Buku Baru!

Ada buku baru nih! Beli yak! hehehe...

Sinopsis:

Beter Hair, Better Luck

Andita Soekardi memang bukan si Barbie yang cantik, langsing, dan berambut pirang indah. Ia cuma cewek biasa yang bekerja sebagai guru bahasa Inggris di sebuah institut bahasa asing. Ia cewek normal, impulsif, cerewet, moody, namun baik hati, dan pintar. Ia lumayan pede walaupun berkulit hitam, bertubuh krempeng dan belum punya pacar. Cuma satu yang membuatnya aneh: punya obsesi akut pada rambutnya! Bagi Andita, better hair brings better luck, better love and better life.

Hidup Andita berantakan ketika fotonya masuk ke majalah dan rambutnya disebut sudah out of style. Segala hiburan sahabatnya, Ferry, tidak digubrisnya. Andita malah mendatangi salon tempatnya memotong rambut dengan gaya yang disebut jadul itu, dan menuntut ganti rugi.

Saat menjalani perawatan rambut ganti rugi di salon itulah Andita ketemu Prasta, eksekutif muda ganteng yang lalu jadi curahan hatinya. Kepada Prasta-lah Andita mencurahkan segala unek-uneknya di kantor, proses promosi jabatannya yang bertele-tele, dan nyaris semua cerita dalam hidupnya. Prasta bak Ferry kedua, bahkan lebih.

Tapi kemudian Ricky, sesama pengajar di institut tempat Andita mengajar sepertinya menaruh hati padanya. Jadi, siapa yang harus Andita pilih, Prasta atau Ricky? Apakah benar kondisi rambutnya memengaruhi kehidupan karier dan cintanya?

Pindah...

Yak, kami sudah resmi pindah ke rumah kami sendiri!

Walau ini bukan pertama kalinya kami heboh pindahan, pindahan kali ini luar biasa hebohnya. Luar biasa, mengingat kami ini fakir furniture. Yang membuat pindahan kali ini begitu heboh adalah karena si Mami melakukan gerakan bedol desa. Semua (and I mean semua!) barang yang beliau tumpuk di rumahnya, dikirim ke rumah kami. Secara barang-barang itu berangkat lebih dulu bersama mobil bak, ketika saya sampai di rumah dan melihat segala tumpukan barang saya jadi panas sendiri.
"Ngapain itu gayung sampe ada 4 biji di sini? Lah rumah gue kan gak punya bak mandi?!"


Itu masih mending! Hampir saja kami tidak jadi pindah bulan ini. Gara-garanya si Mami berhitung-hitung tentang hari baik. Nah, menurut hitungan beliau, HARI BAIK untuk pindahan rumah kami itu jatuh pada bulan..... JUNI! Geee... What de maksup, coba?!

Tapi akhirnya, Alhamdulillah, semua berjalan cukup lancar. Hanya satu yang membuat saya sedih mengenai pindah-pindah ini. Di rumah kami belum ada sambungan internet. Jadi, selain fakir furnitur, sekarang ini saya juga fakir koneksi internet...

Mari Bicara dengan Teh

Entah kenapa saya tidak bisa melupakan iklan satu ini (ada dua scene): sepasang suami istri saling ngambek karena komunikasi yang gak nyambung. Si istri kemudian berpikir, 'Well, gue musti gimana ya?' Setengah detik kemudian si istri balik lagi dengan secangkir teh hangat. Suami yang sedang memble langsung cerah ceria dan hubungan mereka jadi harmonis lagi deh.

Apa yang bikin saya ingat iklan itu terus sih?
Apakah...
1. Buset. Selalu istrinya yang berpikir lebih dulu. (haha!)
atau, 2. Yang bikin masalah, di dua scene itu, selalu suaminya. (huahaha!)

Bukan, bukan dua hal itu yang membuat saya tak bisa melupakan pasangan itu. Saya justru membayangkan bagaimana kalau kejadian tulalit mereka terjadi pada saya dan Papap. Apakah secangkir teh bisa mengembalikan sambungan komunikasi menjadi lancar kembali?

Jawabnya...
Ya, enggak.
Karena, tentu saja, satu: Papap gak suka teh. Dua: Papap gak suka teh.
Got what I mean?

Percuma saya menyiapkan sejuta teh hangat merek apapun buat si Papap untuk melancarkan sambungan komunikasi. Yang ada saya malah bakal tambah sakit hati karena si Papap bisa dengan polosnya berkata, "ngapain kamu bikinin aku teh? Aku kan gak suka teh." (Yang di telinga saya bisa terdengar, "udah kawin sejuta tahun masih gak tau kalo gue gak minum teh?!")

Lalu, kalau komunikasi kami berdua sedang konslet, apa yang harus kami lakukan?
Ya, diam saja.
Dalam diam biasanya kami menata hati. Dalam diam biasanya kami mampu memundurkan bibir yang tadinya memble menjadi sesenti lebih tidak memble. Dalam diam biasanya kami mampu memikirkan ulang kalimat yang akan keluar dari mulut ("Dari tadi aku kasih tau masih gak ngerti juga?!" menjadi "Oh, belum paham ya sayang?"). Dalam diam biasanya kami bisa tidur dengan pulas...

Lalu, sampai berapa lama kami bisa saling diam? Kenapa gak pake secangkir teh yang bisa mengurai kabel komunikasi kurang dari semenit?
Seperti yang saya bilang tadi: teh bukan jawaban yang tepat atas solusi kami. Maka sampai berapa lama kami bisa saling diam itu tergantung. Tergantung siapa yang mau mulai menyapa, "Sayang..."

Biasanya sih Papap duluan...

God's Sense of Humor

Acara makan siang kali ini diisi dengan mengobrol. Antara saya dan seorang kolega yang lebih senior. Saya sedang menceritakan peristiwa yang terjadi hanya beberapa jam sebelum acara makan siang kami itu.

Pagi, sebelum menuju ke kantor, saya duduk berhadapan di sebuah restoran siapsaji siap24jam dengan seorang teman kuliah dulu. Topik yang sedang dibicarakan -apalagi- anak kami dan calon sekolah mereka. Obrolan saya dengan si teman agak kurang konsentrasi karena saya masih terbayang diskusi tanpa hasil antara saya dan Papap tentang rencana pindah rumah kami. "Ternyata memulai hidup baru itu butuh modal, ya," komentar Papap sambil bengong ketika menyadari kalau rumah tujuan-pindah kami itu benar-benar kosong melompong tanpa seciduk beras pun, apalagi furnitur. How can we start living in a house without a single thing (and the money to buy that single thing) but the house itself?!

Kembali ke saat konsentrasi saya melayang di depan wajah teman kuliah tadi, sang teman bercerita bahwa dia mau pindah rumah juga. Demi mencari sekolah ideal untuk anaknya.
"Pindah deket gue aja. Ntar gue nitip antar jemput anak gue ke elu," kata saya sembarangan.
"Boleh juga tuh. Anak gue butuh maenan juga sih," sahutnya polos.
"Sialan lu. Di kata anak gue Lego kali?!"
Dia tertawa ngikik.
Lalu dia melanjutkan. "Tapi pindahnya nanti. Nunggu duit pinjeman dari kantor dulu."
"Oh."
Lalu kami berdua tenggelam dalam lamunan. Melamun tentang duit. Saya lebih memilih melamun tentang Keanu Reeves.

"Inget," kata saya diantara saat-saat bengong kami, "minjem duitnya bukan cuma buat beli rumah. Tapi juga buat ngisi rumahnya."
"Maksud lo furnitur?"
"Maksud gue, beras, gula, sabun cuci-cuci, kompor, kulkas, mesin cuci..."
"Wah bener juga! Kita kan sama-sama pengontrak rumah ortu yang gak berharta sama sekali ya?!" katanya kaget.
Walau agak keberatan dengan kalimat 'pengontrak rumah ortu yang gak berharta', saya gak bisa protes. Kebenaran itu memang menyakitkan. Kami balik lagi tenggelam dalam lamunan.
Tiba-tiba hp teman saya itu berbunyi.

"Laki gue!" katanya sambil menatap saya.
"Ya iyalah. Masa' laki gue yang nelpon elu?"
Si teman menyepak kaki saya dari bawah meja. (Perhatian: ini kejadian betulan yang tidak patut dicontoh)
"Ya, Mas?" jawabnya tiba-tiba kemayu.
"Aku lagi di tuuuuut sama si De'.... iya... he-eh... iya... APA?!"
Jeritannya membuat tamu-tamu restoran di posisi yang berdekatan langsung menoleh ke arah kami.
"SERIUS, Mas?! IYA?! BENER?!"
Saya sepak balik kakinya. Berteriak-teriak lewat hp di restoran sungguh bukan ide yang bagus. Untung telponnya tidak lama.

Begitu hp mati, teman saya meraih kedua tangan saya. Sungguh adegan yang menjijikkan mengingat saat itu kedua tangan saya sedang belepotan cheese burger.
"De', tebak!"
"Ogah."
"Laki gue tadi nelpon."
"Lanjut. Bagian itu gue udah tau."
"Dia bilang pinjeman kantornya udah turun tadi! Dan, jumlahnya lumayan bangeeeeetttt!" katanya sambil tertawa bahagia dengan mata berkaca-kaca.

Balik ke episode makan siang plus ngobrol saya dengan kolega kantor tadi, saya menceritakan kejadian pagi itu sambil tertawa terkekeh-kekeh. Tapi kolega saya tidak ikut tertawa.
"Kamu memang orang yang aneh," katanya tiba-tiba yang membuat saya keselek daging rawon.
"Kalau saya, hati saya pasti sedang berdarah-darah. Bayangin, pas kita sedang minta A sama Tuhan, eh Tuhan malah ngasih A sama orang lain di depan kita. Apa gak nelongso? Kamu malah ketawa-tawa?"

Saya selalu berpikir bahwa Tuhan mempunyai rasa humor yang sangat tinggi, kalau tidak bisa dibilang witty. Dan saya pikir, kejadian pagi itu -seperti juga banyak kejadian lainnya -memperlihatkan rasa humorNya yang memang lucu, yang seringkali membuat saya tertawa-tawa geli sendiri....

Atau memang saya yang aneh?

The World Continues...

I wholeheartedly believed that this senior colleague of mine didn't mean any harm.
That was why I just laughed when she asked me innocently, "So, your grandma finally passed away?"

I got faint tears on my eyes when I laughed. The tears were not because I hated the question. They were because I still missed my grandma a lot.
But, I know that life goes on. I just have to make my brain and my heart agree at each other at this moment. And I am sure they will.
At least I know my grandma always remembers March 8.

Thank you my friends for your sympathy. Thank you for your prayers.

I quoted this story for you all from my favorit book: Ex and The City by Alexandra Heminsley. It's not about Losing Someone. But, the pain -she describes- so perfectly illustrates how I've been feeling for the last couple of weeks.

Getting dumped is grim.
But there's something particularly awful about the way that life just carries on around you after it's happened. No one's noticed your entire life has swung on its axis: the world continues to turn, the stuff to do keeps mounting up, and the bills still have to be paid. Disgraceful. (p 61)

Hujan dari Masa Lalu

Hujan deras di siang hari Sabtu itu mengaburkan kekinian saya.
Dari balik jendela mobil, saya memandangi tiga sosok anak kecil yang sedang tenggelam dalam keriaan curahan hujan.
Saya pernah merasakan keriaan mereka.
Dulu sekali.

Hujan selalu membawa keriaan buat saya. Lebih besar hujannya, lebih ria diri ini.
Berjingkat-jingkat saya keluar rumah untuk menghambur dan memeluk air hujan.
Begitu air dingin dari langit mengalir ke seluruh tubuh, saya tak perduli pada sosok perempuan bersanggul yang memperhatikan dari balik jendela rumah.

Eyang Uti.
Eyang Uti selalu membiarkan saya menikmati hujan.
Ketika hujan berhenti dan keriaan saya memudar, saya kembali ke rumah.
Saat itulah Eyang Uti akan menyambut saya dengan handuk tebal untuk kemudian menyeret saya ke kamar mandi.
Beliau akan membasuh badan dingin saya dengan air hangat dan menyuci rambut saya keras-keras. Setelah itu, saya akan dipeluknya erat-erat sampai beliau selesai mengeringkan kepala saya.

Bertahun-tahun kemudian ketika saya tak lagi menanti keriaan saat hujan turun, Eyang Uti mengganti sapuan handuk di kepala dan badan saya dengan pijatan di kaki setiap kali saya terbaring di rumah sakit. Setiap kali.
Wajahnya selalu berbicara banyak tentang nasihat yang tak selalu keluar dari mulutnya.
Dan seringkali saya tak mau menatap wajahnya karena saya tak ingin dia nasihati.

Seminggu lalu, ketika napas yang keluar dari dirinya terdengar samar, saya terisak mencium pipinya.
Beliau membuka mata dan memandang saya dalam-dalam sambil tersenyum.
Mama menyentuh saya pelan dan berbisik bahwa Eyang sudah tidak mengenali siapa-siapa lagi.
Saya tak perduli.
Saya mencium pipinya dan meminta ampun padanya.
Eyang hanya tersenyum, dan kemudian kembali tertidur.
Pasrah dan sedih saya mengelus tangannya yang kurus.
Tiba-tiba bibir Eyang bergerak dan mengucap lirih.
"8 Maret, ya?"

Kalimat terakhir sebelum beliau koma.
Dan kemarin Eyang Uti dimakamkan.
Ini ulang tahun pertama tanpa suara perempuan bersanggul yang mengucapkan selamat ulang tahun dari ujung sambungan telpon...

Blogger Templates by Blog Forum