Ape kate lu aje...

"Mama Hikari kerja dimana?"
Begitu pasti pertanyaan ibu-ibu di sekolah Hikari. Iya, sekolah yang itu tuuuh.
Atas pertanyaan seperti itu, saya selalu menjawab jujur.
"Di yayasan A."
"Oooh! Ngajar?" begitu pasti bunyi lanjutannya secara yayasan A itu katanya ngetop akan urusan ngajar menghajar.
"Iya."
"Wah! Pinter dong ya bahasa Inggrisnya..."
"........................................................"

Eniwei, lanjut.
Entah kenapa, profesi seperti saya itu selalu menjadi diskusi yang berkepanjangan.
Seperti si ibu itu yang tiba-tiba membrondong saya dengan suatu wacana: Dampak negatif bahasa asing pada orang Indonesia.
Sigh. Tolong.

"Begini, loh, Ma. Saya itu kok kuatir dengan banyaknya sekolah-sekolah yang menawarkan sistem bilingual."
Lah? Anak lo kan sekolah di sini?
"Kalau sampai mereka gak bisa bahasa Indonesia gimana?"
Lah? Emak bapaknya ngapain aje?
"Saya tuh gemes deh kalau nonton orang-orang di tivi sok-sok-an pake bahasa Inggris. Sedikit-sedikit pake bahasa Inggris."
Lah? Kok ditonton?
"Apa biar disangka hebat kali, ya, Ma?"
Hebat? Saya? Oh, terima kasih.
"Apa memang diajarinnya begitu ya?"
"Saya kok gak terlalu suka anak saya sok nginggris begitu ya?"

Jadi, bayangkanlah muka saya selama 20 menit pembahasan mengenai rasa gemas si ibu akan kegemaran orang-orang mencampur aduk bahasa. Mungkin itu hukuman untuk saya karena datang menjemput Hikari terlalu cepat...

Bel keluar sekolah berbunyi, muka saya mendadak ceria. Akhirnyaaa...
Tidak lama gerombolan ibu-ibu lain mendatangi kami. Sedetik kemudian percakapan yang saya tak mengerti terjadi.
"Iya, majelisnya hari Jumaah ya."
"Syukron deh."
"Akhwat semua ya?"
Ikhwan, Ahad, Istiqomah, Walimah, Kaffah(?), Afwan, Antum, Jazakillah, Ana,

".................................."
Dampak bahasa apa tadi katanya? Ape kate lu aje deh...

Trik Beli Mobil

Sewaktu sepupu saya berniat membeli mobil, dia sengaja cari mobil yang ruang dalamnya kecil. Hanya cukup untuk dirinya si supir, istrinya, dan anaknya dua dibelakang. Uwak saya -ayahnya dia- ngomel panjang lebar waktu mobil barunya itu dibawa pulang.

"Beli mobil kecil begitu... Buat apa?! Penumpang sedikit! Gak bisa dipake buat angkut keluarga!!!"

Sepupu saya sambil nyengir lebar berbisik pelan ke saya, "emang sengaja beli yang kecil biar gak ditumpangi dan gak disuruh Bapak nganterin orang-orang...."

Oalaaahhh... Pantesan mobilnya dengan penghuni si mobil kok sizenya gak matching gitu. Penghuninya kan berbodi raksasa semua sementara mobilnya liliput.
Akalnya bole juge tuh dalam memilih mobil, secara dia itu kakak beradik aja jumlahnya 8 orang.

Tapi trik dia ini udah gak bisa dipake sama kita-kita lagi. Udah expired secara semua sesepuh udah paham. Sekarang, anak-anak muda pewaris keluarga ini sedang mencari trik lain yang sama ampuhnya tanpa perlu menyerukan slogan jelangkung: Datang tak diundang, pulang tak diantar....

Dengan Damai

Saya terpekur membaca tulisan teman tersayang saya yang nun jauh disana. Kalau para hadirin sering berkunjung ke blog nenek-cantik-berwajah-remaja itu (yang tak perlu lah saya tunjukkan jalannya karena saking ngetopnya), anda pasti telah membaca tulisannya tentang 'Kapan seseorang siap menjadi ibu?'

Nek, saya tak punya jawaban atas pertanyaan dirimu. Saya hanya pernah berada di sisi yang berbeda. So, please spare me a minute. I'll tell you a story...

Di kehidupan saya yang dulu, saya tak pernah suka anak kecil. Saya menghargai mereka sebagai individu, tapi tak pernah bisa melihat dimana lucunya seorang anak kecil. Sama seperti saya tak bisa melihat dimana lucunya seekor puppy. Jadi, jangan suruh saya untuk menggembala keponakan-keponakan kecil, karena I'd just turn their day into a hell without realizing it. Bila seorang kolega membawa anaknya ke kantor dan teman-teman yang lain sibuk memuji kelucuan si anak, saya tak pernah ikut-ikutan. Saya bahkan pernah yakin seyakin-yakinnya kalau kelakuan seorang anak itu 95% akibat didikan orang tuanya. Akibatnya, ketika seorang anak kecil bertingkah 'bandel', saya tak bisa melihat kelucuan dari tingkahnya.

Let me tell you one of my darkest moment:
Suatu hari, di food court sebuah mall, saya dan teman-teman sedang duduk menikmati makanan. Seorang anak berusia 6 tahun mondar-mandir di dekat meja kami sambil membuat keributan: lari-lari, menyenggol meja kami, teriak-teriak, batuk dan menarik ingus di dekat kami, berdiri di samping kami yang sedang berdiskusi, dan lain-lain. Ibunya tak terlihat gerah walau saya rasanya sudah berasap. Ketika rasa sabar saya habis, saya memesan sebuah ice cream cone bertingkat dua yang terlihat sangat-sangat menggiurkan. Saya melihat bagaimana kedua bola mata anak itu hampir loncat keluar melihat es krim saya. Dan tahukah apa yang saya lakukan? Dengan sengaja saya menjilati es krim itu di depan pandangan matanya. Saya tahu dia sebelumnya dilarang minum es krim oleh ibunya...
Segitu teganya saya pada anak kecil.

Papap pun setali tiga uang. Ia -yang anak bungsu- juga tak punya empati rasa lucu pada seorang anak kecil. Maka, ketika kami akan menikah, kami berencana untuk menunda punya anak.

Rencana tinggal rencana. Saya langsung hamil setelah menikah. Kejadian ini membuat tante bungsu saya -yang usianya hanya lebih tua dua tahun dari saya- frustasi berat. Sebagai tante bungsu yang terkenal penyayang keponakan-keponakannya dan pengasuh bayi nomer wahid di keluarga kami, dia belum juga hamil setelah menikah dua tahun. Dia pun terisak 'Why me?'. Yang dia tak tahu, saya juga sedang terhenyak dan bertanya 'Why me?' untuk alasan yang berseberangan dari dirinya.

Teman-teman saya menjadi saksi betapa saya sering mengelak pertanyaan mereka tentang kehamilan saya. Saya tak mau berterus terang. Antara malu, tak percaya, tak siap, tak sanggup, dan berbagai macam alasan gila lainnya. Mother-and-child bond? Hell, saya tak merasakannya. Mana itu perasaan penyayang yang dikatakan ibu-ibu hamil lainnya? Karena rasa tak percaya dan tak mau itu lah saya berlaku secuek saat saya tak hamil: jalan tergesa-gesa, lari naik turun tangga, mengejar bis, mengangkat beban berat, makan minum seenaknya... sampai beberapa teman laki-laki saya yang malah menjerit-jerit histeris. Dua bulan setelah saya hamil, saya mengalami pendarahan. Tell me crazy, tapi saya tak bisa merasa sedih atau menyesal. Tuhan Maha Besar, janin saya selamat. Yang kemudian membuat saya berkewajiban untuk merawatnya adalah karena saya sadar ada Tuhan yang mengawasi saya. Saya bingung karena saya tak bisa merasakan rasa sayang, tapi saya berusaha tak membuat Tuhan marah.

Lalu hidup saya berubah ketika bayi itu lahir. Sejak saya melahirkan Hikari hingga detik ini, setiap kali saya melihat wajahnya, atau teringat tingkah polahnya, rasa bersalah selalu menyerang saya. Ya Tuhan, apa yang mungkin terjadi pada diri saya bila saya tak memiliki Hikari seperti sekarang? Bagaimana mungkin saya bisa mengacuhkan dia dulu, kalau saya tahu betapa saya bisa sangat menyayanginya sekarang? Mungkin karena rasa bersalah ini pula yang membuat saya setiap kali menggigil paranoid berlebihan setiap kali Hikari -yang memang rentan sakit- jatuh sakit. What if? Begitu setiap kali saya berderai air mata. Saya takut Tuhan menghukum saya...

Nek, tante saya pernah bertanya pada Tuhan 'why her and not me?'. Saya tak tahu jawabannya. Saya malah sempat bertanya 'why me and not her?' karena rasanya tak adil buat dirinya. Tapi, Nek, untungnya saya yang kurang ajar begini -entah kenapa- selalu ingat pada kata-kataNya yang ini:

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. "

Saya lalu belajar ikhlas, walau untuk seorang saya, ikhlas itu susahnya minta ampun. Saya belajar bila kita ikhlas pada apapun ketentuanNya, kita bisa merasakan hidup ini lebih damai. I'm still learning...

With lots of love for you, Nek!

Thank you, but...

Saya sedang sholat Isya sambil mencoba khusyuk ketika Hikari berteriak memanggil dari lantai bawah.
Prak prok prak prok langkahnya terdengar menaiki tangga.
Diantara komat-kamit mulut berdoa, saya sempet juga ngebatin 'aduh, itu naik tangganya hati-hati gak ya?'
Begitu sadar, cepat-cepat balik sholat sambil mencoba khusyuk.

Pintu dibuka.
Brak!
"Mama!"
Komat-kamit melafalkan Al Fatihah.

Begitu melihat saya sedang sholat, Hikari berjingkat-jingkat mendekati. Dia berjongkok di pinggiran sajadah dengan muka tengadah menatap saya. Saya merem.

Berjingkat-jingkat lagi, dia berjalan mengelilingi saya. Kemudian terlihat dari sudut mata saya, dia sedang sibuk berpikir. Semenit kemudian dia menarik sehelai tissue. Saya merem lagi. Komat-kamit makin kenceng.

Gak lama, dia berjongkok di ujung kepala sajadah. Kakinya berada di luar sajadah, tapi badannya sudah setengah tengkurap di sajadah. Hikari menggelar tissue tadi dan sepertinya sedang mengatur sesuatu dari atas tissue. Untung saya sudah hampir sujud terakhir.

Begitu saya mengucapkan salam tanda selesai sholat, Hikari langsung menubruk dan merangkul saya.
"Ari sayang mama," katanya sambil tersenyum manis.
"Alhamdulillah, mama juga sayang Hikari."
"Aku punya sesuatu," masih tersenyum manis.
O-O, sesuatu.... lagi?
"Oh, ya? Apa?"
Hikari menggeser badannya dan menunjuk sehelai tissue di ujung sajadah.Rupanya dia sudah mengatur lima buah bunga berwarna merah yang-saya-tak-tahu-namanya di atas tissue itu.
"Bunga cantik," kata Hikari manis.
Saya mencoba tersenyum....

Itu bunga-bunga mahal milik tetangga depan rumah yang pemiliknya jungkir balik setengah mati mengusahakan selama berbulan-bulan supaya bisa berbunga!!!

The Attitude, Man!

Harusnya ada hukum di Indonesia yang menyebutkan:
Barang siapa yang belum mampu mengucapkan Selamat Siang setelah memencet tombol Talk pada handphone, DILARANG menggunakan handphone.

Atau, seperti ini:
Barang siapa yang dengan sengaja meninggalkan Missed Call lebih dari dua kali, akan diancam dengan hukuman pancung.

Yang pasti, saya setuju pada peraturan begini:
Barang siapa yang ketika telponnya diangkat oleh penerima lalu dengan bodohnya berteriak 'Hei, Siapa NIH? Siapa?! Si Tukimin ada gak?!' akan dikirim sebagai pasukan harus mati di Irak.

Obsesi

Eyang Uti kepingin punya cucu perempuan. Walau tidak jelas-jelas menunjuk 'dari' siapa, bliow pasti menujukan kepengenannya itu ke saya karena kedua adik saya jelas-jelas masih happy-jombloer.

Alasan Eyang Uti sederhana: bliow pengen ngedandanin anak perempuan. Dikasih pita, dikasih jepit rambut warna-warni, dipakein baju lucu kyut-kyut, dikasih maenan boneka cantik, dikursusin balet, menari, John Robert Power-mungkin, dansebagainya. Hasil akhir: gak ada yang percaya kalau saya -dengan tampilan seperti ini- adalah ibunya.

Sejujurnya, she had her chance with me waktu saya masih kecil dan imut. Sekarang, setelah saya besar dan imut, tentu saja kesempatan untuk mendandani saya sudah hilang -walau bliow masih sering memaksa untuk melakukannya. Mungkin juga, waktu saya kecil dulu, bliow sibuk mempersenjatai saya dengan skills yang lebih applicable dalam kehidupan (baris-berbaris, bikin tenda, dan masak air) daripada sibuk mendandani saya.

Tapi, obsesi akut Eyang Uti ini tidak terlalu berpengaruh banyak pada kesehatan mental saya. Saya masih bisa memberi sejuta alasan pada dirinya, yang salah satunya dimulai dengan, "kalo anak laki-laki lagi gimana?"

Saya tak kuatir pada obsesi si Uti ini. Paling-paling dua ataw tiga tahun lagi bliow udah lupa sama obsesi ini. Lagipula, secara adat, saya tak berkewajiban memberinya seorang/dua orang/tiga orang cucu berjenis kelamin laki-laki/perempuan. Alhamdulillah, sudah dikasih. Tapi, saya ikut simpati pada seorang teman yang tiba-tiba sesenggukan disamping saya karena satu sebab yang maha penting: melahirkan penerus marga atau cerai!

Ndablek

Ndablek itu rasanya sih bahasa Jawa yang artinya bisa positif bisa negatif. Yang negatif itu bisa berarti bodo', dikasih tau gak ngerti-ngerti, keras kepala tapi salah, keras hati tapi teteup salah, dan semacamnya. Ndablek juga bisa berarti positif, misalnya keras hati karena merasa dirinya benar walopun apapun ancaman yang ditujukan pada dirinya. Kayaknya sih begitu.


Di kantor, sedang ada keributan.
Rupanya ada seorang kolega yang mirip jerawat meradang: dipencet dikit bunyinya kenceng. Kolega ini seingat saya memang sudah dari dulunya ya begitu. Pencet-bunyi-pencet-bunyi. Mau pencetannya hanya ngusap sedikit atau malah beneran kenceng, bunyinya teteup sama. Ketika keributan terjadi lagi untuk yang kesekian kalinya, orang-orang lalu berkumpul lagi untuk curhat-plus-ngrasani untuk yang kesekian kalinya juga. Kali ini yang ditarik jadi korban dicurhati adalah... siapa lagi... sialnya... saya.

"Ya, Bu, saya malah pernah dibilang mau dilempar pake sepatu.
"Lho, kok bisa Pak? Kan sepatu Bapak lebih gede dari sepatu dia?"
"Aku, De', pernah didiemin selama 3 bulan tanpa tahu sebabnya."
"Asyik, dong, Bu. Jadi Ibu gak perlu basa-basi sama dia."
"Gue malah pernah dituduh ngiri sama dia, bo!"
"Ha?! Lumayan tuh bisa jadi bahan buat ngegampar dia balik!"
"Dia itu ngakunya yang paling disayang si bos!"
"Iya?! Wah, gue bisa deketin dia biar gue dikasih bonus dong!"

Lama-lama para pencurhat itu jadi malah dongkol sama saya.
"Elu dicurhatin malah cengar-cengir, lu!"
"Elu enak-enakan di Jepang, kita disini diteriakin sama dia melulu tau!"
"Pokoknya kalo dia begitu lagi, kita demo ajah!"

Lalu, seorang kolega lain yang punya ingatan tajam dan perasaan halus menyolek saya.
"Dikau kan pernah didiemin sama dia juga dulu. Sebelum elu cabut ke Jepang tuh. Inget gak?"
"Enggak."
"Itu loh yang dia sebel sama elu karena elu disuruh ngasih presentasi di situ. Inget gak?!"
"Ennngg... gak."
"Dia sempet ngomel-ngomel lagi ke kita trus dia pasang tampang asem ke elu selama berapa minggu itu! Masa' elu gak inget?!"
"Engggak..."

Dan mereka semua melihat ke saya dengan muka tak percaya. Untuk menyelamatkan suasana dan menyelamatkan diri saya dari kemungkinan terjadinya kekerasan, saya langsung menyampaikan kesimpulan.
"Duh, sodara-sodara, maap, gue kagak inget. Dia sebel sama gue, ngediemin gue, ngasemin gue, ngomelin gue... gue kagak sadar. Maap. Namanya juga orang ndablek macem gue. Di kasih terapi sebel-asem-cuek ya... gak berasa. Wong, IQ gue terlalu jongkok untuk hal-hal luar biasa macem itu..."

Mereka pun pergi dengan gerutuan. "Dasar ndablek."

Beauty is in the eyes of the BEERholder

Rambut saya sudah panjang sebahu.
Tumben.
Iyah.
Sengaja?
Iyah lagi.
Tumben?
Capee deh.

Awalnya karena saya tak kuat menahan impian terpendam: punya rambut panjang tergerai yang bisa melambai-lambai tertiup angin.
Biasanya, angin gak ngaruh sama rambut saya yang pendek. Saya-nya yang langsung tertiup angin.

Lalu, saya juga masih dalam masa diet belanja. Ini termasuk pergi ke salon. Dan, faktor lain yang tak kalah pentingnya adalah... saya masih trauma pergi ke salon gara-gara kejadian ini.

Setelah berminggu-minggu bengong di depan kaca memandang rambut saya yang makin tak tau aturan itu, saya memutuskan untuk memanjangkan rambut. Alhasil, kunjungan ke salon kedua menghasilkan instruksi: Rapihkan saja! Saya mau memanjangkan rambut!
Untung, salon dan hairstylist yang kedua ini lebih berpendidikan. Mereka mengerti maksud saya dan saya girang karena sekeluarnya dari salon berhasil punya rambut model si Olga yang presenter TV itu.

Begitu si Papap pulang kerja, saya pamer rambut.
"Bagus gak? Bagus gak?"
"Baguuuusss." Kepalanya ketutupan helm.
"Baru potong nih."
Helm dibuka. "Potong? Kirain abis keramas."

Nah, kejadian itu terjadi 4 bulan yang lalu.

Seminggu yang lalu, sewaktu saya baru saja menaruh pantat di jok penumpang, mata si Papap tiba-tiba seperti mendapat pencerahan.
"Rambut kamu udah gondrong tuh. Potong gih!"
"Iya. Ini mau dirapihin." PD banget secara udah sempet ngerasain punya rambut yang bisa tertiup angin.
"Potong. Bukan cuma dirapihin." Kekeuh.
"Yeee! Aku mau manjangin rambut kok!"
"Panjang?"
"Iya. Mau nyoba rambut panjang. Biar seperti Jennifer Aniston."
"Jelek, tau!"
"........."

Saya gak mau ngebahas lagi yang dimaksud jelek itu rambut panjang atau Jennifer Aniston. Yang pasti, hari ini saya potong rambut PENDEK lagi.

Teatrikal, or whatever that means!

Guru-guru SD saya dulu itu sungguh kreatif. Kalau ada peringatan hari Pahlawan, kami -para murid- akan mempersembahkan drama kepahlawanan. Ceritanya? Yaaaa, standar lah. Indonesia kaya. Belanda datang. Indonesia dijajah. Indonesia bete. Indonesia perang. Belanda kalah. Tidak lupa para tokoh kemerdekaan pun dihadirkan kembali ke atas panggung. Ada yang jadi Pangeran Diponegoro, ada Cut Nyak Dien, ada Jendral Sudirman, dan tentu saja selebriti pentingnya: Soekarno dan Hatta. Entah kenapa, saya selalu kebagian jadi Jendral Sudirman. Kata teman saya, si Opik, itu pasti karena hanya saya yang cocok pake peci.

Satu-satunya hari peringatan nasional yang tidak pernah kami drama-kan adalah Hari Kesaktian Pancasila. Mungkin karena susah berakting jadi orang sakti. Hari-hari lainnya -termasuk hari raya keagamaan- pernah kami drama-kan. Kalau drama di hari raya keagamaan, saya gak jadi Jendral Sudirman lagi. Biasanya saya hanya jadi seksi sibuk alias pesuruh yang cape deh disuruh bantu-bantu. Si Opik bilang (lagi) ini karena muka saya kurang alim buat main di drama Maulid-an.

Beberapa hari yang lalu, beberapa stasiun tv menayangkan aksi teatrikal oleh sebuah SD di Bogor. Sayangnya nama SD itu gak pernah disebut. Tapi pastinya, SD itu ada di Bogor. Aksi teatrikal itu dilakukan dalam rangka aksi keprihatinan dan dalam rangka hari pendidikan nasional. Kata Aksi Teatrikal dan Aksi Keprihatinan itu berasal dari bahasa guru SD tersebut tentunya. Entah apakah para murid SD itu tahu apa artinya.

Ada apa di Aksi Teatrikal itu? Di layar tv ditampilkan adegan murid-murid SD berseragam rapi merah putih sedang berpura-pura menjadi praja IPDN. Mereka pura-pura menendang temannya, memukul, menonjok, menyiksa, dan akhirnya si pura-pura korban akan pura-pura terjatuh dan kesakitan. Sementara itu murid-murid yang lain bersorak-sorak ramai menyaksikan tayangan pura-pura itu.

Gggggrrrrrhhhhhhhhhhh!!! SAYA MURKA!

Satu. Apa anak SD -pemain dan penonton- mengerti apa artinya aksi teatrikal?
Dua. Apa mereka paham tujuan kegiatan mereka?
Tiga. Apa ada hasil positif yang bisa di dapat dengan BERPURA-PURA jadi praja IPDN yang memukuli juniornya?
Empat. Apa the-so-called aksi teatrikal semacam itu PANTAS untuk dimainkan dan disuguhkan untuk anak SD?
Lima. APA GAK ADA CARA LAEN GITU LOOH???

Seorang wartawan bertanya kepada beberapa murid SD itu apakah tujuan kegiatan mereka. Jawaban mereka? Standar hafalan skenario. Begitu sang wartawan bertanya di luar hafalan mereka, jawaban mereka standar: tersenyum simpul.

Sewaktu saya memerankan Jendral Sudirman dulu, saya mendapat pemahaman tentang sejarah perang negara saya. Dan memang itu tujuan drama-drama di sekolah saya itu. Daripada murid menghafal sejarah, guru-guru saya mengajak kami membuat naskah dari buku sejarah dan memerankannya. Sumpah, kami sendiri yang membuat naskahnya! Maka kadang-kadang kami bertengkar hanya gara-gara kami tak sepakat siapa yang menjahit bendera Pusaka, atau siapa yang menculik Soekarno-Hatta, atau jam berapa Soekarno-Hatta dibawa ke Rengasdengklok.

Sekarang, bila tujuan pementasan drama SD saya dianalogikan dengan aksi teatrikal ala IPDN tadi, pemahaman apa yang akan ditelan oleh murid-murid SD itu?
Oooh, kalo masuk sekolah itu kita bisa maen tendang-tendangan loooh.
Oooh, kalo sudah besar kita bisa pukuli adek kelas kita loooh.
Oooh, sebelum memukul, kita harus menendang dulu loooh.

Goblok!

Mudah-mudahan surat protes saya ke satu surat kabar bisa dipasang di surat pembaca!

Blogger Templates by Blog Forum