That Pesta Blogger...


The party is over. Now, I guess, I'm left with moral responsibilities to tell you how the party was, how my impression is.

I didn't stay until the last session. I left after lunch because my friends had some boring things to do (haha!) and I had to be back with Hikari who has a mild fever.
Anyway, for this PB08, I can't help comparing between the first and the second parties. Of course, still they both are incomparable by nature.

First, I cannot say that this year Pesta Blogger was attended by more people than the previous party. The PB08 was still crowded with people. Besides, I'm not good at numbers, I don't want to be held responsible for any statistic mishap. One thing for sure, the number of sponsors was overwhelming yesterday. We all got nice souvenirs and a lot of junk fliers. I especially love the paper bag printed with Pesta Blogger symbol on it. I collect paper bag, indeed.

The place where the PB08 was held was I thought more convenient for gathering than the previous place. The room had a balcony. Now, this is the tricky part. Most people who chose to sit in the balcony couldn't really pay attention with the discussions below (on the stage). My friends and I were no exception. We were busy taking pictures, chitchatting, gossipping, clapping hands... you name it. The problem was there was a considerable distance from the stage to the balcony. In the balcony, we were safe to do whatever we wanted to do. If you didn't feel like listening to the discussions and had an urge to take pictures, chitchatting, the balcony is your place of refuge.

This year Pesta Blogger also had more formal discussions, not to mention the speeches. As a teacher, I was used to speeches and discussions. Not necessarily loving them, though. As for other bloggers around me, I couldn't say the same thing. It was kind of sad (like the Oh-I-wish kind of sad), considering the discussion with the foreign bloggers was actually interesting. I also wish the moderator could dig deeper when the foreign bloggers were talking, not just asking how they felt about being in Indonesia. It's so tourist-ish. And probably, for the next time, the committe could figure out some formats of discussion that can engage most participants. To tell you the truth, speech -the formal one- is not one of them.

And then there is one thing: The theme of PB08 is Blogging for Society. It's really an interesting topic. Unfortunately, until the end of the first session (before lunch break), I couldn't get what actually the committe wanted by having that theme, or what they wanted the bloggers to do with the theme. Or may be I missed it? Shouldn't they have told us what Blogging for Society was? Or why? or How? Probably it's just in my nature to ought to have everything clear, explained, directed. I kept waiting the time when the committee would tell us, "Okay, guys, so now you know what Blogging for Society is. Then, go out there and do it!" You know, a kind of mass action. For the betterment of our country, of course.

Lunch, on the other hand, was in a better arrangement than the previous year (hahaha...). I guess the committee finally realized that in event like this, you simply cannot have a serve-yourself (buffet?) lunch.
All and all, I had a great time. I met friends from the previous party. I met new ones too. I even managed to take a picture with the chairman (*chuckled*). My rombongan sirkus also came, although two of them couldn't make it (your loss, guys). We even had a resolution to set up a blogger community (hopefully, this is not just a resolution). I went home with stories for Papap (he couldn't attend because one of us had to take care of Hikari).

Yes, this year's party has an air of more formality (and some complained about it) but it has more detailed arrangement. Most things were nicely and neatly in order. I wish I could stay longer. In the end, BRAVO for the committe! Good job!

And for those who were present in spirit and wishes, I wish you were there with us too!
Pesta Blogger

My rombongan sirkus: Sitha si baju coklat and Kenny si kaos putih. We disconnected our line with the office for the day. Well, at least two of us did and one of us tried to hahaha...


With Sir Mbilung. Unfortunately I didn't have a chance to meet NengJeni. Another time, mbak?

Jawab dong!

Adalah si Santi, seorang ahli multilingual sekelas rocket scientist, yang sering mencekoki kepala saya dengan ide-idenya yang brilian. Sebelum hari ini, kalimat terakhir dari dia yang saya ingat adalah, "Elu jangan mati dulu, Dep. The country needs people like you." Ya ampuuuuunnn... That's what I call a motivational speech!
Tadi siang dia kembali ke layar YM saya dengan satu pertanyaan dahsyat, "kenapa sih elu gak pernah ngebales komen orang di blog elu?"
Saya langsung speechless.

Pertanyaan yang susah dijawab. Apalagi karena di depan saya lagi ada boss...

Sebenarnya, Jeng Santi bukan orang pertama yang bertanya tentang hal ini sih. Cuma, dia yang pertama kali bertanya plus memberi background reasons atas pertanyaannya.
Kenapa ya saya gak jarang merespon komen pembaca blog saya?
Jawabannya sebenarnya sederhana:
1. Koneksi internet saya itu paling banter cuma bisa buat ngebaca komen. Kalau mau ngebales, ya ampuuuuuun, dodolnya setengah mati.
2. Memang awalnya saya punya konsep, atau prinsip, atau konsep plus prinsip bahwa ruang tempat pembaca berkomentar adalah ruang bebas intervensi. Maksudnya, seperti blog saya yang isinya benar-benar sesuai isi jidat saya tanpa pembaca boleh protes *grin*, ruang komentar juga ruang tempat pembaca bersuara sesuka hatinya tanpa saya ikut protes. Jadi, sehabis membaca komen para pembaca, saya ketawa-tawa sendiri, ngedumel-dumel sendiri (tapi berkeras hati gak mau intervensi), mikir-mikir sendiri. *sungguh egois!*
Lalu gimana dong kalo ada pembaca yang berkomentar keterlaluan? Ya, kalo saya gak setuju, saya bikin posting khusus untuk mengomentari komentar si pembaca tadi.
Tapiii, sumpah, saya selalu membaca baik-baik semua komentar pembaca. Kan seneng kalo ada yang isi komen. Kesannya jadi ada yang baca blog gue, gitu loh hehehe...
3. Tadinya, dibandingkan dengan menjawab komentar pembaca di blog (lihat alasan no. 2), saya juga lebih memilih untuk berkunjung ke blog-blog pembaca saya. Alasannya juga karena koneksi internet yang berharga banget sehingga saya harus memilih mau ngapain nih gue begitu koneksinya nyambung supaya gak kena jebakan batman. Selain itu, saya merasa sudah kewajiban saya untuk membalas kunjungan. Etiketnya begitu. Tapi, seringkali koneksi internet menjadi penjahat atas niat mulia saya... *hayah*

Tapi, tadi siang Santi memberi saya alasan-alasan yang sangat luar biasa untuk disanggah. Katanya: Kalo saya pergi ke blog pemberi komen kan isi postingannya beda. Kalo komen pembaca gak dijawab di blog (saya) sendiri, gak akan terjadi diskusi. Topiknya jadi nganggur. Padahal diskusi itu kan salah satu alat mencerdaskan bangsa (bo'ong deh, yang terakhir ini saya yang nambahin).
Itu satu alasan penting dari Santi yang saya ingat. Dia tadi nulis banyak juga soalnya. Dan, jangan lupa ada faktor boss yang berdiri di depan saya. Eniwei, saya terkesan dengan alasan-alasan yang tadi dia kasih ke saya. Dia sungguh... seorang pendidik sejati!

Well, let me tell you something, San. What you said is another way of seeing things. I might agree with you .
Kalau anda sendiri, bagaimana perlakuan anda terhadap komen di blog anda?

Hikari...

Hikari tampil ngegaya. Disini juga ada. Giginya sudah hilang 3 *meratapi wajah ganteng anakku* tapi teteup pengen gaya.

Berdandan lah, wahai para ibu dan tante!

Para bapak, ibu, dan tante atau om dengan keponakan, jangan berbangga dulu kalau punya anak atau keponakan yang ganteng, cantik, lucu, berkulit putih halus, mirip orang Eropa, dsb. Sebelum anda sekalian berbangga hati, nasehat saya, sebaiknya anda berkaca dulu. Mirip gak tuh anak sama anda....

Hikari yang putih dan sipit itu bagi saya jelas anak paling ganteng sedunia. Kalau sudah begitu, rasanya kemana pun dia pergi, saya mengikuti dia dengan dada membuncah saking bahagianya. Sewaktu pertama-tama tiba di Jepang, dada saya masih membuncah. Sebulan kemudian, setelah adik bungsu saya yang ikut menemani kami pindahan ke Jepang kembali ke Jakarta, si Mami menelpon saya.
"De', udah jalan-jalan kemana aja?"
"Kesana kesini kesana..."
"Kalau jalan-jalan, jangan lupa dandan ya."
"Dandan? Tumben Mami ngomongin dandan."
"Iya. Jangan lupa dandan."
"Kenapa memangnya."
"Iya. Jangan lupa dandan!"
"Iyyaa. Tapi kenaapaa?"
"JA-NGAN LU-PA DAN-DAN!"
"IYYAAA. Tapi kenapaaaa?!"
"Anak kamu kan putih..."
"Terus?"
"Sipit..."
"Terus?"
"Cakep..."
"TERUUUS?"
"Kayak anak Jepang..."
"..................."
"KAMU KAN ITEM! KALAU JALAN SAMA DIA, KAMU DISANGKA PEMBANTUNYA, TAU!"
Kalau adek bungsu saya ada di dekat saya saat itu, benjol seribu pasti kepalanya saya pentung! Ternyata dia laporan sama si Mami kalau saya, Papap, dan Hikari berjalan-jalan di jalanan Jepang, kami lebih mirip gambaran seorang ayah Jepang dan anaknya yang sedang berjalan-jalan bersama pembantunya yang seorang TKW asal Indonesia...

Cerita sedih ini ternyata bukan milik saya seorang.
Sebut saja Nona Y. Seorang perempuan akhir 30-an, berdarah Arab, berkulit hitam, dengan tubuh pendek. Dia punya keponakan lucu cantik mirip orang Arab sejati yang berkulit putih mulus, berhidung mancung, bermata bulat cantik, berbulu mata lentik.
Suatu hari, si Nona Y yang pecinta anak-anak ini mengajak keponakannya jalan-jalan di mall. Dasarnya memang pecinta anak, aura Nona Y yang terlihat di mata orang memang sangat penuh kasih, penuh perhatian, penuh cinta.
Tiba-tiba dia didekati seorang ibu-ibu.
"Mbak, dari yayasan mana?"
"Hah?!"
"Dari yayasan mana? Saya mau cari baby sitter yang perhatian kayak mbak."

Mau ketawa, tapi saya gak tega...

Persepsi!

Kami berdiri berdampingan di depan stan penerbit & penyalur buku-buku dan ensiklopedia import. Sambil ngeces.
Sang teman membolak-balik lembaran ensiklopedia impor yang mengilat.
Saya mendengarkan si penjual mempromosikan kecanggihan barang jualannya.
"Ini berguna sekali, bu. Kalau Ibu pesan sekarang, saya kasih diskon 20%."
Sang teman melirik saya.
"6 juta 5 ratus. Murah, bu, dengan diskon."
Teman saya keselek.
Saya mengangguk-angguk.
"Bisa dicicil juga, bu. Cicilannya... bla bla bla.."
"Bisa pakai credit card juga, bu."
Saya mengangguk-angguk.
Teman saya batuk-batuk.
"Gimana, bu? Pesan sekarang?"
Saya berdehem. "Saya minta kartu nama mbaknya deh. Minta brosurnya juga."
Wajah si penjual langsung berseri-seri.
Kami meninggalkan stan begitu kartu nama dan brosurnya ada di tangan saya.
2 meter dari stan, teman saya menyikut.
"Gila lu, mau beli?"
Saya meliriknya.
"Siapa yang bilang mau beli?"
"Lah elu tadi minta brosur?"
"Emang gak boleh?"
"6.5 juta mahal, tau!"
"Yang bilang murah sapa?"
"Lah elu tadi kalem banget waktu disebutin harganya! Gue aja hampir copot jantung."
Saya menghadapkan diri ke muka teman saya.
"Coy! Miskin boleh aja. Itu realitas. Tapi kan kita gak perlu nunjukin ke orang laen kalo kita miskin..."

Pesta Blogger 2008: Past & Future

Sudah siap ke Pesta Blogger 2008, teman-teman?
Sudah beli baju baru? Booking salon? Nyari PP (Pendamping Pesta)? Minjem peta lokasi pesta? Survey lokasi? Sudah siaaaaaaaap???

Saya belum.

Ada yang berbeda mengenai PB08 ini buat saya pribadi.

Pertama, tahun lalu saya sudah heboh sekaligus deg-degan sendiri jauuuh sebelum pemesanan tiket pesta itu dibuka untuk umum. Tahun ini, sehubungan dengan koneksi internet saya yang byar pet, saya baru tahu tentang pesta ini PAS tanggal pemesanan tiket dibuka! Kok beruntung sekali! Coba bayangin kalau saya tahunya baru bulan depan. Siapa yang rugi coba kalo saya enggak ikutan? (Ya, saya sendiri lah. Itu sudah pasti!)

Kedua, tahun lalu saya dapet undangan *pipi bersemu merah, if that's possible*. Tahun ini... masih untung saya enggak telat daftar!!!

Ketiga, tahun lalu si Nenek FM gak dateng. Tahun ini... Keep on dreaming, yeah, baby...

Keempat, tahun lalu saya datang ke pesta tergesa-gesa dari kantor, kehilangan menit-menit penting pertama, hp jatuh di lantai marmer dingin sampai case-nya bubar berantakan, pulangnya enggak dapat bis. Tahun ini, saya bersumpah tidak akan mau dipaksa masuk kantor! Tidak akan mau berangkat dari kantor! Saya juga sudah menyeret Papap untuk ikut daftar di pesta. Untung dia dapat tiket juga... *lega*

Kelima, tahun lalu saya celingukan di ruang teater yang temaram tanpa tahu mau duduk dimana, duduk disebelah siapa, siapa yang duduk di sebelah saya. Tahun lalu saya benar-benar pejuang solo karir. Tahun ini saya bersumpah tidak mau celingukan lagi! Setidaknya, tidak sendirian! Jadi, saya mengajak rombongan sirkus dengan pemain A, B, C, D supaya saya bisa sok sombong (udah sok, sombong pulak) njelasin ini itu kepada rombongan sirkus saya tadi itu tentang bedanya PB07 dan PB08. Kan mereka anak baru.... Persoalan hari Senin di kantor saya disumpah-sumpahi mereka, saya pikirin belakangan saja.

Sekarang, baru lah saya siap-siap...

Expectation. Yours truly.

Dulu, duluuuu banget, sewaktu saya masih umur-umur SMP dan SMA, si Mami selalu mengomeli saya setiap kali beliau mendapati saya sedang uring-uringan karena kecewa. Kecewa terhadap tingkah laku, perlakuan orang kepada saya.
Ya. Saya memang seringkali marah, kecewa, ujung-ujungnya uring-uringan sakit hati setiap kali ada orang yang seenaknya membatalkan janji atau mengingkari ucapannya pada saya.
Seorang tante yang (lebih dari 3x) secara last-minute membatalkan janji dengan saya.
Seorang kerabat lain yang (juga lebih dari 3x) menarik ucapannya.
Seorang teman yang (bolak-balik) cuma bisa janji-janji untuk ini itu.
Berbeda dengan banyak orang yang menganggap pembatalan janji tanpa alasan, penarikan ucapan tanpa rasa tanggung jawab, pengumbaran kata-kata tanpa nilai-nilai, pemberian janji tanpa niat untuk melakukannya itu suatu hal yang biasa, lumrah, tak perlu dimasukkan hati, saya tidak bisa melihat kelumrahan dibalik semua itu.
Saya bisa termangu-mangu.
Berpikir keras tentang alasan logis yang -menurut saya- harusnya ada.
Lalu, menangis diam-diam.

Menurut si Mami, sebagai manusia, saya terlalu punya ekspetasi tinggi terhadap manusia lain.
Menurut si Mami, saya terlalu menganggap tinggi nilai-nilai para manusia.
Menurut si Mami, hanya karena saya selalu (berusaha) lurus dan baik, saya jadi menganggap atau mengharapkan orang juga selalu lurus dan baik.
Menurut si Mami, hanya karena saya selalu menepati janji, saya berharap orang lain juga menepati janji mereka.
Menurut si Mami, hanya karena saya bekerja keras, saya berpikir orang lain juga harusnya melakukan hal yang sama.
Menurut si Mami, saya itu.... antara bodoh dan naif...
Si Mami, sebagai seorang ibu, benci melihat saya sakit hati.

Sejak dulu, si Mami selalu menasihati (dengan nada yang enggak bisa dibedain dengan ngomel-ngomel) saya supaya tidak terlalu polos. Tidak terlalu melihat dunia dengan nilai kesempurnaan yang tinggi.
Kalau berjanji, harus ditepati.
Kalau berkata, harus ada integritas.
Kalau berpikir, harus logis.
Kalau berjiwa, harus manusiawi.

Saya berusaha. I could say I did. I tried very hard.
But, I failed.

Saya kembali menjadi saya.
Yang melihat dunia dengan kepolosan.
Yang memandang manusia dengan ketinggian nilai-nilai integritas.
Yang meminta kesempurnaan dari setiap janji, nilai, pemikiran...
Apa hasilnya?
Saya jatuh.
Bangun lagi.
Jatuh lagi.
Jatuh lagi.
Bangun lagi.
Jatuh.
Kembali jatuh.
Bangun dengan terseok-seok.
Jatuh.
Lalu bangun.
Untuk jatuh lagi.

Si Mami kembali menasihati saya.
Mungkin hati beliau sudah berdarah-darah melihat saya.
Mungkin mata beliau sudah merah menangisi saya.
Tapi satu yang saya tahu pasti.
Jauh di dalam lubuk hatinya,
Beliau bangga pada kegigihan saya.
Untuk berharap pada manusia.

Bukan saya yang harus menurunkan ekspetasi saya kepada manusia.
Ekspetasi saya baik-baik saya.
Biarkan orang lain yang menaikkan nilai dirinya,
untuk memenuhi ekspetasi saya.

Pertanyaan saya sekarang: apakah saya hanya seorang diri?

*untuk teman saya yang hatinya masih penuh pengharapan pada nilai-nilai kemanusiaan. It's still there. Or, at least, I am still here.

Blogger Templates by Blog Forum