Bosan juga Manusiawi

Si Mami bilang saya pembosan.
Jelas saya protes!
Saya bilang pada Mami kalau saya ini pembosan nggak mungkin lah saya pacaran dengan Papap sampai 10 tahun dan masih tahan menikah dengannya sampai 7 tahun kemudian. Eh, ternyata kata Mami, dia tidak sedang membicarakan saya dan Papap, melainkan beragam merek pelembab muka yang berjejer nganggur di meja rias saya...

Di luar soal pelembab muka yang memang berjejer nganggur di rumah, saya bisa pastikan saya ini bukan jenis manusia pembosan. Ambil contoh soal pacar. Saya nggak bosan punya pacar Papap sampai 10 tahun. Urusan dia ternyata bosan sama saya, ya, masalah dia toh? Lalu, bagaimana mungkin saya ini pembosan kalau saya masih memakai baju yang saya beli 7 tahun lalu? Ya, kan? Atau sepatu? Saya jarang ganti sepatu selain karena sepatu saya rusak. Karena saya selalu memakai sepatu jenis boots, ya, biasanya lebih dulu sepatu itu berubah warna daripada rusak beneran. Alasan lain, sampai sekarang saya masih bekerja di perusahaan yang sama sejak 11 tahun lalu. Yah, walaupun soal yang terakhir ini mengandung unsur kebodohan sekaligus sentimentil dari pihak saya, fakta terakhir ini jelas mengukuhkan karakter saya yang bukan pembosan.

Bicara soal bosan, si Mami pernah hampir batal puasanya tahun lalu gara-gara pembantu rumah tangganya. Ceritanya si pembantu minta ijin pulang kampung jauh-jauh hari sebelum Lebaran dan bilang ke Mami kalau dia tidak akan balik lagi. Pertanyaan Mami kenapa mau pulang cepat dan nggak balik lagi dijawab singkat oleh si Embak.
"Bosen, Bu."
Kejadian setelah itu lebih baik tidak saya ceritakan demi terciptanya perdamaian dunia. World Peace.

Sekarang, saya mau pindahkan setting si embak tadi ke kantor kita (Iya, kita! Elu juga!). Salah satu alasan kenapa kita berniat pindah kerja adalah karena kebosanan itu. Bosan dengan pekerjaan yang itu-itu aja. Bosan dengan kolega yang itu-itu aja. Bosan dengan model berantem yang itu-itu aja seperti pada pengalaman pribadi saya. Bosan dengan bos yang itu-itu aja (Bos itu pasti gak pernah dipromosiin). Bosan dengan gaji yang segitu-gitu aja. Bosan dengan lokasi kantor yang enggak pernah pindah ke Bali. Bosan dengan makanan kantin yang dari Senin sampai Jumat nggak pernah berubah menunya. Pokoknya bosan! Pengen ada tantangan! Well, if boredom is human, so is challenge.

Sekarang saya mau menanyakan pertanyaan 1 juta dollar (karena biaya saya berobat setelah dikeroyok anda rame-rame mungkin bisa mencapai sejumlah itu).
Pertanyaannya: Apakah kebosanan itu sendiri etis dijadikan alasan untuk pindah kerja?
Memang ente tahu di kantor baru ente nggak bakal kena penyakit bosan juga?
Memang ente yakin tantangan di kantor baru akan membuat ente jauh lebih berasa hidup?
Atau jangan-jangan kebosanan itu sendiri sebenarnya adalah wujud ketidak mampuan kita untuk mencari tantangan di pekerjaan kita yang sekarang?
Apakah kita bisa mencari tantangan di pekerjaan yang baru?

Jawabannya jelas balik lagi ke motivasi kita masing-masing saat memutuskan untuk pindah kerja. Bosan nggak bosan, tantangan ada atau enggak, yang penting gaji lebih gede. Misalnya. Bosan nggak bosan, kantor sekarang lebih dekat rumah. Bosan nggak bosan, yang penting gue nggak ketemu muka lu lagi! Dan seterusnya. Semuanya alasan yang manusiawi seaneh apapun motivasinya. Hanya saja, call me old-fashioned, but I value someone based on his/her motive shown by his/her reasoning. Seperti juga si Mami yang langsung me-black list pembantunya itu (yang 2 bulan kemudian minta balik lagi ke si Mami) yang menilai karakter si embak dari alasan yang diucapkannya. Karakter kita pasti akan dinilai orang saat alasan-alasan keluar dari mulut kita.

Balik lagi ke soal bosan. Terkadang kata bosan keluar hanya untuk mencari jalan tersingkat untuk menyediakan alasan. Sementara alasan bahkan masalah yang sebenarnya malah tidak terselesaikan. Bukan begitu?

.... adalah Hak Setiap Bangsa

Kemerdekaan adalah Hak Setiap Bangsa


Suara laki-laki kecil itu lantang menembus udara pagi yang masih basah dengan embun. Dia mungkin tidak menyadari bila satu kalimat yang telah dia ucapkan telah membuat kami terdiam dalam suatu kesadaran yang mungkin baru datang setelah waktu lewat lebih dari hitungan belasan tahun.

Pagi tanggal 17 Agustus itu saya mendapat tugas mengantar Hikari ke sekolah untuk upacara sementara Papap harus menghadiri upacaranya sendiri. Ini upacara tujuhbelasan pertama yang akan dihadiri oleh Hikari. Konsep upacara pun masih tak jelas untuk seorang Hikari.

"Ma, upacara itu apa sih?" Itu pertanyaan Hikari di perjalanan menuju sekolah. Jawaban standar saya yang hanya menjelaskan soal-soal teknis tentang arti upacara tidak memuaskan Hikari.
"Kenapa harus upacara?" tuntut Hikari.
Kenapa? Kenapa?
Karena kita merayakan kemerdekaan kita?
Ah, terlalu dangkal. Kita bisa juga merayakan kemerdekaan dengan menyanyi-nyanyi kan? Atau ikut tarik-tambang? Atau ikut panjat pinang? Atau ikut pengajian syukuran kita sudah merdeka? Atau sekedar sujud syukur di pagi buta untuk tidur lagi kemudian?
Kenapa?
Karena kebiasaan?
Jawaban bunuh diri itu namanya.
Akhirnya saya memilih diam. Dan pertanyaan itu belum terjawab oleh saya. Sampai sekarang. Entah kenapa, Hikari juga memilih diam. Tidak menuntut jawaban seperti yang biasanya dia lakukan.

Kami sampai di sekolah bersamaan dengan datangnya anak-anak lain. Mereka semua riang-riang. Tidak ada yang merengut karena harus bangun pagi hanya untuk upacara. Murid-murid kemudian berkumpul di lapangan bersama dengan guru-guru mereka. Murid-murid berbaris rapi di lapangan. Tidak ada raut wajah terpaksa atau tegang. Guru mereka berdiri di belakang barisan dengan muka yang ramah. Petugas-petugas upacara cilik menempati posisi mereka dengan riang. Lalu, entah bagaimana awalnya, para orang tua ikut serta berdiri bersemangat mengikuti jalannya upacara walau dari pinggir lapangan.

Upacara dimulai. Mula-mula inspektur upacara, laki-laki kecil yang bertubuh besar berusia 9 tahunan, masuk ke tengah lapangan dengan sikap tegap. Tangan kanannya mengayun bersamaan dengan kaki tangannya. Lalu tangan kiri diayun berbarengan dengan kaki kirinya. Kami, para orang tua, tersenyum geli, tapi manusia-manusia Indonesia cilik di tengah lapangan itu tidak ada yang tertawa mengejek.

Kemudian, tiga orang petugas pembawa bendera cilik mendapat giliran untuk berjalan. Berbeda dengan para Paskibraka yang menjalankan tugas mereka di Istana Negara dengan segala gerakan yang telah diatur dengan cermat, petugas-petugas cilik ini berjalan dengan langkah percaya diri walau tanpa keteraturan tangan dan kaki. Ketika mereka akhirnya sampai di depan tiang bendera, para orang tua menahan napas. Apakah anak-anak kami itu mampu menjalankan tugasnya? Menaikkan bendera tanpa terbalik? Buat para orang tua yang jaman sekolah dulu kenyang dengan urusan baris berbaris menaikkan bendera ala militer, melihat para petugas cilik itu begitu percaya diri sekaligus tanpa beban membuat kami bergidik. Bukankah bendera begitu sakral? Kalau sampai terbalik, apakah ada yang akan dihukum push-up?

Lima belas menit kami semua menunggu. Lima belas menit! Menunggu tangan-tangan kecil mereka menalikan bendera ke talinya. Menunggu tangan-tangan kecil itu siap menaikkan bendera di tiangnya. Saya memandangi para peserta upacara. Suasana tetap khidmat. Tak ada ketegangan seperti upacara-upacara bendera yang kami tahu, tapi tetap khidmat. Tidak ada yang ribut dan berulah hanya karena harus menunggu bendera disiapkan selama lima belas menit. Kamera dan handycam telah lama disiapkan para orang tua untuk mengabadikan momen terpenting itu. Lima belas menit lewat, sebuah teriakan tegas terdengar dari mulut kecil seorang petugas.

"Bendera, siap!"
Kami, para orang tua, didikan jaman suatu orde dimana upacara dianggap lambang nasionalisme menahan napas. Dan ketika bendera terbentang sempurna dari jari-jari cilik para petugas, dada kami menggembung bangga. Ah, tapi para guru mereka sepertinya tak terpengaruh. Wajah mereka tetap wajah penuh kebanggaan kepada anak didik mereka sejak upacara dimulai hingga detik ini.
Inspektur upacara cilik lalu meneriakkan perintah memberi hormat. Dirijen cilik lantang menyanyikan bait awal lagu Indonesia Raya. Seluruh peserta upacara memberi hormat dan mulai menyanyi. Entah siapa yang memulai, kami, para orang tua yang berdiri berjajar tegap di pinggir lapangan memberi hormat pada bendera, dan menyanyi. Kami bernyanyi Indonesia Raya!



Belasan atau mungkin puluhan tahun telah lewat sejak upacara terakhir kami di sekolah. Mungkin juga sudah belasan atau puluhan tahun telah lewat sejak hati kami merasa tergetar saat mendengar lagu Indonesia Raya. Hari itu, kami ikhlas menyanyikan lagu Indonesia Raya, menghormat kepada bendera Merah Putih, mendengarkan Pancasila dan Pembukaan UUD 45 dikumandangkan tanpa sedikitpun berharap upacara segera berakhir. Walau tanpa pakaian putih gagah milik anggota Paskibraka dan tanpa gerakan baris-berbaris penuh perhitungan milik para anggota militer, upacara kali itu begitu penuh perasaan. Dan kebanggaan! Rasanya seperti kami menurunkan suatu warisan kepada anak-anak kami. Anak-anak yang menjadi masa depan negara kami!

Sebelum masuk ke mobil untuk pulang ke rumah, seorang ibu berkomentar.
"Apa tahun depan anak-anak perlu dilatih baris-berbaris ya? Supaya lebih rapi?" tanyanya ragu.
Orang tua lain tak langsung menjawab. Kami saling menatap. Tanpa dikomando kami menggeleng. Termasuk ibu yang bertanya tadi.
"Biarin aja lah bagaimana anak-anak itu. Toh benderanya terbuka dan naik juga."
"Iya. Biar aja model upacaranya seperti ini. Gak bikin nasionalisme berkurang juga kan?"

Kami pulang dengan puas. Dengan kesadaran baru bahwa nasionalisme tidak diukur dari berapa derajat kaki petugas upacara harus dinaikkan. Tidak diukur dari tinggi badan seorang petugas paskibra. Ketika kemerdekaan adalah hak setiap bangsa, seharusnya kita bisa merdeka juga dalam mengekspresikan rasa nasionalime kan?

Is it too difficult to appreciate others?

If you guys read my previous post, you probably remember that just recently I was busy with a project. Actually right now, I am in the state of enjoying the end of that project's frenzy. I am vacationing my thinking and emotional organs and in the middle of considering taking a week off. Now, let's go back to Saturday.

Saturday morning, the same like you guys, I also watched the news about our police trying to capture the number 1 terrorist in Indonesia. I knew about the whole drama quite later than perhaps most of you. Although I was quite confused on why it took 18 hours to get 1 guy, I was glad they got him anyway. It's like... it's about time!

Then, the second news shocked me more when I learned that the police seized a hundred something kilos of bomb from Jatiasih. Jatiasih? It's like our front yard!
You see, Jatiasih is really near to my house. My parents also live in one part of Jatiasih. And the fact that those people were planning to do Mr. President's house is very terrifying to me. My son goes to the school which is in the same compound as Mr. President's house! I don't care how many soldiers they have put at my son's school. I won't be able to sleep well until the police catch them all! So it won't be difficult to guess my reaction when I learned that the police were able to kill two suspects and capture one.

Saturday evening. The news evolved. Now, the media told us the police caught the wrong guy in Temanggung. He is not the famous Mr. N. He is just Mr. N's accomplice. Soon enough the cheering became sneering. Suddenly, the police's success of uncovering some bomb plots went sour. Nobody cares about the other people captured. And it just doesn't make sense to me. Are they not terrorist enough?! It's like Mr. N or not Mr. N. Even Mr. N's accomplice is not enough for appreciation. What?! An accomplice captured doesn't need a tap on the shoulder and a well-done note?

Just a couple of days before Saturday I also experienced the same thing. Remember the project at my office I was talking about? Remember the hardwork I told you my friends and I had done for the project? Nevertheless, the result was not satisfying due to reasons we didn't quite comprehend yet. The evening before the D day, the most important person in the whole organization told us in the face that WE simply hadn't done our best for the project. Suddenly all of our hardwork was unimportant.

So, guys, how do you usually appreciate other people's work?
Do you appreciate the work only if the result satisfies you? Or do you appreciate the work done well regardless of the result?
Are you one of those people who fancy saying, "I know you have done your best, but your best is not good enough?"
Let me ask you, what is best? Whose standard do you use to define the word best?
I would love to hear that the guy captured Temanggung is really Mr. N as much as you would. However, I appreciate all the hardwork done by the authorities, Mr. N or not Mr. N as long as he is indeed a terrorist. Who are we to judge the police haven't done their best? Unless we have tried to do their job before...

Confidence is...

Confidence is what you have before you understand the problem. -Woody Allen


I found this saying above by Woody Allen a few months back and I giggled. I liked what he said and couldn't help myself agree with him. At that time, I didn't realize I would meet a situation so true like the saying.

Just a few days ago, the staff and I were in the middle of a panicky-and-chaotic situation. We were going to hold a big event, but something went unexpectedly wrong: nobody seemed to be interested in signing up. The staff were having butterflies in their stomach. I didn't have butterflies. I had bees.

To tell you the truth, the event was actually not our project. We were not even a committee. At least, I know I wasn't. Our name was not on any paper or proposal, except for flyers (*blaming the boss*). The event suddenly became our project only because it was held in our office. What a nice modus operandi! We became so emotionally-physically-mentally attached to the event because of our feeling of responsibility. If things screwed up, our office would take the blame. Nobody out there would even bother to read the proposal to find out who is the committee and who is not. So, there we were. Doing the job of other people. Couldn't even complain about it.

It was rather funny (in a sillier way) actually when I remember how confident most of us were in the beginning. And one person was even more confident than the rest of us. He-who-must-not-be-named was everything but humble. He thought he had orchestrated a very beautiful symphony with players eager to do what he commanded. He was so proud about it and couldn't let us have peace without him telling us how great his performance was. I was bored to death but people say murder is a crime so I restrained myself from the urge to kill him. Trust me, I was that close.

Then things started to fall apart. He found himself confronted with the ugly situation. He understood... and soon enough his confidence dropped.

I learned something about people that very second. When people are confronted with an ugly situation, they usually would react in two predictable ways: blame others or deny. He-who-must-not-be-named was rather outstanding. He did both: He blamed others for not playing the role he put upon them and then denied that there was a problem. Rather contradictory, don't you think?

At the end of the day, I think we have to do it the other way around. Instead of being confident at first and comprehending later, we might want to understand all the facts first then build our confidence step by step. It is a safer journey.

Blogger Templates by Blog Forum