trying to be a gadget girl

Use a mobile feature. Hope it will work. Or else.

Sent from my E71 Nokia phone

Mau Bikin Resolusi Apa Lo?

Siang hari bolong tanpa petir, teman saya menanyakan posting saya yang baru.
Saya jawab, "Posting baru? Belum ada yang baru kok."
Dia merespon, "Emang belom ada yang baru."
Saya nyureng, "Udah tau kok pake nanya?"
Dia bilang, "Disindir kok gak ngerti?!"
Lah?

Dia lalu bertanya lagi kenapa saya belum juga nulis soal resolusi tahun baru seperti banyak beberapa blogger yang dia kenal. Bukannya njawab, saya malah curiga.
"Ngapain lo pengen tau resolusi gue segala?!"
Gantian dia yang nyureng.

Sebenarnya dia gak salah sih bertanya soal resolusi saya. Yang salah sebenarnya timing pada saat dia tanya. Saya sedang... eh, gak jadi deh.
Menulis resolusi di blog menurut saya banyak bagusnya. Salah satunya adalah sebagai alat pembuat malu (malu tanpa awalan dan imbuhan!) sekaligus alat pecut seorang blogger. Kenapa? Karena kalau sudah go public punya resolusi satu sampai seratus lalu gak ada yang tercapai kan malu. Jadi resolusi di blog itu memecut seorang blogger untuk bekerja keras memeras keringat membanting tulang untuk mencapai semua resolusinya.
Tolong dicatat saya menulis begini tanpa pernah menepatinya.

Balik ke pertanyaan buat saya: apa resolusi saya di tahun 2010?
Jawabannya adalah: gak ada.
Tapi jangan salah. Walau saya gak bikin resolusi, saya punya resolusi yang dibebankan pada saya oleh khalayak ramai.
Si Mami bilang begini, "Kamu harus punya anak lagi di tahun 2010."
Teman nebeng saya bilang begini, "Lu kudu beli mobil baru." (karena di tahun 2009 ini record mobil mogok saya sudah mencapai 5 kali)
Lalu Papi saya bilang begini, "Harus mulai hidup sehat kamu itu!"
Si...mmm... seseorang bilang begini, "Mudah-mudahan tanah kavling kosong di sebelah rumah bisa dibeli ya."
Bos saya bilang begini, "Next year, you have to start creating bla bla bla bla..."
Ada juga si Anu yang bilang begini, "Tahun depan kamu harus punya reksadana begini begitu begono." (Yang saya timpali, 'bayarin ya.')
Tante saya bilang begini, "Kamu harus ngurusin badan mulai sekarang. Jaga makanan."
Lalu ada yang bilang begini, "Tahun depan novelnya keluar tiap bulan ya?"

Wajar dong kalau saya merasa saya tidak perlu membuat resolusi lagi? Everything has been taken care of. Terutama soal kesehatan. Sepertinya tahun depan resolusi kesehatan untuk saya sudah mendekati angka seratus. Dan pada saat orang keseratus satu menyumbangkan resolusi kesehatan untuk saya, saya sudah menyiapkan jawaban.
"Elo tau kan apa yang terjadi pada orang terakhir yang ngomong begitu sama gue?!"

Eniwei, diluar urusan apakah saya akan mengikuti resolusi yang dibikin orang lain untuk saya, saya berharap orang-orang baik hati tersebut mendapatkan balasan yang indah dari Tuhan karena telah membantu saya menunjukkan jalan di tahun 2010. Lurus atau tidak, urusan lain. Namun, saya juga berharap Tuhan akan selalu mengingatkan mereka untuk menepati resolusi mereka sebelum mereka memaksa saya menepati resolusi mereka.
Kan?

Broken-hearted

Have you ever felt broken hearted?

Today I've learnt
it doesn't need love
to break my heart.

A whisper at the end of the phone.
A message on the phone.
A picture on facebook.
They are enough to break my heart.

Don't pity me, please.
Because this pain I've been feeling
is nothing
compared to the pain
they are feeling.

To them, I whisper strength.
To them, I whisper hope.
To myself, I wish I could keep this broken heart for myself.
And by the end of the day, I'd rather choose I didn't have to tell them
about strength and hope.

Apa Arti Celana Dalam Anda?

Kirimkan lah celana dalam perempuan, syukur-syukur ditambah dengan bra sekalian, kepada sekelompok laki-laki. Apa yang akan terjadi?
Kemungkinan besar kelompok itu akan marah karena kumpulan perasaan yang timbul akibat kiriman tersebut: Rasa malu, rasa dihina, rasa dipermalukan, rasa dianggap banci, rasa dianggap penakut (atau malah pengecut?), rasa dianggap cengeng... apa lagi?

Lalu, buat eksperimen kedua.
Kirimkan lah celana dalam laki-laki, nggak perlu pakai kaos dalamnya, kepada sekelompok perempuan. Apa yang akan terjadi?
Karena saya merasa otak perempuan sangat kompleks, kemungkinan yang terjadi bisa ribuan: potret bareng dengan si celana dalam dan menaruh fotonya di fesbuk dan/atau di blog, mungkin menjual celana dalam itu, memberinya pada suami atau pacar, mem-pigura celana dalam itu untuk kenang-kenangan, bengong lebih dari satu menit dihadapan si pemberi sambil membatin apa maksudnya.

Apa maksudnya memberi celana dalam laki-laki kepada sekumpulan perempuan? Pasti bukan untuk menimbulkan rasa malu, rasa dipermalukan, rasa dianggap banci/cengeng/penakut/pengecut. Seperti juga rokok, stelan jas (yang dipakai perempuan), saya anggap celana dalam laki-laki dianggap sebagi simbol keberanian, ke-macho-an, kehebatan, kekuatan.
Dengan menggunakan analogi tersebut, saya anggap pemberian celana dalam laki-laki kepada sekelompok perempuan adalah simbol pujian. Perempuan-perempuan hebat yang kuat, mungkin begitu maksudnya. Jadi, sebaliknya memberi celana dalam perempuan kepada sekelompok laki-laki berarti simbol penghinaan. Bukan begitu?

Tidak logis? Mengada-ada? Mencari-cari korelasi? Dibuat-buat? Dihubung-hubungkan?
Terserah.
Toh saya punya contoh. Baca lah berita tentang sejumlah LSM yang memberikan bra dan G-string merah untuk pansus Century DPR. Apa maksud mereka? Apa persepsi anda terhadap benda-benda yang dijadikan simbol itu? Apakah pemberian bra dan G-string itu dimaksudkan sebagai penghargaan atas keberanian para pansus Century?

Membaca komentar ini, saya yakin bra dan G-string bukan sebuah simbol positif:
"Idrus Marham sebagai Ketua Pansus tidak boleh diintervensi. Kalau sampai diintervensi, pakai saja bra dan celana dalam ini," ujar aktivis Kapak, Hendri Tri. -Kompas.com

Bingung.
Apa hubungannya bra dan celana dalam dengan intervensi? Jangan-jangan para pemberi hadiah itu ingin meniru Soe Hok Gie yang memberi hadiah lipstik, cermin, dan beberapa barang kewanitaan lainnya untuk teman-temannya di DPR.

Pada 12 Desember 1969, Hok Gie bekerja sama dengan teman-temannya mengirim paket "Lebaran-Natal" kepada 13 perwakilan mahasiswa yang duduk di DPR-GR. Paket itu berisi lipstik, cermin, jarum, dan benang, disertai surat kumpulan tanda tangan dengan pesan, "Bersama surat ini kami kirimkan kepada anda hadiah kecil kosmetik dan sebuah cermin kecil sehingga anda, saudara kami yang terhormat, dapat membuat diri kalian lebih menarik di mata penguasa dan rekan-rekan sejawat anda di DPR-GR. Bekerjalah dengan baik, hidup Orde baru! Nikmatilah kursi anda—tidurlah nyenyak! Teman-teman mahasiswa anda di Jakarta dan exdemonstran '66" (halaman 364).


Well, saya pikir para pemberi celana dalam perempuan itu masih harus belajar banyak dari Soe Hok Gie. Bukan itu saja, saya pikir mereka juga harus belajar lagi tentang arti penghormatan dan penghargaan terhadap jender perempuan. Coba, mau enggak mereka mengirimkan jenis dan merk celana dalam dan bra yang sama dengan yang dipakai oleh ibu mereka ke anggota pansus? Apakah mereka akan berkomentar sama dengan yang mereka katakan kepada Pak Idrus Marham?
"Pakai saja bra dan celana dalam ibu saya ini, Pak."

-tulisan ini dibuat karena kesal setelah membaca status FM di fesbuk. I agree with you, Nek. Stupid is what a stupid does (Forrest Gump)-

Meet Me at Green Festival!

Mari ketemu di Green Festival yuk!

Green Festival adalah kegiatan yang bertujuan untuk mengajak seluruh masyarakat untuk peduli terhadap perubahan iklim yang sedang terjadi di dunia saat ini. Dengan memberikan pengetahuan dan cara – cara yang dapat mencegah dan memelihara dilingkungan tempat kita tinggal sehari – hari. -Facebook Green Festival-


Hari Minggu, 6 Desember 2009, saya akan datang ke Green Festival. Saya mau belajar bagaimana caranya menjaga bumi yang cuma satu-satunya ini. Acaranya dari jam 7 pagi sampai jam 10 malam. Saya sih datang sekitar jam 10an, berdua Papap. Hikari? Hikari sudah disana dari jam 7 pagi. Dia kan jadi polisi kebersihan bersama teman-teman dari sekolahnya. Apa sih polisi kebersihan itu? Lihat disini aja ya.

Okay, then. See you there, guys!

Hot, Food, Cook

Generasi Mami saya mungkin tidak pernah membayangkan seorang perempuan, cantik, seksi, mungkin pintar, seperti saya Farah Quinn bisa menjadi presenter acara masak-memasak di tivi. Sejak munculnya stasiun tivi swasta di Indonesia, presenter acara masak-memasak yang punya tugas untuk mengajari ibu-ibu di rumah memasak biasanya berbentuk seorang ibu-ibu yang -maaf- agak overweight dan dari cara megang sendok aja sudah kelihatan dia tukang masak andal. Lalu setelah era ibu-ibu itu, muncul presenter masak berbentuk laki-laki berotot dan berjari lihai yang selalu menyapa pemirsa dengan kenes, "Halooo, ibu-ibu..." seakan-akan hanya ibu-ibu saja yang menonton acaranya. Saya kan juga nonton dan saya bukan ibu-ibu. Waktu itu.

Setelah presenter macam Farah Quinn muncul di layar tivi, berbondong-bondong orang mulai manteng di depan tivi hanya untuk melihat si Farah muncul.
Yang seumur si Mami biasanya mengomentari gaya grogi Farah saat memotong cabe atau mengaduk adonan sehingga menimbulkan prasangka: "Bisa masak beneran gak sih? Kok megang pisaunya takut-takut gitu?"
Yang seumur saya ikut nonton juga sambil komentar soal penampilan makanan yang seringkali tidak aduhai menggemaskan sambil berbaik sangka dengan berkomentar itu adalah kesalahan cameraman-nya atau malah cameranya yang tidak food-friendly.
Yang laki-laki pun ikut nonton tentu sambil berkomentar soal-soal lain yang tidak ada hubungannya dengan makanan.
Acara masak-memasak di tivi bukan lagi jadi acara tempelan sejak kehadiran celebrity chef itu.

Menurut saya, kondisi seperti itu sih sah-sah saja. Kalau saya dan para perempuan lain menggemari penampilan Jamie Oliver the Naked Chef yang menurut saya seksi saat memasak beserta penampilan masakan Jamie, kenapa para laki-laki tidak boleh menggemari Farah Quinn? Seperti para laki-laki itu, saya toh juga tidak perduli pada tujuan utama acara tersebut: supaya bisa memasak. Hitung-hitung hiburan. Daripada menonton acara masak yang tukang masaknya wajib pakai kostum sesuai negara asal masakannya? Apa enggak lebih konyol?

Yang saya kuatirkan sebenarnya adalah sifat latah orang-orang tivi di Indonesia. Saya curiga setelah Farah Quinn akan ada acara masak lain yang tukang masaknya asal perempuan, asal cakep, asal seksi, dan asal masak. Atau, lebih parah lagi, malah mungkin yang akan muncul adalah sosok perempuan cakep seksi ngetop yang enggak bisa masak sama sekali lalu disuruh untuk mejeng di sebelah tukang masak sebenarnya. Kalau suatu saat saya masuk kategori cakep, seksi, ngetop lalu muncul di tivi untuk jadi presenter tempelan acara masak seperti itu, tolong sodorkan postingan ini sama saya ya.

Selain soal latah-melatah, saya juga melihat fenomena lain di jagat acara masak-memasak, yaitu pengkotak-kotakan umat. Umat apa? Umat penonton tivi. Sewaktu saya sedang membahas acaranya Farah Quinn, seseorang menegur saya sambil bilang, "mendingan nonton acara masaknya Dapur Aisyah aja. Setting-an dia itu untuk keluarga, ada bapaknya, ada anaknya dua." Langsung illfeel
Saya kok enggak melihat memasak itu ada hubungannya dengan status KTP seseorang ya? Kalau single dan cosmo-minded, nonton Farah. Kalau family-oriented, nonton Dapur Aisyah. Gitu? Do convince me.

Acara masak-memasak yang saya gemari di tivi itu sendiri adalah acara yang menggabungkan teknik memasak dan penampilan masakan. Tekniknya harus luar biasa. Cara masukin cabe ke penggorengan harus beda sama cara orang biasa saya. Penampilan masakannya juga harus membuat air liur tumpah. Lah kan lewat layar tivi! Karena harum masakannya tidak bisa terasa, ya penampilan masakannya yang harus menggairahkan. Acara-acara masak favorit saya seperti Nigella Express yang memberikan tip dan teknik cara memasak makanan saat kepepet (seperti baru bangun tidur sementara anak-anak sudah minta makan), French Food at Home-nya Laura Calder yang memperlihatkan betapa memasak itu menyenangkan (speak for yourself, kata saya selalu), dan tentu saja Jamie Oliver yang teknik tangan belepotannya malah membuatnya terlihat seksi dan sedap. Saya paling tidak suka melihat acara masak yang presenternya kebanyakan ngomong, atau yang presenternya pakai kostum, atau yang presenternya pakai kostum lalu banyak omong...

Mengingat masakan Indonesia sangat beragam dan uenak-uenak, saya seringkali mengharapkan acara masak di stasiun-stasiun tivi negeri ini bisa sekelas Nigella, Laura, atau Jamie. Apakah Farah Quinn atau Aisyah bisa melakukan itu? Hanya mereka yang bisa jawab. Pada akhirnya, apakah acara itu bisa sukses atau tidak, lama masa tayang atau tidak, ya kembali pada kemampuan si tukang masak. Juru kamera atau kamera secanggih apapun yang bisa membuat penampakan masakan sangat menggairahkan atau membuat presenter seseksi apapun tidak akan bisa menipu indera-indera perasa pemberian Tuhan. Kan katanya cinta itu datangnya dari perut, bukan dari mata. *sambil mikir betapa berbahayanya kalimat itu bila diketahui Papap*


catatan:
-Foto Farah Quinn dari sini dan foto Jamie dari sini.
-Khatam menonton acara memasak bukan berarti anda akan langsung bisa memasak. Korelasi logis seperti itu sayang sekali tidak terjadi di dunia ini. Entah di dunia lain.

YTIE series: 4) Demolition Man

"Even by your standard, it's too harsh coming from you."


A couple of late afternoons ago a good friend of mine coming to my room and scolded me.
"I don't care how busy you are, right now you just have to listen to me!"
I looked up from the pile of paper on my table and the blank microsoft word on my monitor to comprehend him. At that time I just got back from business things I had to take care from morning and was finally able to sit my butt on my chair for less than ten minutes.
He must have seen my face because he then lowered down his tone when he made me listen to his long speech. When he finished, the only thing that could come out of my brain... and then my mouth was...
"What on earth are you talking about?"

There was this pause between us and then he finally realized I really honestly didn't know what he was talking about.
A couple of days ago, I wrote something for people. A message I thought conveying my point of view clearly. Clearly as in logically, unbiased-ly, a matter-of-factly, to-the-point-ly.
It turned out, for him, the message also contained the adjective: Harsh.
So, there is this guy, who has a personality trait as sweet as a candy even when he is truly mad, explained to me the definition of harsh.
"I was not being harsh." I said trying to show some human expressions.
"I didn't intend to hurt anyone's feeling."I explained.
"I didn't even feel anything when I wrote that." I confessed.
"It was just all... fact!"
"And I am so sorry that people can actually feel something other than what was stated."

He looked at me with that understanding face belonging to a man far older than he was and it made me remember one particular day when he was intensely raging against somebody. After his burst, I practically laughed in front of his face. I told him his anger was too sweet by my standard. Since then, he labeled me as not human for not being capable of showing some compassionate feelings. He stays being friend, good friend, to me, though.

This is not the first time people misunderstand me as being less human because I seem to have a problem of using my tone and choosing my words. My Javanese mother must have realized how un-Javanese I have become but then she couldn't do anything about it anymore. I guess I must have been born without that particular button containing with -particularly- sweetness. On some rare occasions -meetings, usually- where I use more logics and fewer empathy, I can actually feel that people sigh at my matter-of-fact explanations. Not many people like why most of the time I prefer to be logical than sweet.
Then somehow, along the years, the label sticks on me wherever I walk in the office.
Emotionally incapable of feelings.
My bad, I usually ignore the label and the image it causes. I am not Miss Universe so I'm not in for the good-image competition.

Another friend of mine once observed me like a psychologist observing a mental patient. She told me I must have chosen to be plain cold to people because it was easier to do. She said being mean is easier than being nice. I simply laughed at her at that time while making a mental note that I'd better stay away from her for the rest of her life. For her own sake. Because she said it was easier for me to be mean, if you can guess what I mean.

Well, if this can be a consolation for you, guys, it's not at all easier for me to be more direct than sweet. But being that way enables me to see things clearly in their correct proportion. I thought the world needed some balanced proportion, so correct me if I am wrong. It's not, never, about which one is easier and which one is not.

I'm a walking nightmare, an arsenal of doom
I kill conversation as I walk into the room
I'm a three line whip, I'm the sort of thing they ban
I'm a walking disaster, I'm a demolition man
Demolition, demolition
Demolition, demolition
-Sting, Demolition Man-




Ps to you: And I was not being harsh. Harsh is something that you do because you mean it. You'll know when I do mean it. Don't you always? *smile*

Been couple of days when I spotted a new flower collection at some street-vendor-ish plant nursery shop on the way home from work. It's Bunga Bulan December (Flower of December is the literal translation). I'm not sure its latin name or its official name. It's been years since I last spotted the flower let alone finding it at some nursery shop.

The sight of the flower suddenly brought memories back. It was on one of those rainy days when I asked my Dad about one red flower blooming in our garden. I was sitting behind a glass window watching the rain falling in our garden. It must have been some experience because I can still smell the rain, the wet soil, and I can still picture the wet green leaves and the shape of a red needle-like flower blooming. It's like taking a picture and saving it forever in my head. The only problem is remembering the picture gives me a feeling of longing for the past.

Seeing Bunga Bulan Desember reminds me of my childhood house that I have left but still miss. That house has too many memories -good and bad- that sometimes it's just painful to reminisce. A few years back, whenever I missed the house so much, I would have made an effort to drive past the house slowly. I never had the guts to stop in front of the house, though. I cannot imagine what the recent owners would feel when they see me. I stopped driving past the house after a couple of times. Not because the owners spotted me, but because the painful feelings grew stronger everytime I saw the house and its garden. It was not the house I left some years ago. I couldn't recognize the house and the garden anymore although the building stayed the same and the garden was there. There were just no green, no fresh leaves, no grass, no flowers. It was just bare and brown. I was broken-hearted. The past indeed belongs to the past.

The picture is taken from here and belongs to Januartha.

YTIE series: 3) Blogging Before Your Bosses

The internet connection seemed friendly tonight. I used it wisely to open my 4-year-old google reader that I had abandoned and forgotten (the password) for 3 years. Surprise, surprise, I found the blogs I used to visit a long time ago when I could open a site in a blink.

One of those old blogs I used to visit is the wannabegirl. I used to love her pictures and smile at her words. Then tonight I read her post: blogging under pressure. And I felt relieved knowing that I am not alone.

Blogging used to be easy when I knew that only strangers read this crap. Now I’m always worried I’d offend anyone I know if I spoke my mind. -wannabegirl-


Months ago, one of my superiors approached me in a gathering. I rarely talked to him at the office besides we didn't share the same office building. He came to me and said those black-magic words, "You have a very nice blog."

Instead of feeling proud, I felt so discombobulated. Since then, I have been worried too much every time I want to blog about my office life. Crap! Why is it when the office cannot provide you with stress-related insurance, they kill your blogging mood? It's just not fair.

But, enough is enough. I refuse to be intimidated by rank or position or connection or politically correct blogging topics. Starting from today, I will blog selfishly, emotionally (if I have to), ignorantly, mindlessly! And you (pointing my finger to him)! Go get yourself another blogger to mood-kill!

Biar Kuganti Dulu Kacamataku

Wajah teman lama saya dalam bingkai foto muncul di layar komputer beberapa bulan yang lalu. Sejak itu setiap hari saya selalu ditemani wajahnya tak peduli apakah saya sedang ingin ditemani atau tidak.
Hari ini dia berpose seperti ini. Hari lain posenya berbeda.
Hari ini dia tersenyum di Jakarta. Hari lain dia tersenyum di Singapura.
Hari ini dia menjadi penghuni dunia dugem. Hari lain dia menjadi penghuni ruangan licin seorang eksekutif.
Hari ini dia adalah seorang perempuan single yang gembira. Hari lain dia menjadi perempuan keibuan dengan seorang anak lucu di sebelahnya.
Bersama dirinya saya mengelana dari acara ke acara, dari kota ke kota, dari mood ke mood, melalui bingkai foto.
Sayangnya, saya tak pernah sempat membuka album fotonya yang sepertinya lengkap mengingat jumlahnya sudah ratusan.
Atau mungkin saya tidak berani membukanya.

Perempuan dalam ratusan foto itu seperti bukan orang yang saya kenal bertahun-tahun lalu.
Dalam kekaguman saya akan keceriaan tawanya di foto, kesuksesan penampilannya di foto, keanggunan gayanya di foto, saya merasa ditarik menjauh darinya. Atau dia menjauh dari saya. Saya tidak tahu. Dan saya sedih.

Malam ini saya melihat wajahnya lagi. Lengkap dengan dandanan dan rasa percaya diri yang tidak pernah saya kenal sebelumnya. Tiba-tiba perasaan itu hadir lagi. Dia menjadi sesuatu yang asing. I just cannot see the person I knew a long time ago.

No. Wait.

Biar saya balik dulu keadaannya.
Bertahun-tahun lewat dan pada satu hari wajah saya muncul di layar komputernya.
Lalu dia melihat saya lewat bingkai foto-foto.
Hari ini saya di Jepang. Hari lain saya di Bandung.
Hari ini saya memeluk Hikari. Hari lain saya memeluk Keanu.
Hari ini saya tertawa tergelak. Hari lain saya bergeming mencoba serius.
Hari ini saya berkaos. Hari lain saya berbatik resmi.
Apakah dia masih mengenali saya?

Bertahun-tahun lewat. Saya harus mengganti kacamata saat saya melihat wajahnya nanti.

YTIE series: 2) Find a Different Angle


Beberapa bulan ini saya lagi punya mainan baru. Saya dan 3 manusia kurang kerjaan lain sedang menggarap sebuah blog komunitas bersama. Komunitas apa? Komunitas pendidik(an). Siapa anggotanya? Rencananya guru-guru. Rencananya.... karena sampai sekarang anggotanya baru kita berempat hehehe...

Bikin mainan bareng guru ternyata njelimet: detail-oriented, visual-auditory-kinesthetic styles jadi satu, apa-apa dipikirin, doyan mendebat, setiap kalimat dikupas kalo perlu dicari referensi di kamus, senangnya voting, dsb, dsb. Hal terakhir di permainan ini yang bikin pusing-pusing-gokil adalah saat harus merancang blognya. Astagaaaaaahhhhh.... si Daff sempat-sempatnya menggambar rancangan itu di kertas! Pake pensil warna segala!

Nah, soal warna di kertas warna itu yang akhirnya jadi pusing si perancang desain blognya karena kami mau warnanya MARUN, bukan PINK, bukan MERAH, tapi MARUN! Blog gak jadi-jadi karena warna marun yang dimaui oleh umat gak pas melulu. Sampai akhirnya saya menemukan warna marun di Mas Wiki. Setelah berhasil menemukan berbagai shade dari marun, saya segera mengirim email URGENT ke 3 orang kurang kerjaan tadi. Saya minta mereka memilih marun yang mana yang mereka suka. Hasil email urgent itu? Gak ada yang jawab!

Satu jam lewat lalu teman saya yang paling rajin, si Daff, menelpon. Pesan Daff singkat: gue ngikut pilihan elu aja deh. Hayaaaahhh...

Lalu, jam 4 lewat, waktunya pulang kantor, satu makhluk lagi nongol. Si Je datang melongok ke ruangan saya yang langsung saya gebrak-gebrak.
"Lo milih warna marun yang manaaaaaa?"
Setelah memberikan alasan sana sini yang jarang bermutu, Je akhirnya mau juga mengecek warna itu di layar komputer saya.
Layar komputer saya itu berada di sisi kiri meja saya dan Je duduk di seberang meja. Jadilah si Je melototi layar hanya dari sisi kanannya.
Dia pun berkomentar, "Yang nomor 3 bagus."
Yang saya jawab dengan semprotan, "Hah? Pink begitu? Itu pinkkkkkk!"
Dia balik nanya, "Emang elu yang mana?"
"Yang nomor 6."
"Kok nomor 6 sih? Emang itu marun?"
"Ya marun lah dibanding nomor 3!"
"Itu enggak marun lagi!"
"Marun!"
"Itu biru!"
"Biru darimana?! Lo buta warna kali ye?"

Setelah beberapa menit saling menghina, Je akhirnya mau bangun dari kursi, berjalan menghampiri sisi saya duduk, dan mengusir saya mentah-mentah. "Awas lo!"
Sampai di depan layar komputer, dia ketawa ngakak.
"He, elu liat deh dari tempat gue duduk tadi. Warnanya biru, tau!"
Saya pun berjalan ke tempat dia tadi duduk. Dan ternyata saya juga menemukan deretan warna yang jauh berbeda dengan yang saya lihat bila saya duduk langsung menghadap ke layar.

Pesan moral saya kali ini adalah coba lah untuk mengangkat pantat anda dari tempat duduk nyaman yang sedang anda duduki dan berjalan lah ke sisi lain yang berbeda. Kadang-kadang, hanya dengan melihat sesuatu dari sisi yang berbeda, satu hal bisa terlihat berbeda pula. It's not easy to make yourself leave your comfort chair, but it's worth the truth. Untung saja si Je mau berdiri dan mencari tahu dari sisi yang berbeda. Kalau enggak, bisa-bisa kami menghabiskan hari ini dengan saling menghina tanpa dia tahu bahwa saya ternyata yang benar hahahaha....

You Think It's Easy Series: (1) The Office-lit of Facebook

I was not aware at first why I didn't have the names of my colleagues in my facebook's friends list. Until a guy asked me about my facebook's name.
He said he had browsed my name without success. He had tried so many different combinations yet he had no luck finding my name. Of course. He didn't know my husband's name, that's why.
He asked me why I used my husband's name because he always assumed I was that kind of woman who belonged to a feminist group and refused to use the husband's name. I saved him from details and saved myself the energy and time for explaining that I didn't belong to a feminist group (or any group) because I hardly had time to kopdar and I didn't really like to use my husband's name because of the inconveniences of changing a lot of documents.
Anyway, he did asked again why I used my husband's name for my facebook's name and why I didn't have people from the office to be in my friends' list.

I got in touch with facebook when I was in Japan a few years back. The people who introduced me to facebook were my husband's friends who never knew my real name. Hikari and I were called by Papap's name all the time. Hardian san, Hardian san! Imagine if the three of us were present at one occassion!
Second question, my friend asked, why I didn't invite my friends from the office?!
I wanted to say it was none of his business but he was kind of a nice person so I held back the words. But eventually I did say that I saw no reason to add people I meet everyday into my facebook. Isn't that why facebook was created? To connect long-lost friends or far-away acquintances?
Anyway, again, I eventually did add some colleageus in my facebook. I also accept invitations even from those I never really talk to at the office. How silly. One thing I never do is removing someone from my friends list.

As soon as my facebook's name went public, more and more friends add me. A long-lost friend from school asked me to participate in our class reunion. When the date was agreed among my school friends, I realized I couldn't make it. My friend persuaded me. She tried hard to make me come. She even said, "Don't you miss us?"
Well...
I was about to answer, "Do you really want to know the answer?"

Other than those moments, everything in my facebook life seemed fine. I talked to people, shared status, observed their life, saw their photos, etcetera. My very-big boss even invited me to be his petsociety friend. Everything was fine. Was. Until a year ago.

I found out I was removed from my friend's list. She had a disagreement with me in the office and then removed me -of course without me knowing it until gossips spread. Before removing me, this person badmouthed the office in her status and notes. All of these I never even once responded because I thought it was inappropriate to say things about our own office in front of strangers. Then she faded away from my facebook world and thankfully from my life.
Then life turned out normal again in facebook. Not for so long, though.

A few months ago, there was this incident in the office. I was not involved but my friends from the same corps were. The incident became really ugly in and outside the office. Some disatisfied people badmouthed my friends in facebook and suddenly everybody who is somebody knows about the incident. I regretted how the incident had developed but again I didn't say a word. Responding to the endless threads seemed illogical to me. It only brought negativity to my real world. I was just sorry how some people didn't realize that the two worlds should be separated.

The burning incident seemed to cool down a bit as time went by. Or so I thought.
A few weeks ago there was another incident at the office (and I wonder why I still stay...). A disatisfied colleague vent out her anger in the office. When she didn't get the attention she desperately wanted, she wrote things in her status. Some people responded to her status, even those who didn't understand the issue at all!
I was confronted with a difficult decision: to respond or not to respond. I knew one of the people she wanted to aim at was me. She did mention my name twice in a room full of people after all. The words were formed in my head and I was just waiting for the trip to arrive home and then sit in front of the computer and typed the words. Words are my friends and facts are on my side, who is she to challenge me? The trip home suddenly felt very long. I couldn't wait to right the wrongs.

Finally I arrived home. Totally irritated.
The door opened and Hikari ran to me excitedly. He hugged me and took my hand inside the house. He showed me a new book from school and asked me to read it. After reading it for him for a few minutes, he kissed me and said he loved me. That time my head became very clear and my heart became very light. Who am I to decide how people should act?

That night I sat down in front of the computer light-hearted. The words in my friend's status were still burning and the comment space seemed inviting. It's not easy to keep quiet and refrain myself from defending myself. Especially if you know you do no wrong. It's not easy. But I did it anyway. Or, in this case, I didn't do it anyway.

It was suddenly very clear to my eyes the thin line between my real world and my facebook world. It is also clear to me that many people don't realize that. We are disatisfied with our own office and we wrote all of those negativities in our status. Everybody who is nobody to the office read our status. What for?

It's not easy to not get involved in the office-lit of facebook. It's not impossible, either.

Die Like Everyone Else

How difficult is it to handle 5000 cows in your farm?
How difficult is it to herd the 5000 cows in a vast land to grass?
How difficult is it to sit on the back of a jumping horse in a rodeo?

It turns out it is not as difficult as trying to wear pants with your koteka on.

I just watched a new program called Meet the Natives: USA aired at the National Geographic channel. From the program ad, I'm sure everyone could imagine how interesting this program is. Five tribespeople from Tanna island in South Pacific (Vanuatu) are sent to the USA to taste the life in that superpower country (they claim). I was laughing right from the start of the program to the end. What else should I have reacted when those five people (two of them are the village chief and the medicine man) got confused on how to wear clothes. When they had to wear the pants, they complained because they couldn't insert their koteka-like equipment to the pants. I'm sure you'd have a very difficult time doing it too! Oh, and don't think of taking it off!

These five Tanna men went to Montana first to live with a family of 5. The family own a big land for their 5000 cows. The Tanna men called them Cowboy people.
First, the Tanna men asked, "why do you want to keep 5000 cows for yourself?"
Second, they asked, "why don't you let the cows eat fresh grass instead?"
After that, they asked, "why don't they keep other animals too? Like chickens, or pigs, or goats?"
Then, they asked, "why do you insert drugs (vitamin) to the cows and their food? Won't that make the meat unhealthy to eat?"
On and on they asked questions unthinkable to the farm owner.

When they were given cigarettes to smoke, they asked if it is good to smoke.
The man said it was probably not. He already had cancer once and got chemotherapy for a year.
The Tanna men stared at the lighted cigarette in their hand with worries and incomprehension on their face.
"Why do you keep smoking, then?"
Good question left unanswered.

One Tanna-man asked his chief whether it is better to keep one kind of animals instead of some like what they do in their village.
The chief, a man with no formal education only wisdom, answered the village don't need too many. They should only keep what they need. And they don't need many.

After 5 days in Montana, it was their time to go. The chief was standing at the fence of the big farm looking at the cows and everything.
He said, "A man with a lot of cows, a big land, and a lot of money should now find out the way to live forever. It is such a shame to have a lot of cows, a great farm, and a thick wallet if he dies like everyone else."



Die Like Everyone Else

Forget about God, heaven, or hell. Everybody must die one day. Presidents, kings, queens, celebrities, the riches, and the poors. There is no exception.
We can have all the money in the world, yet we still have to die someday.
We can be in the list of 100 beautiful people in the world for 10 consecutive years, still we will find our heart stop beating someday.
We can be the Nobel-prize-winning head of state, but then we cannot make a deal with the death to make you an exception.

So, by the end of the day, after everything is said and done, we are trully insignificant except for our good deeds.

photo: http://www.ngcasia.com/

Aren't you glad we are not Japanese?

Rame-rame para pengurus negeri belum selesai juga. Bukannya menonton dengan seksama, saya memilih tidur. Pesimistis? Trauma? Apatis?
Gak. Capek aja setelah seharian kerja jujur.

Kalau saya boleh menggunakan gaya saya dalam mengatasi keruwetan negeri ini, saya mungkin akan menghabiskan satu generasi untuk memunculkan pembaharuan. Mirip-mirip dengan teknik menghilangkan bekas jerawat dan bolong-bolong di wajah lah. Kan harus dikelupas dulu kulit paling luar wajah kita itu supaya bisa mendapatkan kulit wajah baru yang segar, muda, dan sehalus pantat bayi. Caranya bisa dengan diolesi obat kimia yang ampuh sekelas air keras atau disinari laser. Walaupun hal ini juga tergantung dari seberapa tebal lapisan kulit wajah kita, seperti juga tergantung dari seberapa tebal lapisan generasi negeri ini yang bopeng-bopeng.

Bila mengelupaskan satu generasi terlalu sadis, mungkin bisa melakukan seppuku? Bunuh diri model Jepang yang caranya adalah dengan menyayat perut sampai usus terburai lalu mati? Mungkin karena Jepang hanya menjajah negeri ini sesingkat 3.5 tahun, mati gaya usus terburai tidak menjadi tren bagi para pengurus negeri ini. Tapi, coba bayangkan apa yang terjadi seandainya seppuku menjadi tradisi di negeri ini juga...
1. Hari-hari belakangan jumlah orang bunuh diri gaya usus terburai mendadak meningkat tajam.
2. Rumah sakit -terutama bagian kamar mayatnya- penuh.
3. Polisi kehabisan tenaga untuk menyidik.
4. Petugas medis dan ambulan kehabisan napas mengambil pelaku bunuh diri dari tempat kejadian ke rumah sakit.
5. Lokasi-lokasi pemakaman tertentu padat manusia.
6. Karena lokasi-lokasi tertentu mendadak padat, macet muncul dimana-mana.
7. Pengurus negeri yang tersisa harus ngelayat kesana kemari.
8. Karena pengurus negeri yang tersisa harus ngelayat, negeri yang diurus mereka pun terbengkalai.
9. Karena negeri terbengkalai, rakyat miskin bertambah banyak.
10. Karena banyak yang mati bunuh diri, para pemuka agama ramai-ramai mengutuk mati gaya baru ini.
11. Karena pemuka agama mulai main kutuk-mengutuk, rakyat kesal dan melakukan demo.
12. Ketika rakyat kesal, fesbuk penuh dengan acara dukung mendukung.
13. Jumlah dukung mendukung di fesbuk menjadi meningkat membuat media massa belingsatan karena bad news is good news.
14. Media massa keranjingan menayangkan urusan bunuh diri sampai urusan dukung mendukung di fesbuk.
15. Karena media massa keranjingan menayangkan urusan-urusan yang dimulai dari para pengurus negeri, film kesayangan saya CSI tidak ditayangkan sampai waktu yang tidak ditentukan.

*mikir*

Ganti teknik lain aja ya?

Bawa Pertemananmu ke Tempat Lain Saja

Pernah dengar iklan kampanye bayar pajak? Yang bunyinya kira-kira begini...

"Tok tok tok..."
"Hai, Wan!" (nama disamarkan)
"Hai, Ton!"
"Wah, sudah lama kita tidak berjumpa ya?"
"Iya. Gimana kabarmu, Ton?"
"Aaah, ini loh. Perusahaanku ditagih pajaknya."
"Ooooh." (sambil tertawa terpaksa)
"Ternyata besar juga ya?"
Benar-benar tertawa terpaksa.
"Untung aku punya teman disini." (sepertinya pakai kedip-kedip mata) "Bantu lah aku. Jangan kuatir deh. Nanti aku kasih ehem ehem buat kamu."
"Wah. Maaf, teman. Aku tidak bisa. Aku sudah bersumpah kepada negara... bla bla bla..."
"Ah! Kamu kan temanku! Sok suci kamu!"
Gubrak! (Banting pintu)
"Ada apa, Pak? Ada apa, Pak?" (suara anak buah panik)
(Tersenyum bijak) "Tidak ada apa-apa. Hanya orang yang mencoba untuk membujuk saya berbuat yang tidak benar."
(Suara hati bicara) "Ternyata kamu yang bukan teman sejatiku. Kamu memaksaku berbuat yang tak sesuai dengan hati nurani bla bla bla..."

Basi banget, kan?
Yet, it sticks in my head like... forever.

Coba baca lagi kalimat terakhir si tokoh baik budi ini.
"Ternyata kamu bukan teman sejatiku."
Mirip dengan kalimat pada iklan anti narkoba.
"Teman sejati tidak akan membuatmu mati."
Yang sepertinya cocok juga dipakai untuk iklan anti teroris.

Saya membayangkan diri saya sebagai petugas pajak itu.
Terjepit antara kewajiban untuk berbuat jujur dan kewajiban untuk menjaga nilai pertemanan.
Saya membayangkan diri saya sebagai si korban narkoba itu.
Terjepit antara keinginan untuk lepas dari obat laknat itu dan keinginan untuk menyenangkan teman.
Karena saya bukan petugas pajak dan bukan korban narkoba, dan bukan pula petugas pajak yang terkena narkoba, saya mudah sekali bilang, "ya, jangan mau berteman dengan dia! Teman kok menjerumuskan begitu!"
Tapi kalau anda pernah berada pada posisi dimana nilai kesetiaan anda diuji oleh teman anda dari kesediaan anda mengikuti apa mau si teman.... ehem... ternyata tidak mudah ya.

Di luar kemasan iklan yang basi itu, saya mendapati suatu pesan bijak -yang entah sengaja atau malah tidak sengaja keluar dari iklan itu- akan nilai pertemanan.
Kamu kan temanku. Kenapa kamu tidak mau menolongku?"
"Katanya kamu kan temanku. Kok tega kamu membiarkanku begini?"
"Apa artinya kamu jadi temanku kalau kamu tidak mau mengikuti mauku?"

Dia yang berpikir temannya seharusnya mau menolong dia dengan cara mematikan hati nurani sesungguhnya tak pantas kita jadikan teman.
Seorang teman tidak akan pernah menaruh diri kita pada posisi dimana kita harus membutakan mata keadilan dan membisukan hati nurani hanya demi dirinya seorang.
Bawa pertemananmu ke tempat lain saja.

Muhasabah Cinta

Pulang dari Pesta Blogger 2009 tanggal 24 Oktober yang lalu, saya mendapat kejutan lagi. Ada sebuah paket berbungkus kertas coklat dengan kertas pengantar tertera nama Lingkar Pena disana. Tak sabar saya robek pembungkusnya dan...

Alhamdulillah, tulisan pendek saya berjudul Cinta Tak Selalu Merah Muda masuk dalam buku kumpulan cerita pendek Asma Nadia dan kawan-kawan. Buku itu telah terbit di tengah bulan Oktober. Ternyata.

Ini memang kejutan karena sudah lama sekali (lebih dari setengah tahun) saya tidak mendengar kelanjutan dari proyek buku itu. Bahkan, Mbak Asma sekarang sudah di luar negeri.

Eniwei, saya berharap buku ini berguna bagi yang membaca karena berisi curhatan penulis-penulisnya. Pengalaman jelek, jangan ditiru, yang baik, silahkan diingat-ingat. Mau tahu sedikit lebih banyak tentang bukunya? Lihat aja disini.
photo source: anadia.multiply.com

Not a Contest. It's a Sharing.

Tengah malam sebelum pagi hari Sabtu datang, saya berusaha membuka yahoo account saya. Berusaha dengan susah payah karena koneksi internet di rumah saya dodolnya gak ketulungan. Setelah bolak-balik refill kopi, kelar dua slide presentasi, ngutak-ngatik status FB, barulah inbox saya terbuka.

OHO? Ada email dari panitia Pesta Blogger 2009. Apa nih?! Saya klik email itu dan... saya harus menunggu seabad kemudian untuk melihat isi emailnya...

Beberapa saat kemudian...
Penantian saya berbuah manis. Sebuah surat undangan terpampang indah di depan mata saya.

Kepada Yth.
Ibu D Mariskova
Pemenang Lomba Menulis Pesta Blogger 2009
di tempat



Saya jingkrak-jingkrak joget-joget ketawa-tiwi sendirian dan dalam silent mode karena si Papap dan Hikari sedang tidur nyenyak. Alhaaamdulillaaaahhh.... Dan hari Sabtu kemarin, saya dipanggil ke panggung di PB09 untuk menerima hadiah sebagai pemenang kedua! Alhamdulillah!

Walau klise, saya terus terang tidak menyangka akan menang. Selain karena pesertanya seratusan orang, tulisan Pemenang itu saya tulis bukan untuk ikut lomba PB09. Tulisan itu saya tulis karena terinspirasi dengan upacara bendera di sekolah Hikari. Dan ketika saya lihat Writing Contest PB09 mempunyai tema yang sama, saya kemudian mengikut sertakan tulisan itu. Gak pernah saya mimpi bisa mendapat perhatian dari Arswendo Atmowiloto dan Ndorokakung!

Eniwei, satu hal yang membuat saya terharu menjadi pemenang lomba itu adalah perasaan bahwa saya bisa share sesuatu kepada manusia sejagad raya internet yang bisa Bahasa Indonesia. Bahwa sharing saya itu dibaca orang lain, dan mungkin (mungkin) menginspirasi orang lain. That's what blogging is about, for me. You write, share, and inspire.

Terima kasih kepada panitia, juri, dan teman-teman yang sudah memberi komentar di post tersebut. Juga kepada Daffodil, Je, dan Sanjaya_ken yang kebahagiaan mereka melihat saya bahagia terasa lebih besar dibanding kebahagiaan saya sendiri. Terima kasih kepada teman-teman yang selalu menyemangati saya menulis. Dan terutama, terima kasih kepada para siswa teman-teman Hikari, anak-anak Indonesia yang ikut upacara bendera waktu itu. Kalian telah mengajarkan saya arti nasionalisme dan pluralisme sesungguhnya dalam wujud yang paling bening.

photo source: pestablogger 09

Pencerahan yang tiada akhir...

Alhamdulillah untuk kehidupan,
untuk jiwa yang tidak pernah tersesat,
untuk pencerahan yang tiada akhir,
dan untuk hidup yang penuh makna.
Alhamdulillah.


Puitisnya kalimat-kalimat di atas menusuk-nusuk hati saya. Kalimat itu bukan buatan saya, melainkan buatan dia. Kalimat itu bukan untuk saya, tapi untuk dia. Tetapi saya ikut terpekur menyadari kenyataan bahwa saya mungkin lupa berterima kasih untuk apapun yang saya punya di hidup saya. Bagaimana dengan anda?

Alhamdulillah untuk kesempatan memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan sepanjang hidup.

Beberapa bulan lalu saat sedang makan siang nikmat dengan teman di kantin yang panas membara HP saya berbunyi. Nomor tidak dikenal tapi dimulai dengan 0818.
"Halo?" kata saya.
Suara laki-laki berlogat bukan Jawa, bukan Betawi, bukan Sunda, terdengar di seberang sana.
"Selamat siang, Ibu. Saya dari XL dan ingin mengabarkan kabar gembira...." kalimatnya digantung.
"Ya?" jawab saya. "Seberapa gembira?"
Suara orang menelan ludah terdengar disana.
"Dalam rangka ulang tahun XL yang ke... (saya lupa secara saya enggak pernah inget angka), XL bekerja sama dengan TransTV mengadakan undian berhadiah. Daaan.... ibu salah satu pemenangnya..."
"..........."
"Bu? Bu?"
"Iya. Trus kenapa?"
Suara laki-laki menahan kesal.
"Ibu mendapat hadiah."
"Hadiah apa?"
"Uang sejumlah tiga juta."
"Cuma tiga juta?"
Suara laki-laki berusaha keras menahan kesal.
"Tolong Ibu catat nomor registrasi pemenangnya ya."
"Sebentar. Saya gak punya pulpen."
"Sudah, Bu?"
"Sebentar!"
"Nomornya...3f8e1c1d1a..."
"..........."
"Bu?"
"Ya?!"
"Bu, untuk mentransfer hadiahnya, kami memerlukan nomor rekening Ibu. Sekarang."
"Gak bisa."
"Kenapa?"
"Saya lagi nyupir."
"Bisa diambil kartu ATM nya aja untuk dilihat nomor rekeningnya?"
"Saya lagi nyupir. Bapak mau saya kecelakaan?!"
"Kalau gitu Ibu segera ke ATM terdekat aja."
"Gak bisa."
"Kenapa?"
"Saya lagi nyupir di jalan tol!"
Suara laki-laki tidak sabar.
"Kapan Ibu bisa segera ke ATM?"
"Sejam lagi. Biar saya aja yang telpon Bapak. Nama Bapak siapa?"
"Ibrahim Saleh."
"Oke."
Tuuuuuuuuuut. Telpon saya matikan sambil tertawa ngakak.

Sabtu siang, nomor telpon 0818906023 menghubungi saya. Suara laki-laki berlogat (lagi-lagi) bukan Jawa, bukan Sunda, bukan Betawi, terdengar.
"Selamat siang, Ibu. Saya dari XL ingin memberi tahu kabar gembira."
Saya menghela napas. "Lagi?!"
"Maksudnya?"
"Kabar gembira apa?"
"Dalam rangka ulang tahun XL kelima, kami memberikan hadiah kepada pelanggan XL."
"Terus?"
"Ibu salah satu pemenangnya."
"Terus?"
"Ya, Ibu menang."
"Ya, terus kenapa?"
"Ibu akan mendapat hadiah."
"Terus?"
"............." laki-laki itu diam.
"Ya? Terus kenapa kalau mendapat hadiah?!"
"Ah, sudah lah. Tak jadi lah, Bu!"
Dia langsung mematikan telpon.
Sialan! Harusnya juga gue yang matiin telpon duluan!

MY(!) McGyver

Sewaktu baru menikah, mama mertua saya pernah mewanti-wanti saya di depan anaknya, si Papap. Kata beliau, jangan pernah sekali-kali membiarkan si Papap bereksperimen dengan peralatan di rumah. Akibatnya bisa saya harus keluar duit untuk beli alat yang baru.
Alaminya, wanti-wanti mama mertua saya tidak digubris Papap. Ibarat ulat bulu yang ijo melihat dedaunan dan bunga-bunga Adenium saya, Papap juga selalu ijo liat mur, tang, dan gagdet rusak. Dari senter sampai mobil, semua dibongkar. Papi saya, si Kumendan, sempat stress liat kelakuan mantunya. Kenapa stress? Pak Dhe Mbilung bisa menjelaskan dengan singkat tepat dan padat: setiap mbongkar, lalu memasang kembali, selalu surplus mur satu.

Korban parah terakhir Papap adalah pipa air untuk shower di rumah kami.
Ceritanya pada suatu hari, Papap ingin memasang hanger untuk shower yang posisinya di atas kepala. Jauh-jauh hari, Papap sudah mengkomunikasikan keinginannya ini pada saya. Saya, seperti yang sudah-sudah, cuma bereaksi kalem: diam saja. Papap ternyata pantang mundur maju tak gentar. Dibelinya seperangkat alat shower lengkap, tanpa ijab kabul. Lalu dia pun mulai menukang. Seperti yang sudah-sudah, saya juga mencoba untuk berbicara kepadanya. Beberapa kali.
Gak panggil tukang? Gak panggil tukang aja? Pap, gak panggil tukang ajaaa?!
Jawaban Papap selalu standar: Ah, gak perlu. Gue juga bisa.
Bayangkan kegaulauan hati saya!

Papap pun memilih hari baiknya dan mulai menukang. Dia mengambil bor dan mengambil ancang-ancang untuk membor dinding kamar mandi pas di garis di atas shower yang pendek. Tidak sampai semenit kemudian yang saya takutkan terjadi: AIR MUNCRAT DARI DALAM DINDING! Papap dengan sukses membor pipa air yang tersembunyi di balik dinding kamar mandi.
Kejadian setelah itu sangat logis. Air merembes ke ruangan dibaliknya yang kebetulan kamar kami. Pipa air bolong susah ditambal. Dan pompa air harus dimatikan yang mengakibatkan kami krisis air mandi. Anda tahu apa yang Papap lakukan setelah melihat bornya menembus pipa? Papap berseru-seru pada saya, "Lihat! Lihat! Ternyata bolongnya disitu!"
Coba tebak reaksi saya...

Setelah kejadian itu, Papap yang memang terbukti sebagai laki-laki bertanggung jawab segera melesat ke toko bangunan. Setelah dia selesai mengganti pipa bangunan, saya mendapat pemandangan dinding kamar mandi yang bolong berhias pipa air. Permintaan saya untuk memanggil tukang untuk menyemen dinding jelas ditolak lagi oleh Papap. Dia menyemen sendiri dinding kamar mandi kami. Dan sekarang saya mendapat hadiah dinding kamar mandi yang bocel-bocel keramiknya.

Kamar mandi dengan keramik bocel, raket nyamuk yang beralih fungsi menjadi mainan Hikari, handphone Nokia yang kameranya jadi tidak fungsi setelah dibongkar, mini dvd player yang tidak bisa muter lagi karena sparepartnya dicabut-pasang, power window mobil yang bunyinya jadi mirip timba sumur... adalah contoh kreatifitas Papap. Kreatifitas yang hasilnya saya rasakan selama delapan tahun ini. Kreatifitas yang seringkali membuat darah tinggi saya kumat.

Hari senin lalu, Jakarta rupanya sedang merayakan Hari Macet Sedunia. Saat pergi ke kantor saya sudah dihadang macet 2 jam. Senja hari saat pulang kantor saya terkena antrian di pintu gerbang tol yang sudah ratusan meter panjangnya. Saat sedang mengantri, jantung saya hampir copot karena temperatur mobil tiba-tiba naik, naik, naik, naiiiiikkkk.... Saya langsung kasih sen kanan, banting setir, memotong jalan orang, dan keluar dari antrian masuk tol. Berdasarkan pengalaman, saya tahu saya hanya punya waktu beberapa menit saja untuk menepi sebelum radiator saya meledak. Kejadian yang pernah saya alami 5 tahun lalu.
Saya berhasil minggir dan mematikan mobil, tanpa peduli klakson mobil dan motor yang merasa terganggu karena celah jalannya dihalangi oleh saya. Semenit saya duduk di mobil tanpa tahu harus melakukan apa. Saya bukan perempuan bengkel. Saya jenis pengendara mobil yang bisa berpikir perubahan pada posisi spion mobil bisa membuat mobil mogok. Yang kemudian saya lakukan adalah menelpon Papap. Dan ketika telpon itu tidak dijawab -karena Papap pasti sedang memacu motornya di jalan pulang juga- saya hanya bisa pasrah mengetik sms sambil berharap si Papap tidak mengaktifkan silent mode di handphonenya.

Pap, temperatur mobil naik. Aku mogok di pinggir jalan di Pedati.

Setelah itu, saya bengong selama sepuluh menit di pinggir jalan diantara kemacetan dengan kaca jendela tertutup dan tanpa ac.
Tiba-tiba, handphone saya berbunyi. Nada dering yang saya pasang khusus untuk Papap. I could kiss him right there right then just to know that he called. Tigapuluh menit kemudian, Papap muncul di depan saya dan saya memandangnya seperti ksatria baja hitam yang datang menyelamatkan saya. I couldn't care less about Keanu Reeves at that time. Of course, unless Keanu could save me from my broken car.
Masih dengan jaket motor lengkap beserta sarung tangannya, Papap langsung membuka kap mobil. Handphone dipakai untuk senter, pisau swiss armynya dipakai untuk membuka mur di sana sini, beberapa botol yang saya tidak jelas isinya dikeluarkan dari bagasi. Papap langsung beraksi di pinggir jalan yang ramai. Dua puluh menit kemudian, temperatur mobil sudah distabilkan dan Papap pun memberi instruksi pada saya.
"Jalan aja. Aku ngikutin kamu dari belakang."
Mendengar kalimatnya, semua rasa takut dan khawatir saya hilang. Saya menyetir mobil dengan hati ringan. Walau jalannya mobil belum mulus, saya tak kuatir. Bayangan Papap di motornya di belakang mobil yang saya stir, sudah cukup untuk membuat hati saya tenang.

Lima belas kilometer perjalanan saya pulang ke rumah hanya satu yang saya pikirkan. Kejadian tadi membuat saya mengingat kembali kenapa saya bersedia menikah dengannya delapan tahun lalu. Betapapun Papap sering menguji level darah tinggi saya, saya selalu tahu satu hal tentang dia. He won't let anything bad happen to me.

Papap tersayang, selamat ulang tahun perkawinan yang kedelapan. I love you. I love you.

ps: terima kasih untuk mawar (pertama setelah 8 tahun pernikahan)nya. Aku akan pura-pura tidak tahu kalau kamu membeli itu di Kalimalang saat naik motor pulang ke rumah.

In Friends We Trust

To modern people like you and I, a friend means a lot more than just someone we meet on the street, at work, in KRL Jakarta-Bogor, etc. One Facebook's fortune cookie even mentions that one's greatest fortune is the large number of friends one has.

A friend oftentimes has more impact on us than our parents or siblings do. When we you get dumped, the first person you share the story with is your friend. Not your mom, especially not your father. When our office life is like hell, the one you share the details with is your friend. Not your brother or sister. When you are caught cheating on your boy/girlfriend, the one who finds it out first is your friend. Not your family members. We hardly share important-emotionally challenging issues in our life with our mother/father/brother/sister. When we talk to them, it is usually when we get promoted, when we get promoted, or when we get promoted.

Without disrespecting our parents and siblings, there are tons of reasons why we don't share our day-to-day stories with them.
1. There is always a speech following the storytelling session. I don't know about you, but I'm really not a good speech audience. And mind you, the speech can last more than a week.
2. This can come with the speech, or separately: the accusation. You are the problem, not the problem itself.
3. The insults, especially from your siblings. How could you be stupid like that?
4. There is this need to act like a good child in the eyes of our parents, even if you have to fake it.
5. There is this need to act like we are smarter than the rest of the world population in the eyes of our parents, therefore we never make mistakes.
6. ..................... (fill in yourself).

Friends, on the other hand, seem to always be there and do the right things when we have problems. Besides...
1. Our encounter with them is always meaningful (in the office handling difficult jobs from difficult boss).
2. Our encounter with them is always in the 'quality time'. From 8 to 5, Monday through Friday. The time when we meet our parents and siblings is usually before sunrise and after sunset.
3. Friends don't give us speech. If they do, they would never be our friends in the first place.
4. Friends don't insult our stupid action in front of us.
5. Friends give us applicable solution, no matter how silly the solution will seem to be in the future.
6. We don't need to be somebody else when we are with our friends. There is no demand to be the most perfect one. Friends don't do perfect.

Disagree?
Sure, you may argue that friends are not that all-angelic. You may argue that blood is thicker than teh botol you share with your friends. Well, you may not confide with some friends, but you do keep a short list of friends in the innerside of your heart. Don't you?

Then, what if that one friend you keep in your very very very short list hurts you?
Probably you would reconsider the definition of friend. You'd change the friend term in wikipedia if you could. You'd check if what that person does can be considered a crime and so it can justify you to send that person to jail. You might spam on Facebook bad-mouthing that person, or you'd close your Facebook account all together. Or, you'd just remove that person from your Facebook friend's list...

I, myself, have to admit that I don't really have that many friends out there. It's not because I am choosy. It's actually -well- embarassingly because those people can't stand me. And when some people can stand me, they usually fill my list of friends easily. And when they are in my extremely very short list, I usually regard them highly. I usually trust them without doubts.

But, again, as you may argue, even the friends in our very short list might hurt us, intentionally. I know. I have been there. And I should say the 'forgive but don't forget' thing is bull****. You can't forget, let alone forgive. No matter how hard you try. Trust me, I had tried really really really hard. The trying hard to forgive and forget is really exhausting. When it is not successful, it is not only exhausting but also frustrating. My heart is drained.

On the eve of this year's Eid El Fitr, I was in the car to visit some relatives. The sound of incoming sms filled the car continously. My friends sent me Eid Mubarak's greetings. Some sent me similar message, some sent me sms with greetings so beautiful that I kept them in a separate box. You might say that those people sending the sms might not really mean what they sent. You might argue that Eid Mubarak sms is just a trend, not a sincere request.

I don't care.
The fact that someone is willing to spend some Rupiah to send the greetings is touching.

Then, it was my turn to return the sms and to send some to others. I wrote the Eid Mubarak's message and started to check in the names. I started with the As. The name list in my cell phone went down, and down, and down... and I stopped. My used-to-be friend's name was still there. I hadn't delete it. And that moment, I froze. Really froze.

Let me tell you how it felt when I froze. I felt cold, and pain, and anger, and sadness, and anger, and more pain. I was staring at the monitor half the trip with memories filling inside my head. I could have skipped the name, you know. But, somehow, I couldn't do it as spontaneously as I wanted to.

Minutes passed. I knew I had to release my pain. It had been too long and I didn't want it to occupy my heart anymore. Enough is enough.
I looked down to my cellphone. My right thumb moved. I checked in that name and... SENT.

This year's Eid El Fitr taught me that some friends may not deserve our trust. But, I will always make sure I deserve my friends' trust. Do you?

Happy Eid Mubarak.
May you have an englightening Ramadhan this year.

A Letter Unsent

Jalan raya Alternatif Cibubur selalu mampu mengalirkan perasaan ngeri setiap kali.
Entah kenapa jalannya yang mulus dengan lebar yang melegakan serta panjang yang tak berujung itu tak mampu menularkan rasa perkasanya pada saya.
Yang ada hanya kengerian.

Mobil-mobil melaju kencang berbekal klakson dan lampu besar.
Motor-motor dengan pengendaranya yang sepertinya tak kenal dengan kata 'mati', seakan tak mau kalah memacu motornya.
Bis-bis, baik yang besar maupun yang sedang, seperti sedang kesetanan tanpa peduli dengan penumpang yang dibawanya.
Truk-truk tanah berwarna hijau lalu lalang tanpa beban seakan ukuran mereka tak beda dengan mobil sedan di sebelahnya.
Motor, mobil, truk militer hilir mudik tanpa pernah lupa mengeluarkan suara menyuruh kendaraan lain menyingkir sejauh mungkin.

Dan di titik itu, jalan besar yang lebar dan panjang itu menikung.

Setiap hari, setiap kali saya melewati titik menikung itu, hati saya selalu berjanji.
Saya berjanji untuk mengirim surat kepada penguasa jalan untuk beramah hati.
Dalam surat yang saya hapal betul isinya itu, saya akan menulis...

Penguasa jalan yang terhormat,
Sudi lah kiranya anda membuatkan kami
sebuah jembatan penyeberangan
yang akan menghubungkan satu sisi tikungan
dengan satu sisi tikungan yang lain.
Kasihani anak-anak sekolah
yang harus terlambat masuk sekolah setiap harinya
karena tak mampu bersaing cepat
dengan mobil, motor, bis, truk, dan kendaraan lainnya
yang melewati titik tikungan ini.
Kasihani para ibu-ibu dengan anak-anak digendongan,
orang-orang tua yang lamban,
para tukang jualan bergerobak
yang selalu berlemah hati
saat harus menghadapi jalan lebar di hadapan mereka.
Para penguasa jalan yang berkuasa,
semoga Tuhan mengetukkan hati anda
dan menggerakkan kaki anda
untuk mencoba menyeberang
di tempat kami kehilangan keberanian kami.



Berhari-hari lewat.
Berminggu-minggu lewat.
Berbulan-bulan sudah.
Saya tidak menepati janji saya.
Janji untuk membuat surat itu
dan mengirimkannya.

Lalu hari ini, saat saya lewat di titik tikungan itu,
keramaian sedang terjadi.
Mobil, motor, bis, truk, dan para manusia berhenti bergerak.
Mereka berkerumun di satu tempat.
Tempat seorang kakek tewas berlumur darah
karena tersambar truk
yang lewat kencang
di titik tempat jalan mulus yang lebar dan panjang itu menikung.

Bosan juga Manusiawi

Si Mami bilang saya pembosan.
Jelas saya protes!
Saya bilang pada Mami kalau saya ini pembosan nggak mungkin lah saya pacaran dengan Papap sampai 10 tahun dan masih tahan menikah dengannya sampai 7 tahun kemudian. Eh, ternyata kata Mami, dia tidak sedang membicarakan saya dan Papap, melainkan beragam merek pelembab muka yang berjejer nganggur di meja rias saya...

Di luar soal pelembab muka yang memang berjejer nganggur di rumah, saya bisa pastikan saya ini bukan jenis manusia pembosan. Ambil contoh soal pacar. Saya nggak bosan punya pacar Papap sampai 10 tahun. Urusan dia ternyata bosan sama saya, ya, masalah dia toh? Lalu, bagaimana mungkin saya ini pembosan kalau saya masih memakai baju yang saya beli 7 tahun lalu? Ya, kan? Atau sepatu? Saya jarang ganti sepatu selain karena sepatu saya rusak. Karena saya selalu memakai sepatu jenis boots, ya, biasanya lebih dulu sepatu itu berubah warna daripada rusak beneran. Alasan lain, sampai sekarang saya masih bekerja di perusahaan yang sama sejak 11 tahun lalu. Yah, walaupun soal yang terakhir ini mengandung unsur kebodohan sekaligus sentimentil dari pihak saya, fakta terakhir ini jelas mengukuhkan karakter saya yang bukan pembosan.

Bicara soal bosan, si Mami pernah hampir batal puasanya tahun lalu gara-gara pembantu rumah tangganya. Ceritanya si pembantu minta ijin pulang kampung jauh-jauh hari sebelum Lebaran dan bilang ke Mami kalau dia tidak akan balik lagi. Pertanyaan Mami kenapa mau pulang cepat dan nggak balik lagi dijawab singkat oleh si Embak.
"Bosen, Bu."
Kejadian setelah itu lebih baik tidak saya ceritakan demi terciptanya perdamaian dunia. World Peace.

Sekarang, saya mau pindahkan setting si embak tadi ke kantor kita (Iya, kita! Elu juga!). Salah satu alasan kenapa kita berniat pindah kerja adalah karena kebosanan itu. Bosan dengan pekerjaan yang itu-itu aja. Bosan dengan kolega yang itu-itu aja. Bosan dengan model berantem yang itu-itu aja seperti pada pengalaman pribadi saya. Bosan dengan bos yang itu-itu aja (Bos itu pasti gak pernah dipromosiin). Bosan dengan gaji yang segitu-gitu aja. Bosan dengan lokasi kantor yang enggak pernah pindah ke Bali. Bosan dengan makanan kantin yang dari Senin sampai Jumat nggak pernah berubah menunya. Pokoknya bosan! Pengen ada tantangan! Well, if boredom is human, so is challenge.

Sekarang saya mau menanyakan pertanyaan 1 juta dollar (karena biaya saya berobat setelah dikeroyok anda rame-rame mungkin bisa mencapai sejumlah itu).
Pertanyaannya: Apakah kebosanan itu sendiri etis dijadikan alasan untuk pindah kerja?
Memang ente tahu di kantor baru ente nggak bakal kena penyakit bosan juga?
Memang ente yakin tantangan di kantor baru akan membuat ente jauh lebih berasa hidup?
Atau jangan-jangan kebosanan itu sendiri sebenarnya adalah wujud ketidak mampuan kita untuk mencari tantangan di pekerjaan kita yang sekarang?
Apakah kita bisa mencari tantangan di pekerjaan yang baru?

Jawabannya jelas balik lagi ke motivasi kita masing-masing saat memutuskan untuk pindah kerja. Bosan nggak bosan, tantangan ada atau enggak, yang penting gaji lebih gede. Misalnya. Bosan nggak bosan, kantor sekarang lebih dekat rumah. Bosan nggak bosan, yang penting gue nggak ketemu muka lu lagi! Dan seterusnya. Semuanya alasan yang manusiawi seaneh apapun motivasinya. Hanya saja, call me old-fashioned, but I value someone based on his/her motive shown by his/her reasoning. Seperti juga si Mami yang langsung me-black list pembantunya itu (yang 2 bulan kemudian minta balik lagi ke si Mami) yang menilai karakter si embak dari alasan yang diucapkannya. Karakter kita pasti akan dinilai orang saat alasan-alasan keluar dari mulut kita.

Balik lagi ke soal bosan. Terkadang kata bosan keluar hanya untuk mencari jalan tersingkat untuk menyediakan alasan. Sementara alasan bahkan masalah yang sebenarnya malah tidak terselesaikan. Bukan begitu?

.... adalah Hak Setiap Bangsa

Kemerdekaan adalah Hak Setiap Bangsa


Suara laki-laki kecil itu lantang menembus udara pagi yang masih basah dengan embun. Dia mungkin tidak menyadari bila satu kalimat yang telah dia ucapkan telah membuat kami terdiam dalam suatu kesadaran yang mungkin baru datang setelah waktu lewat lebih dari hitungan belasan tahun.

Pagi tanggal 17 Agustus itu saya mendapat tugas mengantar Hikari ke sekolah untuk upacara sementara Papap harus menghadiri upacaranya sendiri. Ini upacara tujuhbelasan pertama yang akan dihadiri oleh Hikari. Konsep upacara pun masih tak jelas untuk seorang Hikari.

"Ma, upacara itu apa sih?" Itu pertanyaan Hikari di perjalanan menuju sekolah. Jawaban standar saya yang hanya menjelaskan soal-soal teknis tentang arti upacara tidak memuaskan Hikari.
"Kenapa harus upacara?" tuntut Hikari.
Kenapa? Kenapa?
Karena kita merayakan kemerdekaan kita?
Ah, terlalu dangkal. Kita bisa juga merayakan kemerdekaan dengan menyanyi-nyanyi kan? Atau ikut tarik-tambang? Atau ikut panjat pinang? Atau ikut pengajian syukuran kita sudah merdeka? Atau sekedar sujud syukur di pagi buta untuk tidur lagi kemudian?
Kenapa?
Karena kebiasaan?
Jawaban bunuh diri itu namanya.
Akhirnya saya memilih diam. Dan pertanyaan itu belum terjawab oleh saya. Sampai sekarang. Entah kenapa, Hikari juga memilih diam. Tidak menuntut jawaban seperti yang biasanya dia lakukan.

Kami sampai di sekolah bersamaan dengan datangnya anak-anak lain. Mereka semua riang-riang. Tidak ada yang merengut karena harus bangun pagi hanya untuk upacara. Murid-murid kemudian berkumpul di lapangan bersama dengan guru-guru mereka. Murid-murid berbaris rapi di lapangan. Tidak ada raut wajah terpaksa atau tegang. Guru mereka berdiri di belakang barisan dengan muka yang ramah. Petugas-petugas upacara cilik menempati posisi mereka dengan riang. Lalu, entah bagaimana awalnya, para orang tua ikut serta berdiri bersemangat mengikuti jalannya upacara walau dari pinggir lapangan.

Upacara dimulai. Mula-mula inspektur upacara, laki-laki kecil yang bertubuh besar berusia 9 tahunan, masuk ke tengah lapangan dengan sikap tegap. Tangan kanannya mengayun bersamaan dengan kaki tangannya. Lalu tangan kiri diayun berbarengan dengan kaki kirinya. Kami, para orang tua, tersenyum geli, tapi manusia-manusia Indonesia cilik di tengah lapangan itu tidak ada yang tertawa mengejek.

Kemudian, tiga orang petugas pembawa bendera cilik mendapat giliran untuk berjalan. Berbeda dengan para Paskibraka yang menjalankan tugas mereka di Istana Negara dengan segala gerakan yang telah diatur dengan cermat, petugas-petugas cilik ini berjalan dengan langkah percaya diri walau tanpa keteraturan tangan dan kaki. Ketika mereka akhirnya sampai di depan tiang bendera, para orang tua menahan napas. Apakah anak-anak kami itu mampu menjalankan tugasnya? Menaikkan bendera tanpa terbalik? Buat para orang tua yang jaman sekolah dulu kenyang dengan urusan baris berbaris menaikkan bendera ala militer, melihat para petugas cilik itu begitu percaya diri sekaligus tanpa beban membuat kami bergidik. Bukankah bendera begitu sakral? Kalau sampai terbalik, apakah ada yang akan dihukum push-up?

Lima belas menit kami semua menunggu. Lima belas menit! Menunggu tangan-tangan kecil mereka menalikan bendera ke talinya. Menunggu tangan-tangan kecil itu siap menaikkan bendera di tiangnya. Saya memandangi para peserta upacara. Suasana tetap khidmat. Tak ada ketegangan seperti upacara-upacara bendera yang kami tahu, tapi tetap khidmat. Tidak ada yang ribut dan berulah hanya karena harus menunggu bendera disiapkan selama lima belas menit. Kamera dan handycam telah lama disiapkan para orang tua untuk mengabadikan momen terpenting itu. Lima belas menit lewat, sebuah teriakan tegas terdengar dari mulut kecil seorang petugas.

"Bendera, siap!"
Kami, para orang tua, didikan jaman suatu orde dimana upacara dianggap lambang nasionalisme menahan napas. Dan ketika bendera terbentang sempurna dari jari-jari cilik para petugas, dada kami menggembung bangga. Ah, tapi para guru mereka sepertinya tak terpengaruh. Wajah mereka tetap wajah penuh kebanggaan kepada anak didik mereka sejak upacara dimulai hingga detik ini.
Inspektur upacara cilik lalu meneriakkan perintah memberi hormat. Dirijen cilik lantang menyanyikan bait awal lagu Indonesia Raya. Seluruh peserta upacara memberi hormat dan mulai menyanyi. Entah siapa yang memulai, kami, para orang tua yang berdiri berjajar tegap di pinggir lapangan memberi hormat pada bendera, dan menyanyi. Kami bernyanyi Indonesia Raya!



Belasan atau mungkin puluhan tahun telah lewat sejak upacara terakhir kami di sekolah. Mungkin juga sudah belasan atau puluhan tahun telah lewat sejak hati kami merasa tergetar saat mendengar lagu Indonesia Raya. Hari itu, kami ikhlas menyanyikan lagu Indonesia Raya, menghormat kepada bendera Merah Putih, mendengarkan Pancasila dan Pembukaan UUD 45 dikumandangkan tanpa sedikitpun berharap upacara segera berakhir. Walau tanpa pakaian putih gagah milik anggota Paskibraka dan tanpa gerakan baris-berbaris penuh perhitungan milik para anggota militer, upacara kali itu begitu penuh perasaan. Dan kebanggaan! Rasanya seperti kami menurunkan suatu warisan kepada anak-anak kami. Anak-anak yang menjadi masa depan negara kami!

Sebelum masuk ke mobil untuk pulang ke rumah, seorang ibu berkomentar.
"Apa tahun depan anak-anak perlu dilatih baris-berbaris ya? Supaya lebih rapi?" tanyanya ragu.
Orang tua lain tak langsung menjawab. Kami saling menatap. Tanpa dikomando kami menggeleng. Termasuk ibu yang bertanya tadi.
"Biarin aja lah bagaimana anak-anak itu. Toh benderanya terbuka dan naik juga."
"Iya. Biar aja model upacaranya seperti ini. Gak bikin nasionalisme berkurang juga kan?"

Kami pulang dengan puas. Dengan kesadaran baru bahwa nasionalisme tidak diukur dari berapa derajat kaki petugas upacara harus dinaikkan. Tidak diukur dari tinggi badan seorang petugas paskibra. Ketika kemerdekaan adalah hak setiap bangsa, seharusnya kita bisa merdeka juga dalam mengekspresikan rasa nasionalime kan?

Is it too difficult to appreciate others?

If you guys read my previous post, you probably remember that just recently I was busy with a project. Actually right now, I am in the state of enjoying the end of that project's frenzy. I am vacationing my thinking and emotional organs and in the middle of considering taking a week off. Now, let's go back to Saturday.

Saturday morning, the same like you guys, I also watched the news about our police trying to capture the number 1 terrorist in Indonesia. I knew about the whole drama quite later than perhaps most of you. Although I was quite confused on why it took 18 hours to get 1 guy, I was glad they got him anyway. It's like... it's about time!

Then, the second news shocked me more when I learned that the police seized a hundred something kilos of bomb from Jatiasih. Jatiasih? It's like our front yard!
You see, Jatiasih is really near to my house. My parents also live in one part of Jatiasih. And the fact that those people were planning to do Mr. President's house is very terrifying to me. My son goes to the school which is in the same compound as Mr. President's house! I don't care how many soldiers they have put at my son's school. I won't be able to sleep well until the police catch them all! So it won't be difficult to guess my reaction when I learned that the police were able to kill two suspects and capture one.

Saturday evening. The news evolved. Now, the media told us the police caught the wrong guy in Temanggung. He is not the famous Mr. N. He is just Mr. N's accomplice. Soon enough the cheering became sneering. Suddenly, the police's success of uncovering some bomb plots went sour. Nobody cares about the other people captured. And it just doesn't make sense to me. Are they not terrorist enough?! It's like Mr. N or not Mr. N. Even Mr. N's accomplice is not enough for appreciation. What?! An accomplice captured doesn't need a tap on the shoulder and a well-done note?

Just a couple of days before Saturday I also experienced the same thing. Remember the project at my office I was talking about? Remember the hardwork I told you my friends and I had done for the project? Nevertheless, the result was not satisfying due to reasons we didn't quite comprehend yet. The evening before the D day, the most important person in the whole organization told us in the face that WE simply hadn't done our best for the project. Suddenly all of our hardwork was unimportant.

So, guys, how do you usually appreciate other people's work?
Do you appreciate the work only if the result satisfies you? Or do you appreciate the work done well regardless of the result?
Are you one of those people who fancy saying, "I know you have done your best, but your best is not good enough?"
Let me ask you, what is best? Whose standard do you use to define the word best?
I would love to hear that the guy captured Temanggung is really Mr. N as much as you would. However, I appreciate all the hardwork done by the authorities, Mr. N or not Mr. N as long as he is indeed a terrorist. Who are we to judge the police haven't done their best? Unless we have tried to do their job before...

Confidence is...

Confidence is what you have before you understand the problem. -Woody Allen


I found this saying above by Woody Allen a few months back and I giggled. I liked what he said and couldn't help myself agree with him. At that time, I didn't realize I would meet a situation so true like the saying.

Just a few days ago, the staff and I were in the middle of a panicky-and-chaotic situation. We were going to hold a big event, but something went unexpectedly wrong: nobody seemed to be interested in signing up. The staff were having butterflies in their stomach. I didn't have butterflies. I had bees.

To tell you the truth, the event was actually not our project. We were not even a committee. At least, I know I wasn't. Our name was not on any paper or proposal, except for flyers (*blaming the boss*). The event suddenly became our project only because it was held in our office. What a nice modus operandi! We became so emotionally-physically-mentally attached to the event because of our feeling of responsibility. If things screwed up, our office would take the blame. Nobody out there would even bother to read the proposal to find out who is the committee and who is not. So, there we were. Doing the job of other people. Couldn't even complain about it.

It was rather funny (in a sillier way) actually when I remember how confident most of us were in the beginning. And one person was even more confident than the rest of us. He-who-must-not-be-named was everything but humble. He thought he had orchestrated a very beautiful symphony with players eager to do what he commanded. He was so proud about it and couldn't let us have peace without him telling us how great his performance was. I was bored to death but people say murder is a crime so I restrained myself from the urge to kill him. Trust me, I was that close.

Then things started to fall apart. He found himself confronted with the ugly situation. He understood... and soon enough his confidence dropped.

I learned something about people that very second. When people are confronted with an ugly situation, they usually would react in two predictable ways: blame others or deny. He-who-must-not-be-named was rather outstanding. He did both: He blamed others for not playing the role he put upon them and then denied that there was a problem. Rather contradictory, don't you think?

At the end of the day, I think we have to do it the other way around. Instead of being confident at first and comprehending later, we might want to understand all the facts first then build our confidence step by step. It is a safer journey.

My Great Treasure


The Alchemist by Paulo Coelho page 134:


When you posses great treasures within you, and try to tell others of them,
seldom are you believed.



Hikari,
Most mothers would agree with your mother.
That...
it takes a mother to see
that a stone
is not always
what it seems to appear.
It takes a mother to see
that a stone
is a jewel with its own colors.
It takes a mother to see
that a stone
is a treasure worth fighting.
And you are my treasure.

Happy seventh birthday, Hikari sayang.
You are the only reason why I deserve to be called a mother.

Antara Merci dan Blackberry

Sewaktu harga bensin naik di tahun 2007, efeknya langsung terasa di kehidupan rumah tangga kami. Begini lah nasib pegawai tanggung. Harga bensin naik sedikit, menu makanan di rumah langsung berubah drastis. Bila sebelumnya masih mampu bawa mobil ke kantor setiap hari tanpa berkeluh kesah, setelah harga bensin naik saya mulai menjadwalkan naik bis beberapa hari dalam seminggu demi kesehatan jantung dan terpeliharanya amalan dari dosa keluh kesah. Semua jalan pengetatan bujet dilakukan demi terselenggaranya kehidupan rumah tangga yang bebas hutang dan jauh dari kebangkrutan.
Tapi kok kenaikan harga bensin sepertinya hanya berpengaruh pada kami? Serius ini! Bukan karena kami terlalu sensitip. Lah, pemandangan di jalan raya saja seperti menyetujui asumsi kami. Mobil-mobil mewah tetap berseliweran dan jumlahnya malah rasanya semakin banyak.

Logikanya nih, kalau sudah mampu beli mobil mewah, bensin pasti sudah tidak lagi menjadi faktor penting dalam pembukuan keuangan rumah tangga kan? Setidaknya begitu itu rumusannya menurut teori brand image. Untuk orang-orang ini, bensin pasti lah masuk ke bagian paling dasar dari piramidnya Maslow, bergabung dengan kebutuhan dasar lainnya seperti sandang, pangan, dan papan (dan mungkin koneksi internet). Sementara itu, posisi orang-orang ini di piramid Maslow pasti sudah ada di paling atas: yang dicari sudah self-actualization, bukan duit recehan untuk bayar bensin seperti saya.

Setuju?

Pada suatu siang yang panas, saya sedang bersenda gurau dengan teman-teman. Obrolan terhangat di siang panas itu adalah fesbuk.
Udah nge-add siapa, lu?
Di add siapa, lu?
Si bos elu add gak?
Nggak dong. Sori ye.
Udah di remove sama sapa, lu?
Ouch!
Di tengah hangatnya topik fesbuk, seorang teman lalu mengeluarkan Blackberrynya. Siang di hari itu Blackberry masih jarang dimiliki orang. Mengeluarkan Blackberry di masanya belum jaman jelas menandakan keunggulan ekonomi yang berbuntut pada keunggulan self-image. Sialnya, kami saya malah membenarkan keunggulan si teman dengan komentar yang agak norak,
"Wih!"
"Cieee!"
"Aw!"
"Busyet!"
"Punya lo?"
(Pertanyaan terakhir -bukan milik saya- dijawab dengan dampratan pemilik)
Kami, eh, saya yang segera tersadar dengan kenorakan tadi segera mengubah strategi dengan pura-pura bertanya tentang fasilitas Bbnya.
"Bisa email ya?"
"Bisa fesbukan?"
"Bisa internetan?"
Ternyata pertanyaannya tetep norak.
Si teman pemilik Bb mulai beraksi menjelaskan kecanggihan gadget baru itu. Kalimat pamungkas dari dia adalah, "kerja jadi efisien. Udah kayak kantor berjalan. Gue gak perlu buka-buka laptop lagi. Semua bisa gue kerjain dari sini. Nelpon, ngimel, sampe maen fesbuk! Hehehe..."
Kami manggut-manggut.
Begini memang seharusnya tampilan manusia sukses. Gadget kecil aja bisa bikin kerja efisien. Apa gak tiap bulan dapat promosi jabatan dia?!

Selagi kami melanjutkan obrolan yang masih berkutat pada fesbuk dan Bb, suara telpon terdengar berdering. Semua orang spontan mencari henponnya masing-masing. Ternyata suara itu bersumber dari tas si pemilik Bb.
Teman saya itu mengeluarkan henponnya. Henpon cdma kecil. Dia segera sibuk menjawab telpon yang ternyata dari kantornya. Semenit kemudian, dia selesai bicara dan mendapati kami sedang menatapnya.
"Kenapa?" tanyanya polos.
"Kata lo Blackberry bisa dipake nelpon..." tanya teman saya yang satu juga dengan polos.
"Emang bisa. Terus?" tanya si pemilik Bb lagi.
"Bukannya lebih efisien kalo elu make Bb buat semua-mua termasuk nelpon?"
"Ooooh... ya, emang," kata si pemilik Bb dengan santai. "Tapi kan pulsanya lebih murah kalo gue pake telpon yang cdma."
"Huahahahahahahaaaaa..."
Spontan saya tertawa ngakak.

Pesan moral kali ini:
1. Tahan tawa anda bila anda berada dalam kondisi seperti saya, kalau anda masih ingin dianggap teman. Akibat tawa spontan saya, sampai hari ini, si teman masih ngambek sama saya.
2. Terkadang, teori -secanggih apapun- pasti ada deviasinya.
3. Berlaku hemat (baca: sesuai isi kantong) katanya sebagian dari iman. Saya sendiri masih harus mengulang-ulang kalimat ini supaya nyantol di perbuatan saya.

First TV Interview

A friend gave my name to SUN TV station when the station was looking for a female figure with certain profiles to be interviewed for their woman program, Aksen. He meant it as a surprise but it was soon discovered that he was no good in keeping secrets. Soon, he informed me about it and the first thing I did was... laughing. Laughing like when you hear something really funny and your first reaction is 'Aw! Get outta here!'

A few weeks after, he called me when I was on my way home from work. Between talking and giggling (you'll never know if a male creature can giggle like he does), he told me somebody from the tv station would call me later. I laughed (again) and said OK. What could they possibly want from me anyway? And then, long story short, they did call. Long story short, I found myself doing an interview for them...

During the filming (being interviewed, walking here and there, posing like this and that), I was grinning all the time. I almost failed to hide my laughs. If I were fair-skinned, I was sure my cheeks were glowing red. And there were my colleagues, other employees, people I didn't know. Oooh, it would take a year to make them forget about it. For me, it was like... 'GOSH, now I know I wasn't born for this'. No wonder life made me a teacher and not an actress, no matter what some experts said that teaching is 90% acting and 10% skills.

Then, the program was aired on Sunday, 28 June, at 4 PM. Just in case you ask, I didn't record the program, but Papap took some pictures (of the tv monitor!). From now on, I will give some respects to those actors who can do things in front of the camera without even a little urge to grin.

Never Ordinary

Gara-gara mengalami susahnya nyari parkir di UI Salemba, siang tadi saya membujuk teman saya si Je untuk mengojeki saya ke Salemba. Sebelumnya saya pernah ditolak dia juga. Katanya, "Naik taksi dong, Dep. Jangan sok susah deh." Tadi siang, saya ditolak lagi sama dia. Dari yang beralasan harus meeting di kantor pusat lah, lalu baru sampe kantor lah, trus harus ngerjain ini itu lah. Kalau bukan karena saya butuh motornya, sudah saya *tuuuuuuut* dia!

Berbekal rasa tak tahu malu, saya kembali memaksa dia mengojeki saya saat saya bertemu dia di kantin pas makan siang tadi. Tentu saja dia sok nolak lagi.
"Gile lu, gue baru sampe kantor nih!"
"Ntar gue dicariin!" (sapa sih yang mau nyariin elu, Je?)
"Gue harus ngerjain sesuatu."
Tentu saja saya tetap bersikap tak tahu malu. Terus memaksa. (Ha!)
Akhirnya, dia menyerah juga.
"Sekarang ya?!"
"Sekarang jam makan siang. Disono juga tutup kalee!"
"Elu tuh emang paling-paling deh! Udah minta tolong tapi pake minta syarat lagi!"
Dia cuma bisa menggerutu.

Setelah dia selesai makan -dan saya BELUM-, dia bilang dia akan menunggu saya di lobi. Saya selesai makan setengah jam kemudian...
Setengah jam kemudian, saya berlari ke ruangan saya di lantai 4 untuk mengambil perabotan lenong yang mau dibawa. Sambil berjalan turun tangga (lagi), saya menelpon dia.
"Ya udah, gue turun," katanya singkat.
Eh, ternyata perabotan saya ketinggalan satu. Saya balik naik lagi ke lantai 4.
Dari kaca-kaca gedung, saya bisa lihat teman saya ini sudah sampai di lapangan parkir. Saya juga lihat dia berjalan menuju parkiran motor yang berseberangan dengan pintu lobi.

Sesampainya saya di parkiran, dia berteriak-teriak sambil berjalan cepat menuju saya. Di tangannya ada kunci motor.
"Dep! Dep! Motor gue.... ilang! Motor gue.... ilang!"
Beberapa karyawan menjadi saksi kepanikannya.
"Apaan sih, lu?"
"Gue pikir motor gue ilang!"
"Hah?"
"Gue kan gak bawa motor hari ini!"
"Jadi motor elu ilang atau apa sih?"
"Gue tadi ke parkiran. Gue nyariin motor gue kok gak ada. Gue pikir motor gue ilang."
"Jadi motor elu ilang?"
"Gak! Hari ini gue gak bawa motor! Huahahahaha..."
Pemirsa, kalo ada orang yang bisa menertawakan ke*tuuuut*an sendiri, Je lah orangnya.
"Naek mobil lo aja deh!"
"Emangnya elu bisa markirin?!" semprot saya. "Gue ngajak elu karena butuh motor lu!"
"Emangnya parkir butuh skills sendiri ya?" semprot dia balik.
"Dodol! Elu kan gak bisa nyupir! Ntar kalo gue kudu turun, mobil gue mo ditaro mana?!"
"Ya udah, kita naek bajaj aja!"
Sambil ketawa-tawa dia ngajak saya naik ojek. Saya mengikuti dia sambil mikir. Kayaknya ada yang aneh nih.

Sebelum dia sempat memanggil bajaj, saya memberi pengakuan.
"Je, gue gak bisa nawar. Elu aja yang nawar ya!"
"Elu tuh ibu-ibu gak bisa nawar!"
"Sembarangan lu ngomong gue ibu-ibu!"
"Nih, lu liat orang Arab nawar."
Kayak penting banget gitu nunjukin ras pas kondisi begitu?!

Hebatnya, dia berhasil menawar si tukang bajaj untuk mengantar kita ke Salemba dari kantor di Pramuka seharga 8000 saja! Laen kali gue bawa ke tukang sayur gue ya, Je!
Di dalam bajaj saya masih berasa ada yang aneh.
"Elu tadi naek apa ke kantor?"
"Jalan. Eh, elu lama gak entar?"
"Gak," jawab saya.
Si Je menyolek tukang bajaj, "Bang, entar tungguin kita ya. Kita cuma bentar."
Si abang ngangguk aja.
"Je, si bajaj mau dibawa masuk?"
"Iya."
"Terus ini bajaj parkir dimana pas gue turun?"
"Nggg...."
"Lagian elu ngapain ikut gue ke Salemba? Gue kan cuma butuh motor lu."
"Hiahahahaha.... Bego banget ya, gue?!"
Saya gak komen.
"Terus tadi gue pake belagak nolak diajak lagi! Huahahaha...."
Saking kesiannya, saya janji padanya untuk tidak menghina dia hari ini, while I have a very good reason to do it!
"Terus motor lu ditaro mana?"
"Di kos."
"Kenapa bajaj ini gak nganter kita ke kosan elu aja terus kita naik motor?"
Wajah si Je seperti mendapat pencerahan. Singkat cerita, dia nyolek si abang lagi untuk berhenti sebelum pintu kereta api Pramuka.
"Sini aja, Bang! Ini duitnya, Bang! Berapa tadi? 8 ribu?!"
Udah gitu, pemirsa, dia juga yang bayar bajajnya! Dia yang bayar!

Singkat cerita lagi, kami berhasil mengambil motor Je dari kosannya. Sebelum jalan, dia memberi saya sepotong(!) helm yang saya gak yakin ada fungsinya selain untuk mengusir Polisi.
"Je, elu jangan jatoh ya!"
"Je, elu punya SIM kan?"
"Please, deh, Dep. Udah jalan bgini elu baru nanya SIM?!"
"Je, elu nyupirnya model supir metromini naek motor ya?"
"Je, ini kok anginnya banyak banget sih?"
Bukannya menenangkan saya, dia malah sibuk cerita. Kepalanya ditolehkan ke kiri untuk bercerita sepanjang jalan. Sepanjang jalan!!!
"Je, elu itu satu-satunya orang yang nyupir motor sambil ngobrol, tau gaaaaak?!"
Jawaban dia singkat aja.
"Dep, kalo kita sampe ke kantor dengan selamat, elu kudu beramal artinya!"
O-MY-GOD!

Je, my friend, this is my way of saying thank you. With you, a day is never ordinary. Tapi teteup, gue masih pengen idup!!!

Pesan moral saya kali ini adalah try to have an extraordinary day once in awhile. Leave your comfort zone -in my case riding a motor bike with this insanely crazy creature0 and have a blast. Don't forget your helmet, though. Safety always comes first even on the most extraordinary days.

Blogger Templates by Blog Forum