah berada di posisi terlalu banyak mikir, jadi saya tahu sekali kondisinya berbeda dengan sekarang.

Saya jadi tambah mikir. Kalau diagnosa si mami kurang tepat, lalu saya harus mikir diagnosa yang mana lagi ya? Kepikir diagnosa, jadi inget diagnosa si dokter buat keponakan kecil saya. Eh, iya, si Ari lagi apa ya sekarang? Moga-moga si Mbak gak lupa nyuruh dia tidur jam 2. Kalau dia tidur lebih dari jam 2, dia bisa melek semalaman. Wah, ntar malem harus bikin latihan soal buat anak-anak. Eeeh, bujet untuk acara minggu depan belum diketik! Do-oh, harus tanya si boss dulu nih tentang si bujet. Besok si boss datang jam berapa yak? Oh iya, besok harus ngajar kelas itu. Schedule belom dibikin nih. Schedule kelas yang itu juga belum di konfirmasi. Gurunya si Ari juga belom balas sms nih. Harus konfirmasi lagi. Besok pelajarannya apa ya disekolah Ari? Si Eyang jadi ngajarin Iqra gak tadi? Kayaknya harus bikin Iqra bergambar nih biar si Ari gak bosen. Kayaknya anak-anak SMP itu juga bosen sama materi yang itu...

Migren saya kumat lagi.

Sudah ah.
Saya mau mikir untuk detik ini saja.

"De, what's your plan for our project next week?"
"Well... I... can't say... You see, I can only think about what's happening at this very moment."

Trust

Bagi saya, Trust itu adalah...

... ketika saya menelpon seorang teman,
lalu terdengar nada sambung,
namun sedetik kemudian nada sambung itu berhenti,
karena si penerima menekan tombol Reject,
kemudian saya berpikir bahwa:
"Dia pasti sedang dalam kondisi yang benar-benar tidak bisa diganggu sehingga terpaksa me-reject telpon saya. Dan dia pasti akan menelpon saya balik."

Trust sesama teman, bagi saya, tidak lah terlalu sulit untuk dijabarkan,
apalagi dihitung kadarnya.
Sederhana.
Trust tak berkadar.
It's just there.
Trust tidak punya tempat untuk prasangka.

Ada banyak orang yang mengajari saya tentang Trust. Ada lebih banyak orang lagi yang mengajari saya tentang Distrust.
Dia mengajari saya tentang Trust yang tak berkadar. Sederhananya: tak berprasangka.

Ketika datang satu badai besar dimana nilai pertemanan-kejujuran-niat baik dipertanyakan, Dia memperlihatkan kepada saya tentang arti sesungguhnya sebuah Trust. Dan saya selamanya berhutang padanya atas pelajaran hidup yang ia berikan.

Bro, selamat ulang tahun.
You are trust itself.

Eyes Opener


It's 2 in the morning and I'm still sitting in front of the computer. Stupidly waiting for some inspirations to pour down on me so I can finish what I'm doing and return to my bed. How I wish I could just go to bed without caring about this thing.

I can't. Even the bed cannot bring peace to my mind.

My eyes are heavy. And, my coffee cup has been empty for some time.

The thought of coffee made me remember my four tumblers. Three of them I bought in Japan: two in Kyoto and one in Tokyo.

We were in Kyoto at that time for Spring holiday. While walking around the Gion area, we decided to take a rest in a nearby Starbucks cafe. When I was making an order, I saw a really cute tumbler featuring Sakura. I bought the tumbler and got the coffee for free. Papap was as excited as I was when he saw the tumbler. As a true collector of unidentified objects, he knew that the tumbler was worth collecting.

Without realizing it, we became so obsessed of finding other kinds of tumbler's pictures. We bought another one with the word Kyoto all over the tumbler. Not as pretty as the first one but it was worth collecting too. Unfortunately, the city -at that time- only had those two kinds of pictures.

Another time, we bought the third tumbler in Tokyo. Here, they only had two kinds of pictures. The first one featured Tokyo Tower on its body. The second one featured some electric lights which made me dizzy whenever I looked at it. I bought the first one and tried to ignore the second one for health reason. Again, if we buy the tumbler, whatever size, the coffee will be free of charge. The prize of one tumbler, if I'm not mistaken, was 1,000 Yen.

We only had a chance to collect three tumblers. In Jakarta, I don't collect Starbucks tumbler anymore because Jakarta's stores don't have featured tumblers. Only the white plain one with Starbucks logo on it. So boring. Besides, if I buy a tumbler here, I don't get the coffee for free. So annoying.

My friend, Barb, became so addicted with Starbucks tumbler too when I showed her the featured tumblers. Both of us have been coffee addicts. Now we're tumbler addicts. She bought two featured tumblers when she was in Japan. Kyoto tumbler had changed pictures since the last time I bought. I believe the pictures on the tumblers are seasonal, although the guys at Starbucks stores in Japan always answered 'all year long edition'. Once Barb brought me a featured tumbler from Hongkong. Then, Papap broke its bottom. He said that the quality was bad. Japanese tumblers were better. Yeah, right.

Back to how I'm now, minutes ago, I could smell coffee right from the computer screen. Or maybe from my used cup. So, I clicked Starbucks Japan and.....

Now, I'm feeling terrible that I had clicked it.
Now, I can only dream of these tumblers without knowing how I can get them. Sucks!

photos: Starbucks Japan

Beda Sedikit

Hari Lebaran, saban sepuluh menit Hikari akan menyodorkan dompet transparannya ke Eyang Kakung, Eyang Uti, dan kedua Omnya. Baru tahun ini Hikari mengerti bahwa Lebaran identik dengan angpau buat para anak kecil. Walau belum bisa menikmati arti uang, dia toh tetap menyodorkan dompetnya. Tiap sepuluh menit.

Tiap sepuluh menit ditodong dompet membuat Eyang dan Om memakai taktik baru: todongan berikutnya akan menghasilkan nilai rupiah yang lebih rendah. Tidak apa-apa, toh dua kali todongan pertama sudah menghasilkan ratusan ribu rupiah....

Pada putaran todongan kesekian, Eyang Kakung mulai sewot.
"Udah dong, Ri! Kalau minta angpau itu hanya sekali."
Hikari bermental persistent. Dia tetap menyodorkan dompetnya, dengan embel-embel, "nanti Hikari cium tangan lagi deh."

Todongan berikutnya, Eyang Kakung melancarkan strategi baru.
"Ri, anak yang dapat uang banyak itu anak yang ikut puasa. Kamu kan gak ikut puasa?!"
"Hikari kan masih TK B. Kalau sudah sebesar Papa, baru Ari puasa..."
Eyang Kung gak mau kalah, "Anak TK puasa juga lah!"
Hikari menjawab, "Apakah kau sudah gila?!"

Satu rumah langsung terdiam dan kompak tertawa ngakak. Papap ikut tertawa walau sempat kesedak mendengar seruan Hikari.

Naluri guru-penjaga-moral-bangsa saya muncul. Anak saya tidak boleh kurang ajar pada orang tua.
"Ri, tidak boleh bicara begitu. Tidak sopan. Lagipula, Kau itu dipakai untuk teman-teman Hikari saja. Untuk orang yang lebih tua, Hikari bilang 'Anda'."

Hikari diam. Keningnya berkerut. Dia sedang berpikir.
Sedetik kemudian, tangannya teracung ke arah Eyang Kung lagi.
"Apakah ANDA sudah gila?!"

Tema Lebaran 2007

Seorang sepupu setiap tahunnya menghindari jam-jam setelah sholat Ied untuk datang ke acara sungkeman Lebaran di rumah Eyang kami. Dia pasti datang saat hari sudah sore dan keluarga besar kami sudah pergi dari rumah Eyang.

Saya maklum atas kelakuan sekaligus alasannya.
Saya juga pasti akan mules kalau tiap tahun ditanya: Kapan Kawin?

Bila diingat-ingat lagi, sepertinya tema obrolan lebaran tiap tahunnya gak banyak berubah.
Yang belum kawin, pasti ditanya 'Kapan Kawin?'
Yang belum punya pacar, pasti ditanya 'Pacarnya gak diajak?'
Yang belum punya kerja, pasti ditanya 'Kerja dimana tahun ini?'
Yang belum punya anak, pasti ditanya 'Masih KB?'
Yang anaknya belum disekolahkan, pasti ditanya 'Kapan si kecil sekolah?'
Pertanyaan seperti ini biasanya akan dijawab, "4 tahun lagi. Yaa... kira-kira pas dia umur 4 tahun, gitu..."

Katanya Idul Fitri adalah hari dimulainya lembaran baru....?

Pada Lebaran tahun ini, tema yang terhangat adalah:
"Kapan mamanya Hikari hamil lagi?"

Sungguh suatu kado ulang tahun perkawinan ke-enam yang mengesankan. Apalagi ditambah dengan kenyataan bahwa Papap lupa tentang hari ini....

Besok atau Lusa


Besok atau Lusa.
Buat kami, bukan wacana.

Kita semua bersaudara,
dan besok atau lusa tak perlu menjadi masalah.

Selamat berlebaran besok hari.
Selamat berlebaran esok lusa.

MAAF LAHIR BATIN
MAAF ATAS SEGALA KEKHILAFAN

"HAPPY EID MUBARAK!"

Polos

Empat orang sekawan sedang mengobrol seru. Topik hari itu: Dosa terbesar apa yang pernah mereka lakukan?

A: Gue pernah berdosa banget sama adek gue. Gue nuduh dia penyokin mobil gue. Sambil marah-marah banget. Padahal mobil keserempet waktu dibawa bokap gue...

B: Kalo gue tuh pernah negative thinking sama Ibu Mertua gue. Eh, taunya dia malah yang sabar banget ngerawat gue waktu gue sakit dan dirawat di rumah sakit.

C: Dosa besar gue tuh waktu gue marah besar sama anak gue. Gue dapet laporan kalau anak gue ngambil barang temannya. Gue bukannya nanya baik-baik, malah langsung nuduh dia dan marahin dia sepedas-pedasnya. Anak gue diam saja. Eh, seminggu kemudian, gurunya ngasih tau kalau bukan anak gue yang ngambil barang temannya itu! Gue minta maaf sambil nangis-nangis.

D: Kalo dosa gue tuh yang paling kepikiran sama gue waktu gue kuliah. Gue ngiyain aja waktu cowok gue ngajak check-in di hotel. Gak cuma sekali lagi. Abis gue sayang banget sih sama dia. Tiga tahun kita jalan bareng, ya, tiga tahun juga gue ML sama dia...

Glek
A, B, dan C sontak terdiam.
Mereka saling lirik.

Kebisuan dipecahkan oleh B.
"Elu itu polos atau bego sih? Nobody expected you to be that honest!"

8:23

8:23 malam.
Masih berada di belakang kemudi.
Di jalan desa selebar dua mobil.
Badan rontok setelah bekerja 10 jam.
Tulang belulang bergemerutuk setelah terjebak macet pulang-pergi, masing-masing 2 jam.
Mata sepet, bukan karena tidak ada laki-laki di sebelah saya.
Perut lapar, akibat buka puasa seadanya.

Mobil Vantrend hijau di depan berjalan pelan sekali.
Sesekali zig-zag.

Saya kasih lampu dim sedikit.
Dua orang di mobil Vantrend masih cuek.

Saya klakson lembut.
Mereka masih cuek.

Saya kasih sen kanan, hendak menyalip.
Mereka malah berjalan zig zag.

Saya kesal.
Saya gemas.
Saya naik darah.
Aaaaarrrrrggggghhhhhhhh.........!!!

Saya nyalakan lampu besar sekalian. Menyorot mobil di depan saya yang hanya berjarak beberapa senti.

.....................................

Saya matikan lagi lampu besarnya.
Malu.

Mereka sedang ciuman.

Menatap Setan

Pak Ustadz di tempat saya belajar ngaji saat saya masih ke sekolah memakai rok merah pernah berkata kalau 'pada bulan Ramadhan, semua setan dibelenggu oleh Tuhan'. Entah kenapa kalimat ini menjadi sangat sakti.

Setiap kali bulan Ramadhan tiba, kegiatan anak-anak berseragam merah putih di komplek saya akan diisi dengan:
1. Naik sepeda keliling komplek setelah Sholat Subuh.
2. Nonton film horor di siang hari.
3. Cerita peristiwa-peristiwa seram sesudah Sholat Isya.
4. Begadang.

Kalau ada anak yang nolak ikut naik sepeda saat hari masih gelap (di komplek yang masih hutan semua), nolak ikut nonton film horor, terkencing-kencing saat sesi Ghost Story, atau ngasih sejuta alasan biar gak ikut begadang, pasti akan diceramahi, "Setannya gak ada! Kan dipenjara semua sama Alloh!"

Karena ceramah Pak Ustadz itu, kita jadi berasa punya kesaktian: Kebal Setan!

Setelah saya agak besar sedikit, kata setan pada ceramah Ustadz sudah bergeser artinya. Tidak lagi literal. Setiap kali mendengar kalimat sakti tadi itu, yang terbayang dibenak saya bukan lagi sosok setan berwarna merah bertanduk bertombak yang sedang menangis bombay di penjara yang panas. Kali ini sosok setan berubah menjadi sosok tak terlihat yang kerjanya ngikutin saya dan ngomporin saya supaya berbuat bandel. Setannya pasti hebat sekali karena kebandelan saya rasanya kok gak habis-habis... Lalu setiap bulan Ramadhan, saya berasa enteng dan suci, karena gak ada setan yang nggondeli. Stupid is stupid does.

Semakin tua, sosok setan ini kok munculnya gak liat-liat bulan. Bahkan di bulan Ramadhan pun saya tidak lagi merasa enteng dan suci. Bahkan di bulan Ramadhan pun saya seperti masih bisa mendengar bisikan-bisikan halus yang merayu saya untuk kehilangan kesabaran, berbohong berkedok white lies, tersenyum dalam hati memaki, menutup hati untuk memberi maaf, dan beribu dosa kecil tapi berderet seperti domino.

Kenangan masa kecil saya pun menggugat.
Katanya setan-setan dibelenggu?!

Pada suatu siang bulan Ramadhan, ketika muka sedang tertekuk sebagai cerminan hati yang masam, saya berdiri di depan cermin.

Kalimat sakti yang terpatri bertahun-tahun di kepala saya kembali menggugat.
Bila setan-setan itu terbelenggu, mengapa hati saya masih rusuh?

Saat berdiri menatap cermin, saya tiba-tiba tahu jawabannya!

Jender Para Kolega

Jaman dulu banget, waktu baru lulus kuliah, ada seorang teman yang dalam jangka waktu enam bulan sudah tiga kali ganti kantor. Dalam jangka waktu enam bulan itu, kita-kita sudah bisa sedikit tenang di kantor baru sambil mengabsen cowok ganteng di kantor/ruangan/restoran sebelah, dia masih aja kesasar tiap kali nyari toilet.

Alasan dia berganti-ganti kantor ini agak mencengangkan: si teman gak betah di dua kantor sebelumnya karena karyawannya hampir 90% adalah laki-laki.

Perempuan, 21 tahun, single, belum punya pacar, preferensi seksual normal, gak punya pantangan pada laki-laki, kok menolak berada di kantor yang 90% karyawannya berjender laki-laki?!

Si teman memang langsung di-gila-gila-i oleh teman-teman yang lain sesama jomblo. Saya jelas tidak ikut menggilainya. Kan saya gak jomblo...

Posisinya yang kosong kemudian diambil dengan senang hati oleh teman-teman yang lain yang bahkan pada saat wawancara pertama sudah tampil all out. Apalagi, semua kantor bekas teman saya itu berlabel perusahaan internasional. Isinya sudah jelas para expat.

Teman ini -walau sudah dianggap gila oleh yang lain- kekeuh dengan keputusannya. Alasan keteguhan hatinya ternyata karena dia takut dikelilingi oleh terlalu banyak laki-laki. Itu saja.

Di kantor saya yang sekarang ini, populasi karyawan perempuan jauh lebih banyak dari karyawan laki-laki. Mungkin karena profesi guru identik dengan kesabaran dan kepintaran maka jenis kelamin perempuan lebih merajai di kantor ini.

Kondisi seperti itu tentu ada kekurangannya. Kekurangannya ya jelas, kurang laki-laki. Mata agak-agak sepet gitu loh. Pemandangan tandus. Hati juga kering. Tapi saya sih gak masalah. Kan saya juga bukan jomblo...

Dalam kondisi seperti ini, ketika terdengar ada isu-isu rotasi antar cabang, dunia kantor langsung hidup dan bergejolak.
Bagi orang luar, pertanyaan "Siapa yang dirotasi kesini?" terdengar innocent.
Bagi orang dalam, pertanyaan "Siapa yang dirotasi kesini?" berarti:
1. Apakah dia laki-laki? Kalau perempuan gak penting.
2. Apakah dia single? Gak single pun gak penting.
3. Apakah dia pintar? Gak pintar... ya... bisa dipikir-pikir dulu.
4. Apakah dia ganteng? Gak ganteng... ya... masih laki-laki kan?

Tapi, jujur saja, jomblo atau tidak jomblo, saya ini pendukung berat masuknya karyawan baru/rotasi berjender laki-laki.
Boss: Kita akan kedatangan satu guru baru dari cab...
Saya: Gak penting, cabang mana. Laki-laki bukan?

Alasan saya logis! Gak pake napsu!
Di dunia kecil saya yang 8-6 ini, sudah penuh sesak dengan perempuan. Ributnya itu gak ketulungan!

Yang Terbaik

Saya tidak pernah menyangka akan sampai ke persimpangan jalan ini. Saya dibesarkan dan dididik bukan untuk bertemu dengan persimpangan jalan seperti ini. Tapi hidup apa bisa dipertanyakan?

Ketika ada banyak perempuan berperan ganda lainnya tetap bergeming ketika melewati persimpangan jalan ini, kenapa saya tak bisa?

Ketika saya berdoa untuk yang terbaik, dan malah dipertemukan dengan persimpangan jalan ini, kenapa hati berat untuk melangkah?

96 jam lagi saya harus berbelok, apapun yang terjadi dalam hati saya.
Badai yang berkecemuk rasanya tak sepadan dengan kondisi jalan yang mulus.

Yang terbaik, saya tahu, mungkin bukan seperti yang saya lihat saat ini.
Bukan begitu?

Kadar Hati

Seorang teman yang mau menikah mengaku kalau dia enggan mengundang pacar pertamanya -yang juga teman saya. Ketika ditanya alasannya, dia sibuk ngeles.

"Gak enak sama calon istri, ah."

Melihat gelagat kalau saya gak percaya pada alasannya, si teman sambil memble membuka rahasia. Padahal, sumpah, saya gak komentar apa-apa. Memang wajah saya dari sononya udah wajah gak percayaan.

Lalu si teman bercerita...
Ternyata bukan karena dia gak yakin sama calon istrinya.
Bukan juga karena dia gak cinta sama calon istrinya.
Bukan juga karena dia takut sama calon istrinya.
Bukan juga karena dia takut terjadi perang ala sinetron cinta di pesta.
Tapi lebih ke...
"Gue takut hati gue gak kuat. Gue udah gak cinta dia, tapi hati gue belum bisa diajak kompromi kalau liat dia," kata si teman.

Uuuuaaahhh!!! Saya jadi sebel. Sebel sama alasannya yang pertama. Hatinya yang gak kuat, tapi orang lain yang disuruh jadi tamengnya.

Kasus yang berbeda tapi dengan nilai filosofis yang sama terjadi lagi, selalu pada bulan puasa.

Seorang teman yang lain sering banget marah-marah kalau dia melihat ada orang makan atau minum di tempat yang dia bisa lihat pada saat dia sedang berpuasa, bahkan di tempat yang paling tertutup sekaligus. Kemarahannya bukan hanya ditujukan pada orang lain yang non muslim, tapi juga ke para muslim yang kebetulan sedang tidak berpuasa.

"Gak menghargai orang lain yang berpuasa!"
"Gak punya empati!"
"Gak sopan!"
Masih bagus dia gak teriak, "gak ada udelnya!"

Biasanya kami, yang diteriaki maupun yang tidak diteriaki, berlaku sebodo amat dengan dia. Wong bodo kok ditanggepin?

Sampai pada suatu hari saya jadi meranggas juga sewaktu dia melakukannya pada saya: antara menyindir dan memarahi. Seumur-umur baru kali itu dia berani memarahi saya. Saya kok dimarahi?! Walah, nyari tebasan golok ni orang!

Hari itu saya lagi gak puasa. Saya pun masuk ke pantry dan menyeruput segelas air disana. Di PANTRY! Minumnya juga diam-diam. Gak pake pengumuman teriak-teriak kalo saya lagi gak puasa dan pengen minum air dingin di siang hari bolong yang terik...

Lalu dia mulai menyindir, mengomel, memarahi.
"Hargai dong orang yang puasa!"
"Elu minta GUE hargai berapa?"
Dia mengkeret.
"Kok gitu sih jawabannya?"
"Gue yang gak puasa, gue masuk ke pantry. Elu katanya puasa. NGAPAIN lu ada disini?!"

Ceramah selanjutnya berasal dari saya. Inti ceramah saya: Awas kalo berani nyebut-nyebut kata harga-hargai lagi di sekitar saya! Urusan puasa, urusan masing-masing. Ngapain juga dia ngurusin orang lain yang gak puasa?! Kalo niat puasa kita bener, ada orang minum air es segentong di depan muka kita pun kita gak akan tergiur.

Mau tau ending cerita ini?
Ternyata ribut-ributnya orang itu soal harga-menghargai berasal dari kesadaran bahwa dirinya yang tidak tahan melihat orang lain makan/minum.

Hmmfff..... minta ditabok ni orang. Dia yang punya kadar hati rendah, kok orang laen yang dilabeli tidak menghargai sesama?

Delapan

Buat si Nenek, si delapan ini berupa benjolan. Buat saya, si delapan ini bagai komedo. Tiap orang yang ngeliat si komedo, bawaannya pengen nyongkel ajah biar bersih...

No-oh, Nek, delapan komedo sayah...
1. Seorang Acute Procrastinator. Kalo anjing terstimulasi dengan tulang, Tom terstimulasi dengan Jerry, laki-laki terstimulasi dengan perempuan seksi tapi tak pintar, perempuan pintar terstimulasi dengan cowok ganteng, baik hati, pintar, rajin menabung, dan atletis, maka saya terstimulasi dengan deadline. Ini lah alasannya saya gak pernah sukses bikin deadline buat diri sendiri.

2. Paranoid dengan kotoran. Mata saya seperti punya X-ray sendiri. Rasanya sekecil apapun kotoran -debu, sampai yang bener-bener kotoran- bisa terlihat jelas dengan saya. Ini alasan saya selalu membawa tissu basah kemana-mana. Ini juga alasan yang membuat anak saya berkulit putih: bukan karena gennya emang putih, tapi karena keseringan saya gosok pake air sabun...

3. TAKUT dengan binatang bernama ANJING!

4. Anti WC Umum. Apalagi kalau WC umum ini gak ada shower pembilasnya!
Penyakit mental saya yang satu ini sukses bikin saya tersiksa waktu jalan-jalan di Jepang. Bahkan suatu kali, waktu saya dan teman-teman (tanpa Papap dan Hikari) lagi belanja-belinji di Tokyo, saya sampai memaksa teman-teman untuk naik kereta pulang dari stasiun B, dan bukannya A (yang lebih dekat) karena di stasiun A gak ada WC umum ber-shower. Tempat favorit saya untuk pipis di Tokyo adalah di Takashimaya, Shinjuku.
Oh, kalo nyari tempat pipis ber-shower di Kyoto, ada di gedung paling tinggi di stasiun Kyoto. Tapi saya lupa lantai berapa. Mungkin anda bisa memasuki satu-persatu tiap wc disitu.

5. Terobsesi dengan planning, planning, dan planning. Semua yang ada dalam hidup saya harus direncanakan. Besok pagi bangun jam 6 atau 6:05? Mandinya dua kali atau tiga kali? Ke kantor lewat tol Jatiasih atau tol Jagorawi? Kalau lewat tol Jagorawi, mampir beli kopi dulu atau gak? Ini atau itu? Itu atau ini?

6. Selalu menjadi Basi Abadi pada pertemuan pertama. Saya jamin anda sekalian pasti gak bakal mau ngundang saya kopdar karena kadar ke-basi-an saya ini...

7. Selalu disangka manusia kalem, penurut, polos, feminin, pendiam, dan pemalu. Emang sih!

8. ............................................................................................... (untuk diisi oleh kalian semua. Menurut para hadirin, saya masih punya cacat mental apa lagi? Gak ada, kan?!)

Ngelempar sapa yaaaa?
Saya mo ngelempar ke Bung Lufhfi Pemegang Kain Sorban! Hahahahaha.....
Puasss!

Catatan: gambar diambil dari email berantai.

Can Anyone Help?

Temans,
kami sekedar ingin meminta informasi. Siapa tahu ada yang bisa membantu...

Keponakan kami, anak perempuan usia 6 tahun, sedang terbaring di rumah sakit sejak sebulan lalu. Dia mempunyai kista yang menempel di organ hatinya. Sekarang, kista itu sudah bertambah besar.

Upaya operasi tidak bisa dilakukan tanpa resiko tinggi akibat posisi si kista. Dioperasi berarti harus mengorbankan organnya yang lain: limpanya harus diangkat (begitu kata dokter).

Sekarang ini, dia menderita kuning di mata dan urine. Perutnya juga terasa sesak dan nyeri.

Dokter menyarankan untuk melakukan pengobatan alternatif. Keluarga pernah mencoba tetapi ternyata tidak berhasil.

Apa ada diantara para hadirin sekalian yang punya pengalaman sama? Atau malah punya saran, atau rujukan?

Kami sangat berterima kasih. Semoga Tuhan membalas kebaikan kalian semua. Amin.

Brain Dominance

Want to know which part of your brain is more dominant? See here!

Bapak dan Suami

Obrolan perempuan-perempuan tentang sosok Bapaknya ternyata bisa dijadikan acuan tentang pria-pria macam apa yang di-emohi kaum saya ini.

Dan kalau anda -para bapak- yang mempunyai anak perempuan selama ini kalau merasa dijadikan idola dan standar para anak perempuannya dalam mencari pacar atawa suami, silahkan berpikir ulang!

Obrolan para perempuan diawali dari sebuah kebiasaan menyikat gigi.
A: Si Budi (nama samaran) giginya kinclong banget yak! Pake pemutih kayaknya. Dulu gak gitu...
B: Bukan! Dia itu kan paranoid sama giginya. Kemana-mana bawa sikat gigi. Sebelum masuk kelas pasti sikatan dulu.
A: Ada sih orang kayak gitu?
C: Ada! Bokap gue tuh kayak gitu! Gue heran aja giginya masih nempel semua di mulutnya. Kadang-kadang nyebelin juga sama kebiasaannya itu. Soalnya kalo abis makan di restoran selalu mampir ke toilet buat sikat gigi dulu!

Mulainya begitu, kemudian curhatan lain mulai keluar.
Kata C: Gue gak mau deh sama si Budi. Ngeliat bokap gue aja udah ribet, apalagi kalo suami gue begitu juga!
Saya: Gue juga gak mau sama Budi. Abis dia kurang kece sih.
Saya disambit.
A: Kalo bokap gue tuh, kalo udah baca koran pasti budek. Makanya gue jadi males banget deh kalo ada cowok dateng ke rumah trus blom apa-apa udah nyari koran. Tuh cowok pasti gue coret dari daftar prospective husband.
B: Yang gue sebel banget sama bokap gue, bliow tuh kalo kentut suka gak liat tempat! Udah gitu bunyinya gak kira-kira! Gue gak mau deh punya cowok, yang baru pacaran aja udah tebar kentut.
Kita ketawa guling-guling.
D: Nyokap gue tuh paling sering sewot kalo bokap udah ninggalin handuk dimana-mana. Tiap mandi, bokap pasti naro handuk basahnya sembarangan. Kayaknya diomelin nyokap juga udah gak ngaruh.
Kita: Terus, tunangan lo begitu gak?
D: Iya tuh! Begitu juga! Bete banget gue!
E: Lah? Kok elu mau ama dia?!
Saya: Gue sih lebih concerned ama fakta bahwa elu pernah liat tunangan lo abis mandi...
Saya disambit lagi.

F: Kalo gue gak mau punya cowok gendut. Gempal aja gue gak mau.
Kita: Kenapa? Bokap lu gendut?
F: Ho-oh! Trus jadi sakit-sakitan lagi! Gue nyari suami yang langsing atletis aja lah kayak Brad Pitt.
Kita nyambit F. Kita juga maoooo!
G: Satu yang gue benci dari babe gue: ngerokok! Pokoknya, secakep apapun cowok, kalo ngerokok, gue langsung ilfil banget! Gak banget deh! Gue udah ngerasain gimana udara di rumah tuh bikin sesak napas gara-gara ngerokok.
Saya: Setuju!
Yang lain: Setuju-setuju aja lu! Bokap lu bukannya ngerokok?!
Saya: Iya, dulu. Sekarang udah tobat.
Yang lain: Trus, bokap lo kenapa?
Saya mikir......... lama.....
Saya: Bokap gue berkumis....

Update: Papap gak punya kumis.

Bosan

Jangan sembarangan berkata, "I'm sickly bored with my job" pada orang yang tidak tepat.

Saya melakukan hal sembarangan itu. Hasilnya: kuliah terbuka (in public, maksudnya) mengenai ciri-ciri orang yang kurang bersyukur pada Tuhan. Tentu saja, si penceramah membuat semua ciri-ciri itu terlihat jelas pada saya.

But, what the hell. I really AM bored with my job.

Mungkin memang saya termasuk orang yang kurang bersyukur pada karunia Tuhan. Sementara ribuan orang lain setengah hidup mencari kerja, dan ratusan ribu orang lain setengah mati mencari kerja yang mereka sukai, ealah kok malah saya bilang saya bosan dengan pekerjaan saya itu... Ada yang mau nyambit? Silahkan sekarang waktunya.

Tidak ada yang salah dengan pekerjaan saya.
I used to like the job. It was inspiring, mind-challenging, creativity demanding, adrenalin pumping, fun in an exciting kind of way, sekaligus tentu saja turut mencerdaskan kehidupan bangsa. Mengajar, gitu loh.

Sekarang?
The challenge is gone. Atau, saya merasa saya tak menemukan tantangan itu lagi.
The curiosity is easily satisfied. Bahkan hal-hal yang baru tidak bisa membuat saya berseru, "Oooohh, jadi begitu?"
The problems seem to dance their own solutions nakedly before my eyes.
Seakan-akan semua hal menjadi biasa.
Tidak ada adrenalin rush di nadi saya lagi.

10 tahun minus 2 tahun saya melakukan semua ini, akhirnya anti climax itu terjadi juga...

Pindah kerja?
Pindah kantor?
Balik ke rumah?
Stay at home?
Kerja di rumah?
I wish.

Satu alasan saya belum pindah kerja adalah waktu yang fleksibel bagi seorang working mom yang menjadi keunggulan pekerjaan saya sekarang.
Satu alasan saya tidak kerja di rumah adalah saya biasanya jadi gila kalau lebih dari seminggu berdiam di rumah.
None of these is about money. Walau punya banyak duit katanya cukup menyenangkan juga.

Sigh

Enlighten Me, Please

I just got some shocking news from someone on my photoblog: Footprints of Nature.

This person says that I have infringed the name of my blog from this site.

I had no idea that the first (or later?) site even existed. And, YES, I didn't check. I had no idea if we had to check the availability of a blog's name (besides, that name didn't exist in blogspot). Mind you, I did have a difficult time to find the perfect name for that blog. Had I known the name existed, believe me, I wouldn't have used it.

So,
Did I intentionally infringe the copyright?
I had no idea. It never crossed my mind.
Then, well, my deepest apology.
I'll change the name to something else. Meanwhile, I need time to change everything. Hopefully you -the anonymous- have the patience to wait.
Thank you.

Update: www.footprints-of-nature.blogspot.com no longer exists. Please click www.colorfulspecks.blogspot.com
I hope I have made everybody happy.

Bukan Karena

Bukan karena sebentar lagi mau Lebaran,
Bukan karena saya cinta bunga mawar bambu,
Bukan karena saya bosen dengan layout yang lama,
Bukan karena saya kebanyakan bengong di rumah,
Bukan karena saya hobi ngotak-ngatik html,

lalu saya ganti layout.

Ini gara-gara layout kesayangan saya yang lama yang berwarna biru berlatar laut menenangkan itu......... rusak.

Mbuh kenapanya. Tau-tau, pas saya buka blog, semua buyar menjadi putih. Tanpa diotak-atik, tanpa dipinteri...

Siapa tahu ada yang:
1. Berbaik hati mau membereskan layout kesayangan saya itu,
2. atau, membuatkan saya template baru,
pasti akan saya puja-puji di blog saya nanti....

Silahkan loh...

Saya dan Abe

Apa persamaan antara saya dan Shinzo Abe?

Kami berdua sama-sama didiagnosa oleh dokter Jepang menderita Gastric Inflammation karena terlalu serius mengurusi negara...

Little Things


My wonderful friend, Ratih, sent me this offline message.
And, I really fall for it.

For the things I did wrong, for words which might hurt, for silly jokes you cannot take, for advice you cannot accept, I sincerely apologize. RAMADHAN MUBARAK ...



Sometimes it is the things that we don't mean to say or do, or the things that we mean no harm from them, are the ones that hurt friends innocently.

So, friends, I sincerely apologize.
For everything.

Rumput Tetangga


The grass is always greener on the other side of the fence.


Buat saya, kata mutiara itu bukan sekedar kata mutiara. It's a fact! Rumput tetangga depan rumah memang lebih hijau. Jauuuuh lebih hijau.

Seluruh halaman rumahnya dilapisi rumput manila yang terawat rapi. Yang punya sepertinya mengalihkan energinya yang tak kesampaian dalam membuat bunga-bunganya berkembang (sebelum dipetiki Hikari) dengan merawat rapi rumputnya.

Saya sampai termimpi-mimpi melihat rumput tetangga itu. Kadang-kadang, saat sedang tidak mimpi, ya sampai ngeces. Lalu mimpi juga. Mimpi pengen punya rumah berumput manila tebal seperti tetangga itu. Saking mupengnya dengan rumput tetangga, saya membujuk si Papi.

Saya: Kumendan, tanam rumput manila kayak orang depan dong.
Si Papi: Beliin rumputnya.
Saya: Siap Kumendan, tapi nanti Kumendan yang nanem ya.
Si Papi: pura-pura gak denger.

Eh, seminggu yang lalu saya mendapat pencerahan.
Rumput yang helaiannya lebih tinggi dan tebal, menyerap air lebih banyak. Pada akhirnya, rumput jenis ini juga lebih ramah lingkungan.
Saya pun menyampaikan ilmu baru saya ke si Papi.

Saya: Pi, katanya rumput yang lebih tinggi daunnya itu lebih ramah lingkungan karena menyerap air lebih banyak.
Si Papi: Kalo gitu kan gampang solusinya. Murah lagi.
Saya: Ha?
Si Papi: Kamu ke lapangan kosong di blok sebelah, terus cangkulin tuh rumput liar disitu....

Aturan nomer satu: Komendan tidak pernah salah.

photo dari sini

Jatuh Ketimpa

Saya kepingin nabok orang yang berani-beraninya bilang, "gak apa-apa sakit rame-rame. Repotnya sekalian kan?"

Sungguh tidak lucu.
Bagian mana yang lucu dari adegan seorang saya yang sedang sakit perut berat dan saban sedetik harus balik ke toilet, sementara anak saya yang sedang demam tinggi meraung-raung di luar pintu toilet karena tidak mau digendong orang lain selain emaknya?!
Meminta pengertian pada anak umur 5 tahun diluar toilet adalah suatu tindakan yang sia-sia.
"Mamaaaa, aku mau sama mamaaa!"
"Tunggu, ya, Nak. Mama lagi sakit perut."
"Aku juga sakit perut. Aku sakit kepala juga!"
"Tapi mama gak bisa keluar. Mama lagi sakit perut sekali."
"Mamaaa, Ari sayang mamaaaa..."
Walau gak ada hubungannya, saya toh menangis juga. Antara kebelet, dan terharu.

Empat hari saya kena diare berat. (Jangan bilang-bilang Papap itu karena saya nekat jajan soto mie di pinggir jalan) Segitunya pun saya masih bisa ketawa-tiwi di YM sama Pak Dhe ini. Si Papap yang menyuruh saya ke UGD, saya cuekin. Nanti kejadian kayak kemaren saya harus berantem sama suster peng-infus hanya gara-gara diare.

Hari kelima, saya gak tahan lagi. Begitu ke dokter, saya habis diomeli. Dari diare merembet ke gejala tipus. Kata Pak Dokter yang biasanya murah senyum itu, "kemarin belum puas ya nginep di RS-nya?"

Pulang dari dokter, saya niat mau bedrest. Kapan lagi bisa nelpon kantor sambil sok penting bilang, "gak bisa masuk! Saya harus bedrest, tau!"
Eh, niat tinggal niat.
Senin siang, sepulangnya Hikari dari sekolah, badannya demam tinggi. Di sekujur tubuhnya muncul bintik-bintik seperti cacar. Oalaaaahhh Gusti! Saya bawa diri dan perut sendiri aja susah, hari itu saya harus bawa Hikari ke dokter!

"Kena virus, Bu!" kata Pak Dokter yang sabar terhadap saya ini.
"Virus apa? Cacar?"
"Virus entero, seperti cacar. Tapi ini gak ada isinya. Saya pikir ini penyakit HFM (hand-foot-mouth disease)."
"Bukan tipus?"
"Kalo tipus gak pake bentol-bentol begini, dong, Bu!"
"Kok batuk juga?"
"Ya, ini tenggorokkannya meradang."
"Yakin bukan tipus, Dok?"
Dokternya melotot.

Pulangnya saya mencari kambing hitam. Papap harus jadi kambing hitam hari itu. Dia yang bawa Hikari berenang dua hari sebelumnya...

Setelah itu...
Saya tewas terkapar. Bangun hanya untuk ke toilet.
Hikari yang menangis dan mengigau hanya bisa dipeluk sebisanya.
Papap terpaksa harus menjaga dua orang sakit. Terpaksa bolos ke kantor.
Besoknya, Papap sakit juga.
Halah!
Gue juga yang musti turun tangan!

ps: masih sedikit diare. Nulis blognya disambi ke toilet yah!

Cuti Massal

Harus cuti dulu.
Ada sakit massal disini.

Harus pamit juga,
walau kata si mbok, "mo minggat, yo minggat sana!"
Alasannya satu,
takut disangka sombong, nyuekin, sok sibuk, gak mau nyapa...
Emangnya saya seleb apa?!

Cuti dulu yaaa...

ps: untuk Nek!
Cepat sembuh juga. Dunia butuh dirimu. Dakuh butuh bacaan milikmu...

Critical Brain

I was showing a picture of Big Ben to my students.
"Big Ben!" shouted one student.
"That's right!" I said.
"Does anyone know where it is?"
Loud and clear, a voice from the corner shouted confidently, "PADANG!"


Some teachers complain how little students know about the outside world. But, I can still nod to the Padang answer because -after all- that student knew I was asking about a place. The fact that she answered the wrong kind of place, well, perhaps she didn't have the exposure needed.

But, if you think that is hillarious, try this:

One student in his essay wrote that Global Warming is caused by glass house effect. So, he wrote, we must not build our house using glasses. We must use wood, instead.

Okay, his misunderstanding and mistranslation of Rumah Kaca to Glass House is understandable. But his reasoning?

Most of the time, I find teaching a language exhausting. It's because I have to check the students' critical thinking as well. When they write, or when they give arguments, these students have to be able to give a sound reason. The problem is their reason is usually illogical, unreasonable, incomprehensible, and mostly irrelevant.

Gee... what have they been doing in their life?

Teaching grammar, or other four skills (reading, writing, listening, and speaking) is easy. You have rules, you have guide books, and of course you have your boss to disturb. But teaching critical thinking? You'll end up having your brain critical...

Sigh...
Whoever wants to be a teacher these days, s/he must be really mad.


picture from here

Mind Your Own

Beberapa hari yang lalu, saya mendengarkan cerita seorang penyiar (cewek) dari sebuah stasiun radio. Begini ceritanya:
Malam itu, si penyiar sedang mencari tempat parkir. Sambil mengantri, dia melihat seorang perempuan kenes berpakaian celana panjang dan kemeja rapi berjalan PD melintasi lapangan parkir mall yang besar itu. Di antara sorot lampu mobil yang menembus segala hal, si penyiar melihat kalau zipper celana si perempuan terbuka dengan bebas....
Oke, sampai sini, gak usah pake dibayangin! Tapi katanya sih, perempuan itu pake tali berhuruf G.
Perempuan ini berjalan mendekati mobil si penyiar. Penyiar kita ini deg-degan. Bilang, gak, bilang, gak? Akhirnya si penyiar memutuskan untuk membuka jendela mobil, menyapa si perempuan, memberitahu perihal zippernya, dan buru-buru menutup jendela mobil dan kabur demi melihat muka si korban berubah antara pengen nabok dan pengen pingsan.

Kalau anda, apakah anda akan memberitahu perempuan itu?

Ada banyak peristiwa sejenis lainnya yang saya yakin pernah membuat para hadirin sekalian grogi. Kasih tau? Atau, gak usah?
Sewaktu dosen favorit di kampus dulu terkena musibah open-zipper begini saat sedang berkobar-kobar memberi kuliah di kelas, gak ada satu mahasiswa pun yang mau memberi tahu si dosen. Padahal, pose favorit si dosen adalah menangkringkan salah satu kakinya ke kursi paling depan.
Tolong, yang ini juga gak perlu dibayangkan!

Kebanyakan orang sepertinya memilih untuk diam saja. Termasuk saya. Terutama saya.
Saya lebih memilih untuk membuang muka, daripada menanggung derita setiap kali si korban bertemu saya dia akan berpikir 'duh, ni cewek pernah liat itu gue...'

Jadi siapa yang sebenarnya jadi korban?

Jiwa saya yang lebih rela menjadi korban ini pernah kena batunya ketika selama berbulan-bulan saya harus menghirup bau jempol seorang teman yang doyan melepas sepatunya. Segala cara -kecuali menegur- sudah saya coba: pindah kursi, kabur pas jadwal makan siang bareng, menolak duduk disebelahnya, sampai bangkrut karena membelikannya peralatan kaki anti bau untuk ulang tahunnya. Segala cara gagal, tentu saja. Walau saya tahu masalah akan lebih mudah dipecahkan bila saya mau menegurnya sekali saja, tetap saja saya tak punya hati untuk melakukannya. Kalau anda?

Mental saya ini berbeda jauh dengan mental berani mati seorang teman.
Saya dan Papap punya seorang teman yang sepertinya tidak tahan panas. Kena matahari sedikit, dia pasti bau. Baunya itu pun kadang gak hilang dari ruangan walau orangnya sudah pergi setengah jam yang lalu.
Saya dan Papap sempat dorong-dorong: siapa yang harus ngasih tau orang ini bahwa dia... bau! Setahun berlalu, si teman masih bau, kita juga masih dorong-dorongan. Ketika masalah bau ini semakin tidak tertahan berkaitan dengan intensitas pertemuan kita yang semakin sering, saya dan Papap terpikir untuk menghadiahinya deodorant.
Sebelum ide ini terealisasi (yang mungkin akan memakan waktu 5 tahun kemudian), kami kedatangan seorang teman baru. Si teman lama dan si teman baru pun bertemu. Tidak sampai sehari, si teman lama sudah mendapat pencerahan mengenai masalah baunya dari si teman baru. Problem's solved. Memang sih abis itu mereka berdua gak pernah ngobrol lagi...

Belakangan saya pikir, saya gak bisa terus-terusan bertingkah sok normal. Lagipula, saya kena karma karena gak mau berkorban untuk kesejahteraan umat.
Suatu hari saya yang sedang flu berat belanja bersama teman di sebuat mini market. Ketika sedang mengantri di kasir, si kasir tersenyum-senyum pada saya. Sebagai manusia ramah dan baik hati, tentu saya balas tersenyum. Maka, kami pun menghabiskan beberapa menit saling men-senyum-i satu sama lain. Tiba-tiba teman di belakang saya mencolek,
"Gila, bau banget. Sapa yang kentut sih? Elu kecium gak?"
"Bau kentut? Gak nyium tuh. Gue kan lagi pilek. Kesian deh lu..."

Begitu keluar dari mini market itu, si teman ketawa ngakak.
"Elu tau gak, De? Semua orang disitu mikirnya elu yang kentut, tau!"

FYI, sumpah, bukan saya yang kentut!

Komplek Sepuh

Semenjak pulang kampung hampir setahun yang lalu, saya menumpang tinggal di rumah orang tua saya. Rumah ortu saya ini berada di komplek pensiunan tentara.

Si Papi pernah menyuruh saya membeli rumah di komplek yang sama. Maksudnya tentu saja supaya beliau bisa setiap saat menculik Hikari. Sayanya yang ogah. Komplek ini kan entah berada di propinsi mana di Indonesia ini!

Melihat tampang ogah-ogahan saya, si Papi mulai melancarkan jurus penjual kecapnya. Kecapnya yang pertama: "Disini kan bisa ketemu sama tetangga yang di komplek lama." Maksud Papi saya, tetangga disini sama isinya dengan tetangga di rumah kami yang lama. Mendengar ini saya makin ogah. Gak siap mental aja kalau lagi jalan sore ada kakek-kakek atau nenek-nenek yang begitu ketemu saya berkomentar, "eeeh, kamu sudah besar ya. Dulu kan kamu yang kecilnya ingusan melulu tho?"

Lalu, kecapnya si Papi yang kedua adalah membeberkan segala kelebihan komplek ini dibanding komplek-komplek perumahan lain. Pertama: lebih murah, katanya. Ya iyalah, tukang pos aja bingung mau ngasih nomer kode pos berapa buat komplek di lokasi yang hanya bisa dideteksi oleh dukun dan supir ojek.

Pastinya si Papi hampir kehabisan jurus ketika beliau mengatakan komplek ini sangat self-sufficient and stress-free. Segala ada. Kita gak perlu keluar komplek ini untuk belanja, rekreasi, olah-raga, nenangga, sampai berkebun. "Bahkan," tambah si Papi, "tanah untuk kuburan aja udah disediain disini!"
Beh... plis deh... Pensiunan sih pensiunan...

Seorang teman saya pernah bercerita begini: suatu siang, dia naik bus TransJakarta dari Kp. Rambutan sampai Matraman. Di sebelahnya, duduk seorang kakek yang ternyata salah satu tetangga saya.
Si kakek itu bercerita, "setiap minggu saya sibuk, mbak."
Teman, "sibuk apa, Pak?"
Kakek, "melayat. Tiap minggu pasti ada aja nama yang diumumin di mesjid."
Sumpah, kalau terbayang wajah bapak-ibu saya, cerita ini gak lucu sama sekali. Tapi, kok ya lucu juga...

Cerita teman saya tadi sama isinya dengan cerita si Papi. Waktu saya tanya kenapa sholat Jumat di mesjid dekat rumah itu lama sekali, si Papi menjawab enteng.
"Kan harus nungguin jemaahnya yang udah tua-tua. Ada yang pernah stroke, ada yang udah gak bisa berdiri, ada yang sholatnya harus senderan...."
Kebayang gak sih mereka harus jalan jam berapa ke mesjid yang hanya berjarak ratusan meter untuk bisa shalat Jumat tepat waktu?

Seperti juga si Papi yang pernah kena stroke ringan dan mengidap beberapa gejala penyakit lainnya, tetangga yang lain juga hampir sama. Penyakit umum disini adalah stroke, darah tinggi, dan jantung.
Ini cerita dua hari yang lalu: tetangga sebelah kiri saya menyuruh tukang untuk mengikat dahan-dahan pohon mangganya yang menjulur ke rumah kami. Dahan-dahan itu ditarik sedemikian rupa ke arah dalam (pekarangan rumah beliau). Melihat tukangnya yang ngos-ngosan, si Papi mendekati Kakek sebelah.
Papi: Pak, dipangkas aja atasnya. Daripada diikat-ikat begitu...
Kakek: Wah, instruksi nyonya harus begitu, Pak. Saya takut kalau gak sama dengan instruksinya.
Setelah saya tanya si Papi, ternyata istri si Kakek itu punya darah tinggi dan kalau kemauannya gak dituruti, bisa histeris sampai pingsan. Ternyata, kejadian ini pemandangan biasa di komplek.

Karena itu lah, saya gak heran lagi ketika malam tadi ketemu Pak RT (yang juga sudah sepuh) sedang naik motor keliling komplek. Ternyata Pak RT baru selesai menengahi dua kakek yang berhadapan rumah. Mereka bertengkar karena kakek A membuat pagar bambu mengelilingi 2 pohon mangganya. Berhubung pohon mangganya itu ditanam diluar pagarnya, otomatis pagar bambunya melebar sampai menghabiskan setengah badan jalan umum. Kakek B yang punya garasi persis di depan pagar bambu itu jelas blingsatan.
"Trus, Pak RT bilang apa ke Pak A?" tanya si Mami.
"Saya suruh minum obat dua-duanya," jawab Pak RT kalem. Ternyata kedua kakek itu penderita stroke dan darah tinggi.

Kejadian yang paling lucu sekaligus mengesalkan buat saya dan para penghuni berusia muda di komplek ini adalah saat menjalani rutinitas pagi. Para sepuh di komplek ini rata-rata menggunakan mobil-mobil Eropa keluaran tahun 70-80an. Jangan ditanya kondisinya. Masih bisa jalan aja udah prestasi tersendiri karena setelah diperhatikan keempat roda mobil-mobil ini sepertinya sudah tidak kompak lagi. Kalau kita sedang sial, kita bakal bertemu dengan mobil-mobil ini di jalanan desa yang hanya muat dua mobil. Bayangkan antrian yang terjadi di belakang mobil-mobil tua yang jalannya hanya 10 km/h itu! Gak bisa disalip pulak!

Yang lumayan mengenaskan di komplek ini adalah ketika menyaksikan seorang kakek dituntun berjalan oleh satpam. Waktu saya tanya si Mami, kakek itu ternyata salah satu kolega si Papi waktu masih dinas dulu. Si kakek ini seringkali pergi keluar rumah dengan niat berjalan-jalan. Tapi yang terjadi adalah begitu beliau belok ke jalan yang berbeda, beliau tidak pernah ingat lagi letak rumahnya dimana. Akhirnya, Satpam atau penghuni komplek yang lain sering menemukan si kakek sedang berjalan muter-muter kehilangan arah...

Agak miris buat saya membayangkan tetangga-tetangga sekomplek saya ini. Soalnya, saya tahu sekali bagaimana mereka sewaktu masih muda dan berdinas. Sekarang, ketika seragam dan pangkat itu sudah tidak terpakai lagi, yang bisa mereka lakukan ketika bertemu di jalan hanya saling memberi hormat dengan tangan kanan terangkat ke kening.

Kata Papi saya, "menghabiskan masa pensiun yang paling enak ya bertetangga dengan teman-teman lama.
Kalau kata Mami saya, "penghiburan para pensiunan ya ketika main sama cucu."

Maksudnya?!

Tertawa di Tanggal 17

Pada tanggal 17 Agustus 2007, hari Jumat, hari Kemerdekaan RI...

1) Komplek perumahan saya (hak milik bapak saya) ternyata tidak menyelenggarakan perayaan kemerdekaan rame-rame. Saya agak kecewa, karena saya ingin memberi pengalaman 17-an yang meriah kepada Hikari. That would be his first August 17. Tetapi, perayaan yang ada hanya: 1. Kerja bakti seminggu sebelumnya, 2. Pasang bendera dan umbul-umbul, 3. Nonton upacara di tivi, dengan sangat khidmat (saluran tivi di TVRI, dan gak boleh diganti sampai President bubar jalan).
Sewaktu saya protes mengenai absennya lomba-lomba dan panggung gembira ke bapak saya, si papi menjawab, "ini komplek pensiunan! Isinya kakek-kakek dan nenek-nenek yang buat jalan aja susah. Mau disuruh lomba apaan?!"

2) Di salah satu stasiun tivi, ada liputan permainan anak-anak jaman dulu pada tanggal 17 Agustus. Salah satu permainan itu adalah main tembak-tembakan menggunakan senjata bambu berpeluru buah kecil. Senjata itu buatan sendiri. Pelurunya diambil dari pohon.

Si Papi, "dulu pas lagi rame main itu, satu pohon bisa dipanjatin banyak orang. Mereka rebutan ngambil buahnya. Udah gitu, pas lagi main, gak ada yang mau jadi tentara Belanda. Soalnya kalo jadi tentara Belanda pasti badan dan kepalanya abis benjol-benjol ditembakin yang lain."
Papap, "waktu kecil aku main itu juga tuh. Tapi buahnya pakai buah seperti tomat kecil yang hijau. Senjata aku dulu, senjata bambu itu, Mam. Kalau kamu apa?"
Saya, "senjata beneran kali..." (secara gue lahir dan gede di komplek tentara gitu loooh)

3) Di tivi anggota Paskibraka sedang menaikkan bendera.
Saya: "Ri, kalo udah besar mau jadi kakak Paskibraka gak?"
Hikari: "Tidak. Aku mau jadi spongebob aja."

4) Pelajaran sejarah diberikan kepada Hikari di sepanjang perjalanan menuju kota Jakarta.
Saya: "Hikari, bendera Indonesia warnanya apa?"
Hikari: "Banyak, Ma."
Papap: "Hah? Kok banyak?"
Hikari sambil menunjuk ke luar mobil: "Itu ada merah putih, ada hijau, ada biru tengahnya segitiga..."

5) Selesai menonton upacara di Istana, penghuni komplek mengobrol bangga, "nah, tahun ini komandan upacaranya dari AU!"
Saya: "Penting ya, Pi?"
Papi: "Penting! Ini kan komplek pensiunan AU!!!"

6) Tumpeng kami (saya, salah satunya) untuk perlombaan 17-an di sekolah Hikari roboh....

Jangan Salahkan Dunia!

Neng,
kebahagiaan itu bukan hadiah,
bukan sesuatu yang mesti ada.

Neng,
kebahagiaan itu harus diusahakan,
tidak pake syarat macam-macam.

Kebahagiaan tidak pake kata asal.
-asal kaya, baru bisa bahagia
-asal cakep, baru bisa bahagia
-asal ada teman, baru bisa bahagia
-asal ada anak, baru bisa bahagia
Itu kebahagiaan asal namanya.

Kebahagiaan juga tidak pake kata kalau.
-kalau di Indonesia, baru bisa bahagia
-kalau di luar negeri, baru bisa bahagia
-kalau Indonesia tertib, baru bisa bahagia
-kalau luar negeri halal semua, baru bisa bahagia
Itu namanya kalau bisa bahagia.
Kalau enggak bisa?
Mau apa lu?

Neng,
kebahagiaan itu bukan hanya ada di hati,
karena gak semua hal itu melulu pake perasaan.
Kebahagiaan juga ada di otak yang logis berpikir.
Di mata yang jernih melihat.
Di bibir yang rela tersenyum.

Neng,
kebahagiaan itu, walau harus diusahakan, tersebar dimana-mana.
Dia ada, di setiap tempat kamu pergi.
Dia ada, di setiap langkah yang kamu bawa.
Tapi, soal kamu bisa melihatnya berceceran di setiap tapakmu, itu yang jadi masalah.
Kebahagiaan tidak mengenal negara.
Apalagi warna passport, Neng!

Ayo lah, Neng,
jangan lah manyun kerap kali.
Berkeluh kesah seakan hanya dirimu yang sengsara.
Berpikiran buruk terhadap dunia.
Berasa semua orang menyakitimu.
You may be important. But not that important.

Neng,
Merasa bete itu normal.
Merasa kesal itu wajar.
Merasa kehilangan semangat itu biasa.
Tapi, Neng,
hidup gak perlu melulu tentang bete, kesal, dan kehilangan semangat.
Hidup bisa melulu tentang bahagia, bete sebentar, bahagia lagi, bahagia terus, bahagiaaaaaa...

Jadi, Neng,
Cari kebahagiaan mu.
Berceceran itu dimana-mana!

Berhenti manyun lah!
Dunia tak punya salah!

Mengancam Lewat Mata

Pernah baca artikel tentang reportase seorang wartawan yang mewawancarai para tahanan di sebuah penjara di Amerika?

Wartawan itu bertanya, "bagaimana anda memilih korban anda?"
Jawaban para tahanan adalah, "kami melihat mata mereka."
"Maksud lo?" (yaaa... kira-kira seperti itu lah)
"Contohnya anda. Begitu anda melihat kami, anda tidak mengalihkan pandangan mata anda. Anda malah menatap kami dalam-dalam. Itu memberi kesan kalau anda bukan seorang penakut dan bukan seorang yang gampang dikerjain."

Saya merasa terinspirasi dengan artikel ini, walau saya lupa itu artikel terbitan kapan, dimana, dan oleh siapa.

Saya juga merasa pesimis bisa melakukan hal-natap-menatap itu setelah membaca artikel ini. Alasannya konyol: saya ini pemalu yang rendah hati serta lemah lembut. Jangankan melihat lurus ke mata para penjahat itu, melihat laki-laki ganteng seperti Keanu aja membuat mata saya blingsatan keluar dari jalur lurusnya. *bletak*

Sejak membaca artikel itu, saya belum mendapat pencerahan lagi bagaimana saya bisa melatih rasa PD dan melatih kemampuan untuk menatap ke mata orang lain tanpa berpaling. Bahkan seorang teman saya yang saya ajak ngobrol tentang cara-sukses-menatap-mata-orang sama pesimisnya dengan saya.
Dia bilang, "kalau melirik judes, elu udah lulus. Tapi kalo menatap tajam, elu kudu sering-sering latihan di terminal."
What?! Apa gue gak disangka polwan, ntar?

Eniwei, waktu ternyata berhenti di hari kemarin. Saya mendapat pencerahan.
Saat itu saya sedang dihukum si boss dengan cara menyuruh saya duduk manis selama dua jam di kelas orang lain, memperhatikan guru kelas itu mengajar, untuk kemudian mencatat baik-baik apa yang saya lihat di kelas itu. Sumpah, saya lebih memilih duduk di kantin.
Sebelum masuk kelas, si guru sudah membisiki saya.
"Murid gue badung-badung, De. Anak SMA semua."
Uuuuggggghhhh.... I love this class instantly. Gue dan murid badung, gitu loohh.

Ternyata guru itu benar-benar tidak sedang meledek nyali saya. Begitu saya membuka pintu kelas dan diperkenalkan oleh si guru kepada murid-muridnya, tampang ngenyek langsung menyebar ke seluruh penjuru kelas. Itu lah ruginya pemilik muka imut-imut yang nekat berprofesi sebagai guru.

Beberapa murid cowok di pojok kelas sengaja berbisik keras-keras (nah, berbisik tapi keras!).
"Sapa sih?"
"Mo apa sih?"
"Ih, ada guru lain. Males banget." -> yang ini muncul dari kerumunan perempuan.
"Psstt... pssttt... pssssttt..."
"Silent, please!" Ini gurunya yang mulai mengancam karena gak enak hati dengan saya.

Yang kemudian saya lakukan adalah: menoleh ke kiri, ke tempat guru itu berdiri, tersenyum manis padanya, lalu.... menoleh kembali ke depan, menghilangkan senyum dari wajah saya, menarik alis mata kiri saya ke atas, dan menghabiskan beberapa detik untuk menatap tajam ke wajah-wajah tengil di hadapan saya satu persatu.

Sukses. Mereka langsung berhenti berbisik. Mereka menunduk.
Dan, seperti ada konsensus tak terlihat tak terdengar tak berbau, mereka mengambil keputusan kalau keadaan akan lebih aman buat mereka bila mereka duduk dan belajar dengan tertib selama saya duduk di kelas itu selama 2 jam.

Menurut guru kelas itu, selama dua bulan belajar, baru hari itu murid-muridnya bisa diam dan well-behaved. Padahal yang saya lakukan adalah hanya memberi mereka kesan pertama ala Clint Eastwood: "Go ahead. Make my day!"

Saya tidak mau kembali lagi ke kelas itu. Cukup sekali saja. Saya lebih bahagia jadi manusia yang pecicilan dan penuh cekikikan. Dan itu tidak bisa saya lakukan di kelas yang butuh perlakuan khusus.

Ketika si guru bertanya bagaimana caranya saya memperlakukan kelas-kelas saya sendiri, jawaban saya singkat: First impression is very crucial. Pertama kali saya menjejakkan kaki di kelas baru, yang pertama saya lakukan adalah memberi kesan yang dalam kepada setiap kepala di kelas saya bahwa 'I am the boss in this room'. Sambil memberi senyum saya yang katanya manis itu, tentunya.

Moral of the story dari posting ini adalah:
Kalau saya terpaksa harus menggunakan trik cara-sukses-menciutkan-nyali-penjahat, yang harus saya lakukan adalah membayangkan penjahat itu sebagai salah satu murid saya di kelas. Dia pasti bakal memilih institusi lain untuk belajar bahasa Inggris....

Blogger Templates by Blog Forum